Insting Jurnalistik dalam Riset Sejarah
Perkembangan ilmu pengetahuan memungkinkan terjadinya pertemuan lebih dari satu disiplin ilmu. Menerapkan satu metode untuk diterapkan ke satu studi yang lain juga merupakan hal yang bukan pertama kali, walaupun dalam praktiknya akan berbeda. Topik inilah yang dibahas dalam Serial Bincang Sejarah Komunikasi: Sejarah sebagai Metode Riset Komunikasi yang diadakan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) pada Minggu, (28/6) secara daring.
“Membangun sebuah narasi, menceritakan sesuatu,” ungkap Luthfi Adam, Ph.D. menjelaskan tugas utama seorang sejarawan. “Tapi tidak hanya bercerita, juga mengikutsertakan teori, ilmu sosial, dan literatur di dalamnya,” tuturnya.
Pemenang disertasi terbaik tahun 2019-2020 di departemen sejarah Northwestern University ini mengaku bahwa sejarawan dibebaskan untuk menentukan atau memilih topik yang ingin diteliti sesuai selera sejarawan tersebut, walaupun kebanyakan memang menyasar dokumen atau arsip resmi,” tuturnya. Luthfi sendiri tertarik untuk mengumpulkan arsip dari media cetak, seperti penelitian yang dipublikasikan Kebun Raya Bogor.
Luthfi menjelaskan bahwa dalam mencari sumber, yang diterapkan sejarwan mirip dengan prinsip jurnalistik. “Jika jurnalistik melakukan investigasi untuk mencari sumber berita, teknik dasar sejarawan adalah mencari sumber primer, yaitu melalui arsip atau surat-surat,” jelas Luthfi.
Luthfi juga menyampaikan bahwa metode yang ia lakukan dalam menarasikan sejarah sangat mungkin diterapkan ke dalam riset komunikasi. Namun ia mengaku mencari arsip selama proses risetnya membutuhkan waktu yang lama. Diperlukan kesabaran dan ketekunan untuk mendapatkan arsip yang dibutuhkan.
“Saya bahkan sempat harus membaca berbundel-bundel arsip untuk menemukannya. Oleh karena itu Saya mengapresiasi mereka yang berupaya untuk mengkatalogkan dan mendigitalkan arsip-arsip lama,” ungkapnya.
Walaupun metode riset sejarah dinilai sederhana, Luthfi mengaku sejarawan memiliki tantangan tertentu. “Mencari, mengambil, dan mengorganisir arsip sejarah sangat menantang. Tidak hanya jumlahnya banyak, kadang arsip yang dicari justru belum dikatalogkan, bahkan ada yang sampai satu gudang,” ungkapnya.
Tantangan utama lain yang dihadapi sejarawan ialah penguasaan bahasa. “Semisal arsipnya berbahasa Belanda, kita sejarawan tidak hanya harus tahu artinya, tapi juga paham konteksnya,” tutur Luthfi.
Tipe-tipe sejarawan
Luthfi menyebtukan ada tiga tipe sejarawan berdasarkan apa yang diteliti. “History of whom, history of where, history of what,” tuturnya. History of whom sendiri dibagi lagi menjadi dua lanskap yakni history of great man dan history from below. History of great man fokus meneliti tentang aktor sejarah dan apa perannya dalam sebuah negara. Sedangkan history from below fokus pada orang-orang biasa yang dilupakan sejarah.
“Sejarah nasional biasanya mewakili negara. Biasanya berlatar di jawa,” tutur Luthfi. Ia lalu menyarankan agar menulis sejarah nasional juga diambil dari kacamata daerah lain agar Indonesia tidak selalu dinilai jawa-sentris. Sejarah lokal lebih fokus kepada suatu wilayah, sedangkan gagasan dari sejarah transnasional adalah bahwa sebuah perubahan di suatu daerah memiliki hubungan dengan suatu hal di daerah lain. “Contohnya penelitian Kebun Raya Bogor memiliki koneksi di Delhi, ada orang jerman di dalamnya yang memiliki koneksi dengan amerika dan lain sebagainya,” jelas Luthfi.
Berbeda dengan tipe sebelumnya, history of what berfokus pada perkembangan sebuah topik seiring berjalannya waktu. Ada tiga bagian history of what, yakni environmental history, history of science and technology, dan history of knowledge. “Ide utamanya adalaha bagaimana lingkungan, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan memberikan dampak bagi kehidupan. Contohnya peran radio dalam menyampaikan gagasan selama masa kemerdekaan,” pungkasnya. (IG/RS)