Mas Menteri yang kami hormati,
Semoga Mas Menteri senantiasa dalam kesehatan paripurna. Kesehatan adalah modal awal untuk berkhidmat. Kehadiran Mas Menteri masih sangat dibutuhkan untuk kemajuan pendidikan nasional. Tak terkecuali, pendidikan tinggi di Bumi Pertiwi.
Izinkan saya menjadi penyambung lidah kawan-kawan pimpinan perguruan tinggi swasta (PTS) di Yogyakarta. Cacahnya lebih dari 100. Saya salah satunya.
Dengan segala keterbatasan yang ada, kami selama ini telah berjuang untuk terus bertumbuh dan memberikan layanan pendidikan terbaik untuk anak negeri. Tidak hanya untuk warga setempat, tetapi juga pendatang dari pulau seberang dan bahkan mancanegara.
Sudah lama kami gelisah dengan perkembangan mutakhir pendidikan tinggi di Indonesia. Tentu, kami sangat mengapresiasi beragam kebijakan yang sudah Mas Menteri telurkan untuk kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia. Sejak lahirnya ide cemerlang Kampus Merdeka, lanskap pendidikan tinggi telah berubah. Banyak sisi positif yang kami nikmati. Namun, sangat wajar, jika sebuah kebijakan juga mempunyai konsekuensi yang tidak diinginkan (unintended consequences). Ini tentu perlu dimitigasi.
Mas Menteri yang kami hormati,
Niat menjadikan banyak perguruan tinggi negeri (PTN) semakin dewasa dan mandiri, dengan menjadikan mereka PTN BH (Badan Hukum) adalah sangat mulia. Kami yakin, para PTN akan berlomba semakin inovatif, termasuk dalam mencari sumber pendanaan.
Proporsi dana pemerintah yang diterima oleh PTN BH semakin sedikit. Kabar yang sayup-sayup kami dengar, hanya sekitar 40% dari keseluruhan dana operasional. Sisanya, PTN boleh mendapatkan dana dari publik.
Bahkan, mampir ke telinga kami, sebuah kabar jika ada PTN yang menarik dana jika ada PTS yang ingin bekerja sama. Tentu, kabar seperti ini harus ditabayun, supaya tidak menjadi fitnah. Semoga ini hanya isapan jempol.
Kami juga tidak mudah percaya, jika kebijakan ini yang akhirnya menjadikan PTN menambah mahasiswa baru dalam jumlah yang luar biasa dan juga membuka program studi di luar khitahnya. Kami takut bersuuzan kepada PTN BH yang mendapatkan dukungan pemerintah, kekurangan dana sehingga mengembangkan ‘kapal keruk’ untuk menjaring mahasiswa tingkat diploma dan sarjana dengan cacah di luar nalar sehat.
Kami semua menginginkan negara yang kuat. Karenanya, kami sangat khawatir dianggap tidak percaya pada kemampuan anggaran negara. Kami tentu juga tidak rela jika negara dianggap cuci tangan dari kewajibannya mencerdaskan anak bangsa. Kebijakan yang membuka pintu 50% mahasiswa baru dapat melalui jalur mandiri, kami yakin mempunyai alasan yang mulia.
Konon menurut sebuah kabar sebuah PTN meningkatkan mahasiswa sampai sekitar 100% dari tahun lalu. Jika pada 2022 hanya menerima sekitar 11.000 mahasiswa baru, tahun ini menerima lebih dari 22.000. Sekali lagi, semoga ini hanya kabar burung yang tidak benar.
Mas Menteri yang kami hormati,
Tanpa bermaksud tidak sopan, melalui surat terbuka ini, izinkan kami menyampaikan hasil survei terhadap para pimpinan PTS di Yogyakarta. Tahun ini, banyak PTS yang harus memundurkan batas akhir penerimaan mahasiswa baru. Beberapa dari kami bahkan menundanya lebih dari 4 pekan dari rencana semula.
Ternyata, jadwal penerimaan mahasiswa baru di PTN, termasuk yang di bawah Kementerian Agama, telah mengubah konstelasi, karena ketidakpastian yang semakin tinggi. Melalui Aptisi V, mereka menitipkan pesan kepada Mas Menteri untuk meminta para pimpinan PTN yang terhormat menutup penerimaan mahasiswa barunya di akhir Juli. Kami sangat yakin, PTN sudah sangat kuat dan tidak akan kolaps karena permintaan sederhana ini.
