K.H. Abdul Wahid Maktub: Islam Harus Tampil Menjadi Solusi untuk Permasalahan di Dunia
Di tengah persaingan era baru yang ditandai dengan disruptive technology, perlu adanya perubahan dan pembaharuan. Salah satunya yakni dengan menaikkan pemikiran agar lebih kritis dan eksplanatif. Hal ini dikemukakan Dr. K.H. Abdul Wahid Maktub ketika menjadi pembicara pada Public Lecture “Kontestasi Politik Luar Negeri dan Perkembangan Islam di Indonesia”, di Gedung Kuliah Umum Sardjito UII, Kamis (7/7).
“Kita tidak bisa hanya sekadar teoritikal tapi juga praktikal. Bagaimana mengendalikan masa depan, melakukan estimasi, dan kalkulasi. Mengkaji informasi selengkap dan sedalam mungkin untuk memetakan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi,” tutur Abdul Wahid Maktub saat menyampaikan materi dalam acara yang diinisiasi oleh Program Studi Hubungan Internasional UII ini.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Qatar tahun 2003-2007 ini mengemukakan, perlunya melihat konflik baik lokal maupun global. “Kita juga perlu melakukan evaluasi, mengapa kita masih lemah? Mengapa kita masih kurang? disruptive tech menjadikan hal lama menjadi tidak relevan,” ungkapnya.
“Kita harus melakukan perubahan dan pembaharuan. Hakikat negara adalah manusia itu sendiri. Human resource menetukan nasib negara di samping natural resource. Dengan ilmu, dengan menyadari, dengan self reform akan muncul self confident, bahkan self resilient. Sama halnya seperti negara, kepercayaan diri akan berubah menjadi ketahanan diri,” tambahnya.
Dalam kesempatannya, Abdul Wahid Maktub juga menyampaikan, di dunia ini tidak sedikit masalah muncul bersumber dari ideologi agama. Hal ini dikarenakan dua faktor, yakni misinterpretation yang kemudian berimbas pada kekeliruan implementasi. “Yusuf Qardawi, seorang ulama Qatar berharap bahwa Indonesia dapat menjadi pembawa Islam yang benar-benar rahmatan lil alamin, bukan hanya untuk segolongan saja, tetapi untuk masyarakat global secara umum,” paparnya.
Selain itu menurut Abdul Wahid Maktub, saat ini banyak masalah yang tidak bisa diidentifikasi. Tidak hanya aspek fisik tapi juga aspek non-fisik yang harus dihitung. Kita sebagai orang yang beragama jangan sampai meninggalkan do’a. “Untuk melakukan pemberdayaan, kita harus mulai belajar dari diri kita sendiri. Sehingga akan terjadi akselerasi. Perbedaan bukan lagi menjadi barrier atau ancaman, melainkan menjadi anugerah,” tuturnya.
Lebih lanjut disampaikan Abdul Wahid Maktub, dengan chaos nya keadaan dunia saat ini menjadi kesempatan Islam untuk tampil dan membawa pemikiran baru sebagai solusi banyaknya masalah yang terjadi. “Namun sebelum itu, kita harus memastikan dulu, Islam yang bagaimana yang akan melakukannya. Semua harus dimulai dengan pemikiran dan keilmuan, karena Islam selama ini digunakan oleh orang-orang yang tidak berilmu sehingga memberikan gambaran Islam yang salah atau keliru,” terang Abdul Wahid Maktub.
Sebelumnya, Rektor UII Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. dalam sambutannya mengutip laporan dari The Brookings Institution, tentang sebuah pendekatan baru yang membahas bagaimana Islam menjadi soft power yang digunakan oleh aktor negara. Islam garis keras yang kerap kita dengar selama ini adalah Islam yang dimunculkan oleh aktor non-negara.
Menurut Prof. Fathul Wahid, ini menjadi penting bagaimana pesan-pesan Islam yang damai, mengandung nilai universal, keadilan, kejujuran, kesetaraan, peduli lingkungan dan lain-lain. “Ini bisa kita lantangkan bersama. Bukan Islam yang datangnya marah, bukan Islam yang datangnya menghardik, bukan Islam yang datang dengan memukul, bukan Islam yang datang membawa kegaduhan. Tetapi Islam yang ramah, mendidik, merangkul, dan menghadirkan keteduhan,” tutur Prof. Fathul Wahid.
“UII didirikan oleh orang-orang yang ikhlas, tokoh-tokoh tersebut adalah orang yang sudah paripurna atau tuntas dengan dirinya sendiri. Sehingga sampai saat ini seluruh keluarga besar UII tetap mengirimkan do’a kepada tokoh-tokoh tersebut,” imbuhnya. (HM/RS)