Ikhtiar R20, yang digagas oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Liga Muslim Dunia dalam rangkaian pertemuan G20, yang dihelat pada awal November 2022 di Bali, patut mendapatkan apresiasi. Forum R20 tidak hanya menyatukan kehadiran fisik para pemimpin agama dunia, namun lebih penting dari itu, mempertemukan beragam gagasan besar secara terbuka.
Kacamata jernih
Forum tersebut juga membangun suasana saling memahami dan menghormati antaragama secara lebih intens. Tidak hanya melalui paparan para pembicara, diskusi informal antarpeserta di lokasi acara merupakan momen yang sangat berharga. Ruang dialog yang dibuka di panggung, diamplifikasi di banyak pojok lokasi acara.
Peserta R20 lintasagama saling belajar. Para pembicara di forum R20 memaparkan beragam lensa analisis untuk memotret fenomena kontemporer dunia dan juga menawarkan bagaimana umat beragama dapat hadir untuk meresponsnya. Pemahaman dengan kacamata yang jernih sangat penting, meskipun tidak selalu mudah dilakukan.
Respons yang produktif tidak mungkin dilakukan tanpa definisi masalah yang jelas. Untuk menyatukan kesadaran dan langkah, daftar musuh bersama harus dibuat. Terlalu banyak masalah yang dapat diidentifikasi, termasuk isu kelestarian lingkungan, krisis energi, potensi konflik, dan bahkan krisis pangan.
Isu ini menjadikan semakin penting ketika batas antarnegara semakin memudar. Tidak mudah untuk memastikan bahwa ketika sebuah masalah muncul di suatu negara tidak akan mempengaruhi negara lain. Kesadaran bahwa isu tersebut menyangkut masa depan eksistensi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan yang terancam, karenanya, perlu dibangun.
Kondisi mutakhir terkait pandemi Covid-19 merupakan bukti yang masih ada di depan mata. Perang Rusia dan Ukraina adalah contoh lain. Dampak perang dirasakan oleh banyak negara, yang terikat hubungan dengan keduanya, termasuk misalnya, karena pasokan energi maupun gandum yang terganggu. Konflik antaragama yang terjadi di sebuah negara juga tidak jarang bergema di negara lain, sebagai bentuk solidaritas atau bahkan pembalasan. Ini tentu bukan tindakan yang dapat dibenarkan, tetapi sebagai fakta sosial, itu nyata adanya.
Beberapa ilustrasi di atas menegaskan bahwa eksklusivisme bukan merupakan pilihan perspektif. Dunia terhubung dan saling tergantung. Pilihannya bukan tertanding, tetapi bersanding, di tengah keragaman yang merupakan kenyataan yang tidak bisa ditampik.
Pelajaran dari lapangan
R20 juga juga memunculkan kesadaran kolektif bahwa pelajaran dari konteks Indonesia yang beragam sangat menarik untuk digaungkan ke pentas global. Terlepas dari beberapa catatan tidak sempurna dari lapangan, secara umum, bangsa Indonesia berhasil memberi contoh kepada dunia, bahwa perbedaan bukan alasan untuk terus berkonflik dan tercerai berai.
Kunjungan delegasi ke Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta, selepas acara di Bali, menghadirkan catatan tersendiri. UII sebagai pionir pendidikan tinggi di Indonesia, dan menjadi salah satu universitas Islam terbesar di Indonesia, sudah seharusnya merasa sangat terhormat mendapatkan kunjungan tersebut.
Titik kunjung di UII adalah Candi Kimpulan yang ditemukan pada 2009 ketika proses awal pembangunan perpustakaan. UII merawat dengan baik candi Hindu tersebut yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 atau ke-10. Bahkan, gedung perpustakaan didesain ulang untuk memberikan ruang terhormat bagi candi. Keberadaan candi Hindu yang terawat di kampus Islam merupakan salah satu bukti hidup harmoni antaragama di Indonesia.
Kunjungan ke beberapa tempat lain di sekitar Yogyakarta, termasuk ke vihara, pesantren, candi juga memperkaya referensi dalam melakukan diskusi lanjutan. Kunjungan tersebut melantangkan pesan bahwa perbedaan bukan alasan untuk menutup pintu kemitraan dan tidak hidup berdampingan dalam damai.
Tidak boleh elitis
Pesan harmoni ini sudah seharusnya tidak hanya beredar di kalangan elite agama. Pesan tersebut harus dilantangkan dan ditranslasikan dalam bentuknya yang paling konkret di kalangan akar rumput. Tanpa upaya ini, kemitraan antaragama yang terbentuk dikhawatirkan menjadi sangat terbatas, temporer, dan bahkan superfisial.
