Dalam jagat pendidikan tinggi Indonesia, perguruan tinggi swasta (PTS) tak jarang dianggap sebagai warga kelas dua atau bahkan beban negara. Memang sikap ini tidak secara eksplisit disampaikan, tetapi tidak sulit untuk menemukan indikasinya. Diskusi panjang di antara pimpinan PTS soal ini menyimpan banyak cerita pahit.
Beban meringan
Mari berandai-andai. Jika ada orang di dekat pembaca, minta bantuannya untuk membaca bagian di bawah ini. Anggukkan kepala tanda setuju di setiap bagiannya.
Apa yang terjadi jika semua PTS di Indonesia dibekukan? Beban negara dipastikan menjadi lebih ringan. Energinya tidak lagi tersita untuk melayani 2.982 PTS. Apalagi sebagian PTS ini sering dikeluhkan tidak bermutu.
Kantor Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) pun bisa ditutup. Tidak perlu lagi menggaji ribuan Aparat Sipil Negara (ASN) yang ditugaskan di belasan LLDikti yang tersebar di seluruh Indonesia.
Anggaran negara pun tidak lagi tersedot untuk membayar tunjangan profesi 183.713 dosen PTS. Negara tidak perlu direpotkan lagi menyiapkan tempat penyimpanan data transaksi akademik 4.495.453 mahasiswa PTS. Beban layanan teknologi informasinya menjadi lebih ringan.
Negara pun tidak perlu menyiapkan anggaran besar untuk sektor pendidikan. Pada 2024, anggaran sektor pendidikan sekitar Rp665 triliun yang setara dengan 20 persen APBN. Jika melihat pola sebelumnya, sekitar satu persen diperuntukkan untuk pendidikan tinggi. Penghematan sebagian anggaran ini membawa kabar bahagia di tengah kesulitan negara membiayai beragam proyek strategis nasional. Ini baru soal yang terukur.
Kebahagiaan pun bertambah, ribuan ASN, termasuk para pejabat, yang selama ini melayani beragam persoalan PTS pun terlepas dari beban beratnya. PTS sering kali dianggap tidak tahu diri, karena terlalu banyak permintaan dan terlalu sering melakukan protes. Sebagian pejabat seakan sudah jengah dengan ulah PTS ini.
Ilustrasi di atas baru didasarkan pada PTS yang berada di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Data 2022 dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang digunakan. PTS yang berada di bawah Kementerian Agama belum masuk radar. Jika ini dimasukkan, hanya kebahagiaan yang membuncah, karena beban di pundak negara menjadi semakin ringan. Tentu, ini perlu dirayakan dengan suka cita. Hore!
Jika pembaca menyambut baik kabar gembira di atas, mari kita lanjutan ceritanya. Anak muda usia kuliah mempunyai waktu banyak bersama keluarga atau mencari nafkah, karena dari cacah mereka yang lebih dari 25 juta, hanya 3.379.828 atau 13,37 persen yang menjadi mahasiswa. Inilah angka partisipasi kasar pendidikan tinggi (APK PT) di Indonesia, jika semua PTS dilenyapkan dari muka bumi Indonesia.
Potret yang dicari
Pertanyaannya, apakah potret ini yang kita cari? Tentu saja tidak. Kita tidak ingin semakin penduduk usia kuliah yang tidak mendapatkan haknya, karena negara abai terhadap amanah konstitusi dalam mencerdaskan anak bangsa. Kita tidak rela, bangsa Indonesia semakin tertinggal dengan negara-negara lain. Kualitas anak bangsa harus terus ditingkatkan.
Dengan memasukkan kembali PTS dalam jagat pendidikan tinggi Indonesia, APK PT menjadi 31,16 persen. PTS berandil sebesar 17,79 persen, lebih tinggi dibandingkan andil PTN.
