Kajian Kritis Revisi UU Otonomi Khusus Papua
Berangkat dari isu sosial terkait revisi UU No 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua yang masih menuai pro kontra di masyarakat, Forum Kajian dan Penulisan Hukum (FKPH) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyelenggarakan Kajian Aktual dengan tema “Kajian Kritis Revisi Undang-Undang No 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua” pada Jum’at, (20/8) secara virtual. Dalam kajian ini, FKPH mengundang Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. yang merupakan Guru Besar Hukum Tata Negara FH UII sebagai pemateri.
Dalam penyampaian materinya, Prof. Ni’matul Huda menyampaikan bahwa adanya otonomi khusus ini merupakan bentuk penerapan desentralisasi asimetris di Indonesia. Desentralisasi asimetris ini bukan hanya pelimpahan kewenangan biasa, melainkan merupakan transfer kewenangan yang bersifat khusus yang hanya diberikan kepada daerah-daerah tertentu. Tujuan dari desentralisasi asimetris ini, jika dilihat dari sejarah, merupakan upaya untuk menjaga kesatuan NKRI dari gerakan-gerakan separatis, yang ingin memisahkan diri dari wiilayah Negara Indonesia.
Namun, dalam perkembangannya menurut Prof. Ni’matul Huda, desentralisasi asimetris ini ternyata bukan satu-satunya ‘obat mujarab’ yang dapat menyelesaikan persoalan ini. Pelaksanaan desentralisasi asimetris ini harus dikombinasikan dengan upaya-upaya lain yang tepat.
Mengutip dari pendapat Cornelis Lay, menurut Prof. Ni’matul Huda, kebijakan desentralisasi asimetris secara tipologis dapat dibedakan menjadi lima tipe, diantaranya: pertama, penerapan desentralisasi asimetris ditempuh sebagai strategi kebijakan untuk mempertahankan basic boundaries (batas dasar) unit politik suatu negara. Kedua, sebagai instrument kebijakan untuk mengakomodasi keunikan budaya dan perbedaan alur kesejarahan, dalam rangka perlindungan kaum minoritas dan manajemen konflik.
Berikutnya yang ketiga, kebijakan untuk menjembatani tantangan yang bercorak teknokratik managerial, yaitu keterbatasan kapasitas suatu daerah atau suatu wilayah dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Keempat, kebijakan dirancang untuk memperkuat kapasitas competitiveness (persaingan) sebuah negara. Kelima, kebijakan dirancang sebagai instrument untuk meminimalisasi resiko.
Selain itu, Prof. Ni’matul Huda juga mengatakan bahwa ketentuan dalam pasal 18B UUD 1945 sebagai landasan penerapannya desentralisasi asimetris ini masih memiliki kekurangan. Diantaranya, kata ‘dengan’ dalam pasal 18B UUD 1945 ini, mengandung arti bahwa harus ada UU yang mengatur lebih lanjut terkait ketentuan pasal ini, hingga saat ini ternyata masih belum ada UU-nya. Selanjutnya, frasa ‘negara mengakui’ dan ‘negara menghormati’ mengandung makna bahwa Pasal ini bersifat retrospektif, yang artinya objek atau daerah yang diakui sebagai daerah yang bersifat khusus tersebut, sudah ada terlebih dahulu sebelum diaturnya ketentuan pasal ini.
“Namun, Pasal 18B UUD 1945 ini, tidak menyatakan secara jelas, apakah ketentuan ini hanya berlaku surut atau juga berlaku ke depan, sehingga akan ada kemungkinan untuk daerah-daerah lain mendapat kewenangan otonomi khsusus juga,” terang Prof. Ni’matul Huda.
Kemudian, jika melihat pada revisi UU No 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua ini, salah satunya terkait dengan peningkatan jumlah dana otonomi khusus bagi Papua, menurut Prof. Ni’matul Huda pelaksanaannya harus dilakukan dengan benar-benar, terutama di lingkup pemerintahannya. Hal ini dikarenakan, dengan dana otonomi khusus yang begitu besar diterima oleh Papua, jauh dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang tidak memiliki otonomi khusus, belum dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Papua itu sendiri. Diantarnya, masih buruknya tingkat kesehatan, minimnya pelayanan publik, dan masih banyaknya daerah-daerah yang tertinggal, dll.
Menurut Prof. Ni’matul Huda, hal tersebut merupakan permasalahan yang sangat penting, mengingat berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) angka korupsi tertinggi di Indonesia berada di wilayah Papua.
Meski demikian, menurutnya, adanya dana otonomi khusus bagi Papua ini cukup berpengaruh dan berdampak baik. Pertama, meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yaitu sejumlah 6,4% untuk Papua dan 4,9% untuk Papua Barat. Kedua, penurunan jumlah penduduk misikin dari 50% di tahun 1999 menjadi 27,47% untuk Papua dan 23,01% untuk Papua Barat di tahun 2019.
Adanya revisi UU No 2 Tahun 2021 menurut Prof. Ni’matul Huda, di satu sisi merupakan berkah bagi Papua, namun di sisi lain dapat menjadi pemicu kecemburuan daerah-daerah lain yang tidak memiliki otonomi khusus. “Bagi Papua mungkin ini berkah. Tetapi mungkin dapat menjadi pemicu kecemburuan bagi daerah-daerah lain,” tandasnya. (EDN/RS)