Algoritma dan keputusan kita

Dalam tulisan singkat ini, saya ingin mengajak pembaca untuk melakukan refleksi atas perkembangan mutakhir yang berlangsung dalam keseharian kita. Meski demikian, ketidaktahuan atau ketidakmampuan telah menjadikan kita menerima begitu saja tanpa pernah berusaha untuk membebaskan diri darinya.

Saya akan memulai dengan sebuah pertanyaan. Apakah kita sadar, banyak dari keputusan sehari-hari kita dipengaruhi oleh algoritma yang dikembangkan dalam berbagai aplikasi yang kita gunakan, termasuk media sosial?

Sebelum melanjutkan, mari kita pahami bersama apa itu algoritma? Algoritma adalah serangkaian langkah untuk menyelesaikan masalah. Kita menggunakan algoritma dalam banyak tindakan sehari-hari, mulai dari memasak mi instan sampai mengambil keputusan untuk kebaikan bangsa. Di sana ada urutan logis langkah-langkah yang harus diikuti.

Nah, aplikasi komputer pun menggunakan algoritma yang mengolah data menjadi informasi, yang diwujudkan dalam bentuk kode atau program yang dipahami oleh mesin.

Keputusan kita yang dipengaruhi algoritma yang tertanam dalam aplikasi, termasuk media sosial, dapat mewujud dalam beragam bentuk, mulai dari keputusan terkait berita yang kita baca, teman yang kita kontak, mobilitas fisik yang kita lakukan, dan bahkan barang atau layanan yang kita gunakan atau beli.

Tentu, hal itu tidak selalu berarti buruk, tetapi ketidaksadaran akan hal ini bisa menjadikan kita dikendalikan oleh algoritma yang tidak semuanya kita tahu arahnya.

 

Algoritma rekomendasi dan beberapa ilustrasi

Mari kita ambil beberapa ilustrasi. Apakah kita pernah mencari sebuah produk di media sosial? Katakanlah kita sedang mencari sepeda elektrik. Meskipun kita tidak jadi membeli, jangan heran, jika dalam beberapa hari selanjutnya, iklan sepeda elektrik akan sering muncul di layar kita.

Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Aplikasi merekam setiap aktivitas kita dan karenanya mengetahui preferensi atau profil kita. Iklan produk yang sesuai dengan profil kita akan sering tampil di layar kita. Inilah algoritma rekomendasi melalui gelembung tapis (filter bubble) yang memilihkan informasi untuk kita.

Apa masalahnya? Keputusan yang kita buat tidak selalu rasional. Banyak di antaranya yang bersifat impulsif alias tergantung dari stimulus eksternal.

Hal ini mirip dengan kejadian ketika kita pergi ke sebuah pusat pembelajaran untuk mencari produk A. Tetapi, ketika ada paparan informasi produk lain yang memberikan banyak diskon, kita tergoda untuk membeli. Paparan yang berulang terhadap informasi tertentu akan mengubah persepsi kita dan akhir dapat mengarahkan perilaku kita.

Hal serupa juga terjadi ketika kita memberi sebuah produk di toko daring. Sebagai contoh, ketika membeli sebuah buku dengan judul tertentu, berdasar algoritma tertentu, toko daring memberi informasi, jika buku dengan judul lain biasanya juga dibeli oleh pembeli buku dengan judul yang kita pilih. Toko menawarkan produk dalam bentuk paket atau bundel. Sialnya, tawaran tersebut seringkali sayang untuk dilewatkan jika dibarengi dengan diskon menarik. Lagi-lagi, perilaku kita diarahkan oleh algoritma.

Selama beberapa waktu kemudian, setelah pembelian buku tersebut, jangan kaget jika kita juga akan mendapatkan penawaran buku lain melalui email yang terkirim secara otomatis. Sekali lagi, kita digoda oleh algoritma.

Sekarang, kita ganti buku dengan barang-barang keseharian lain, seperti pakaian dan produk gaya hidup lain. Bisa jadi, sebagian dari kita menganggap ini masalah lumrah saja, yang ujungnya terburuknya adalah perilaku konsumtif. Tapi ingat, perilaku konsumtif (bukan konsumerisme) dapat mengalihkan prioritas pengeluaran kepada pos yang tidak penting, dan mengabaikan yang lebih penting. Tapi, terlepas dari itu, bahwa perilaku kita sangat mungkin diarahkan oleh algoritma tetap valid.

 

Kamar gema dan manipulasi opini

Saya ingin mengajak membawa pelajaran ini ke konteks lain, dikaitkan dengan keterpaparan informasi yang sudah disaring oleh algoritma rekomendasi.