Karena beragam alasan itulah, PTS lahir di Bumi Pertiwi. Bahkan sebagian PTS lahir sebelum negara Indonesia resmi diproklamasikan. Universitas Islam Indonesia (UII), misalnya, lahir 40 hari sebelum kemerdekaan. Sebagian PTS lain, dibuka ketika bangsa ini dalam situasi sulit. Mereka sudah memikirkan masa depan bangsa. Ini adalah wujud kecintaan PTS yang mendampingi negara ketika tangannya tak sanggup memeluk semua anak bangsa. Sejak lama dilakukan dan masih sama, sampai hari ini.
Jika kesadaran ini yang hadir, maka posisi PTS akan dimuliakan, keberadaannya dianggap mitra, kehadirannya disambut dengan suka cita, dan pertumbuhannya diupayakan bersama. Bukan sebaliknya: posisinya dihinakan dengan selalu diragukan kualitasnya, keberadaan dianggap pesaing, kehadirannya disamakan dengan beban, dan pertumbuhannya diabaikan karena tidak punya masa depan.
Ingat, sebagian besar PTS yang dianggap mapan, juga dimulai dari PTS kecil yang terseok-seok di awal berdirinya. Dengan konsistensi pada nilai pijakan yang mulia dan ikhtiar kolektif istikamah, perlahan PTS bertumbuh dan menegaskan kontribusinya untuk bangsa. Hanya segelintir PTS yang lahir bongsor. Karenanya, tidak perlu lagi menghinakan PTS yang sedang berjuang untuk berkembang.
Peran penyanding
Apakah pembaca masih belum yakin tentang dampak signifikan kehadiran PTS? Tidak apa-apa. Jangankan pembaca awam, sebagian pejabat, termasuk yang di PTN, yang digaji dengan uang pajak pun terkadang demikian. Seakan mereka ingin mengaburkan peran PTS dengan mengatakan: “Betul, jumlah PTS ribuan tapi hanya melayani 4,5 juta mahasiswa loh. PTN meski jumlahnya hanya 125, tapi melayani 3,3 juta.”
Kehadiran PTS seakan dianggap tidak berharga, karena kalah dengan PTN yang dianggap selalu hebat. Posisi yang membandingkan dan bukan menyandingkan ini sangat berbahaya. Sialnya, hal ini tidak disadari. Terus terang, saya juga sangat khawatir jika sudut pandang yang muncul dari alam bawah sadar ini diadopsi oleh pejabat pengambil kebijakan.
Mungkin karena pemahaman ini juga, ada modul khusus bersampul sebuah apel merah di atas tumpukan buku, yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak berjudul: Modul Penggalian Potensi Pajak Sektor Usaha Jasa Pendidikan. Namun, ini baru dugaan, dan karenanya perlu ditabayun, supaya tidak menimbulkan fitnah.
Mari kita lanjutkan dengan beberapa data. Dari 34 provinsi yang terdaftar dari data BPS, di 21 provinsi, proporsi mahasiswa yang menuntut ilmu di PTS lebih dari separuh. Di Sumatera Utara, misalnya, dari 381.458 mahasiswa, 78,3 persen berkuliah di PTS. Di Riau, sebanyak 73,0 persen mahasiswa duduk di bangku PTS. Bahkan di DKI Jakarta, angka ini mencapai 85,1 persen. Potret ini belum ditambah dengan fakta sebaran PTS yang menjangkau pelosok negeri yang tidak terjangkau oleh tangan negara.
Kaca mata jernih
Negara sudah seharusnya melihat PTS dengan kaca mata yang lebih jernih. Betul, ada disparitas kualitas PTS. Fenomena serupa pun terjadi di PTN, meski dengan kesenjangan yang berbeda. Itulah pekerjaan rumah bersama bangsa ini.
PTS tidak pernah ingin menjadi anak emas dan diperlakukan istimewa. Yang dibutuhkan hanya lapangan permainan setara yang menjadi lahan subur untuk pertumbuhan bersama. PTS sudah bertahun-tahun membuktikan dirinya mampu mandiri, tanpa terlalu banyak uluran tangan pemerintah.
PTS pun tidak lantas menjadi anak durhaka yang lupa berterima kasih kepada negara dengan beragam program ungkitan. Apresiasi tinggi tentu diberikan. Namun, jeritan PTS yang menggaung di ruang publik dalam beberapa tahun terakhir, termasuk kebijakan penerimaan mahasiswa baru, perlu didengar kembali dengan kesadaran baru dan dilihat lagi dengan lensa yang lebih sensitif.
