Universitas Islam Indonesia (UII) menerima kunjungan kerja sama dari Kalurahan Purbayan, Kotagede, Yogyakarta. Kunjungan ini dalam rangka membahas kerja sama dalam penataan kawasan dan pemberdayaan masyarakat. Pertemuan kedua belah pihak dilaksanakan pada Jumat (3/6) di Ruang Sidang Datar GKU Lt. 2 pukul 09.00-11.00. 

Diskusi potensi kerja sama UII dengan Kalurahan Purbayan ini dihadiri oleh Drs. Muftachul Alfin, MSHRM sebagai Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) dari Kalurahan Purbayan dan juga beberapa tokoh dosen perwakilan dari UII salah satunya ialah Ketua Jurusan Arsitektur, Prof. Noor Cholis Idham, Ph.D., IAI. 

Read more

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) berhasil memborong empat gelar kejuaraan sekaligus pada ajang Perhimpunan Tim Bantuan Medis Mahasiswa Kedokteran Indonesia (PTBMMKI) Cup 2022. Perlombaan yang diselenggarakan oleh TBM Bumigora Universitas Mataram ini menantang seluruh mahasiswa kesehatan seluruh Indonesia pada tanggal 4 April 2022-29 Mei 2022 untuk bersaing dalam prestasi.

Read more

Publik menggantungkan harapan tinggi kepada para cendekiawan untuk kebaikan bangsa ini. Ketika gagasan bernas untuk penyelesaian beragam masalah riil tidak mungkin, tak jarang, para cendekiawan akhirnya menjadi sasaran kritik.

Sejarah mencatat, cendekiawan selalu hadir di dalam lingkaran utama dan menjadi penggerak, bersama dengan aktor-aktor lain, pada setiap perubahan besar yang terjadi di Indonesia. Mari sejenak kita refleksikan fenomena ini.

Cendekiawan mempunyai posisi penting karena beragam kekuatan yang disandangnya. Berikut tiga di antaranya.

 

Kekuatan moral

Cendekiawan diharapkan dapat mengawal jalannya bangsa dan negara ini sesuai dengan cita-cita luhur dan konstitusi. Cendekiawan sudah seharusnya sensitif terhadap masalah yang muncul.

Karenanya, cendekiawan harus meniup peluit ketika bangsa atau negara terpleset atau tidak berjalan sesuai dengan seharusnya. Tiupan peluit harus dilantangkan, tetapi tetap dengan santun, elegan, dan konstitusional.

Dengan kekuatan ini, sudah seharusnya independensi cendekiawan menjadi terjaga dan tidak bisa terbeli. Jangan sampai cendekiawan tidak membela yang benar, tetapi justru membela yang membayar.  Juga, jangan sampai, cendekiawan dianggap sebagai tukang stempel beragam kebijakan yang tuna sensitivitas terhadap masalah rakyat atau pelestarian alam.

 

Kekuatan gagasan

Selama sebuah bangsa dan negara masih berlangsung, masalah dipastikan menjadi bagian yang inheren. Ada dinamika di sana.

Di sini, cendekiawan harus berperan memberikan kontribusi pemikiran yang jujur dan obyektif. Pemikiran ini harus melampaui kepentingan sesaat, apalagi sesat, karena ada anasir jahat yang menyertai, termasuk kepentingan lain yang menjadikan kepentingan bangsa dan negara menjadi nomor sekian.

Kerja sama lintas disiplin pun menjadi niscaya, ketika masalahnya multidimensi yang tidak bisa diteropong hanya dengan satu lensa. Sekat-sekat imajiner kaku disiplin harus dibongkar. Kosa kata baru harus diperkenalkan, yaitu kepentingan bangsa.

Dari perspektif dimensi temporal, sudah seharusnya cendekiawan tidak hanya bersifat responsif terhadap masalah-masalah mutakhir, tetapi juga proaktif untuk menawarkan gagasan yang melampaui zamannya. Yang pertama cenderung bersifat reaktir sebagai bentuk tanggung jawab terhadap masa kini, yang kedua merupakan kreativitas pemikiran untuk mendesain masa depan secara kolektif.