Dengan semua kelebihan yang dimiliki, PTN pun bisa berfokus pada pendidikan tingkat magister atau doktor yang masih membutuhkan perhatian lebih. Juga dengan akumulasi sumber daya, PTN bisa menjadi contoh bagi banyak PTS dalam mengembangkan riset yang berkelas dunia.
Karena itu, para pimpinan PTS di Yogyakarta, juga memohon Mas Menteri dapat membatasi proporsi mahasiswa baru yang diterima melalui jalur mandiri. Sebanyak 36,6% pimpinan PTS bahkan tidak menginginkan jalur ini tetap dibuka. Sebagian besar lainnya (39,0%) setuju di angka 5%. Sebanyak sekitar 25%, memberikan sedikit kelonggaran antara 10% sampai dengan 20%.
Kami sangat yakin, Mas Menteri dengan pengalamannya mengelola perusahaan kelas dunia, sangat mudah memahami permintaan kawan-kawan saya ini. Permintaan ini tampaknya tidak hanya disuarakan dari pojok Yogyakarta, tetapi juga belahan lain negeri ini.
Memang betul, PTS yang jumlahnya ribuan itu ‘hanya’ melayani 4,5 juta mahasiswa, sedang PTN yang cacahnya ratusan itu menjadi rumah bagi sekitar 3,3 juta mahasiswa. Tetapi, ada yang sering dilupakan. Sebaran PTS menjangkau seluruh pelosok negeri, selain juga memberikan layanan pendidikan tinggi yang tidak mampu diberikan oleh PTN. Tidak hanya soal jangkauan geografis, tetapi juga perihal jangkauan daya beli.
Mas Menteri yang kami hormati,
Sekali lagi, saya mohon maaf jika surat terbuka ini membuat tidak nyaman. Insyaallah tidak ada niatan lain kami, selain untuk kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia yang bisa diakses oleh semakin banyak anak bangsa. Kami cinta bangsa dan negara ini. Kami yakin, kita semua mempunya visi masa depan yang sama: Indonesia maju.
Kami selalu mendoakan, semoga Mas Menteri dan seluruh jajaran selalu dimudahkan Allah dalam menjalankan amanat mulia ini.
Mohon berkenan menerima salam takzim kami.
Tulisan ini sudah tayang di Republika.id pada 31 Oktober 2023.
UII Terima Program CSR dari BPD DIY
Universitas Islam Indonesia (UII) menerima program bantuan Corporate Social Responsibility (CSR) dari PT. Bank Pembangunan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (Bank BPD DIY) Syariah. Penyerahan program tersebut diterima oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan dan Alumni, Dr. Drs. Rohidin, S.H., M.Ag. didampingi Arif Fajar Wibisono, S.E., M.Sc., selaku Direktur Pembinaan Kemahasiswaan UII, pada Jumat (13/10) di kampus UII. Read more
Pondok Pesantren UII Bahas Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
Islam adalah agama toleran, dibawakan oleh Rasulullah saw., yang menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin). Dengan demikian, agama menghargai hadirnya keberagaman pemikiran yang muncul di masyarakat. Mengenai itu, Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (UII) bekerja sama dengan Program Kaderisasi Ulama (PKU) Angkatan XVII Universitas Darussalam (Unida) Gontor menggelar Workshop Seminar Pemikiran dan Peradaban Islam, pada Senin (30/10).
Read more
Kebutuhan Akan Data Statistik Semakin Tinggi
Kebutuhan dunia pendidikan akan data statistik saat ini semakin tinggi. Universitas Islam Indonesia (UII) merupakan adalah salah satu diantaranya yang sadar akan pentingnya kebutuhan data statistik tersebut. Perhatian UII Nampak dari apresiasi yang diterima sebagai salah satu universitas dengan layanan Pojok Statistik terbaik di Indonesia.