Bisa jadi, tidak semua usulan mungkin diakomodasi, karena beragam alasan. Tetapi, saya yakin banyak ruang terbuka untuk perbaikan bersama. Itulah indahnya argumentasi di dunia akademik ketika semuanya mungkin dibicarakan dengan terbuka tanpa kepentingan tersembunyi dan kalis dari adu kuasa. Semoga.
Tulisan sudah tayang di Republika.id pada 3 Desember 2023.
UII dan Universitas Medan Area Jalin Kerja Sama
Universitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas Medan Area (UMA) melaksanakan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama dalam rangka perluasan kerja sama di bidang arsitektur, bisnis dan ekonomi. Penandatanganan MoU digelar pada Kamis (7/12) di Gedung Prof. Dr. Sardjito Kampus Terpadu UII.
Kerja sama ini dilakukan antara pihak UMA dengan Inkubasi Bisnis dan Inovasi Bersama (IBISMA)/Direktorat Pembinaan dan Pengembangan Kewirausahaan Simpul Tumbuh UII, serta Program Studi Arsitektur UII, dalam rangka meningkatkan wawasan di bidang terkait bagi kedua belah pihak.
Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., berharap kerja sama dapat berdampak positif bagi masyarakat luas. “Ini membuat kami berbahagia karena kami percaya kalau ikhtiar positif dari kedua belah pihak akan berdampak positif bagi masyarakat luas, tidak hanya bagi kedua perguruan tinggi tapi juga masyarakat yang lebih luas lagi,” jelas Prof. Fathul Wahid.
Lebih lanjut Prof. Fathul Wahid menyampaikan komitmennya terhadap kerja sama yang terjalin agar dapat dimanfaatkan dengan baik oleh sivitas akademika di masing-masing kampus. “Kami berharap semoga yang terbaik, kerja sama yang bermanfaat nanti akan diisi dengan aktivitas-aktivitas bermakna untuk kedua belah pihak, yang melibatkan semua warga, baik dosen maupun mahasiswa,” harapnya.
Senada, Rektor UMA Prof. Dr. Dadan Ramdan, M.Eng, M.Sc., dalam sambutannya memberikan respons baik terjalinnya kerja sama dengan UII. “Inti dari kerja sama ke depan ingin berubah dengan serius, di mana kami memiliki banyak MoU yang implementasinya terkadang terkendala,” tutur Prof. Dr. Dadan Ramdan. (JR/RS)
Indonesia Sonder Perguruan Tinggi Swasta
Dalam jagat pendidikan tinggi Indonesia, perguruan tinggi swasta (PTS) tak jarang dianggap sebagai warga kelas dua atau bahkan beban negara. Memang sikap ini tidak secara eksplisit disampaikan, tetapi tidak sulit untuk menemukan indikasinya. Diskusi panjang di antara pimpinan PTS soal ini menyimpan banyak cerita pahit.
Beban meringan
Mari berandai-andai. Jika ada orang di dekat pembaca, minta bantuannya untuk membaca bagian di bawah ini. Anggukkan kepala tanda setuju di setiap bagiannya.
Apa yang terjadi jika semua PTS di Indonesia dibekukan? Beban negara dipastikan menjadi lebih ringan. Energinya tidak lagi tersita untuk melayani 2.982 PTS. Apalagi sebagian PTS ini sering dikeluhkan tidak bermutu.
Kantor Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) pun bisa ditutup. Tidak perlu lagi menggaji ribuan Aparat Sipil Negara (ASN) yang ditugaskan di belasan LLDikti yang tersebar di seluruh Indonesia.
Anggaran negara pun tidak lagi tersedot untuk membayar tunjangan profesi 183.713 dosen PTS. Negara tidak perlu direpotkan lagi menyiapkan tempat penyimpanan data transaksi akademik 4.495.453 mahasiswa PTS. Beban layanan teknologi informasinya menjadi lebih ringan.