Perilaku daring dalam memilih konten yang kita akses dan baca akan direkam oleh aplikasi. Ketika kita sering membaca berita baik tentang tokoh B misalnya, jangan kaget jika melalui algoritma rekomendasi kita akan ditawari banyak berita baik tentang tokoh tersebut. Paparan kita terhadap berita baik tokoh lain, akibatnya, menjadi sangat terbatas.

Ketika kita mencintai seorang tokoh, maka akan sangat muncil rasa cinta kita akan semakin tinggi. Di sisi lain, ketika kita membenci tokoh pesaingnya, maka rasa benci itu akan menggunung. Semuanya karena informasi yang sudah tersaring.

Pun demikian yang terjadi di berbagai grup media sosial. Grup tersebut seakan mengikuti algoritma natural dan hanya orang-orang yang cenderung menggunakan perspektif yang saya berkumpul. Yang tidak, biasanya tidak diundang ke dalam grup atau bahkan dikeluarkan dari grup atau diputus pertemanannya.

Akibatnya dapat ditebak. Informasi yang mendukung perspektif grup tersebut akan semakin banyak dibagikan.

Akhirnya, sebuah kamar gema (echo chamber) terbentuk. Kita hanya mendengar “suara kita” sendiri, atau suara yang sama dengan suara kita.

Kita pun akhirnya terjebak pada bias konfirmasi yang menjadikan kita hanya percaya dengan informasi yang sesuai dengan yang kita yakini sebelumnya, dan cenderung tidak percaya dengan informasi dengan perspektif lain, meskipun informasi tersebut valid (Greenhill & Oppenheim, 2017; Davies, 2018).

Algoritma inilah yang berandil dalam membuat keterbelahan di tengah bangsa, ketika ada kontestasi politik, seperti pemilihan kepada daerah atau bahkan presiden. Sialnya, kita tidak sadar bahwa persepsi kita terhadap sebuah kejadian atau seorang tokoh dapat digiring oleh algoritma.

Ketidaksadaran inilah yang akhirnya memperdalam jurang keterpecahan antarkelompok anak bangsa. Yang semakin mengkhawatirkan adalah bahwa sentimen antarkelompok ini terus dilanggengkan dan bahkan semakin mengkristal dari waktu ke waktu.

Algoritma ini pun tak jarang justru dimanfaatkan untuk menggiring opini khalayak, termasuk dengan melibatkan pasukan siber. Pasukan ini ditugaskan untuk mengamplifikasi pesan yang beredar secara masif dan mendominasi ruang digital. Di sinilah penggiringan opini terjadi.

Studi yang dilakukan oleh tim dari Universitas Oxford (Bradshaw, Bailey, & Howard, 2021), menemukan bahwa pada 2020, aktivitas pasukan siber telah berlangsung di 70 negara. Pasukan siber tidak hanya melibatkan pengguna manusia, tetapi juga akun terautomatisasi atau robot politik (political bots) untuk mengamplifikasi pesan dengan cepat. Penggunaan akun terautomatisasi untuk manipulasi opini publik ditemukan di 57 negara, termasuk Indonesia (Bradshaw, Bailey, & Howard, 2021).

 

Profil dan penggiringan perilaku

Selain algoritma yang memfasilitasi amplifikasi informasi untuk memanipulasi opini publik, pengendalian perilaku kita juga dapat disebatkan oleh pemanfataan profil kita.

Karakteristik personal dan rekaman aktivitas daring, termasuk hubungan yang kita jalin dan percakapan yang kita lakukan, bisa dijadikan untuk menentukan profil kita, yang akan berasosiasi dengan preferensi kita atas banyak hal, termasuk pilihan produk dan politik (Kietzmann et al., 2012).

Kita bisa ambil contoh dari Amerika Serikat (AS). Pada pemilu 2016, ditemukan adanya keterlibatan perusahaan Cambridge Analytica yang membantu kampanye seorang calon presiden, dengan menambang data dari Facebook. Data dari sebanyak 200.000 pengguna Facebook digunakan untuk membuat profil psikologis rinci terhadap 87 juta pengguna (Heawood, 2018).

Data ini kemudian digunakan untuk microtargeting kampanye. Terdapat beragam bahaya praktik ini, termasuk di dalamnya adalah potensi untuk mengeksploitasi data personal, menutup karakteristik informasi yang sebetulnya iklan politik, informasi yang diterima secara privat tidak mudah dikoreksi, informasi yang diterima secara privat mungkin tidak benar, dan memungkinkan partai politik membuat janji politik yang berbeda-beda tergantung profil personal (Heawood, 2018).