Beragam pesan penting dalam perhelatan R20 juga demikian. Setiap pemimpin agama yang terlibat mempunyai pekerjaan lanjutan yang tidak mudah untuk menjadikan pesan kemitraan tersebut tersampaikan kepada dan diyakini oleh sebanyak mungkin umatnya. Hanya dengan demikian, gerakan kolektif lintasjenjang dapat terbentuk.
Tentu, ini bukan kerja sederhana, karena beberapa alasan. Pertama, diksi para elite agama sangat mungkin berbeda dengan bahasa akar rumput. Penyederhanaan pesan tanpa mengurangi esensi menjadi sangat penting. Kedua, kesadaran awal orang awam dengan paparan terhadap keragaman pemikiran dan interaksi lintasagama yang terbatas juga membutuhkan strategi khusus untuk meyakinkan. Kesalahan dalam pemilihan strategi akan berdampak pada tingkat penerimaan, dan bahkan menyemai benih penolakan.
Ketika orkestrasi pesan terjadi antara kalangan elite agama dan kaum akar rumput terjadi, pesan mulia ini pun akan terus menggema dan bahkan teramplifikasi dari waktu ke waktu. Ikhtiar membangun iklim kemitraan antaragama pun tidak akan terus berulang dari awal tanpa kemajuan yang berarti. Jika orkestrasi terjadi, hasilnya adalah akumulasi kemitraan nyata yang menunjukkan bahwa agama semakin bermakna sebagai pemberi solusi atas masalah dunia yang semakin kompleks.
Bukti kemitraan ini sangat penting untuk meyakinkan kalangan lain yang belum terlibat dan juga menggandeng generasi mendatang. Hal tersebut juga dapat menjadi bukti kejujuran dan keseriusan dalam bermitra. Tanpanya, ikhtiar kemitraan antaragama akan terus mengawang dan terus menunggu waktu untuk membumi.
Membangun koridor
Sangat banyak argumen yang dapat terus dikembangkan untuk mendukung inisiatif kemitraan lintasagama. Namun di sisi lain, pemimpin agama juga tidak boleh lupa terhadap masalah yang terjadi di rumahnya masing-masing. Masih banyak pekerjaan rumah yang menanti ditunaikan.
Persekusi kelompok atau sekte minoritas atau yang tidak sealiran, bahkan di antara pengamal agama yang sama, masih mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Memang, kejadian seperti ini tidak dominan, tapi pengabaian terhadapnya dapat memunculkan ketidakpercayaan atas komitmen.
Tidak hanya itu, kejujuran dalam upaya saling menghormati pun sering kali diabaikan begitu saja. Apa buktinya? Pesan saling merendahkan liyan dan saling mengklaim kontribusi kebangsaan di ruang privat kelompok masih sering terjadi dan dianggap wajar.
Letupan-letupan tidak sehat seperti ini tidak dapat dibiarkan. Di sinilah, kejujuran dalam bermitra mendapatkan ujian. Mengapa? Amplifikasi pesan seperti ini akan mendelegitimasi pesan kemitraan yang digaungkan oleh R20. Yang muncul kemudian adalah hipokrisi kolektif, yang ditandai dengan beda ucapan dan sikap antara yang ditunjukkan di ruang publik dan yang dilantangkan di ruang privat.
Konflik domestik di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim juga menjadi bukti bahwa pekerjaan rumah itu nyata adanya. Data yang dikumpulkan oleh peneliti dari Peace Research Institute Oslo (PRIO) (Gleditsch & Rudolfsen, 2016) dari 1946-2014 menunjukkan bahwa dari 49 negara yang mayoritas penduduknya muslim, 20 (atau 41%) di antaranya mengalami perang sipil (perang sesama anak bangsa), dengan total durasi perang 174 tahun atau sekitar 7% dari total umur kumulatif semua negara tersebut (2.467 tahun). Indonesia merupakan salah satu negara yang secara umum kalis dari konflik domestik tersebut.
Dalam konteks ini, pesan kesetaraan perlu terus digaungkan, sekali lagi, dengan jujur.
Tanpanya, ibarat gedung dengan banyak jendela yang ketika ada salah satu jendela yang pecah. Ketika jendela yang pecah tidak segera diperbaiki, maka orang akan mengira bahwa gedung tidak ada yang merawat. Jangan heran, jika akan semakin banyak kaca jendela yang pecah. Inilah Teori Jendela Pecah (The Broken Windows Theory) (Hinkle & Yang, 2014). Begitu juga kemitraan yang tidak dibarengi dengan kejujuran.