Negara pun tidak perlu menyiapkan anggaran besar untuk sektor pendidikan. Pada 2024, anggaran sektor pendidikan sekitar Rp665 triliun yang setara dengan 20 persen APBN. Jika melihat pola sebelumnya, sekitar satu persen diperuntukkan untuk pendidikan tinggi. Penghematan sebagian anggaran ini membawa kabar bahagia di tengah kesulitan negara membiayai beragam proyek strategis nasional. Ini baru soal yang terukur.
Kebahagiaan pun bertambah, ribuan ASN, termasuk para pejabat, yang selama ini melayani beragam persoalan PTS pun terlepas dari beban beratnya. PTS sering kali dianggap tidak tahu diri, karena terlalu banyak permintaan dan terlalu sering melakukan protes. Sebagian pejabat seakan sudah jengah dengan ulah PTS ini.
Ilustrasi di atas baru didasarkan pada PTS yang berada di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Data 2022 dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang digunakan. PTS yang berada di bawah Kementerian Agama belum masuk radar. Jika ini dimasukkan, hanya kebahagiaan yang membuncah, karena beban di pundak negara menjadi semakin ringan. Tentu, ini perlu dirayakan dengan suka cita. Hore!
Jika pembaca menyambut baik kabar gembira di atas, mari kita lanjutan ceritanya. Anak muda usia kuliah mempunyai waktu banyak bersama keluarga atau mencari nafkah, karena dari cacah mereka yang lebih dari 25 juta, hanya 3.379.828 atau 13,37 persen yang menjadi mahasiswa. Inilah angka partisipasi kasar pendidikan tinggi (APK PT) di Indonesia, jika semua PTS dilenyapkan dari muka bumi Indonesia.
Potret yang dicari
Pertanyaannya, apakah potret ini yang kita cari? Tentu saja tidak. Kita tidak ingin semakin penduduk usia kuliah yang tidak mendapatkan haknya, karena negara abai terhadap amanah konstitusi dalam mencerdaskan anak bangsa. Kita tidak rela, bangsa Indonesia semakin tertinggal dengan negara-negara lain. Kualitas anak bangsa harus terus ditingkatkan.
Dengan memasukkan kembali PTS dalam jagat pendidikan tinggi Indonesia, APK PT menjadi 31,16 persen. PTS berandil sebesar 17,79 persen, lebih tinggi dibandingkan andil PTN.
Karena beragam alasan itulah, PTS lahir di Bumi Pertiwi. Bahkan sebagian PTS lahir sebelum negara Indonesia resmi diproklamasikan. Universitas Islam Indonesia (UII), misalnya, lahir 40 hari sebelum kemerdekaan. Sebagian PTS lain, dibuka ketika bangsa ini dalam situasi sulit. Mereka sudah memikirkan masa depan bangsa. Ini adalah wujud kecintaan PTS yang mendampingi negara ketika tangannya tak sanggup memeluk semua anak bangsa. Sejak lama dilakukan dan masih sama, sampai hari ini.
Jika kesadaran ini yang hadir, maka posisi PTS akan dimuliakan, keberadaannya dianggap mitra, kehadirannya disambut dengan suka cita, dan pertumbuhannya diupayakan bersama. Bukan sebaliknya: posisinya dihinakan dengan selalu diragukan kualitasnya, keberadaan dianggap pesaing, kehadirannya disamakan dengan beban, dan pertumbuhannya diabaikan karena tidak punya masa depan.
Ingat, sebagian besar PTS yang dianggap mapan, juga dimulai dari PTS kecil yang terseok-seok di awal berdirinya. Dengan konsistensi pada nilai pijakan yang mulia dan ikhtiar kolektif istikamah, perlahan PTS bertumbuh dan menegaskan kontribusinya untuk bangsa. Hanya segelintir PTS yang lahir bongsor. Karenanya, tidak perlu lagi menghinakan PTS yang sedang berjuang untuk berkembang.
