Isra Mi’raj Dimaknai Sebagai Landasan Moral di Era Global
Isra Mi’raj, peristiwa agung yang dialami Rasulullah SAW dengan merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Peristiwa ini dapat menjadi ajang untuk semakin memantapkan Iman dan Taqwa kepada Allah SWT. Terlebih di era global di mana nilai moral semakin pudar dalam kehidupan politik dan ekonomi.
Bertempat di Aula Pondok Pesantren UII, Jalan Selokan Mataram Sleman, Pondok Pesantren UII menyelenggarakan “Peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW 1434 H” pada Jumat (13/04). Kegiatan tersebut mengusung tema “Mantapkan Iman dan Taqwa Kepada Allah SWT Sebagai Landasan Morak di Era Global”.
Acara ini juga turut dimeriahkan oleh penampilan dari grup Hadroh Al-Maqoshid KMNU UNY yang membawakan sholawat berjudul Lau Kana Bainanal Habib, Assalamu’alaik, Habibi Ya Muhammad, Shallu ‘ala Khoiril Anam, dan Ya Syahidan ‘allama. Para santri begitu antusias mengikuti peringatan Isra Mi’raj tersebut, ditambah dengan penampilan hadroh sehingga semakin memeriahkan peringatan Isra Mi’raj di Pondok Pesantren UII.
Pada kesempatan ini, Ustadz Suyanto selaku pengasuh pondok pesantren UII menjelaskan Isra Mi’raj memiliki satu dimensi yakni itu bagian dari acara Allah menunjukkan kebesarannya. “Bagaimana mungkin sesuatu yang waktu itu belum mungkin terjadi dalam hitungan logika manusia. Tetapi atas kehendak Allah bisa terjadi” ungkapnya.
Ia berharap, dari kejadian Isra Mi’raj dapat diambil dan diselami hikmahnya sehingga memberi makna pada konteks kehidupan sekarang ini. “Kita coba melihat bagaimana peristiwa yang terjadi pada masa lalu itu, kita kontekskan dengan sekarang”, imbuhnya.
Sedangkan Ustadz Tajul Muluk selaku pembicara menyampaikan yang tertulis dalam buku Sirah Nabawiyah yang menceritakan kisah perjalanan hidup Rasulullah Muhammad SAW. Buku itu ditulis oleh Syaikh Shafiurrahman al-Mubarakfury.
Dikisahkan peristiwa Isra Mi’raj terjadi setelah peristiwa tahun kesedihan yang dialami oleh Rasulullah SAW. Hal ini sebagai perjalanan pelipur lara karena Allah SWT tidak akan terus menerus membiarkan hamba yang mengimaninya dalam kesedihan yang berlarut-larut.
“Ketika orang yang beriman itu dalam keadaan sedih sudah pada titik klimaksnya. Percayalah bahwa Allah tidak akan meneruskan dia sendirian dalam keadaan sedih. Karna Allah sudah menegaskan bahwa Allah adalah Rohman (Maha Pengasih) dan Rohim (Maha Penyayang)”. Ungkapnya. (AR/ESP)