Integrasi Ilmu untuk Lahirkan Cendikiawan Muslim
Kemajuan ilmu pengetahuan tidak serta merta membuat seluruh umat manusia unggul. Kemajuan ilmu pengetahuan seolah telah memisahkan ilmu dengan agama (Ilmu agama). Padahal, jauh sebelum kemajuan dunia barat, yang belakangan ini dikenal sebagai peradaban ilmu, Islam lebih dulu telah membahas tentang ilmu pengetahuan.
Pemisahan terhadap ilmu agama dengan ilmu pengetahuan terjadi tidak hanya di perguruan tinggi barat, tetapi juga terjadi di perguruan tinggi Islam. karena pemisahan itu pula mengakibatkan umat Islam mengalami kemunduran. Menjadi perhatian penting bagi para pemangku kepentingan dalam mengintegrasikan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi.
Hal ini menjadi topik bahasan dalam Seminar dan workshop bertajuk Integrasi Nilai-Nilai Islam dalam Mata Kuliah, yang diselenggarakan Program Studi Magister Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), pada Kamis (21/11), di ruang P1/2 Gedung Ace Partadiredja, Fakultas Ekonomi UII.
UII sebagai perguruan tinggi Islam mempunyai visi utama dalam mencetak cendikiawan muslim. Salah satu ciri cendikiawan muslim yaitu bagaimana ia melihat berbagai sudut pandang melalui sudut pandang Islam. Demikian disampaikan Dekan Fakultas Ekonomi UII Jaka Sriyana, S.E., M.Si., Ph.D dalam sambutannya.
“Visi utama UII adalah mencetak cendikiawan-cendikiawan muslim, yang salah satu cirinya adalah memiliki islamic world view. Yaitu cara pandang memandang berbagai hal, mulai dari pekerjaan, aktivitas, hukum, ilmu pengetahuan dan lainnya dengan sudut pandang Islam,” ujar Jaka Sriyana.
Kegiatan diskusi tentang integrasi ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai Islam telah dilaksanakan sejak 2006 lalu. Akan tetapi menurut Jaka Sriyana, kegiatan ini tetap penting guna mengembalikan ajaran Islam ke dalam ilmu pengetahuan. Mengintegrasikan ilmu Islam dengan ilmu pengetahuan sehingga tidak terjadi dikotomi.
“Saya berharap kegiatan ini membawa manfaat yang baik, dan apa yang didiskusikan nantinya bisa diimplementasikan secara rill di dalam kehidupan kita, serta bisa diterapkan di kurikulum kita nantinya,” jelas Jaka Sriyana di hadapan para peserta yang terdiri dari dosen dan mahasiswa.
Kegiatan seminar dan workshop dilaksanakan menjelang penyusunan kurikulum di Program Studi Magister Manajemen UII. Dr. Dwipraptono Agus Harjito, M.Si. selaku Ketua Jurusan Magister Manajemen UII berharap melalui kegiatan yang menghadirkan narasumber dari berbagai universitas Islam di Indonesia ini dapat membuahkan niai-nilai yang baru.
“Beberapa tahun lalu kami telah melaksanakan diskusi semacam ini, tapi menjelang penyusunan kurikulum yang baru kami kembali mengadakan diskusi yang harapannya bisa menghasilkan nilai-nilai yang baru, serta bisa diimplementasikan dengan baik,” jelas Agus Harjito.
Hadir sebagai narasumber, Prof. Dr. Ahmad Rodoni., M.M., dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Drs. Widiyanto., M.Si., Ph.D., dari Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, dan Arif Hartono., MHRM., Ph.D., dari Universitas Islam Indonesia.
Ahmad Rodoni dalam paparannya menyampaikan materi terkait alternative metode dalam mengintegrasikan nilai-nilai keislaman, di dalam mata kuliah Program Studi Magister Manajemen. Ia menjelaskan bahwa integrasi ilmu adalah penyatuan ilmu Islam dengan ilmu-ilmu lain, sehingga ilmu-ilmu tersebut tidak saling bertentangan dan dikotomis. Kaitannya dengan Ayat-Ayat Qauliyah dan Ayat-Ayat Kauniyah.