Peran penyanding
Apakah pembaca masih belum yakin tentang dampak signifikan kehadiran PTS? Tidak apa-apa. Jangankan pembaca awam, sebagian pejabat, termasuk yang di PTN, yang digaji dengan uang pajak pun terkadang demikian. Seakan mereka ingin mengaburkan peran PTS dengan mengatakan: “Betul, jumlah PTS ribuan tapi hanya melayani 4,5 juta mahasiswa loh. PTN meski jumlahnya hanya 125, tapi melayani 3,3 juta.”
Kehadiran PTS seakan dianggap tidak berharga, karena kalah dengan PTN yang dianggap selalu hebat. Posisi yang membandingkan dan bukan menyandingkan ini sangat berbahaya. Sialnya, hal ini tidak disadari. Terus terang, saya juga sangat khawatir jika sudut pandang yang muncul dari alam bawah sadar ini diadopsi oleh pejabat pengambil kebijakan.
Mungkin karena pemahaman ini juga, ada modul khusus bersampul sebuah apel merah di atas tumpukan buku, yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak berjudul: Modul Penggalian Potensi Pajak Sektor Usaha Jasa Pendidikan. Namun, ini baru dugaan, dan karenanya perlu ditabayun, supaya tidak menimbulkan fitnah.
Mari kita lanjutkan dengan beberapa data. Dari 34 provinsi yang terdaftar dari data BPS, di 21 provinsi, proporsi mahasiswa yang menuntut ilmu di PTS lebih dari separuh. Di Sumatera Utara, misalnya, dari 381.458 mahasiswa, 78,3 persen berkuliah di PTS. Di Riau, sebanyak 73,0 persen mahasiswa duduk di bangku PTS. Bahkan di DKI Jakarta, angka ini mencapai 85,1 persen. Potret ini belum ditambah dengan fakta sebaran PTS yang menjangkau pelosok negeri yang tidak terjangkau oleh tangan negara.
Kaca mata jernih
Negara sudah seharusnya melihat PTS dengan kaca mata yang lebih jernih. Betul, ada disparitas kualitas PTS. Fenomena serupa pun terjadi di PTN, meski dengan kesenjangan yang berbeda. Itulah pekerjaan rumah bersama bangsa ini.
PTS tidak pernah ingin menjadi anak emas dan diperlakukan istimewa. Yang dibutuhkan hanya lapangan permainan setara yang menjadi lahan subur untuk pertumbuhan bersama. PTS sudah bertahun-tahun membuktikan dirinya mampu mandiri, tanpa terlalu banyak uluran tangan pemerintah.
PTS pun tidak lantas menjadi anak durhaka yang lupa berterima kasih kepada negara dengan beragam program ungkitan. Apresiasi tinggi tentu diberikan. Namun, jeritan PTS yang menggaung di ruang publik dalam beberapa tahun terakhir, termasuk kebijakan penerimaan mahasiswa baru, perlu didengar kembali dengan kesadaran baru dan dilihat lagi dengan lensa yang lebih sensitif.
Bisa jadi, tidak semua usulan mungkin diakomodasi, karena beragam alasan. Tetapi, saya yakin banyak ruang terbuka untuk perbaikan bersama. Itulah indahnya argumentasi di dunia akademik ketika semuanya mungkin dibicarakan dengan terbuka tanpa kepentingan tersembunyi dan kalis dari adu kuasa. Semoga.
Tulisan sudah tayang di Republika.id pada 3 Desember 2023.
Mahasiswa UII Mendapat Hadiah dari Bank Mandiri
Sepuluh mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) mendapatkan hadiah dari Bank Mandiri. Sejumlah mahasiswa UII ini merupakan pengguna rekening mandiri untuk membayar SPP ke UII. Seremonial penyerahan hadiah dilaksanakan pada Selasa (5/12) di Gedung Prof. Dr. Sardjito Kampus Terpadu UII.
Sepuluh mahasiswa tersebut di antaranya, Siti Musyawwirriatun Tyasing Ratri, Komarul Ikhwan, Fabian Pasha Bagastama, Khoirul Nizam, Muhammad Rafi Rizqullah, Devan Alingga Abda, Danang Kristanto, Barlian Malika Satino, Nurul Alaika, dan Muhammad Tursino.