 

Kekuatan perekat

Cendekiawan dengan ilmu dan objektivitas yang dimiliki dapat menjadi jembatan penghubung, tali pengikat, keragaman yang ada. Ini fakta sosial. Sejak berdirinya, Indonesia ditenun dari keragaman.

Persatuan yang dibutuhkan tidak lantas menghapuskan fakta sosial tersebut. Saling menghormati dalam kehidupan berbangsa menjadi sangat penting. Ketika bangsa mengidap sindrom keterbelahan, cendekiawan seharusnya hadir menjadi perekat.

Karenanya, di dalam Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) sendiri, kesamaan cita-cita harus dikedepankan, dan perbedaan yang tidak penting harus dikesampingkan. ICMI harus kembali menjelma menjadi rumah besar beragam pemikiran kebangsaan.

Daftar kekuatan ini, tentu, dapat diperpanjang, karena refleksi kolektif sangat mungkin menghasilkan tilikan-tilikan baru. Kita buka ruang itu seluas-luasnya.

Elaborasi ringan dari poin-poin sambutan tuan rumah pada Sarasehan Kebangsaaan dan Pelantikan ICMI Orwil DI Yogyakarta di Universitas Islam Indonesia, pada 23 Mei 2022.

Mengelola perguruan tinggi, di masa seperti sekarang ini, tak mungkin berhasil tanpa ikhtiar sepenuh hati. Beragam tantangan terhampar di depan mata, yang mengharuskan direspons dengan tepat.

Perubahan lanskap lapangan permainan yang sangat cepat, telah menghadirkan beragam dilema yang memerlukan pemikiran ekstra untuk membuat pilihan yang bermartabat.

Beberapa dilema terlihat komplementer, saling melengkapi, tetapi di tataran operasional, tak jarang, pilihan harus diambil, karena sumber daya yang terbatas. Situasi menjadi semakin sulit, jika pilihan yang ada bisa saling menegasikan atau bersifat diametral yang berpotensi melanggar nilai-nilai fondasi perguruan tinggi.

Izinkan saya berbagi perspektif untuk satu dilema yang terkait dengan pilihan pijakan dalam mengelola perguruan tinggi.

 

Gaya neoliberal

Jika kita kritisi secara jujur, banyak praktik pendidikan tinggi di Indonesia, dan juga berlahan dunia lain, yang terjebak pada pijakan neoliberalisme. Indikasinya beragam. Termasuk di dalamnya korporatisasi perguruan tinggi, dengan segala turunannya.

Sebagai contoh, perguruan tinggi hanya dianggap sebagai penghasil lulusan sebagai bagian dari mesin produksi dan bukan manusia yang harus dimuliakan semua potensi kemanusiaannya. Akibatnya, materi menjadi ukuran dominan.

Di dalam perguruan tinggi pengamal neoliberalisme, relasi antaraktor juga sangat hirarkis dan karenanya birokratis. Pemimpin perguruan tinggi seakan menjadi bos besar dengan segala titahnya. Ruang diskusi yang demokratis akibatnya tidak mendapatkan tempat. Demokrasi mati di rumahnya sendiri.

Dosen dianggap sebagai buruh korporat dengan segepok daftar indikator yang harus dipenuhi, dan bukan sebagai kolega intelektual yang setiap capaiannya merupakan manifestasi dari kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai akademisi. Praktik yang pertama bisa menjebakkan dosen kepada mental pengguguran kewajiban, sedang yang kedua dapat menghasilkan entakan kuat untuk perubahan.

Mahasiswa pun tak lebih dari sekumpulkan konsumen yang harus dipuaskan. Hubungan yang terjadi pun menjadi sangat transaksional. Mereka tidak dilihat sebagai pembelajar yang haus ilmu pengetahuan atau aspiran yang perlu pendampingan dalam pengembaraan intelektual.

Pijakan neoliberalisme pun dapat menjelma dengan sistem metrik untuk mengukur semua kinerja, yang mengandaikan keseragaman dan mengabaikan idealisme, keunikan misi, dan faktor kesejarahan. Selain itu, semua yang tidak masuk metrik seakan tidak penting dan bisa diabaikan begitu saja.