Read more
Surat Cinta PTS Yogyakarta untuk Mas Menteri
Mas Menteri yang kami hormati,
Semoga Mas Menteri senantiasa dalam kesehatan paripurna. Kesehatan adalah modal awal untuk berkhidmat. Kehadiran Mas Menteri masih sangat dibutuhkan untuk kemajuan pendidikan nasional. Tak terkecuali, pendidikan tinggi di Bumi Pertiwi.
Izinkan saya menjadi penyambung lidah kawan-kawan pimpinan perguruan tinggi swasta (PTS) di Yogyakarta. Cacahnya lebih dari 100. Saya salah satunya.
Dengan segala keterbatasan yang ada, kami selama ini telah berjuang untuk terus bertumbuh dan memberikan layanan pendidikan terbaik untuk anak negeri. Tidak hanya untuk warga setempat, tetapi juga pendatang dari pulau seberang dan bahkan mancanegara.
Sudah lama kami gelisah dengan perkembangan mutakhir pendidikan tinggi di Indonesia. Tentu, kami sangat mengapresiasi beragam kebijakan yang sudah Mas Menteri telurkan untuk kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia. Sejak lahirnya ide cemerlang Kampus Merdeka, lanskap pendidikan tinggi telah berubah. Banyak sisi positif yang kami nikmati. Namun, sangat wajar, jika sebuah kebijakan juga mempunyai konsekuensi yang tidak diinginkan (unintended consequences). Ini tentu perlu dimitigasi.
Mas Menteri yang kami hormati,
Niat menjadikan banyak perguruan tinggi negeri (PTN) semakin dewasa dan mandiri, dengan menjadikan mereka PTN BH (Badan Hukum) adalah sangat mulia. Kami yakin, para PTN akan berlomba semakin inovatif, termasuk dalam mencari sumber pendanaan.
Proporsi dana pemerintah yang diterima oleh PTN BH semakin sedikit. Kabar yang sayup-sayup kami dengar, hanya sekitar 40% dari keseluruhan dana operasional. Sisanya, PTN boleh mendapatkan dana dari publik.
Bahkan, mampir ke telinga kami, sebuah kabar jika ada PTN yang menarik dana jika ada PTS yang ingin bekerja sama. Tentu, kabar seperti ini harus ditabayun, supaya tidak menjadi fitnah. Semoga ini hanya isapan jempol.
Kami juga tidak mudah percaya, jika kebijakan ini yang akhirnya menjadikan PTN menambah mahasiswa baru dalam jumlah yang luar biasa dan juga membuka program studi di luar khitahnya. Kami takut bersuuzan kepada PTN BH yang mendapatkan dukungan pemerintah, kekurangan dana sehingga mengembangkan ‘kapal keruk’ untuk menjaring mahasiswa tingkat diploma dan sarjana dengan cacah di luar nalar sehat.
Kami semua menginginkan negara yang kuat. Karenanya, kami sangat khawatir dianggap tidak percaya pada kemampuan anggaran negara. Kami tentu juga tidak rela jika negara dianggap cuci tangan dari kewajibannya mencerdaskan anak bangsa. Kebijakan yang membuka pintu 50% mahasiswa baru dapat melalui jalur mandiri, kami yakin mempunyai alasan yang mulia.
Konon menurut sebuah kabar sebuah PTN meningkatkan mahasiswa sampai sekitar 100% dari tahun lalu. Jika pada 2022 hanya menerima sekitar 11.000 mahasiswa baru, tahun ini menerima lebih dari 22.000. Sekali lagi, semoga ini hanya kabar burung yang tidak benar.
Mas Menteri yang kami hormati,
Tanpa bermaksud tidak sopan, melalui surat terbuka ini, izinkan kami menyampaikan hasil survei terhadap para pimpinan PTS di Yogyakarta. Tahun ini, banyak PTS yang harus memundurkan batas akhir penerimaan mahasiswa baru. Beberapa dari kami bahkan menundanya lebih dari 4 pekan dari rencana semula.
Ternyata, jadwal penerimaan mahasiswa baru di PTN, termasuk yang di bawah Kementerian Agama, telah mengubah konstelasi, karena ketidakpastian yang semakin tinggi. Melalui Aptisi V, mereka menitipkan pesan kepada Mas Menteri untuk meminta para pimpinan PTN yang terhormat menutup penerimaan mahasiswa barunya di akhir Juli. Kami sangat yakin, PTN sudah sangat kuat dan tidak akan kolaps karena permintaan sederhana ini.