Turut hadir dalam penyerahan hadiah Furqon, S.E. selaku Direktur Keuangan dan Anggaran, Arif Fajar Wibisono, S.E, M.S.c. selaku Direktur Pembinaan Kemahasiswaan, Rifqi Sasmita Hadi, S.E., M.M., selaku Kepala Bidang Humas, dan Bambang Suratno, S.T., M.T., Ph.D., selaku Kepala Divisi Kemitraan Dalam Negeri.
Selain itu, dari pihak Bank Mandiri, Vidiandika Wisnu Adicandra selaku Officer Transaction Banking Retail Bank Mandiri Area Yogyakarta, Nita Triyuniyati selaku Branch Manager Mandiri UII dan Rizky Fahasin Khuluqi selaku Staf Transaction Banking Retail Bank Mandiri Area Yogyakarta.
Livin’ by Mandiri yang merupakan super apps dengan tagline digital dan kekinian gencar mengadakan media awareness di berbagai kampus guna meningkatkan user Livin’ pada generasi Z. Dengan adanya program racing pembayaran VA melalui Livin’ diharapkan Mahasiswa/i lebih mengenal lagi dan tertarik untuk menjadi bagian dari Bank Mandiri.
Bank Mandiri menghadirkan pembayaran kampus lewat virtual account (VA), yang dapat diakses melalui all channel Bank Mandiri seperti Livin’, ATM, Agen, dan counter Teller.
“Hal ini harapannya menjadi penyemangat mahasiswa untuk menggunakan transaksi dengan bank yang dia pakai yang paling nyaman digunakan, untuk Bank Mandiri mudah-mudahan ini jumlah pemenang harapannya lebih bertambah,” ungkap Furqon.
Ia mengungkapkan juga bahwa UII memiliki banyak Bank mitra, ada 10 Bank mitra yang mana 5 Bank mitra untuk penerimaan dari mahasiswa yaitu Bank mandiri, Bank Muamalat, Bank Syariah Indonesia, Bank Bukopin dan BPD Syariah. Selain itu juga Bank BRI, Bank BTN, BTN Syariah dan Bank Niaga.
Sementara Vidiandika Wisnu Adicandra yang akrab disapa Candra menjelaskan bahwa sistem pemilihan 10 mahasiswa yang mendapatkan hadiah ini bersyarat dengan mahasiswa/i UII yang harus melakukan pembayaran VA kampus terlebih dahulu, kemudian setiap transaksi finansial dihitung by poin.
Lebih lanjut, ia ungkap harapannya kepada sepuluh mahasiswa UII yang mendapatkan hadiah dari Bank Mandiri tersebut.
“Harapannya nanti mahasiswa tersebut dapat menjadi ambassador dan mengajak teman-teman yang lain untuk segera join Livin’ by Mandiri karena banyak program menarik, cocok dengan anak muda, serta super lengkap memenuhi kebutuhan finansial sehari-hari seperti bayar kuliah, isi token listrik, top up e-wallet, e commerce, investasi dan lain sebagainya,” pungkasnya. (LMF/RS)
UII Perkuat Pengembangan Kewirausahaan dan Inovasi Berkelanjutan
Universitas Islam Indonesia (UII) menunjukkan komitmennya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi kewirausahaan hijau dan inovasi berkelanjutan di lingkungan perguruan tinggi. Berkolaborasi dengan Erasmus+ CBHE ANGEL Project Team UII dan Pusat Ekonomi Inovasi dan Akselerasi Bisnis (PEIAB), diselenggarakan penyerahan draft Peraturan Universitas Tentang Pengelolaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada Rabu (6/12), di Lantai 3 Gedung Fakultas Hukum (FH) UII. Read more
Mahasiswa Profesi Arsitek UII Membuat Desain Rancangan Penataan Kawasan Bandengan-Karangsari Kendal
Mahasiswa Program Studi Profesi Arsitek (PPAr) Universitas Islam Indonesia (UII) mempresentasikan rencana penataan kawasan Bandengan-Karangsari, Kendal pada Selasa (5/12) di Hotel Westlake, Sleman sebagai rangkaian dari program pengabdian. Read more
UII Gelar Ngaji Bareng Bertemakan Meneladani Khazanah Tafsir Al-Quran di Indonesia
Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar Ngaji Bareng dengan tema Meneladani Khazanah Tafsir Al-Quran di Indonesia pada Senin (4/12) di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakir, Kampus Terpadu UII. Ngaji bareng menghadirkan Prof. Dr. Quraish Shihab, Lc., M.A. dan K.H. Ahmad Baha’uddin Nursalim sebagai narasumber.
