Internet dan Media Sosial Berperan Membangun Budaya Damai
Internet dan media sosial memiliki peran yang penting dalam pengembangan Budaya Damai (culture of peace) di suatu bangsa. Budaya Damai sendiri dibangun atas berbagai pilar, termasuk partisipasi demokratis dan kebebasan arus informasi. Melalui kanal tersebut, aspirasi dari masyarakat dapat langsung diterima dan menjadi pertimbangan kebijakan pemerintah.
Demikian disampaikan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, PhD. sebagai salah satu panelis dalam diskusi bertema Studi Komparasi Budaya Damai dan Demokrasi Berkelanjutan: Indonesia dan Thailand, bertempat di Royal Princess Larn Luang Hotel, Bangkok, Thailand, Senin (16/9).
Diskusi panel tersebut diselenggarakan atas kerja sama UII dan The King’s Prajadiphok Institute (KPI), Thailand. Turut hadir dalam diskusi 20 peserta yang terdiri atas akademisi Thailand dan Indonesia, anggota parlemen Thailand, dan perwakilan dari senat Kamboja.
Panelis lain yang hadir dalam diskusi tersebut adalah Perdana Menteri Thailand tahun 2008-2011, Abhisit Vejjajiva; Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Thailand, Nikorn Chamnong; dan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Chulalongkorn, Thailand, Siripan Nogsuan Sawasdee.
“Salah satu contoh pengembangan partisipasi demokratis yang telah diterapkan di Indonesia adalah Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR). Melalui layanan ini, masyarakat dapat menyampaikan laporan dan berinteraksi langsung kepada instansi pemerintah yang berwenang,” ungkap Fathul. Pemanfaatan LAPOR oleh masyarakat sebagai bentuk e-Partisipasi merupakan contoh peran positif internet dalam pengembangan Budaya Damai di Indonesia.
Ditambahkan Fathul, di sisi lain, internet dan media sosial juga memiliki potensi peran negatif dalam penguatan Budaya Damai. Dalam era pascakebenaran (post-truth), kepercayaan pribadi dan emosi justru lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding fakta dan objektivitas. “Oleh karena itu, mitigasi risiko dan pemanfaatan internet dan media sosial secara tepat mutlak diperlukan agar terhindar dari eskalasi Budaya Konflik (culture of conflict),” tambah Fathul.
Senada dengan Fathul, Siripan Nogsuan Sawasdee menyampaikan bahwa partisipasi demokratis merupakan salah satu pilar penting untuk membangun Budaya Damai. “Namun demikian, Budaya Damai dan demokrasi tidak selalu dapat hidup bersama. Institusionalisasi yang lemah dan konflik ekonomi dapat berpotensi menjauhkan demokrasi dari Budaya Damai,” ungkap Siripan.
Sementara itu, Perdana Menteri Thailand tahun 2008-2011, Abhisit Vejjajiva menyampaikan pentingnya tiga hal dalam pembangunan Budaya Damai, yaitu supremasi hukum (rule of law), transparansi, dan kontrak sosial. “Thailand dan Indonesia dengan kesempatan dan tantangan masing-masing telah berupaya membangun ketiga hal tersebut, khususnya setelah krisis finansial tahun 1997,” ungkap Abhisit.
Ditambahkan Abhisit, tiga hal tersebut juga berperan penting dalam menyelesaikan isu-isu sensitif di masyarakat, seperti relasi monarki dan pemerintah eksekutif di Thailand. “Selain ketiga hal tersebut, edukasi publik juga memiliki peran penting untuk membangun Budaya Damai melalui peningkatan pemahaman masyarakat dalam menghargai perbedaan pendapat,” ungkap Perdana Menteri Thailand tahun 2008-2011 tersebut di akhir diskusi.