Dengan semua kelebihan yang dimiliki, PTN pun bisa berfokus pada pendidikan tingkat magister atau doktor yang masih membutuhkan perhatian lebih. Juga dengan akumulasi sumber daya, PTN bisa menjadi contoh bagi banyak PTS dalam mengembangkan riset yang berkelas dunia.
Karena itu, para pimpinan PTS di Yogyakarta, juga memohon Mas Menteri dapat membatasi proporsi mahasiswa baru yang diterima melalui jalur mandiri. Sebanyak 36,6% pimpinan PTS bahkan tidak menginginkan jalur ini tetap dibuka. Sebagian besar lainnya (39,0%) setuju di angka 5%. Sebanyak sekitar 25%, memberikan sedikit kelonggaran antara 10% sampai dengan 20%.
Kami sangat yakin, Mas Menteri dengan pengalamannya mengelola perusahaan kelas dunia, sangat mudah memahami permintaan kawan-kawan saya ini. Permintaan ini tampaknya tidak hanya disuarakan dari pojok Yogyakarta, tetapi juga belahan lain negeri ini.
Memang betul, PTS yang jumlahnya ribuan itu ‘hanya’ melayani 4,5 juta mahasiswa, sedang PTN yang cacahnya ratusan itu menjadi rumah bagi sekitar 3,3 juta mahasiswa. Tetapi, ada yang sering dilupakan. Sebaran PTS menjangkau seluruh pelosok negeri, selain juga memberikan layanan pendidikan tinggi yang tidak mampu diberikan oleh PTN. Tidak hanya soal jangkauan geografis, tetapi juga perihal jangkauan daya beli.
Mas Menteri yang kami hormati,
Sekali lagi, saya mohon maaf jika surat terbuka ini membuat tidak nyaman. Insyaallah tidak ada niatan lain kami, selain untuk kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia yang bisa diakses oleh semakin banyak anak bangsa. Kami cinta bangsa dan negara ini. Kami yakin, kita semua mempunya visi masa depan yang sama: Indonesia maju.
Kami selalu mendoakan, semoga Mas Menteri dan seluruh jajaran selalu dimudahkan Allah dalam menjalankan amanat mulia ini.
Mohon berkenan menerima salam takzim kami.
Tulisan ini sudah tayang di Republika.id pada 31 Oktober 2023.
Yogya Masih (Ny)aman?
Apakah Yogyakarta masih aman dan nyaman? Seorang kawan pimpinan perguruan tinggi swasta (PTS) bercerita jika dia diminta membuat pernyataan oleh orang tua mahasiswa yang ingin mengirimkan anaknya berkuliah di Yogyakarta. Apa pasal? Orang tua yang berdomisili di Pulau Sumatera tersebut khawatir dengan keamanan anaknya ketika merantau.
Berita terkait kekerasan jalanan (klithih) yang kerap terjadi di Yogyakarta telah sampai ke pulau seberang. Saya pun mengetikkan frasa “kekerasan jalanan” Yogyakarta di mesin pencari Google. Muncul 33.800 entri. Ketika saya khususkan ke kanal berita, muncul lebih dari 5.000 entri.
Citra Yogyakarta
Paparan informasi soal kekerasan jalanan ini ternyata telah berandil mengubah citra Yogyakarta. Kawan saya tersebut percaya bahwa kekerasan jalanan yang tak kunjung mendapatkan solusi permanen ini mempunyai andil pada penurunan minat calon mahasiswa luar daerah untuk datang ke Yogyakarta. Saya mengamini kekhawatiran ini.
Masalahnya tidak hanya sampai di isu keamanan. Kawan tersebut juga bercerita jika orang tua di Pulau Kalimantan mengeluhkan hal lain ketika mengirimkan anaknya untuk menuntut ilmu di PTS Yogyakarta. Ketika pulang, anaknya tidak menjadi semakin santun seperti yang diharapkan.
Padahal, di waktu yang lampau, budaya Yogyakarta dipercaya telah membentuk mahasiswa pendapat menjadi lebih santun, budaya yang sangat ‘jogjawi’. Orang tua ini pun akhirnya secara retoris bertanya: mengapa saya harus memilih Yogyakarta untuk sekolah anak saya, jika tidak berbeda dengan kota lain?