Menyeragamkan keragaman sikap antarkelompok, termasuk di dalam agama yang sama, memang tidak mudah, atau bahkan mungkin tidak perlu dilakukan. Yang dibutuhkan adalah koridor yang cukup longgar untuk gerak kolektif, yang setiap kelompok mendapatkan tempat terhormat untuk terus berkembang. Dalam koridor tersebut persamaan dikedepankan dan perbedaan dikesampingkan.
Hal tersebut sudah dilakukan oleh para ibu dan bapak bangsa Indonesia. Mereka adalah para negarawan yang sudah selesai dengan dirinya dan mewakafkannya untuk kemajuan bangsa. Teladan seperti itu perlu terus dirawat dan diwariskan. Tentu, dengan kontekstualisasi yang memadai pada dimensi spasial dan temporal kini dan masa depan.
Epilog
Meskipun beragam tantangan harus dihadapi, pesan R20 tetap valid dan sangat penting untuk terus dilantangkan dengan jujur, tidak hanya untuk menjangkau ruang publik, tetapi juga ruang privat, dan bahkan relung hati setiap pengamal agama.
Tentu, pesan sebagus apa pun akan meredup dengan mudah, jika tidak diamplifikasi dan diikuti dengan akumulasi bukti konkret yang bermakna di lapangan. Hanya waktu yang akan membuktikan ini semua.
Referensi
Gleditsch, N. P., & Rudolfsen, I. (2016). Are Muslim countries more prone to violence?. Research & Politics, 3(2), 1–9.
Hinkle, J. C., & Yang, S. M. (2014). A new look into broken windows: What shapes individuals’ perceptions of social disorder?. Journal of Criminal Justice, 42(1), 26-35.
Bersama banyak tulisan dari penulis lain, tulisan ini telah terbit dalam buku Religion Twenty (R20): Moderatisme, Kemanusiaan, dan Perdamaian Global, yang disunting oleh Eko Ernada, Ridwan al-Makassary, dan Achmad Ubaidillah, dan diterbitkan oleh Badan Pengembangan Jaringan Internasional PBNU dan Aswaja Pressindo.
UII Gelar Angkringan Rumah Gagasan Eksposisi Riset
Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar acara Angkringan Rumah Gagasan: Eksposisi Riset atau Research Exposition pada Kamis (8/6) di Ruang Teatrikal Lt. 1, Gedung Kuliah Umum Dr. Sardjito UII. Acara ini merupakan salah satu rangkaian dari beberapa agenda perayaan Milad ke-80 UII, sebagai kategori Kajian Ilmiah Akademis.
Agenda perayaan Milad ke-80 UII terdiri dari empat kategori, yaitu Kajian Ilmiah Akademis, Keagamaan dan Pengabdian Masyarakat, Seni dan Budaya dan Olahraga. Ini merupakan wujud ekspresi kebahagiaan keluarga besar UII atas capaian demi capaian yang telah diraih.
Read more
Meretas Jalan Kemitraan Jujur Antaragama
Ikhtiar R20, yang digagas oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Liga Muslim Dunia dalam rangkaian pertemuan G20, yang dihelat pada awal November 2022 di Bali, patut mendapatkan apresiasi. Forum R20 tidak hanya menyatukan kehadiran fisik para pemimpin agama dunia, namun lebih penting dari itu, mempertemukan beragam gagasan besar secara terbuka.
Kacamata jernih
Forum tersebut juga membangun suasana saling memahami dan menghormati antaragama secara lebih intens. Tidak hanya melalui paparan para pembicara, diskusi informal antarpeserta di lokasi acara merupakan momen yang sangat berharga. Ruang dialog yang dibuka di panggung, diamplifikasi di banyak pojok lokasi acara.
Peserta R20 lintasagama saling belajar. Para pembicara di forum R20 memaparkan beragam lensa analisis untuk memotret fenomena kontemporer dunia dan juga menawarkan bagaimana umat beragama dapat hadir untuk meresponsnya. Pemahaman dengan kacamata yang jernih sangat penting, meskipun tidak selalu mudah dilakukan.
Respons yang produktif tidak mungkin dilakukan tanpa definisi masalah yang jelas. Untuk menyatukan kesadaran dan langkah, daftar musuh bersama harus dibuat. Terlalu banyak masalah yang dapat diidentifikasi, termasuk isu kelestarian lingkungan, krisis energi, potensi konflik, dan bahkan krisis pangan.
