Islam, Kebangsaan, dan Peran Pemuda di Era Pandemi
Manusia kerap kali memiliki pola pikir yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal inilah yang seringkali menimbulkan ragam pendapat di kalangan masyarakat. Perbedaan pola pikir juga disebabkan perbedaan sudut pandang yang dijadikan dasar, landasan atau alasan yang dipengaruhi oleh emosi, pendidikan dan pengalaman.
Pusat Studi Islam bekerjasama dengan Program Studi Magister Ilmu Agama Islam (MIAI) dan Doktor Hukum Islam (DHI) Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) kembali menggelar Sekolah Pemikiran Islam (SPI) angkatan ke-4 dengan tema Islam Kebangsaan dan Peran Pemuda Milenial di Era Pandemi. Pembukaan dan orientasi umum kegiatan diadakan pada Rabu (12/8) dengan menghadirkan Ketua Program Studi Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Dr. Zuly Qodir, M.Ag sebagai keynote speaker.
Rektor UII Fathul Wahid, Ph.D dalam sambutannya menuturkan, tak sulit untuk menumbuhkan pola pikir bahwa hal-hal yang berbeda tidak selalu bertentangan, bahkan sebagian dari diri kita sampai pada kesimpulan tambahan yaitu perbedaan bisa jadi berangkat dari posisi berdiri yang berbeda dan ujungnya bisa saling melengkapi.
“Pola pikir seperti ini penting untuk menghindarkan diri dari jebakan berpikir sempit dan bersumbu pendek. Tidak sulit mencari contoh, energi umat atau bangsa sudah banyak yang bocor karena jebakan ini. Akibatnya mengerikan, setiap yang berbeda harus dimatikan, dan akhirnya adalah monopoli tafsir kebenaran, yang lain salah dan yang benar hanya dirinya atau kelompoknya,” terangnya.
Zuly Qodir menjelaskan bahwa pentingngnya menggunakan akal yang terbuka dalam melakukan ijtihad, karena fenomena yang terjadi saat ini seringkali orang menggunakan akal untuk melakukan justifikasi membenarkan dirinya sendiri atau kelompoknya. Perbedaan tidak seharusnya menimbulkan perselisihan, akan tetapi dengan menjadikan perbedaan sebagai kekuatan potensial positif untuk dijadikan kebijakan dalam mengembangkan pemikiran Islam yang ada di Indonesia.
Ia juga menyebutkan dalam beragama Islam di era digital ini ada beberapa tanda-tanda yang kerap ditemukan. Pertama, cara berfikir yang cenderung ingin mendapatkan sesuatu dengan cara yang cepat, enggan meluangkan proses panjang untuk mencermati suatu masalah. Kedua, selfisme menjadi penanda semua kelas masyarakat dengan ingin terus membanggakan diri dan mengeekspresikannya di media sosial. Ketiga, bergama menjadi bagian dari gaya hidup, gaya masyarakat seperti maraknya trend industri halal di era milenial saat ini.
“Sekarang, kepakaran dalam agama Islam semakin berkurang, kiyai-kiyai kharismatik semakin berkurang, ustad-ustad kharismatik semakin hilang dikalahkan oleh ustad-ustad yang sifatnya online. Saran saya, kita harus mengikuti perkembangan era milenial dengan ikut mengunggah video dakwah ke media sosial,” ucapnya.
Terakhir, disampaikan Edi Safitri, S.Ag., M.S.I. selaku Direktur Pusat Studi Islam UII, dengan adanya Sekolah Pemikiran Islam (SPI) dapat memunculkan tradisi berfikir dengan sentuhan akademik, tradisi yang ulil albab yang menerapkan tafakkur, tadabbur, dan tadzakkur, sehingga mampu menjadi umat muslim yang dalam kehidupan sehari-harinya tidak meninggalkan tradisi ini.
“Perdebatan-perdebatan yang dilakukan juga bagian dari pemicu lahirnya SPI ini, sehingga perlu adanya sentuhan akademik dalam keberagaman umat Islam di Indonesia agar kita tidak saling ikut tanpa tau argumentasinya itu apa. Dalam beragama kita harus mengeksploitasi akal kita. Bukan beragama yang mudah menyerah, ketika ada fenomena sosial dan fenomena alam langsung berkata wallahu a’lam bishawab tanpa melakukan tradisi berfikir dan tradisi riset terhadap fenomena itu,” ujarnya. (HA/RS)