Cerita tentang kesan terhadap Yogyakarta yang berubah sudah cukup lama saya dengar. Beberapa tahun lalu, misalnya, seorang kawan pimpinan PTS di Jawa Timur menarik kembali anaknya yang bersekolah di Yogyakarta. Anaknya tersebut didekati oleh sebuah geng yang akan merekrutnya.
Namun, jika kampus sampai diminta membuat surat pernyataan tertulis itu kejadian yang tidak pernah saya bayangkan.
Sebagian pembaca mungkin langsung menolak dengan dalih: kan hanya beberapa orang tua saja. Alasan lain dibuat: sebagian besar Yogyakarta masih baik-baik saja. Tapi, bagaimana meyakinkan orang tua di pulau seberang sana? Bagaimana jawaban kita jika ternyata berita kekerasan jalanan terus menghiasi media.
Sebagai bentuk tanggung jawab, apakah mungkin kita anggap cerita di atas sebagai sistem peringatan dini yang perlu dimitigasi segera?
Jangan sampai kita menyepelekan isu terkait kesan tidak aman dan nyaman ini. Banyak keputusan orang tua calon mahasiswa yang didasarkan pada kesan yang dibentuk dari informasi yang memapar. Mereka pun mulai mempertanyakan, apakah Yogyakarta tetap berhati nyaman. Ini satu sisi.
Di sisi lain, pengabaian terhadap masalah (kecil) yang muncul, sangat mungkin akan menjadikan masalah membesar. Ingat Teori Jendela Rusak! Ketika jendela rusak di sebuah gedung dibiarkan, maka orang akan mengira bahwa gedung tidak dikelola dengan baik. Jangan kaget, jika di kemudian hari, semakin banyak kaca jendela lain yang pecah.
Langkah kolektif
Ini adalah isu serius. Apa yang bisa dilakukan secara kolektif? Ada beberapa.
Pertama, semua pihak terkait, termasuk sekolah, kampus, masyarakat, pemerintah, dan aparat saling bahu-membahu menjaga Yogyakarta tetap kondusif sebagai tempat tujuan belajar. Fakta sosial bahwa warga Yogyakarta selalu santun dan ramah kepada pendatang perlu terus dihadirkan. Ini sekaligus akan menjadi cermin bagi pendatang untuk mempelajari dan menyerap kebaikan budaya setempat.
Kedua, berita-berita baik terkait Yogyakarta perlu terus diproduksi dengan kegiatan positif dan dilempar ke media. Kemarahan atau protes kita kepada pemberitaan yang suka dengan sudut pandang negatif tidak akan banyak berdampak. Kita harus banjiri media dan dunia maya dengan berita baik.
Ketiga, oknum pelaku kekerasan jalanan harus diproses dengan tuntas dan kelompok geng inang tempat menularnya kekerasan perlu dikondisikan. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memangkas budaya laten ini sampai ke akar-akarnya.
Tentu, masih banyak upaya lain yang bisa dipilih, tetapi waktu terus berjalan. Tanpa tindakan segera, predikat Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan dapat memudar dalam waktu yang tidak terlalu lama. Semoga tidak!
Tulisan sudah ditayangkan pada Kolom Analisis Kedaulatan Rakyat pada 30 Oktober 2023.
Strategi Berkarier Menjadi Diplomat
Kesempatan untuk mendapatkan proyeksi karier masa depan menjadi salah satu hal menarik selama masa perkuliahan. Selain untuk memetakan minat mahasiswa di dalam dunia kerja, diskusi karier menjadi wadah mahasiswa untuk dapat menggali lebih dalam mengenai bidang yang benar-benar ingin ditekuninya. Untuk itu, Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan diskusi karier dengan tema Preparing Yourself to Be a Diplomat pada Senin (30/10) bertempat di Lab. Klasikal lantai 4 Gedung FPSB. Read more
UII Realisasikan Program Beasiswa Fasilitas Pondokan
Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan Universitas Islam Indonesia (UII) menggandeng salah satu Pemilik Kos/Pondokan guna merealisasikan Program Beasiswa Fasilitas Kos/Pondokan Mahasiswa UII. Kerja sama UII dengan pemilik kos tersebut ditandai dengan penandatanganan naskah kerja sama pada pada Rabu (25/10) di Gedung GBPH. Prabuningrat oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan dan Alumni UII, Dr. Drs. Rohidin, S.H., M.Ag. dan Ir. Bachnas, M.Sc. selaku pihak pemilik kos yang berlokasi di Jalan Nglanjaran, Candi Winangun, Sardonoharjo, Kec. Ngaglik, Kab. Sleman.
