Kalender Hijriah Global Sebagai Pemersatu Umat
Dalam wacana ilmu falak, atau yang juga dikenal dengan astronomi Islam, ada dua pendekatan yang kerap dilakukan oleh umat muslim di dunia untuk menentukan awal bulan hijriyah, yaitu rukyat dan hisab. Rukyat merupakan aktivitas mengamati visibilitas hilal, atau penampakan bulan sabit pertama kali yang menentukan awal bulan hijriyah. Sementara hisab, adalah cara memperkirakan posisi bulan dan matahari terhadap bumi dengan proses perhitungan astronomis. Dua pendekatan ini terkadang menimbulkan perbedaan pendapat dalam penentuan awal bulan, khususnya awal Ramadhan, hari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Kendatipun demikian, harapan penyatuan kalender hijriyah global bukan berarti tidak mungkin.
Demikian sebagaimana disampaikan Drs. Sofwan Jannah pada kajian bertajuk “Penentuan Awal Ramadhan ditinjau dari Segi Hisab dan Rukyat” yang diselenggarakan oleh Takmir Masjid Ulil Albab (TMUA) pada Senin (7/5), bertempat di Masjid Ulil Albab, Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII). Kegiatan ini merupakan rangkaian dari Kajian Sekolah Ramadhan yang diselenggarakan TMUA untuk menyambut bulan suci Ramadhan 1439 H.
Dalam pemaparannya, Sofwan Jannah menyinggung bahwa hisab dan rukyat merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Perintah rukyat hadir di zaman Rasulullah Saw sebagai penentu awal bulan hijriyah, sesuai dengan sabda Nabi yang artinya, “Berpuasalah karena melihatnya (hilal).” Tetapi dalam perkembangan zaman, ilmu astronomi memungkinkan posisi bulan dan matahari terhadap bumi dapat dilihat dengan proses kalkulasi yang kemudian dikenal dengan hisab. Bahkan, penentuan waktu untuk melakukan proses rukyat pun terlebih dahulu melalui proses perhitungan. “Hisab dan rukyat seperti mata uang, tidak bisa berdiri sendiri, tetapi keduanya saling membantu, saling mengkritisi, dan saling memperbaiki,” ujar dosen FIAI UII tersebut.
Sofwan melanjutkan, bahwa hisab sendiri dalam perkembangannya terbagi menjadi dua, yaitu penentuan hisab berdasarkan kebiasaan rata-rata, atau yang dikenal dengan Hisab ‘Urfi, dan Hisab dengan kalkulasi matematis yang cermat, atau disebut Hisab Hakiki. “Hisab urfi yaitu hisab yang diperhitungkan secara rata-rata. Mirip seperti Masehi. Contohnya, Januari itu pasti terdiri dari 28 hari, sedangkan Februari dapat terdiri dari 28 maupun 29 hari,” ujar Sofwan. Ia menambahkan, bahwa hisab pada era modern ini merupakan hisab hakiki kontemporer yang sudah dapat memprediksi posisi hilal secara tepat, lengkap dengan perhitungan waktunya.
Sama halnya dengan hisab, bahwa pendekatan terhadap rukyat pun berbeda-beda. Secara umum, hisab dapat dikategorikan ke dalam rukyat yang bersifat global, maupun rukyat yang bersifat lokal. Rukyat global didasarkan pada asumsi bahwa hilal yang terlihat pada satu belahan bumi akan berlaku untuk seluruh penduduk di bumi, sementara rukyat lokal bersifat terbatas pada letak geografis tertentu. Perbedaan ini, menurut Sofwan, yang kemudian menjadikan pentingnya penyusunan kalendar hijriah global supaya dapat meminimalisir perbedaan di kalangan umat Islam, termasuk upaya untuk mempersatukan umat Islam di dunia.
Saat ini, menurut Sofwan, wacana penyusunan kalendar hijriah intenasional sedang gencar disosialisasikan. Ia menyampaikan bahwa di Turki, sudah diselenggarakan konferensi ahli falak sedunia yang menghasilkan wacana bahwa satu tanggal hijriyah dapat berlaku untuk seluruh penduduk di dunia manapun, dengan syarat sebelum tergelincirnya fajar di New Zealand. Ia juga menambahkan bahwa di Indonesia, seminar internasional yang sama pernah diselenggarkan di Jakarta yang juga mengusulkan penyatuan kalendar hijriah.
Menurut Sofwan, untuk mencapai proses penyusunan kalendar hijriah global perlu adanya kesamaan dalam beberapa hal prinsipil. Pertama, perlu adanya penerimaan terhadap hisab dari seluruh kalangan ahli falak, karena menurutnya, kalendar tidak dapat disusun berdasarkan rukyat. “Kalender tidak mungkin dilaksanakan oleh rukyat. Kaum muslimin harus menerima hisab. Karena hisab dimasa sekarang sudah maju dan tidak keliru, bisa dibuktikan dengan benar,” ungkapnya.
Selanjutnya, transfer imkanur rukyat (ketetapan berlakuknya rukyat). Sofwan menegaskan bahwa kalender hijriah global bisa dicapai bila imkanur rukyat mengambil prinsip rukyat global. “Artinya, dimanapun rukyat dilihat, maka seluruh muslim bisa melaksanakannya,” ujarnya. Prinsip ini kemudian mengantarkan pada prinsip berikutnya, yaitu menjadikan bumi sebagai satu mathla’, yaitu keberlakuan rukyat diakui di seluruh bagian bumi. Adapun syarat lainnya adalah perlu adanya keselarasan hari dan tanggal di dunia, serta pengakuan terhadap garis tanggal internasional. Keseluruhan prinsip tersebut menurutnya merupakan tantangan yang harus senantisa diupayakan.
Setelah membahas hisab dan rukyat serta pentingnya penyusunan calendar hijriyah, Sofwan menunjukan visualisasi letak hilal dan hasil perhitungan hisab dalam penentuan awal Ramadhan mendatang. Menurutnya, pada proses rukyat yang serentak akan dilakukan pada tanggal 15 Mei mendatang, atau yang bertepatan dengan 29 Sya’ban 1439H, rukyat kemungkinan tidak akan terlihat, namun akan terlihat pada hari berikutnya. “Hari berikutnya, pada 16 Mei, akan terlihat hilal dengan ketinggian 12 derajat. Sehingga dengan begitu sudah bisa dpastikan puasa mulai tanggal 17 Mei dan 16 Mei ba’da Isya itu sudah tarawih,” ungkapnya.
Berdasarkan perhitungan hisab pula, Sofwan mengatakan bahwa umat Islam di Indonesia akan melaksanakan awal Ramadhan dan Idul Fitri pada tanggal yang sama. Kondisi ini diprediksikan akan terus dialami hingga tahun 2023. “Idul fitrinya juga insyaallah kompak, Indonesia kali ini kompak. Insyaallah sampai 2020, 2021, 2022, dan tanda petik 2023,” ungkapnya.
Dengan adanya persamaan ini, Sofwan berharap umat Islam di Indonesia dapat menjalani ibadah dengan khusyuk. “Untuk tahun-tahun ini, semoga kita semakin khusyuk dalam ibadah. Karena posisi hilal akan menyatukan kita. Apalagi dengan upaya untuk membuat kalendar hijriyah global karena kriterianya sudah dibuat, meskipun ada beberapa tantangan-tantangan yg harus dihadapi,” tutup Sofwan. (MIH/RS)