Isu ini menjadikan semakin penting ketika batas antarnegara semakin memudar. Tidak mudah untuk memastikan bahwa ketika sebuah masalah muncul di suatu negara tidak akan mempengaruhi negara lain. Kesadaran bahwa isu tersebut menyangkut masa depan eksistensi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan yang terancam, karenanya, perlu dibangun.
Kondisi mutakhir terkait pandemi Covid-19 merupakan bukti yang masih ada di depan mata. Perang Rusia dan Ukraina adalah contoh lain. Dampak perang dirasakan oleh banyak negara, yang terikat hubungan dengan keduanya, termasuk misalnya, karena pasokan energi maupun gandum yang terganggu. Konflik antaragama yang terjadi di sebuah negara juga tidak jarang bergema di negara lain, sebagai bentuk solidaritas atau bahkan pembalasan. Ini tentu bukan tindakan yang dapat dibenarkan, tetapi sebagai fakta sosial, itu nyata adanya.
Beberapa ilustrasi di atas menegaskan bahwa eksklusivisme bukan merupakan pilihan perspektif. Dunia terhubung dan saling tergantung. Pilihannya bukan tertanding, tetapi bersanding, di tengah keragaman yang merupakan kenyataan yang tidak bisa ditampik.
Pelajaran dari lapangan
R20 juga juga memunculkan kesadaran kolektif bahwa pelajaran dari konteks Indonesia yang beragam sangat menarik untuk digaungkan ke pentas global. Terlepas dari beberapa catatan tidak sempurna dari lapangan, secara umum, bangsa Indonesia berhasil memberi contoh kepada dunia, bahwa perbedaan bukan alasan untuk terus berkonflik dan tercerai berai.
Kunjungan delegasi ke Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta, selepas acara di Bali, menghadirkan catatan tersendiri. UII sebagai pionir pendidikan tinggi di Indonesia, dan menjadi salah satu universitas Islam terbesar di Indonesia, sudah seharusnya merasa sangat terhormat mendapatkan kunjungan tersebut.
Titik kunjung di UII adalah Candi Kimpulan yang ditemukan pada 2009 ketika proses awal pembangunan perpustakaan. UII merawat dengan baik candi Hindu tersebut yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 atau ke-10. Bahkan, gedung perpustakaan didesain ulang untuk memberikan ruang terhormat bagi candi. Keberadaan candi Hindu yang terawat di kampus Islam merupakan salah satu bukti hidup harmoni antaragama di Indonesia.
Kunjungan ke beberapa tempat lain di sekitar Yogyakarta, termasuk ke vihara, pesantren, candi juga memperkaya referensi dalam melakukan diskusi lanjutan. Kunjungan tersebut melantangkan pesan bahwa perbedaan bukan alasan untuk menutup pintu kemitraan dan tidak hidup berdampingan dalam damai.
Tidak boleh elitis
Pesan harmoni ini sudah seharusnya tidak hanya beredar di kalangan elite agama. Pesan tersebut harus dilantangkan dan ditranslasikan dalam bentuknya yang paling konkret di kalangan akar rumput. Tanpa upaya ini, kemitraan antaragama yang terbentuk dikhawatirkan menjadi sangat terbatas, temporer, dan bahkan superfisial.
Beragam pesan penting dalam perhelatan R20 juga demikian. Setiap pemimpin agama yang terlibat mempunyai pekerjaan lanjutan yang tidak mudah untuk menjadikan pesan kemitraan tersebut tersampaikan kepada dan diyakini oleh sebanyak mungkin umatnya. Hanya dengan demikian, gerakan kolektif lintasjenjang dapat terbentuk.
Tentu, ini bukan kerja sederhana, karena beberapa alasan. Pertama, diksi para elite agama sangat mungkin berbeda dengan bahasa akar rumput. Penyederhanaan pesan tanpa mengurangi esensi menjadi sangat penting. Kedua, kesadaran awal orang awam dengan paparan terhadap keragaman pemikiran dan interaksi lintasagama yang terbatas juga membutuhkan strategi khusus untuk meyakinkan. Kesalahan dalam pemilihan strategi akan berdampak pada tingkat penerimaan, dan bahkan menyemai benih penolakan.
Ketika orkestrasi pesan terjadi antara kalangan elite agama dan kaum akar rumput terjadi, pesan mulia ini pun akan terus menggema dan bahkan teramplifikasi dari waktu ke waktu. Ikhtiar membangun iklim kemitraan antaragama pun tidak akan terus berulang dari awal tanpa kemajuan yang berarti. Jika orkestrasi terjadi, hasilnya adalah akumulasi kemitraan nyata yang menunjukkan bahwa agama semakin bermakna sebagai pemberi solusi atas masalah dunia yang semakin kompleks.