Read more
UII Adakan Pertemuan dengan Detasering Széchenyi István University
Universitas Islam Indonesia (UII) kembali memperluas jejaring dan relasi internasionalnya. Kali ini UII melakukan pertemuan dan berdiskusi dengan Detasering dari Széchenyi István University of Gyor Hungaria, Prof.em. Dr. Habil Zoltan Szegedi pada Kamis (26/10). Diskusi yang dikemas dalam jamuan makan malam tersebut berlangsung di Kolona Kitchen & Coffee, Jl. Palagan No.8 Yogyakarta.
Read more
Dosen UII Dikukuhkan Sebagai Profesor Ilmu Kimia dan Ilmu Pengantar Rancang Kota
Dua dosen Universitas Islam Indonesia (UII) yakni Prof. Drs. Allwar, M.Sc., Ph.D. dikukuhkan sebagai professor dalam Bidang Ilmu Kimia dan Prof. Ar. Suparwoko, Ir. MURP. Ph.D. IAI. IAP. sebagai professor dalam Bidang Ilmu Pengantar Rancang Kota dalam Rapat Terbuka Senat UII pada Selasa (31/10), di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir.
Dalam pidato pengukuhannya yang bertajuk Komposit Sebagai Material Maju Untuk Energi
dan Lingkungan, Prof. Allwar yang juga menjabat sebagai Ketua Pengembangan Pendidikan, Yayasan Badan Wakaf (YBW) UII ini mengemukakan tentang dampak negatif dari kemajuan industri serta pemanfaatan material maju sebagai bagian dari mitigasi dampak negatif tersebut.
Disampaikan Prof. Allwar, nanokomposit menjadi fokus utama dalam penelitiannya kali ini, yakni meliputi nanokomposit sebagai adsorben serta katalis untuk proses hidrokraking atau hidrogenasi dalam mencari sumber energi terbarukan.
Menurutnya, Aplikasi nanomaterial komposit sangat menjanjikan sebagai adsorben dan fotokatalis terutama untuk menjaga kesehatan lingkungan perairan. Sintesis nanomaterial seperti Fe304/karbon aktif, NiO-ZnO/karbon aktif, Fe304-Ti02/karbon Aktif, CuO/karbon aktif, Ag2O-ZnO/nanoselulosa telah di analisis dan di uji kapasitasnya sebagai adsorben pada proses adsorpsi fenol dan klorofenal, zat warna sentetik seperti rhodamine B dan metil orange, limbah obat-obatan seperti metformin, terasiklin, ibuprofen dll.
Di samping pembahasan utama mengenai nanomaterial, Prof. Allwar yang juga masih aktif mengajar di program studi kimia UII ini juga mengemukakan beragam tantangan dalam perkembangan nanoteknologi di Indonesia, seperti perkembangannya yang masih relatif lambat, hasil riset yang masih berada dalam skala kecil, dan penelitian potensial yang masih belum mampu mencapai tahap implementasi.
Tantangan lain juga muncul dari belum banyaknya orang yang mengetahui manfaat besar dari nanomaterial khususnya karbon aktif. “tidak banyak orang mengetahui keistimewaan dari karbon aktif, hingga banyak Masyarakat tidak tertarik melakukan bisnis karbon aktif,” tutur Prof. Allwar.
Inovasi Pengembangan Kota Kecil
Dalam kesempatan penyampaian pidato pengukuhan selanjutnya, Prof. Suparwoko mengangkat materi tentang Inovasi Pengembangan Kota Kecil Berbasis Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah di Indonesia. Pria yang meraih gelar Doktor dari Victoria University of Technology, Australia ini mengemukakan beberapa topik dalam rangkum penelitiannya antara lain Hilirisasi Desa Kota, Inovasi Pengembangan Kota Kecil, Inovasi Tipologi Rumah MBR, serta Inovasi Material.
