Prestasi kembali diukir oleh mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII). Kali ini mahasiswa program studi Akuntansi berhasil menuai prestasi di ajang 14th SAP ERPSim International Competition 2022. UII berhasil mengamankan tempat terbaik mengalahkan institusi internasional seperti Beijing Institute of Technology, Sherbrooke University, Yunan University of Finance and Economics, dan San Diego University.

Sebelumnya, tim yang keseluruhan berasal dari Akuntansi 2019 terdiri dari Humam Naufal Tsuraya, Bayu Aji Faundra Pratama, Javier Erlandaffa Satria Dwikamba, Saphira Pricillia Estuarine, dan Dyah Ayu Puspaningrum ini juga berhasil menjadi jawara di ERPSim International Competition Asia Pacific Japan 2022 di awal April lalu.

Read more

Dalam rangka menyambut hari raya Idul Adha, Direktorat Pendidikan & Pembinaan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar acara Pelatihan Hewan Kurban di Ruang Audiovisual Perpustakaan UII pada Minggu (26/06). Acara itu mengusung tema “Manajemen Pengelolaan Hewan Kurban”.

Kegiatan yang berkolaborasi dengan Masjid Ulil Albab itu menghadirkan Teguh Santoso, Praktisi Asah Bilah & Praktisi Juru Sembelih Halal (JULEHA) Kota Yogyakarta, Dzulkifli Hadi Imawan, Lc. M.I.Kom., Ph.D., Dosen Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) UII, dan Drh. Supriyanto, M.VPH. Kepala Pengawasan Mutu Komoditas Kehewanan & Perikanan Dinas Pertanian dan Pangan Yogyakarta.

Read more

Laboratorium Enterprice Resource Planning (ERP) Program Studi (Prodi) Teknik Industri UII kembali menggelar ERP Talks yang bertajuk, “How Can ERP System Can Develop Logistic Process in Forwarding & Company” pada Sabtu (25/6) secara virtual. Webinar ini diisi oleh alumni Teknik Industri UII, Mohamad Iqbal selaku Area Sales Manager di PT. Mitra Intertrans Forwarding.

Read more

Ramadan Fair 2022 resmi ditutup setelah diumumkan pemenang pada Jumat (10/6). Dari 494 karya yang masuk, panitia memilih 6 karya terbaik. UII memberikan apresiasi kepada 18 peserta yang terbagi dalam 3 bidang lomba yakni, tulisan feature, video dakwah, dan videografi. Acara awarding selanjutnya dilaksanakan pada Jumat (24/6) secara daring melalui zoom meeting.

Read more

Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu menyelenggarakan reshuffle menteri. Reshuffle ini terkesan dilakukan secara tiba-tiba dan sarat dengan unsur politik, mengingat Presiden Joko Widodo mencoba untuk mengakomodir beberapa partai politik, jika melihat pada komposisi orang yang ditempatkan baik sebagai manteri maupun sebagai wakil menteri dalam reshuffle ini.

Read more

Pusat Bahasa Institut Teknologi Telkom (IT Telkom) Purwokerto, Jawa Tengah berkunjung ke Center for International Language and Cultural Studies – Universitas Islam Indonesia (Cilacs UII) pada Kamis (23/6). Hadir sebagai perwakilan yaitu Sarah Astiti, S.Kom., M.MT (Ka.Ur. Pusat Bahasa) yang didampingi oleh Petrus Kerowe Goran, S.T., M.T (Staf Pusat Bahasa) dan melakukan beberapa agenda utama yaitu belajar tentang pengelolaan pusat bahasa di lingkungan universitas. Selain itu, pertemuan tersebut mendiskusikan kemungkinan kerja sama dalam pengadaan tes kompetensi bahasa di Cilacs UII Yogyakarta.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) dalam rangka merayakan ulang tahunnya yang ke-79 meneyelenggarakan berbagai perlombaan olahraga bagi karyawan dan tenaga pendidiknya. Salah satu perlombaan tersebut adalah perlombaan bulu tangkis yang dilaksanakan kurang lebih satu bulan dari penyisihan hingga tahap final. Dari beberapa tim yang lolos, Tim Rektorat dan Tim Fakultas Hukum (FH) berhasil mencapai tahap final pada perlombaan bulu tangkis kategori putra, Kamis, (23/6) di GOR Ki Bagoes Hadikoesoemo UII.

