Irisan Islam dengan Dimensi Budaya
Hubungan Islam sebagai agama berdasar hukum fikih dengan budaya adalah sesuatu yang unik. Ada beberapa perspektif dalam melihatnya. Pandangan ekstrim menganggap bahwa budaya bukan bagian dari agama. Kelompok yang meyakininya mengambil konsep bid’ah sebagai sesuatu yang muncul dan datang tidak berdasarkan wahyu. Pandangan lain mengatakan bahwa agama juga melingkupi budaya. Sebab meskipun keduanya berbeda, namun saling beririsan dan tidak bisa dipisahkan.
Hal inilah yang dikaji oleh Program Doktor Hukum Islam, Magister Ilmu Agama Islam, dan Pusat Studi Islam UII dalam seminar bertajuk “Fikih Budaya”. Seminar Yang diselenggarakan pada Sabtu (2/11) di Ruang Audio Visual Perpustakaan Pusat UII ini diisi Drs. Suwarsono Muhammad, MA selaku Ketua Yayasan Badan Wakaf UII dan dibuka oleh Rektor UII Fathul Wahid , Ph.D.
Dalam sambutannya Fathul Wahid menjelaskan bahwa orang memiliki definisi beragam tentang budaya. Budaya sebagai mental programing dan budaya merupakan fenomena kolektif yang tidak mungkin terwujud hanya dengan satu orang dan terbentuk secara berulang-ulang. Budaya ada bukan karena diwariskan namun karena dipelajari sehingga budaya bukan genetik.
“Fikih budaya ini menjadi sangat menantang karena tidak ada fikih berbudaya. Fikih sendiri bisa jadi bahasan budaya contohnya perbedaan dalam madzhab-madzhab. Anjing di daerah Timur Tengah itu sangat digemari dan bersahabat karena mengikuti Madzhab Maliki berbeda dengan Madzhab Syafi’i. Itu artinya fikih juga bisa jadi produk budaya karena sangat kontekstual” Ujarnya.
Menurutnya, diskusi ini sangat menarik dan dibutuhkan di masa sekarang karena untuk memperluas perspektif dan melatih diri agar lebih menghargai orang lain.
Sementara, Suwarsono lebih menjelaskan betapa pentingnya berbudaya dalam beragama karena budaya merupakan warisan bangsa dan merupakan salah satu bagian dari peradaban yang harus tetap dijaga. Terlihat ketika peradaban mulai lemah itu memberikan efek negatif pada seluruh aspek kehidupan.
Contohnya ketika Amerika Serikat pernah mengalami resesi ekonomi lalu menyebar ke wilayah Eropa. Hal itu menandakan peradaban mereka saat itu sedang melemah. Sebaliknya, umat Islam, India, dan China sedang meniti masa keemasan karena peradabannya stabil.
“Namun saat ini Islam di permukaan umum terlihat sebagai Islam ekstrim, radikal, dan teroris. Untuk membangun kembali peradaban Islam di masa depan, itu bisa dengan Kapitalisme Religius (damai, bertahap, dan bekerjasama) dan tidak selalu tentang sosial saja. Saya mengartikan kapitalisme disini sebagai fenomena regional yang bisa tumbuh dan berkembang dimana saja, tidak hanya dari Barat” ungkapnya.
Pembicara terakhir, Elizabeth D. Inandiak berbicara tentang Kearifan Budaya dalam Serat Centhini. “Dari Serat Centhini ini saya menilai bahwa Islam sangat memperhatikan apa yang ada di sekitarnya. Ini terlihat pada saat Islam menjadi ajaran yang saat itu baru pertama kali datang ke Nusantara ini harus menyesuaikan bagaimana tetap menghormati adat budaya dan bagaimana mempertahankan Islam dengan segala prinsip-prinsip hukumnya”.
Acara ini dilanjutkan dengan sesi diskusi bagaimana budaya dan lingkungan juga budaya dalam perspektif maqasid hingga membahas kebijakan-kebijakan al-Quran tentang Kebudayaan. (CSN/ESP)