Penyalahgunaan data ini diungkap oleh mantan pegawai Cambridge Analytica dalam sebuah wawancara. Skandal ini melibatkan Facebook. Facebook melalui CEO Mark Zukernberg meminta maaf ketika dimintai keterangan oleh Kongres AS. Pada Juli 2019, Facebook didenda USD5 miliar karena pelanggaran privasi (Wong, 2019).

Apakah penggiringan perilaku seperti ini terjadi di Indonesia? Meskipun tidak suka, praktik seperti ini juga ditemukan di Indonesia dalam beberapa kasus (lihat misalnya Sastramidjaja & Wijayanto, 2022).

 

Tawaran perlawanan

Apa yang mungkin kita lakukan untuk melawan manipulasi opini dan penggiringan perilaku oleh algoritma dari banyak aplikasi yang kita gunakan? Kita bisa ungkap beberapa inisiatif.

Pertama, kita harus menyadari bahwa setiap aplikasi menggunakan algoritma tertentu yang tidak semuanya kita ketahui arahnya. Ada nilai atau kepentingan yang ditanamkan di dalamnya. Kesadaran ini akan menjadikan kita selalu terjaga dan menjauhkan kita dari bersikap seperti anak kecil yang polos.

Karenanya, setiap klik yang kita lakukan, seharusnya didahului dengan refleksi dan pilihan sadar akan dampaknya. Jangan terlalu mudah mengklik atau membagikan informasi yang tidak jelas validitas dan manfaatnya.

Kedua, kita perlu melatih diri menjadi pemikir mandiri yang tidak mudah diobang-ambingkan oleh narasi publik, termasuk informasi yang direkomendasikan oleh beragam aplikasi.

Tentu, menjaga independensi seperti ini tidak selalu mudah. Dalam konteks ini, tingkat asupan individu terhadap informasi benar yang beragam dan pendidikan yang baik, akan mempermudah seseorang menjadi pemikir mandiri.

Mengapa ini penting? Studi menemukan bahwa banyak keputusan kita yang tidak didasarkan pada rasionalitas individu, tetapi dipengaruhi oleh narasi kelompok (Sloman & Fernbach, 2017).

Ketiga, secara kolektif, kita harus melantangkan konten yang baik dan informasi yang benar. Penyebaran informasi salah atau hoaks, tidak sebenuhnya bisa kita kendalikan.

Karenanya, pelantangkan konten baik dan informasi yang benar ini akan melawannya di ruang publik. Ada koreksi yang dilakukan secara kolektif, sehingga diharapkan persepsi publik bisa dikembalikan ke arah yang benar. Koreksi kolektif ini juga memanfaatkan algoritma rekomendasi yang menjadikan pesan menjadi dominan.

Meski demikian, kita perlu menyadari bahwa koreksi informasi salah yang beredar tidak serta merta bisa mengoreksi informasi yang salah (Nyhan and Reifler, 2010; Flynn et al., 2017). Informasi pengoreksi pun tidak dapat menjangkau semua orang yang sudah terpapar informasi yang salah tersebut. Lebih jauh lagi, informasi salah yang sering terbaca, apalagi jika berasal dari sumber yang dianggap kredibel, lebih mudah dipercaya dibandingkan dengan informasi benar yang jarang menyapa (Swire et al., 2017).

 

Epilog

Bahwa algoritma yang tertanam dalam beragam aplikasi, termasuk media sosial, telah mengarahkan perilaku kita adalah fakta. Namun kita secara kolektif dapat membuat “perlawanan” supaya menjadikan setiap pilihan dan keputusan dalam hidup kita semakin didasarkan pada refleksi yang cukup dan argumentasi yang rasional.

Tanpa perlawanan, hidup kita akan digiring oleh algoritma. Jangan lupa, algoritma juga buatan manusia. Manusia jenis ini tak jarang ingin melakukan eksploitasi atas manusia yang lain, baik secara finansial maupun politik. Inilah yang oleh Zuboff (2019), seorang profesor dari Universitas Harvard, disebut sebagai kapitalisme pengawasan (surveillance capitalism). Karenanya, semboyan kuasai data untuk menguasai dunia valid adanya, dan akan sangat berbahaya jika tidak dibarengi dengan nilai-nilai yang memuliakan manusia.

Saya berharap tulisan singkat ini bermanfaat dalam memantik kesadaran kolektif kita akan bahaya “menyerahkan hidup” kepada algoritma.