Read more

Pada gelaran pertandingan badminton hari ketiga peringatan Milad UII ke-79, Kamis (23/6), tersaji partai perebutan juara ketiga dari tim putra dan tim putri di Gedung Olahraga (GOR) Ki Bagoes Hadikoesoema. Perwakilan untuk tim putra dan tim putri sama-sama mempertemukan Fakultas Teknologi Industri (FTI) dan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP).

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) melalui Direktorat Pengembangan dan Pembinaan Kewirausahaan/Simpul Tumbuh (DPPK/ST) fokus mengawal pertumbuhan startup binaan di lingkungan universitas. Hal tersebut sebagai tergambar dalam Press Conference Pengembangan Ekosistem Inovasi dan Teknologi melalui Program CPPBT di Gedung Simpul Tumbuh, kampus terpadu UII pada Kamis (23/06).

Read more

Indonesia dibangun di atas keragaman yang ditenun oleh para pendiri bangsa, yang mengedepankan persamaan dan mengesampingkan perbedaan. Semuanya dilakukan dengan kesadaran tinggi, dan bisa jadi dilakukan dengan menurunkan “harga diri” sebagai ikhtiar untuk membuat ruang kolektif yang saling menguatkan.

Prosesnya tentu panjang dan tidak selalu mudah. Bahkan, sampai hari ini, sebagian anak bangsa masih terus menggugat proses kebangsaan yang agung itu.

Pancasila merupakan salah satu kristalisasinya. Ia lahir dari dialog serius para negarawan yang sudah paripurna dengan dirinya. Karenanya, mereka tidak pernah mengklaim bahwa Pancasila lahir dari dirinya saja. Ada proses sintesis saling mengisi di sana.

Pancasila adalah simpul bangsa, ikatan yang kuat, mitsaq ghalidh. Karenanya, setiap upaya yang melemahkan simpul ini, perlu disikapi dengan serius.

 

Mencari sebab

Tapi mengapa selalu saja ada pihak yang ingin melemahkan? Pertanyaan ini memerlukan jawaban yang lugas, supaya akar masalahnya terurai dan formulasi solusinya tepat sasaran.

Pertama, apakah karena pemahaman kebangsaan yang mengabaikan sejarah lampau? Betul, sejarah memang kita yang menulis, tetapi di sana ada nilai yang ditanamkan. Selama yang ditanam nilai-nilai abadi, seperti keadilan, kejujuran, kesetaraan, maka sejarah tetap perlu diyakini. Ia adalah pijakan untuk mengisi masa kini dan masa depan.

Sayangnya, memori kolektif kita ini berusia pendek. Apalagi di era kemelimpahan informasi yang tidak mudah disaring. Beragam versi sejarah pun bisa muncul dengan mudah.

Sejarah mana yang dipercaya? Sejarah yang manusiawi. Sejarah yang mencatat aktor-aktornya secara wajar dan mempercayai setiap pencapaian merupakan ikhtiar kolektif. Bisa jadi ada tokoh kunci, tetapi itu tidak lantas menjadi alasan menafikan pihak lain. Sejarah harus bersifat kolektif, tanpanya, kesaktian yang dimilikinya untuk menyatukan bangsa ini akan sirna.

Kedua, apakah juga karena pemahaman keagamaan yang sempit? Sangat mungkin terjadi. Eksposur terhadap keragaman tafsir dan pemikiran, karenanya, menjadi penting. Al-Quran dan Hadis, dalam konteks Islam, terbuka untuk selalu dibaca. Setiap pembacaan sangat mungkin memberikan pemahaman baru.

Pesan-pesan seperti perlu dilantangkan. Tidak harus secara vulgar atau ada semacam pesan sponsor. Pemahaman Islam wasyatiyah, proporsional, dan condong kepada keadilan, merupakan yang paling jamak di Indonesia. Hanya saja, bisa jadi, pesannya kurang dilantangkan.

Islam ini kadang ditempeli label untuk menggalang dukungan, menguatkan ikatan, dan memobilisasi gerakan. Labelnya pun beragam. Sebagian bahkan tanpa label. Karena di luaran sana, label kadang membuat orang alergi, sehingga menjadi sekat untuk saling berkomunikasi, meski yang diharapkan tidak demikian.