Bukti kemitraan ini sangat penting untuk meyakinkan kalangan lain yang belum terlibat dan juga menggandeng generasi mendatang. Hal tersebut juga dapat menjadi bukti kejujuran dan keseriusan dalam bermitra. Tanpanya, ikhtiar kemitraan antaragama akan terus mengawang dan terus menunggu waktu untuk membumi.
Membangun koridor
Sangat banyak argumen yang dapat terus dikembangkan untuk mendukung inisiatif kemitraan lintasagama. Namun di sisi lain, pemimpin agama juga tidak boleh lupa terhadap masalah yang terjadi di rumahnya masing-masing. Masih banyak pekerjaan rumah yang menanti ditunaikan.
Persekusi kelompok atau sekte minoritas atau yang tidak sealiran, bahkan di antara pengamal agama yang sama, masih mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Memang, kejadian seperti ini tidak dominan, tapi pengabaian terhadapnya dapat memunculkan ketidakpercayaan atas komitmen.
Tidak hanya itu, kejujuran dalam upaya saling menghormati pun sering kali diabaikan begitu saja. Apa buktinya? Pesan saling merendahkan liyan dan saling mengklaim kontribusi kebangsaan di ruang privat kelompok masih sering terjadi dan dianggap wajar.
Letupan-letupan tidak sehat seperti ini tidak dapat dibiarkan. Di sinilah, kejujuran dalam bermitra mendapatkan ujian. Mengapa? Amplifikasi pesan seperti ini akan mendelegitimasi pesan kemitraan yang digaungkan oleh R20. Yang muncul kemudian adalah hipokrisi kolektif, yang ditandai dengan beda ucapan dan sikap antara yang ditunjukkan di ruang publik dan yang dilantangkan di ruang privat.
Konflik domestik di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim juga menjadi bukti bahwa pekerjaan rumah itu nyata adanya. Data yang dikumpulkan oleh peneliti dari Peace Research Institute Oslo (PRIO) (Gleditsch & Rudolfsen, 2016) dari 1946-2014 menunjukkan bahwa dari 49 negara yang mayoritas penduduknya muslim, 20 (atau 41%) di antaranya mengalami perang sipil (perang sesama anak bangsa), dengan total durasi perang 174 tahun atau sekitar 7% dari total umur kumulatif semua negara tersebut (2.467 tahun). Indonesia merupakan salah satu negara yang secara umum kalis dari konflik domestik tersebut.
Dalam konteks ini, pesan kesetaraan perlu terus digaungkan, sekali lagi, dengan jujur.
Tanpanya, ibarat gedung dengan banyak jendela yang ketika ada salah satu jendela yang pecah. Ketika jendela yang pecah tidak segera diperbaiki, maka orang akan mengira bahwa gedung tidak ada yang merawat. Jangan heran, jika akan semakin banyak kaca jendela yang pecah. Inilah Teori Jendela Pecah (The Broken Windows Theory) (Hinkle & Yang, 2014). Begitu juga kemitraan yang tidak dibarengi dengan kejujuran.
Menyeragamkan keragaman sikap antarkelompok, termasuk di dalam agama yang sama, memang tidak mudah, atau bahkan mungkin tidak perlu dilakukan. Yang dibutuhkan adalah koridor yang cukup longgar untuk gerak kolektif, yang setiap kelompok mendapatkan tempat terhormat untuk terus berkembang. Dalam koridor tersebut persamaan dikedepankan dan perbedaan dikesampingkan.
Hal tersebut sudah dilakukan oleh para ibu dan bapak bangsa Indonesia. Mereka adalah para negarawan yang sudah selesai dengan dirinya dan mewakafkannya untuk kemajuan bangsa. Teladan seperti itu perlu terus dirawat dan diwariskan. Tentu, dengan kontekstualisasi yang memadai pada dimensi spasial dan temporal kini dan masa depan.
Epilog
Meskipun beragam tantangan harus dihadapi, pesan R20 tetap valid dan sangat penting untuk terus dilantangkan dengan jujur, tidak hanya untuk menjangkau ruang publik, tetapi juga ruang privat, dan bahkan relung hati setiap pengamal agama.
Tentu, pesan sebagus apa pun akan meredup dengan mudah, jika tidak diamplifikasi dan diikuti dengan akumulasi bukti konkret yang bermakna di lapangan. Hanya waktu yang akan membuktikan ini semua.
Referensi
Gleditsch, N. P., & Rudolfsen, I. (2016). Are Muslim countries more prone to violence?. Research & Politics, 3(2), 1–9.