K.H. Ahmad Baha’uddin Nursalim atau biasa dikenal dengan Gus Baha dalam ceramahnya mengatakan bahwa Indonesia yang damai ini tidak lepas dari peran kitab-kitab yang datang ke Indonesia. Misalnya, arti kemenangan.
“Arti kemenangan itu tafsir yang datang ke kita dan yang paling terkenal adalah tafsir Munir karangannya Syekh Nawawi Al Jawi, itu beliau menyebut kemenangan umat Islam itu kemenangan logika, logika bahwa alam raya ini dimulai dari satu Tuhan yang berstatus wajibul wujud. Tentu lebih masuk akal ketimbang logika yang lain. Misalnya, logika nihilism bahwa alam ini dimulai dari ketiadaan. Karena itu lahir satu teori ketiadaan menciptakan yang ada,” tutur Gus Baha.
Pengasuh Pondok Pesantren Tahfizul Al-Quran Lembaga Pembinaan Pendidikan Pengembang Ilmu Al-Quran Rembang ini dalam kesempatannya menerangkan makna dari Q.S. Al Maidah ayat 56, yakni “Barang siapa yang mempertuhankan Allah dan mengikuti semua aturan-Nya, maka para pengikut Allah itulah yang akan menjadi pemenang.”
“Jadi, kemenangan umat Islam yang permanen itu adalah kemenangan logika. Kalau kemenangan perang, kemenangan bernegara, kemenangan sosial orang Islam ya pernah kalah. Zaman Nabi ‘Sugeng’ saja pernah mengalami kalah periode Mekah. Ketika periode Madinah juga pernah mengalami kalah di peristiwa Perang Uhud, tapi kalah-kalah sosial ini tidak ada pengaruhnya dengan kalah secara logika. Logika bahwa alam ini dimulai dari satu Tuhan (wajibul wujud) tentu lebih mudah dicerna,” terang Gus Baha.
Gus Baha juga menyampaikan bahwa tafsir yang datang kepada kita itu mempunyai latar belakang cerita maupun peristiwa yang berbeda-beda, Oleh karena itu, jangan bersikap ekstremis dalam mengambil/memaknai ajaran tafsir yang datang ke Indonesia.
“Andaikan kita meneladani tafsir-tafsir yang ada di Indonesia, kita ini pasti menguatkan aqidah. Bukan menang kalah urusan sosial, urusan apalah, itu urusan kedua ketiga lah syukur-syukur menang. Tapi kalau itu kita paksakan itu yang nomor 1 pasti kita sering kecewa,” tuturnya.
Gus Baha juga menyampaikan bahwa dalam kitab Fathul Bari karya Shahih Al-Bukhari dijelaskan kemenangan umat islam itu adalah aqidah. Artinya, ketika islam bahkan belum kuat, akan tetapi hujjahnya saja itu sudah menang. Karenanya, Syekh Nawawi mengatakan bahwa yang harus menang itu adalah hujjahnya.
Sementara itu, Prof. Quraish Shihab menyampaikan sebuah pelajaran yang dapat dipetik dari asbabun nuzul salah satu ayat Al Qur’an yang turun setelah perang Uhud. Beliau mengatakan bahwa sebagian sahabat nabi meninggalkan medan perang, bahkan diduga ada yang terguncang imannya, sehingga meninggalkan Islam.