Hal ini menantang. Bagaimana nilai-nilai proporsionalitas dalam beragama ini tetap lantang, bahkan tanpa label apapun. Karena inilah yang kita yakini sebagai tafsir yang berdasar kuat dan masuk akal.

Selanjutnya, ketiga, ataukah pemahaman keberagamaan sempit ini menyebar di kelompok dengan karakteristik tertentu yang dominan? Kelompok dengan tingkat pendidikan, kesejahteraan, komunitas, akses informasi, pengalaman lampau, kepentingan politik, atau karakteristik tertentu lainnya. Informasi seperti ini penting untuk merumuskan program intervensi.

Sangat mungkin gerakan pelemah simpul bangsa ini tidak berdiri sendiri. Kelompok pendukungnya punya alasan tertentu. Apakah itu terkait dengan kesejahteraan yang timpang, amanah yang terkhianati, keadilan yang tergadai, atau yang lainnya? Ini merupakan pekerjaan rumah yang perlu mendapatkan jawaban serius.

 

Peran pendidikan

Bagaimana dengan peran pendidikan atau edukasi publik? Hal ini penting dibahas, termasuk strateginya. Penanaman nilai-nilai merupakan hal yang menantang. Apalagi di era seperti sekarang.

Pertama, saya melihat, penanaman nilai, termasuk nilai-nilai Pancasila, tidak bisa seperti mengisi air ke botol dengan corong, semacam pencekokan. Anak didik akan kedodoran dalam mengikuti dan termasuk ada kemungkinan tidak bisa menerima.

Menanamkan nilai ibarat menyuntikkan obat melalui selang infus. Pelan, butuh waktu untuk meresap, dan penerimanya tidak memberi penolakan. Kesadaranlah yang disasar.

Argumentasi dengan beragam ilustrasi yang membuat orang terlibat dalam diakusi sangat penting. Rasionalitas manusia perlu dimuliakan. Dampaknya bisa sangat dahsyat: internalisasi nilai yang kuat.

Penanaman nilai tidak bisa secara vulgar. Apalagi jika yang diinginkan adalah internalisasi. Kevulgaran hanya akan memberikan hasil instan yang bersifat superfisial. Kenyataannya tidak seindah tampilkan pada unggahan media sosial yang penuh kepalsuan.

Belum lagi, ada kemungkinan penolakan. Apalagi dengan tambahan label: minna wa minhum, kelompok kita dan kelompok mereka, yang dideklarasikan publik, termasuk di media sosial. Penyematan label seperti ini berpotensi membelah dan tidak produktif untuk merangkul dan menyatukan.

Kedua, dalam penanaman nilai jangan sampai mempertentangkan Pancasila dengan agama. Ini bukan semata soal sensitif, tetapi pemahaman yang mempertentangkan keduanya, juga merupakan bukti literasi sejarah kebangsaan yang rendah.

Seharusnya tidak sulit bagi seorang muslim untuk memahami bahwa nilai-nilai Pancasila sepenuhnya kompatibel dengan ajaran agama. Saya juga termasuk yang yakin, kesadaran keberagamaan yang mendalam dari para penggagasnya sangat mempengaruhi kelahirannya.

Ketika pendekatan pertentangan dipertontonkan, maka jangan heran jika mereka yang mencintai agamanya, maka menjaga jarak dengan Pancasila.

Kan, tidak semuanya begitu? Lagi-lagi, ini cara “ngeles” yang membahayakan dalam menjaga keutuhan bangsa. Tentu ini bukan yang diinginkan.

Terakhir, negara ibarat orang tua, penyayom semua anak bangsa, bahkan termasuk yang nakal sekalipun. Anak nakal tidak lantas diusir dari rumah yang akhirnya dirawat orang lain yang nilainya mungkin tidak kongruen atau kompatibel dengan kita.

Anak nakal perlu disadarkan. Kadang cukup dinasihati, kadang dicubit, kadang dijewer, atau bahkan ditraktir dulu supaya hatinya menjadi lunak, sebelum nilai baru dimasukkan. Semua tindakan harus didasarkan pada hukum yang berlaku dan selalu memuliakan manusia.

Wallahualam bissawab.

 

Elaborasi ringan dari poin-poin yang saya sampaikan pada diskusi kelompok terpumpun di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, pada 5 Juni 2022.