Hinkle, J. C., & Yang, S. M. (2014). A new look into broken windows: What shapes individuals’ perceptions of social disorder?. Journal of Criminal Justice, 42(1), 26-35.
Bersama banyak tulisan dari penulis lain, tulisan ini telah terbit dalam buku Religion Twenty (R20): Moderatisme, Kemanusiaan, dan Perdamaian Global, yang disunting oleh Eko Ernada, Ridwan al-Makassary, dan Achmad Ubaidillah, dan diterbitkan oleh Badan Pengembangan Jaringan Internasional PBNU dan Aswaja Pressindo.
Perluas Kebermanfaatan, UII-Pemkab Kukar Jalin Kerja Sama
Sebagai perguruan tinggi nasional ternama, Universitas Islam Indonesia (UII) senantiasa berikhtiar dalam memperluas jejaring kemitraan di beragam lini. Pada kesempatan ini, UII melalui Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) berhasil menjalin kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur. Seremoni dilaksanakan pada Senin (5/6) bertempat di Gedung FPSB, Kampus Terpadu UII.
Acara ini turut dihadiri oleh Dekan FPSB, Dr. Phil. Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si., Psikolog bersama pimpinan fakultas dan program studi di lingkungan FPSB. Ia berharap kerja sama yang disepakati kedua belah pihak dapat menambah kebermanfaatan di kemudian hari dalam berbagai bidang, terutama melalui program magang, pengajaran, dan kependidikan.
Read more
UII dan Erasmus+ iHiLead Adakan Sekolah Kepemimpinan bagi Wakil Dekan
Guna meningkatkan mutu manajerial perguruan tinggi, Universitas Islam Indonesia (UII) bersama dengan Erasmus+ Indonesian Higher Education Leadership (iHiLead) menggelar pelatihan kepemimpinan bagi para Wakil Dekan di delapan fakultas UII. Kegiatan pelatihan yang diadakan pada Senin (5/6) di Lantai 2 Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Dr. Sardjito UII tersebut dibuka dan diresmikan oleh Rektor UII Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D.
Dalam sambutannya, Prof. Fathul Wahid menyampaikan bahwa kegiatan pelatihan ini merupakan salah satu komitmen UII bersama dengan iHiLead dalam peningkatan mutu pendidikan. “Misi utamanya adalah mengembangkan kurikulum sekolah kepemimpinan, tidak hanya untuk dosen tetapi juga untuk tenaga kependidikan yang akan siap menjadi pemimpin akademik dan pemimpin lembaga,” tutur Prof. Fathul Wahid.
Read more
Mendesain Cetak Biru Kampung dan Perumahan di Indonesia
Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan Universitas Islam Indonesia (FTSP UII) menggelar Coffee Morning Lecture setiap bulannya untuk mendekatkan perguruan tinggi dengan masyarakat. Kegiatan tersebut digelar pada Rabu (31/05) di Ruang IRC Gedung Moh. Natsir Kampus FTSP UII. Tema yang diusung kali ini adalah “Membangun Kampung dan Cetak Biru Kebijakan Perumahan Indonesia”.
Dekan FTSP UII, Dr-Ing. Ir. Ilya Fadjar Maharika, M.A., IAI. dalam sambutannya mengungkapkan bahwa Coffee Morning Lecture bertujuan agar bahasa akademik yang sulit dipahami masyarakat dapat tersalurkan dengan baik. “Menurut saya terdapat jarak dalam mengungkapkan bahasa akademik yang dimengerti oleh masyarakat sehingga pentingnya forum ini dikemas dalam suasana santai agar kita dapat belajar bersama tentang berbagai masalah yang terkait kepentingan publik dengan bahasa yang lebih sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat,” ungkapnya.
Read more
Tawarkan Beasiswa di IndoNEX 2023, UII Ajak Pelajar Kenya Kuliah di Indonesia
Universitas Islam Indonesia (UII) tengah mencari bibit pelajar unggul dari benua Afrika untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi di kampus Islam ini. Kegiatan promosi internasional ke benua itu pun terus digencarkan. Salah satunya dengan memberangkatkan dua delegasi Direktorat Kemitraan/Kantor Urusan Internasional (DK/KUI), yaitu Dr. Joni Aldilla Fajri, S.T., M.Eng. (Kepala Divisi Kemitraan Luar Negeri ) dan Nihlah Ilhami, S.Pd. (Kepala Divisi Mobilitas Internasional) ke Nairobi, Kenya.