Karenanya tidak jarang, beragam tindakan yang berpotensi melanggar etika pun seakan menjadi halal dilakukan selama kinerja dapat dicapai, termasuk dalam terkait pemeringkatan.

Pemeringkatan dianggap sebagai harga diri yang harus dikejar dengan segala harga, termasuk menggunakan jalan pintas dan bahkan menggunting dalam lipatan, meski kadang harus menjauhkan perguruan tinggi dari idealismenya.

Yang lain saja melakukan” seakan menjadi alasan untuk menjadikan semua urusan menjadi halal.

Hasil pemeringkatan pun tak jarang dikapitalisasi dengan bingkai pongah yang merendahkan perguruan tinggi lain. Perguruan tinggi ini seakan seperti anak kecil, yang belum mumayiz secara intelektual, yang naik meja di tengah kerumunan dan menepuk dada: “Akulah yang terbaik.”

 

Autokritik dan dilema

Bisa jadi perguruan tinggi kita juga terjebak dalam praktik seperti. Inilah saatnya berhenti sejenak untuk melakukan refleksi secara kolektif.

Saya sangat paham, lari dari jebakan ini tidak mudah, apalagi  praktik tersebut seakan sudah menjadi norma baru, yang diperkuat dengan kebijakan yang mengekang, tanpa pilihan.

Tapi saya termasuk yang masih menjaga optimisme. Semoga saja kesadaran baru segera muncul di banyak perguruan tinggi. Indikasinya pernah terlihat. Sebagai contoh, ketika tahun lalu buku besutan Peter Fleming, Dark Academia: How Universities Die, terbit, beragam diskusi pun digelar di Indonesia.

Memang, sangat mungkin kita tidak sepakat dengan setiap argumen Fleming, tapi banyak pesan di dalamnya yang seakan menjadi deja vu: “Kok rasanya pernah melihat kasus seperti itu ya“.

Kalau kita mau jujur, banyak praktik yang dikritisi di buku tersebut terjadi di sekitar kita, atau bahkan, kita sendiri menjadi pelakunya.

Tapi, sejurus kemudian, pesan penting itu kembali terkubur di bawah kesibukan administratif yang luar biasa, dan praktik yang ada pun seakan kembali ke sedia kala. Bahkan di sisi hulu, paradigma sebagai basis kebijakan pun tidak banyak berubah. Kita pun akhirnya kembali  hidup tenang karena mendapatkan pembenaran.

Apakah memang ini jalan yang akan kita pilih untuk masa depan? Saya tidak menjawabnya di sini, tapi membiarkan terbuka menjadi pekerjaan rumah masing-masing.

Saya percaya masa depan tidak tunggal, tetapi jamak. Karenanya, beragam imajinasi yang berangkat dari fakta mutakhir, perlu dihargai. Itulah indahnya dunia akademik, ketika beragam pemikiran mendapatkan tempat, selama diikut dengan argumen kuat.

Sebagai tambahan pekerjaan rumah, masih banyak dilema yang bisa diungkap. Termasuk di antaranya adalah dilema antara

  1. memberikan fokus kepada penyelesaikan masalah lokal atau berjuang untuk menjadi pemain global,
  2. meningkatkan kualitas akademik dengan menghsilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bernas atau menggesernya kepada komersialisasi,
  3. mengejar pertumbuhan substantif yang memerlukan waktu atau pertumbuhan superfisial yang instan, dan
  4. menjaga moral akademik kualitas tinggi atau sekedar menggugurkan kewajiban.

Daftar dilema ini, tentu, masih bisa diperpanjang. Ini menambah daftar pekerjaan rumah untuk direfleksikan, sebagian bagian kritis terhadap masa kini.

Pidato pelantikan Rektor Universitas Islam Indonesia Periode 2022-2026, pada 2 Juni 2022.


Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc. secara resmi dilantik sebagai Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Periode 2022-2026. Guru Besar Bidang Ilmu Sistem Informasi UII ini kembali melanjutkan kepemimpinannya sebagai Rektor UII setelah sebelumnya mengemban amanah di Periode 2018-2022. Pelantikan Rektor UII Periode 2022-2026 digelar di Auditorium K.H. Abdulkahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII, pada Kamis 2 Juni 2022.

Read more

Kanker kolorektal adalah kanker yang tumbuh di usus besar (kolon) atau di bagian paling bawah usus besar yang terhubung ke anus (rektum). Fathiyatul Mudzkiroh, Dita Juliana Pravita, dan Shinta Marcelyna dari Tim Fakultas Kedokteran (FK) UII menaruh perhatian dalam upaya memerangi kanker tersebut. Melalui makalah berjudul “Potential of Strigolactone Analog Encapsulated with Epcam Aptamer-Liposome Nanoparticle Based as Targeted Therapy for Colorectal Cancer”, mereka menawarkan ide terapi kanker itu.

Ide ini mendapat apresiasi pada ajang ilmiah internasional IV-International Conference of Food, Agricultural, And Veterinary Sciences yang diadakan oleh Van Yüzüncü Yıl University yang diselenggarakan pada 27-28 Mei 2022 secara daring melalui zoom.

Read more

Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H. mengatakan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH UII merupakan wujud kontribusi UII dalam menegakkan nilai-nilai keadilan di dalam sistem hukum negara Indonesia. Ungkapan ini disampaikan pada acara Obrolan Santai tentang “Kontribusi LKBH FH UII Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia” di Gedung FH Kampus Terpadu UII, Jl. Kaliurang Km. 14,5 belum lama ini. Acara ini menghadirkan Triyandi Mulkan, S.H., M.M. dan Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si. yang merupakan alumni LKBH FH UII dan pernah menjabat sebagai Direktur LKBH FH UII.

Read more

Menyemarakkan Milad Ke-79, Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan pertandingan sepak bola persahabatan antara tim Dosen Karyawan (Dokar UII) dengan tim Seleksi Wartawan Olahraga Persatuan Wartawan Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (SIWO PWI DIY). Pertandingan tersebut digelar Selasa sore (31/5) di lapangan UII Training Ground (UTG) dengan hasil positif untuk tim Dokar UII. 

Tim Dokar UII berhasil mendominasi jalannya pertandingan meski berjalan alot hingga tiga babak. Meskipun demikian, tim PWI DIY juga tidak kalah agresif dalam menyerang dan bertahan. Tercatat beberapa kali peluang diciptakan oleh tim PWI DIY selama permainan. 

Read more

Center for International Language and Cultural Studies – Universitas Islam Indonesia (Cilacs UII) menerima kunjungan dari British Council (BC) pada Senin (30/5). British Council adalah salah satu organisasi budaya Inggris yang bergerak di bidang pendidikan dan berada di Indonesia sejak 1948. Kunjungan tersebut guna mendiskusikan kerja sama penyelenggaraan tes IELTS™ yang diadakan di Cilacs UII sejak 2020. British Council dikenal sebagai lembaga yang resmi menyelenggarakan IELTS™ di berbagai negara termasuk Indonesia.

Read more

Untuk meningkatkan mutu dan kualitas pemuda menjadi insan yang lebih baik dan produktif, diperlukan semangat juang dan keyakinan yang teguh. Menjadi versi terbaik bagi diri kita sendiri adalah tujuan dari itu semua. Demikian penyampaian yang diutarakan oleh Muhammad Atiatul Muqtadir S.Kg, C.NNLP saat menjelaskan sejarah Penaklukan kota Konstantinopel yang dipimpin pemuda kharismatik bernama Muhammad Al-Fatih.

Dalam acara Islamic Youth Festival yang bertemakan “Gen Z, Gemilang Prestasi Para Pencetus Inspirasi” itu. Mas Fathur, sapaan akrabnya menjelaskan bahwa setiap zaman memiliki tantangan yang berbeda, kemudian para pemuda juga memiliki kemampuan yang berbeda sesuai dengan perkembangan zaman itu sendiri.

Read more