“Ada satu penafsiran yang saya anggap baik sekali dari seorang pemikir Al Jazair Malik bin Nabi, beliau berkata ayat ini pelajaran bagi kita semua bahwa jangan menilai baik buruknya sesuatu dengan mengaitkannya pada sosok yang mengucapkannya,” tutur Prof. Quraish Shihab.
Prof. Quraish Shihab mengemukakan sahabat-sahabat yang meninggalkan medan perang dan meninggalkan agama Islam mungkin karena mereka hanya mengagumi sosok nabi pada saat hidupnya saja, dan begitu tersebar bahwa beliau wafat, maka mereka meninggalkannya.
“Ini karena mereka mengaitkan kebenaran dengan sosok manusia, jangan pernah menilai baik buruknya sesuatu karena ada materi. Jangan pernah mengaitkan baik buruknya susuatu karena ini diucapkan oleh profesor ini itu dan sebagainya. Nilailah baik buruknya sesuatu itu dari idenya bukan dari orangnya. Walaupun itu diucapkan oleh nabi Muhammad SAW, selama ucapan itu bersumber dari pribadi beliau bukan dari Allah SWT,” tutur Prof. Quraish Shihab.
Beliau juga berpendapat bahwa ini adalah pilihan yang baik untuk mengingatkan kita ketika membaca ataupun menilai suatu tafsir-tafsir dari siapapun orang yang kita kagumi. Maka, jadikanlah kebenaran atau baik-buruknya sesuatu itu berdasarkan ide yang disampaikan.
Prof. Quraish Shihab juga mengatakan bahwa tafsir karya ulama Indonesia itu cukup banyak, akan tetapi tidak banyak yang lengkap 30 Juz. Lalu, tidak banyak juga tafsir yang ditulis dalam bahasa melayu (bahasa Indonesia). Maka, itu adalah hal yang perlu dirintis pada saat ini.
“Yang penting, jangan pernah menduga sekali-kali bahwa kita bangsa Indonesia tidak mampu melebihi bangsa-bangsa lain walaupun yang bahasa ibunya yang bahasa Al Qur’an. Sekali lagi, kita mampu asal kita mau belajar,” tandas Prof. Quraish Shihab. (JRM/RS).
UII Hadiri Pertemuan Konsorsium NUNI 2023
Universitas Islam Indonesia (UII) senantiasa berupaya menguatkan jejaring kemitraan strategis dalam negeri, salah satunya dengan menjadi bagian Nationwide University Network in Indonesia (NUNI) atau Jejaring Perguruan Tinggi Nusantara. Mengenai hal ini, UII hadir dalam pertemuan nasional NUNI 2023 di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, yang digelar pada 21-24 November. Read more
UII Inisiasi Pendirian ASEAN School of Business Network
Dalam dunia yang semakin tanpa batas, fenomena internasionalisasi merupakan suatu keniscayaan yang terjadi pada berbagai sektor, termasuk di dunia pendidikan tinggi. Bagi Universitas Islam Indonesia (UII), internasionalisasi merupakan langkah strategis yang dilandasi oleh visinya sebagai universitas yang diakui di tingkat internasional. Read more
UII Gelar Bimbingan Teknis Tata Kelola Manajemen Jurnal
Menyadari pentingnya kontribusi jurnal di sektor pendidikan, Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan bimbingan teknis tata kelola manajemen jurnal dan dilanjutkan dengan evaluasi dan refleksi pengelolaan jurnal. Acara yang diselenggarakan pada Kamis (30/11), di Gedung Prof. Dr. Sardjito UII ini menghadirkan Kepala Pusat Pengembangan Jurnal dan Publikasi Universitas Negeri Semarang, Dr. Evi Widowati, S.KM., M.Kes., sebagai pembicara. Read more
International Mobility Week UII Kembali Digelar
International Mobility Week UII kembali digelar pada Kamis (30/11). Kali ini, acara dilaksanakan dalam bentuk Online Lecture Series melalui platform Zoom Meeting dengan tema utama Transforming Education Through Artificial Intelligence (AI). Acara ini bertujuan untuk memperluas wawasan dan pengetahuan mahasiswa serta masyarakat umum mengenai perkembangan terkini di dunia kecerdasan buatan. Read more