Read more
Summer Term 2023 Bersama Mahasiswa Farmasi UII dan URI, AS
Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) terus meningkatkan mobilitas globalnya ke berbagai komunitas akademik dunia. Kali ini sebanyak 13 mahasiswa Farmasi UII mengikuti kegiatan University of Rhode Island (URI) Summer 2023 di Yogyakarta bersama 13 mahasiswa URI, Amerika Serikat. Kegiatan yang bertajuk One-Day Field Excursion tersebut berlangsung selama sehari penuh di beberapa lokasi di Yogyakarta pada hari Senin (29/05) lalu.
Read more
UII Jalin Kerja Sama dengan Pemprov Riau
Guna memperluas kemitraan di berbagai bidang, Universitas Islam Indonesia (UII) jalin kerja sama dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau. Kerja sama antara UII dan Pemprov Riau dijalin dengan melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) pada Senin (29/5) di Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Dr. Sardjito UII. Penandatanganan MoU antara UII dan Pemprov Riau ini turut dihadiri oleh Gubernur Riau, Drs. H. Syamsuar, M.Si. dan Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D.
Melalui sambutannya, Prof. Fathul Wahid menekankan pentingnya kebermanfaatan bagi masyarakat luas dalam tiap-tiap kerja sama yang terjalin. “Kami berharap kerja sama yang kita tandatangani dengan beberapa mitra tidak hanya berhenti dalam bentuk dokumen, tapi betul-betul bisa dilaksanakan, memberikan manfaat, tidak hanya untuk kedua lembaga, tetapi lebih untuk khalayak, untuk konteks yang lebih luas lagi,” ungkap Prof. Fathul Wahid.
Read more
UII Pecahkan Rekor MURI Penanaman Ribuan Bibit Habbatussauda
Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Islam Indonesia (UII) mendapatkan apresiasi dari Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) atas capaian rekor penanaman 1.400 bibit habbatussauda. Melalui Pusat Studi Obat Herbal (PSOH), Farmasi UII melakukan kerja sama dengan Herba Group sebagai salah satu kepedulian terhadap pentingnya pelestarian bahan obat herbal. Penanaman bibit habbatussauda yang dilaksanakan di Desa Wukirsari, Sleman pada Sabtu (27/5) tersebut bertepatan dengan hari Jamu Nasional yang diperingati tiap tanggal 27 Mei.
Kegiatan penanaman bibit habbatussauda ini turut dihadiri oleh Ketua Jurusan Farmasi UII, Prof. apt. Yandi Syukri, Wakil Dekan Bidang Sumber Daya FMIPA UII, apt. Saepudin, M.Si., Ph.D, dan CEO Herba Group Hanoko Setyawan.
Read more
Memahami Kesemrawutan
Tidak ada garis finis dalam kamus pembelajar sejati. Selama kita menjadi pembelajar sejati, dengan izin Allah, kita harus menjemput masa depan dengan suka cita dan penuh keyakinan. Saudara adalah para pemimpin masa depan.
Melihat ketidaksempurnaan
Dalam memimpin, termasuk dalam konteks memimpin diri sendiri, kadang tidak semua keadaan seperti yang kita bayangkan. Sangat mungkin, kita akan temui, misalnya, keterbatasan informasi untuk pengambilan keputusan dan keterbatasan sumber daya untuk bergerak. Saya yakin Saudara sepakat dengan saya: sangat sedikit yang sempurna dalam kehidupan ini.
Namun, hal itu tentu tidak lantas menyurutkan optimisme kita dan menjadikan kita menjadi pribadi yang keahlian utamanya ada memrotes keadaan dan akhirnya lupa mengambil inistiatif. Jika Saudara saat ini cenderung perfeksionis, yang selalu mengharap kesempurnaan, itu juga sebuah pilihan, meski bukan tanda tantangan dan risiko.
Saya personal, dulunya bagian dari kelompok ini, dan selalu membayangkan yang sempurna. Dalam keseharian, saya sering membayangkan jalan tanpa kabel listrik melintang tak beraturan di sepanjang jalan, jalanan tanpa kemacetan, layanan fisik tanpa antrian, rumah yang selalu rapi, tampilan yang selalu necis, mahasiswa yang selalu taat panduan, dosen yang tertib mengikuti arahan, sejenisnya. Tidak semuanya itu bisa terjadi secara konsisten.
Namun, setelah membaca buku Abrahamson dan Freedman yang berjudul A Perfect Mess (Kesemrawutan yang Sempurna), berangsur saya mengadopsi perspekif baru, mulai belasan tahun lalu. Buku ini memamarkan manfaat tersembunyi dari ketidakteraturan, dalam beragam konteks, personal, rumah, sampai organisasi, dan bahkan masyarakat.