Dalam topik pembuka, Prof. Suparwoko membawa Pantai Selatan Jawa Tengah sebagai studi kasus untuk hilirisasi desa kota dengan kajian wisata Pantai. Seraya memaparkan keindahan lanskap beberapa Pantai di Jawa Tengah, dikemukakan juga lonjakan jumlah objek wisata yang menurutnya memerlukan waktu kurang lebih 20 tahun untuk mencapai tingkat yang demikian signifikan.
Menurut Prof. Suparwoko, upaya penelitian yang juga mengawal perkembangan Pembangunan infrastruktur dari beragam dimensi di wilayah tersebut juga turut mengantarkan arus kesejahteraan yang cukup kuat, terutama dalam dimensi Pendidikan dan ekonomi Masyarakat. Bagian paruh pertama ini ditutup dengan visi pengembangan perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Selanjutnya, Prof. Suparwoko mengemukakan bahwa pembangunan kota kecil berbasis perumahan MBR sangat signifikan dibutuhkan dan perlu dilakukan secara simultan kerjasama top down dan bottom up. Pembangunan ini sangat baik dan rasional untuk dirancang, mengingat pendekatan yang digunakan adalah local genius dari Surya Mandala dan Catur Gatra Tunggal dari Kerjaan Majapahit.
Temuan Prof. Suparwoko terinspirasi dari Pembangunan kota Barcelona, Spanyol sejak tahun 1830-an mengenai Kerjasama antara Madrid dan Barcelona dalam peneluran konsep perluasan kota dan mengutamakan daerah di luarnya. Pendekatan ini juga ditemukan dalam Surya Majapahit meski belum digunakan untuk pendekatan spasial. Ia juga menitik beratkan pada Local Genius Catur Gatra Tunggal, yakni integrasi ideal antara Keraton, Agama, Alun-alun, serta Pasar yang diolah menjadi alternatif pengembangan kota kecil di Indonesia.
Di samping temuan-temuannya, tidak lupa Prof. Suparwoko mengingatkan tentang pentingnya Upaya integrasi dan kerja kolektif antar stakeholder yang seharusnya terlibat. “Pembangunan kota kecil berbasis MBR di Indonesia perlu kebersamaan potensi integrasi PENTAHELIX (konsep multi pihak) yang bekerja sama antara Pemerintah, Masyarakat, Perguruan Tinggi, Dunia Usaha, dan Media Masa” tutur Prof. Suparwoko.
Dalam hal ini, dikemukakan Prof. Suparwoko peranan perguruan tinggi diharapkan dapat menjadi lebih proaktif untuk meningkatkan alokasi dana kegiatan dan fasilitas laboratorium untuk kepentingan lapangan. Salah satu Upaya yang dapat dilakukan adalah melalui percobaan dan pembuatan model pembangunan kawasan dan perumahaan, serta pembuatan puwarupa bangunan rumah MBR beserta komponen atau konstruksinya.
“Ilmu adalah sesuatu yang lapang dan berada di lapangan – kampus adalah bagian sangat penting berada di lapangan,” tutup Prof. Suparwoko. (HM/RS)
Harmoni Kolegial
Lingkungan perguruan tinggi berubah. Asumsi yang di waktu lampau masih valid, saat ini kembali ditantang. Banyak di antaranya yang berguguran karena relevansinya memudar. Namun, ada juga asumsi yang tetap relevan dan bahkan perlu lebih ditekankan.
Apa pun perubahan tersebut, seharusnya tidak menjauhkan perguruan tinggi dari nilai-nilai baik yang dirawatnya. Bisa jadi setiap perguruan tinggi mempunyai basis pijakan nilai yang spesifik dan tidak mudah disatukan. Universitas Islam Indonesia (UII) tidak muncul di ruang hampa dan berangkat dari nilai-nilai yang disemai oleh para pendirinya.
