Jiwa Seorang Mukmin: Kuat, Semangat, Adaptif
Islam mengajarkan umatnya untuk menumbuhkan dan memupuk jiwa mukmin ksatriya. Tidak hanya untuk membela agama yang telah diperjuangkan Rasulullah SAW namun juga untuk menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan. Ustadz Risdiyono, S.T., M.Eng., Ph.D., dosen Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia memberikan kajiannya tentang karakter ksatria dalam diri seorang mukmin dan harapannya akan tertanam bagi setiap lulusan UII. Ksatria menjadi karakter yang luar biasa dan merupakan singkatan dari kuat, semangat, adaptif, trampil, responsif, inovatif, dan amanah. Kajian disampaikan secara daring pada Sabtu (9/5). Ia merangkum jiwa ksatria dalam tiga karakter yakni kuat, semangat, dan adaptif.
Karakter pertama adalah kuat. “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan,” (HR. Muslim). Artinya kecintaan Allah kepada makhluknya berbeda-beda, seperti kecintaan-Nya kepada mukmin yang kuat lebih besar daripada kecintaan-Nya kepada mukmin yang lemah. Karena orang yang kuat akan mampu berbuat lebih baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.
“Jadi kita harus membuat alumni UII menjadi orang yang kuat: kuat dari jiwanya maupun raganya; kuat sisi batin maupun lahir; kuat dari rohani dan jasmani; kuat dari fisik maupun psikis; kuat dari iman maupun imunnya; kuat di fikir dan dzikirnya; kekuatan ilmu dan juga amalnya; kekuatan hati maupun hartanya,” ucap Risdiyono.
Sedangkan karakter kedua adalah semangat. “Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah,” (HR. Muslim). “Artinya kekuatan tidak ada gunanya jika seorang mukmin tidak memiliki semangat. Karena semangatlah yang membuat orang lemah menjadi kuat. Orang sakit menjadi lebih cepat sembuh. Semangatlah membuat orang terpuruk menjadi bangkit,” imbuhnya.
Fenomena seperti ini sudah terlihat jelas di kehidupan sehari-hari. Banyak orang yang terlahir dari keluarga biasa tapi ia lebih berprestasi daripada ia yang terlahir dari keluarga kaya. Golongan kurang mampu lebih berhasil daripada orang yang dari keluarga berkecukupan. Tentu, semua itu terjadi karena semangat di dalam dirinya.
Adapun karakter ketiga adalah adaptif. “Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah engkau katakan: ‘ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi,’ karena perkataan seandainya dapat membuka pintu setan,” (HR Muslim).
Hadist tersebut membuat seorang mukmin tidak memikirkan masa lalu. Namun, mereka fokus ke masa kini maupun masa yang akan datang. Orang mukmin percaya bahwa masa lalu menjadi takdir Allah yang tidak dapat diganti maupun diulang. Maka sikap adaptif itu membuat seorang mukmin lebih mudah untuk bergerak, melakukan perencanaan, dan melakukan langkah-langkah ke depan. (SF/ESP)