Sindrom “seharusnya begini”
Sifat perfeksionis jika berlebihan dan tanpa pernah mencoba memahami mengapa kesemrawutan dapat terjadi, akan membuat kita tersiksa, karena yang nyata selalu saja tidak sempurna di mata kita. Dalam bahasa sederhana saya, kita terjebak ke dalam “sindrom seharusnya begini”.
Paling tidak perspektif ini akan menjadi pelengkap perspektif tentang kerapian dan keteraturan yang selama ini dianggap menjadi satu-satunya pilihan.
Sebelum melanjutkan, bayangkan beberapa fragmen berikut. Sebagai orang tua, di rumah tak jarang tidak nyaman ketika melihat mainan anak kecil yang berantakan. Kita pun akhirnya meluangkan waktu merapikannya. Tapi, sisi yang jarang disadari, kita merasa tidak punya waktu bermain bersama anak kita. Atau, seorang gadis yang ingin tampil kasual, tetapi memerlukan waktu berjam-jam untuk berdandan. Ini adalah contoh paradoks.
Perspektif untuk berhenti mengharapkan kesempurnaan juga sering saya sampaikan ke mahasiswa pengambil kelas saya. Saya mengajak untuk tidak terjebak dalam sindrom tersebut, tetapi menggantinya dengan sebuah pertanyaan yang menghadirkan kesadaran baru: Dalam kondisi seperti ini, ketika beragam kekangan menghadang dan sumber daya terbatas, apa hal terbaik yang bisa kita lakukan?
Kerapian bukan tanpa biaya. Bisa dibayangkan misalnya, berapa biaya yang dibutuhkan, jika semua kabel listrik di Indonesia dibuatkan gorong-gorong di bawah tanah sepanjang jalur distribusinya? Ini belum termasuk risiko lain, seperti banjir dan akses perawatan.
Ketidakteraturan sampai level tertentu seharusnya bisa ditoleransi selama tidak melanggar nilai-nilai mulia, seperti ketidakadilan, kejujuran, kesetaraan. Di sana ada penghargaan terhadap liyan.
Manfaat ketidakteraturan
Apa manfaat dari ketidakteraturan? Banyak. Di antaranya adalah fleksibilitas (flexibility). Ketidakteraturan memungkinkan perubahan dan adaptasi yang lebih cepat dengan biaya yang tidak banyak. Selain itu, ketidakterarturan juga membuka ruang kreativitas yang memunculkan invensi (invention) atau temuan baru.
Penemuan solusi yang tepat guna dalam konteks sumber daya yang terbatas dapat terjadi juga karena ketidaksempurnaan ditoleransi. Inilah yang disebut dengan workaround, solusi “mlipir” yang dibutuhkan memberikan dampak cepat, meski sering kali tidak sempurna (Savaget, 2023). Dalam konteks pengambilan keputusan juga ada konsep rasionaltas terikat (bounded rationality), karena informasi yang tidak lengkap.
Atau, pernah melihat toko klontong serba ada di ruang yang sempit? Ketidakteraturan juga memungkinkan kelengkapan (completeness), karena bisa mengakomodasi kehadiran banyak entitas yang berbeda.
Jika keteraturan memerlukan sumber daya untuk menghadirkannya, maka ketidakteraturan, sebaliknya, bisa memberikan efisiensi (efficiency). Selain itu, ketidakteraturan bisa menjadikan sebuah sistem mempunyai kekokohan (robustness) dalam menghadapi kerusakan, kegagalan, dan imitasi.
Terbuka dengan perspektif baru
Saya tidak akan melanjutkan diskusi ini sampai detail. Pesan yang ingin saya sampaikan kepada Saudara adalah bahwa kita harus membuka diri dengan perspektif baru. Apa yang pada awalnya seakan tidak masuk akal, bisa jadi memberikan manfaat tersembunyi yang tidak disadari.
Selain itu, saya mengajak Saudara untuk menoleransi ketidaksempurnaan. Peradaban manusia disusun dari berjuta ketidaksempurnaan yang ditoleransi untuk saling berinteraksi.
Contohnya: buku yang sempurna tidak pernah meninggalkan meja penulisnya. Selalu saja ada kekurangan dari setiap buku. Bahkan, mahasiswa yang lulus dengan IPK 4,00 pun tikda berarti memahami semua materi yang didiskusikan dalam perkuliahan tanpa cela.
Saya yakin, jika perspektif ini diadopsi, hidup kita akan lebih berbahagia karena bisa menerima perspektif yang beragam dari manusia lain.
Sambutan wisuda Universitas Islam Indonesia pada 27 Mei 2023