 

Referensi

Bradshaw, S., Bailey, H. & Howard, P. N. (2021) Industrialized disinformation: 2020 global inventory of organised social media manipulation. Working Paper 2021.1. Oxford, UK: Project on Computational Propaganda.

Davies, W. (2018). Nervous states: Democracy and the decline of reason. New York: WW Norton & Company.

Flynn, D. J., Nyhan, B., & Reifler, J. (2017). The nature and origins of misperceptions: Understanding false and unsupported beliefs about politics. Political Psychology38, 127-150.

Greenhill, K. M., & Oppenheim, B. (2017). Rumor has it: The adoption of unverified information in conflict zones. International Studies Quarterly, 61(3), 660-676.

Heawood, J. (2018). Pseudo-public political speech: Democratic implications of the Cambridge Analytica scandal. Information Polity, 23(4), 429-434.

Kietzmann, J. H., Silvestre, B. S., McCarthy, I. P., & Pitt, L. F. (2012). Unpacking the social media phenomenon: towards a research agenda. Journal of Public Affairs12(2), 109-119.

Nyhan, B., & Reifler, J. (2010). When corrections fail: The persistence of political misperceptions. Political Behavior, 32(2), 303–330.

Sastramidjaja, Y., & Wijayanto (2022). Cyber troops, online manipulation of public opinion and co-optation of Indonesia’s cybersphere. Singapura: ISEAS – Yusof Ishak Institute.

Sloman, S., & Fernbach, P. (2017). The knowledge illusion: Why we never think alone. Penguin.

Swire, B., Berinsky, A. J., Lewandowsky, S., & Ecker, U. K. H. (2017). Processing political misinformation: comprehending the Trump phenomenon. Royal Society Open Science, 4(3), 160802.

Wong, J. C (2019). Facebook to be fined $5bn for Cambridge Analytica privacy violations – reports. The Guardian, 12 Juli. Tersedia daring: https://www.theguardian.com/technology/2019/jul/12/facebook-fine-ftc-privacy-violations

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. London: Profile Books.

Rangkuman orasi ilmiah dalam acara Wisuda ke-14 dan peringatan Dies Natalis ke-23, Universitas Amal Ilmiah Yapis Wamena, 3 Oktober 2022.

Kerusuhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022 lalu di tengah Stadion Kanjuruhan, Malang masih menyisakan duka mendalam bagi insan sepak bola tanah air. Kejadian itu tentu sangat mempengaruhi para suporter dan orang-orang yang menjadi korban dari berbagai sisi, salah satunya psikologis. Dr.Phil. Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si., salah satu dosen Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII) mencoba mengurainya. Qurotul Uyun sendiri mengaku sangat prihatin atas kejadian yang menimpa dunia sepak bola Indonesia.

Dikatakannya, situasi yang ramai di dalam stadion cenderung membuat para suporter untuk lebih reaktif. “Jadi, memang namanya kalau di kerumunan itu emosinya meningkat dan identitasnya berubah. Dari identitas individu menjadi identitas massa (kelompok),” ungkap Qurotul Uyun. 

Read more

Pascapandemi, bisnis fashion kembali menggeliat. Ditambah lagi dengan tren fashion terkini yang berkembang semakin pesat membuat orang berlomba-lomba membuat brand fashion. Merespon hal itu, Direktorat Pengembangan Karier dan Alumni (DPKA) UII mengadakan Career Talk Show dengan tema “Start Your Fashion Business From Now On” pada Jumat (02/10) melalui siaran langsung di instagram @uiicareer.

Acara Career Talk Show ini menghadirkan sosok owner Azlia Muslim Wear, Emilia S.Pd. Mengawali acara career talkshow, Emilia mengenalkan dirinya. Ia merupakan sosok alumni Prodi Pendidikan Agama Islam UII angkatan 2017 yang kerap dipanggil dengan Emil.

Read more

Ahmad Alvin Noor M., delegasi Universitas Islam Indonesia (UII) berhasil membawa pulang medali emas Bidang Biologi dalam ajang Olimpiade Nasional Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (ON-MIPA) yang digelar pada 18-23 September 2022 di Universitas Brawijaya. Mahasiswa Fakultas Kedokteran UII yang akrab disapa Alvin itu menceritakan pencapaiannya tak lepas dari persiapan yang matang. Dia mengaku mendapatkan bimbingan secara penuh selama kurang lebih dua bulan dalam mempersiapkan olimpiade mulai dari seleksi wilayah.

