Intip Kemeriahan Bastille Day di Prancis
Masyarakat Prancis punya momen bersejarah yang diperingati dengan meriah setiap tahunnya. Perayaan yang disebut Bastille day atau La Fete Nationale (Perayaan Nasional) atau Le Quattorze Juillet (Empat Belas Juli)itu jatuh tiap tanggal 14 Juli. Tanggal itu sekaligus menjadi penanda berakhirnya sistem monarki dan lahirnya sistem republik di negara menara Paris tersebut. Malam hari tanggal 13 Juli, masyarakat Prancis mendatangi markas pemadam kebakaran yang merupakan simbol kepahlawanan di masa kini.
“Pada malam itu mereka biasanya akan menari, makan, minum, menyalakan music dengan keras dan tidak ada batasan antara warga dan juga pemadam kebakaran.” seperti disampaikan Sabrina Shevira yang merupakan Ecole de Commerce ESUP Paris dalam webinar bertajuk Bastille Day: Ngobrol Sejarah dan Budaya Prancis yang diselenggarakan oleh Kafe Prancis Universitas Islam Indonesia.
Pada puncak perayaan, diadakan defile parade militer yang juga dihadiri Presiden dan pengawal pasukan berkuda. Selanjutnya, parade akan dilanjutkan dengan rombongan tentara semua angkatan, polisi dan pemadam kebakaran.
Selain itu, langit-langit kota Paris akan dihiasi dengan atraksi aerobatik pesawat tempur Angkatan Udara Prancis. Parade di pagi hari diakhiri dengan menyanyikan lagu kebangsaan Prancis dan dilanjutkan dengan penyalaan kembang api pada malam harinya.
Bendera nasional Prancis hanya dipasang pada gedung-gedung pemerintahan. Sementara rumah warga sipil tidak selalu memasangnya. Nasionalisme orang-orang Prancis lebih banyak ditunjukkan dengan memegang teguh nilai-nilai liberte, egalite dan fraternite dalam kehidupan sehari-hari mereka.
“Kedutaan Besar Prancis di Indonesia mengundang perwakilan dari kedutaan lain dan beberapa warga Prancis yang tinggal di Jakarta untuk makan, minum wine dan menyanyikan lagu kebangsaan Prancis sebagai bentuk perayaan.” Tambah Sabrina.
Ketika pandemi, perayaan disiarkan melalui platform daring seperti YouTube. Di akhir penyanyian lagu kebangsaan, ucapan terima kasih dan apresiasi disampaikan kepada garda terdepan seperti perawat, dokter hingga peneliti dan profesor di bidang kesehatan.
Sementara itu, Geradi Yudhistira Dosen Program Studi Hubungan Internasional UII mengupas perayaan dari perspektif sejarah. Menurutnya revolusi Prancis terjadi karena adanya ketimpangan pada kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang masif.
Kelompok menengah ke bawah dibebankan pajak yang lebih besar dibandingkan menengah ke atas. Sehingga para petani dan buruh tani harus menanggung pajak tinggi. Sedangkan para menteri, petinggi militer dan raja yang hidup dalam kemewahan namun tidak dibebani pajak.
Geradi Yudhistira juga mengatakan bahwa revolusi Prancis sangat identik dengan dua hal. Pertama yakni Déclaration Des Droits De L’Homme. Kedua adalah guillotine atau alat hukuman mati bagi kaum feodal saat itu yang dianggap menjadi musuh rakyat. Raja Louis XVI beserta istrinya turut menjadi korban alat tersebut.
“Kita harus hati-hati dengan revolusi karena dalam buku Animal Farm yang ditulis George Orwell menceritakan tentang revolusi yang di sebuah peternakan yang dipimpin oleh babi mampu menggusur eksistensi manusia dan cukup berhasil dalam jangka waktu 1 atau 2 tahun. Namun selanjutnya mereka menghadapi kesulitan dan masalah yang lebih besar ketika berhadapan dengan hasil dari revolusi tersebut di tahun-tahun selanjutnya.” Pungkas Geradi. (AP/ESP)