Kontestasi nilai-nilai
Sangat mungkin nilai-nilai lama itu dikontestasi dengan nilai-nilai baru. Keduanya tidak selalu kompatibel, dan bisa jadi berseberangan. Jika ini terjadi, perguruan tinggi berada dalam posisi yang tidak mudah. Pilihan ekstremnya adalah mengikuti arus dan mengabaikan nilai-nilai yang diyakini, atau melakukan perlawanan, meskipun kecil, supaya masih bertumbuh dengan tetap memegang nilai-nilai.
Pilihan UII jatuh kepada yang kedua. Tidak semua orang sepakat, dan jujur, termasuk di dalam UII sendiri. Sesuatu yang wajar, asalkan adu argumen akademik sehat yang dikedepankan.
Tentu pilihan itu pun bukan tanda tantangan. Tantangannya adalah bagaimana tetap mendapatkan legitimasi ketika tidak mengikuti logika khalayak. Salah satu pendekatan yang diambil adalah mengedepankan pertumbuhan substantif dengan tetap menjaga nilai-nilai.
Pilihan ini merupakan ikhtiar kembali menegaskan asumsi (baca: nilai-nilai) lama yang masih relevan dan di saat yang sama juga mengadopsi asumsi baru sebagai bentuk respons kreatif. Pilihan ini didasarkan pada prinsip al-muhafadhatu ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik. Salah satu asumsi lama yang ditegaskan adalah kolegialitas, yang dipadukan dengan harmoni.
Kolegialitas yang memudar
Jika mempelajari tata kelola perguruan tinggi yang dijalankan, kita tidak mungkin menafikan nilai-nilai yang mendasarinya. Beragam kategorisasi ditemukan dalam literatur, baik klasik maupun modern.
Kita ambil saja salah satunya. Model tata kelola perguruan tinggi ada yang lebih dominan ke arah akademik, di kelompok satu, dan yang lebih dominan ke korporat, di kelompok lainnya. Distingsi ini pada tataran nilai pijakan utama. Dalam praktik, sangat mungkin terlihat ada irisan, meski berangkat dari nilai dominan yang berbeda.
Kelompok yang pertama mengedepankan kolegialitas. Dalam konteks ini, kolektivitas dalam pengambilan keputusan penting menjadi budaya. Iklim demokrasi tumbuh subur. Warga kampus tidak takut untuk menyatakan pendapat dengan argumentasi akademik. Namun di saat yang sama, konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak normal, karena dieliminasi oleh komunitas intelektual yang cenderung menjaga harmoni.
Ada dua model yang mungkin dimasukkan ke dalam kelompok kedua, yaitu model birokrasi dan model korporasi. Apa bedanya? Pada model birokrasi, ada pembagian jenjang dan kerja yang saklek. Termasuk di dalamnya adalah ukuran-ukuran administrasi yang kaku. Pendekatan yang digunakan adalah atas-bawah. Pada model korporasi, persaingan pasar dan pemenuhan kebutuhan konsumen sangat dominan.
Tata kelola model korporasi ini tidak dikenal di 1970an, tetapi sudah mendominasi untuk saat ini, terutama di perguruan tinggi di Amerika Serikat. Mereka sangat berorientasi kepada pasar. Persaingan menjadi konsekuensi logisnya.
Sampai level tertentu, persaingan ini dapat mengabaikan nilai-nilai baik yang seharusnya dijaga oleh perguruan tinggi, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai salah satu benteng terakhir moralitas. Nilai-nilai dapat diabaikan untuk memenangkan persaingan, meski dalam banyak kesempatan yang dikhotbahkan adalah kolaborasi. Ini merupakan indikasi hipokrisi yang sangat nyata.
Sialnya, pendekatan ini juga diadopsi di banyak perguruan tinggi di belahan dunia yang lain. Tak ketinggalan juga perguruan tinggi di Indonesia. Bahkan, kebijakan negara pun didominasi pendekatan yang cenderung mengadopsi paham neoliberalisme ini.
Meski banyak kritik dialamatkan kepada tren ini, tetapi tampaknya gaungnya belum cukup membuat perubahan. Penekanan pada ‘harmoni kolegial’ untuk membingkai program di 2024 merupakan salah satu bentuk ‘perlawanan kecil’ UII. Semoga!
Tulisan ini sudah dimuat di UIINews edisi Oktober 2023.