“Speechless,” kata Alvin saat ditanya bagaimana perasaannya berhasil meraih medali emas. Tahun sebelumnya, Alvin juga berhasil lolos hingga tingkat nasional namun hanya sampai tahap finalis.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) terus berikhtiar dan berupaya untuk mendukung pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia. Salah satu bukti ikhtiarnya adalah dengan menjalin kerja sama pengelolaan beasiswa dengan Media Group Network atau PT. Citra Multimedia Indonesia. UII mendapat kepercayaan menjadi salah satu perguruan tinggi swasta (PTS) di Indonesia pengelola program Online Scholarship Competition (OSC) Medcom.id yang didukung oleh Media Group Network. Kerja sama kedua pihak diresmikan lewat penandatanganan MoU pada sesi Sosialisasi Program OSC di Auditorium K.H. Abdul Kahar Mudzakkir, Kamis (29/9). Acara juga dihadiri pelajar SMA Sederajat di wilayah DIY yang tertarik mengikuti seleksi OSC Medcom.id.

Read more

Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (PSHI UII) menggelar kuliah umum bertema “Pathway to Peace: Lesson Learned from Aceh” di Gedung Perpustakaan Moh. Hatta UII pada Rabu (28/9). Kuliah umum ini menghadirkan Paduka Yang Mulia Teungku Malik Mahmud Al Haythar selaku Wali Nanggroe Aceh. Peserta kuliah umum sebagian besar merupakan mahasiswa PSHI UII.

Aceh telah mengalami konflik selama kurang lebih 30 tahun dari 1976 hingga 2005. Konflik ini berdampak luar biasa pada tatanan politik, ekonomi, hukum, keamanan, kehidupan, keagamaan, dan sosial budaya masyarakat Aceh. Di sisi lain, Aceh telah menjadi modal perjuangan kemerdekaan Indonesia, bahkan Soekarno, Presiden Indonesia pertama, kerap kali menyebutkan hal tersebut dalam pidatonya. 

Read more

Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Islam Indonesia (DPPM UII) menghibahkan kapal wisata dan pelampung kepada Pengelola Wisata Taman Opak di Desa Ringin Sari, Bokoharjo, Kec. Prambanan, Sleman-DIY. Kegiatan pengabdian masyarakat yang berlangsung pada Selasa (27/9) itu merupakan upaya DPPM UII untuk turut mendukung rintisan Wisata Taman Opak. Taman Wisata Opak sendiri terdiri dari kawasan di tepian Sungai Opak dan area persawahan. Sejak tahun 2018, masyarakat setempat mulai merintis kegiatan wisata di kawasan ini dengan memaksimalkan potensi alam yang ada dengan pengelolaan secara mandiri dan gotong royong. 

Read more

Fajrul Anshory mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Islam Indonesia (UII) angkatan 2019 berhasil meraih juara satu pada Eksibisi Pekan Olahraga Daerah (Porda) XVI 2022 Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Cabang Olahraga Wushu. Ia berlaga mewakili Kabupaten Sleman dengan pertandingan Wushu Taolu (jurus) di GOR Yayasan Wushu Indonesia Sinduadi Sleman dan Wushu Sanda (tarung) di Jogja City Mall pada 5-6 September 2022. Dalam kegiatan yang digelar di itu, Fajrul tergabung dalam Wushu Sanda kelas 65 kg senior.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) terus menunjukkan eksistensi dalam mobilitas global di bidang pendidikan. Salah satunya melalui agenda Europe Association of International Education (EAIE). Acara tahunan EAIA yang ke-32 tersebut dilaksanakan pada tanggal 13-16 September 2022 di Fira Barcelona Gran Via, Spanyol. Dalam kesempatan ini, kehadiran UII diwakili oleh 3 orang yakni Wakil Rektor IV bidang Kerjasama dan Kewirausahaan, Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D, Ketua Direktorat Kemitraan dan Kantor Urusan Internasional (DK/KUI), Dr.rer.nat Dian Sari Utami, S.Psi., M.A,  serta kepala Divisi Mobilitas Internasional, Nihlah Ilhami, S.Pd.

Read more

Perdana pascapandemi, Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar Wisuda Program Doktor, Magister, Sarjana, dan Diploma Periode I Tahun Akademik 2022/2023 dengan menghadirkan orang tua wisudawan. Acara luring di Auditorium Prof. K.H. Abdulkahar Mudzakkir itu berlangsung pada dua kali kesempatan yakni pada Sabtu (24/9) dengan 795 wisudawan dan Minggu (25/9) bersama 385 wisudawan. Dengan jumlah wisudawan mencapai 1.180 orang, panitia menerapkan protokol kesehatan yang ketat selama berlangsungnya acara.

Read more