Islam Merealisasikan dan Melestarikan Kemaslahatan Manusia
Al-Qur’an merupakan kumpulan wahyu-wahyu berisikan beberapa statement (pernyataan) yang mempresentasikan wujud Ilahi, wujud jiwa dan wujud alam. Statement utama dalam pembahasan maqasid syariah, bahwa agama Islam memiliki esensi yaitu merealisasikan dan melestarikan kemaslahatan manusia. Hal ini adalah pesan dakwah syariah meskipun pada awalnya maqasid syariah dijadikan untuk menyelesaikan perkara.
Hal tersebut dikemukakan Dr. Ali Abdul Mun’im, M.A. pada pertemuan ke-empat Sekolah Online Ketahanan Keluarga (SEKOLA) 2021 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Gender Universitas Islam Indonesia (UII), pada Minggu (24/1) secara daring. Kegiatan yang bertema Maqasid untuk Keluarga Islam Kontemporer (Maqasidisme: Standar-Standar Pembangunan Berkelanjutan dalam Perspektif Maqasid).
Ali Abdul Mun’im mengatakan, seseorang yang berilmu harus memiliki integritas dan sifat jujur dengan melaporkan kebenaran yang dibersamai dengan sifat tawadhu’ (rendah hati). Pemikiran tadmiri adalah pemikiran yang bersifat justifikatif dengan proses kognitif yang mengkedepankan pendapat kemudian advokasi. “Dalam memecahkan permasalahan, menemukan dulu akar persoalan merupakan hal yang pertama kemudian mencari unsur permasalahan yang menghasilkan pendapat, setelah itu kita siap untuk menyampaikan pendapat kita,” jelasnya.
Maqasid syariah awalnya muncul sebagai pemecah masalah dan perkara-perkara baru yang memiliki karakteristik seimbang, karena merupakan standart dari al-sabiil atau al-shirat (jalan dari Allah). Dalam pemahaman maqasid klasik, esensi keberagamaan yaitu merealisasikan dan melestarikan kemaslahatan manusia. Konsep al-hifdz (menjaga) dalam maqasid syariah berfungsi untuk melakukan segala sesuatu yang mementingkan kemaslahatan dan menyingkirkan sesuatu yang berpotensi menimbulkan kerusakan.
“Dalam maqasid syariah dalam mewujudkan kemaslahatan terdapat istilah jalb al masalih dan dar’al mafasid, fath al-zaraih dan sadd al-zaraih, hal ini juga dianalogikan serupa dengan analisis SWOT yaitu strengths (kekuatan), weaknesses (kelemahan), oportunities (peluang), threats (ancaman),” imbuhnya.
Ali Abdul Mun’im menyampaikan bahwa Konsep Taqyiimi (menilai) merupakan diskursus maqasid syariah dalam merespon suatu kesalahan yang terjadi di masyarakat harus didasari dengan pertimbangan dan perkembangan. Hal yang dapat dimanfaatkan dalam memahami maqasid syariah dalam konteks berkeluarga yaitu meraih ketahanan keluarga. Dalam suatu permasalahan sebelum menyarankan sesuatu, memikirkan strategi yang sesuai dengan kategorisasi terhadap kemaslahatan dan menjauhkan dari mafsadat (kerusakan) merupakan hal penting yang dihadapi oleh suatu keluarga.
Ali Abdul Mun’im menyebutkan tiga langkah-langkah maqasidisme untuk dapat mengembangkan falsafah maqasid untuk membangun peradaban keilmuan. Pertama, rekonstruksi konsep al-qasd dari istilah-istilah perkamusan arab dan Al-Qur’an. Pendekatan yang dilakukan haruslah melalui pemahaman bahasa arab. Menurutnya, bahasa arab adalah versi nyata yang terekam dengan sistem simbolik dimana versi wujud selalu mendukung pemikiran keilmiahan yang selalu mengirim pesan moral.
Selain itu, ia menyebutkan tiga kamus bahasa arab yang paling absah untuk menggali dan merekontrksi ulang makna al-qasd yaitu kamus lisanul arab, taajul ursy, alqasdu min maqayisi lugoh. Ketiga kamus tersebut merupakan kamus bahasa arab yang bersifat sistematis karena istilah suatu kata sebagai bidang makna.
Kedua, mendekati Al-Qur’an berdasarkan nilai-nilai al-qasd (maksud). Al-qasd menurut unsur makna dari beberapa kamus bahasa arab yang bersifat integral adalah jalan yang ditempuh. Salah satu jenis dari al-tawajjuh yaitu mengarahkan bagian terdepan dari manusaia yaitu keilmiahan. “Suatu maksud itu salah satunya adalah sesuatu yang berbuah lembut yang tidak kering dan muncul ditempat kering, yaitu salah satu jenis tanaman pertama yang muncul di gurun pasir disaat kering sekali saat hujan sudah jarang,” ucapnya.
Ketiga menemukan metode penelitian wahyu secara maqasidi (metode qur’ani untuk mengkaji Al-Qur’an) yang hasilnya berupa nilai kelurusan dan nilai kesingkatan. “Saya akan mengambil jalan paling lurus untuk mempelajari dan memahami alqur’an, sebagaimana ada dua rumus untuk memecahkan suatu soal maka yang diambil adalah rumus yang termudah dimengerti,” dimengerti. (HA/RS)