Lebih spesifik, Ahmad menjelakan bentuk integrasi antara ilmu agama Islam dan ilmu manajemen. Beberapa di antaranya dengan cara menjadikan ilmu manajemen sebagai bahan dialog dengan ilmu agama Islam, Menjadikan ilmu manajemen sebagai ilmu bantu dalam pemahaman ilmu agama Islam. Menjadikan ilmu manajemen sebagai inspirasi dalam mengembangkan teori-teori baru dalam agama Islam.
“Atau dengan Menjadikan ilmu manajemen sebagai perspective dalam kajian ilmu keislaman, bisa juga dengan menjadikan ilmu manajemen sebagai pengamal nilai-nilai keislaman yang diabadikan untuk kemaslahatan manusia,” jelas Ahmad Rodoni.
Ilmu pengetahuan sesungguhnya berperan dalam menghidupkan hati dari kebodohan, menyinari mata dari kegelapan, dan menguatkan tubuh yang lemah. Dengan ilmu pula tuhan ditaati dan disembah.
“Sejauh mana peran ilmu kontemporer membimbing kita untuk taat dan menyembah Allah?” Tanya Widiyanto kepada para peserta dalam seminar sesi ke dua.
Menurut widiyanto, kebanyakan orang lebih mementingkan ilmu fardhu kifayah seperti ilmu natural, sosial, technology, antropology, ekonomi, manajemen dan yang liannya, dibandingkan dengan ilmu fardhu ‘ain seperti Al-Quran dan Sunnah, dan pendukungnya: Ulumul Quran, lmu fiqih, ushul fiqih, dan lainnya. Akibatnya, umat Islam mengalami kemunduran.
Bagi Widiyanto, untuk mengintegrasikan nilai-nilai islam dengan ilmu lain, diperlukan pengkajian yang mendalam, terutama terkait dengan ilmu fardhu ‘ain. “Untuk dapat mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam bidang ilmu (fardhu kifayah); diperlukan penguatan ilmu fardhu ain dengan mempelajari Al-Quran dan Sunnah Rasul, ijma’, dan turunannya,” jelas Widiyanto.
Menurut widiyanto, langkah yang dapat dilakukan adalah dengan mengkritisi teori yang ada berdasarkan pandangan hidup Islam: apakah ada kekurangan, atau ada nilai-nilai yang bertentangan, selanjutnya menggali nilai-nilai Islam dari Al-Quran dan Sunah Rasul yang sesuai.
Ketiga melakukan rekonstruksi dengan memasukkan nilai-nilai yang sesuai untuk pengembangan teori yang ada. Menambahkan nilai-nilai Islam untuk hal yang ada kekurangannya dan membongkar teori yang ada jika terdapat nilai-nilai yang bertentangan pandangan hidup Islam.“dan terakhir Lahirnya konsep baru,” terang Widiyanto.
Di sesi terakhir, Arif Hartono, SE. MHRM. PhD. menyebutkan bahwa integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat, sementara mengintegrasikan: menggabungkan; menyatukan. “Integrasi Ilmu & Islam: pembauran antara Ilmu & Islam hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat,” jelas Arif Hartono.
Menurut Arif Hartono, ide integrasi pertama kali digagas oleh Seyyed Hosein Nasr pada tahun 1976. Kemudian gagasan itu dilanjutkan oleh Syaikh Muhammad Naqib Al-Attas. Integrasi ilmu penting karena dengan menggabungkan berbagai ilmu tersebut, tidak ada lagi dikotomi ilmu yang dikaji maupun yang dikaji oleh para sarjana muslim. Demikian menurut Norazmi Anas yang dikutip oleh Arif.
Arif Hartono juga mengutip tokoh lainnya yaitu Ziauddin Sardar yang menyebutkan bahwa integasi ilmu penting karena dalam konsep integrasi ilmu menekankan bahwa sains dalam peradaban Islam memiliki keunikan yang terletak pada metodologi dan epistemologinya. “Dengan integrasi ilmu dapat menjadikan lulusan UII yang memiliki kepimpinan profetik, kepribadian Islami, pengetahuan integratif, dan ketrampilam transformatif,” tegasnya. (D/RS)