Pondok pesantren (ponpes) sebagai lembaga tempat menuntut ilmu menjadi sarana berkumpulnya para santri dari berbagai daerah. Sayangnya, lingkungan ponpes seringkali dihadapkan pada masalah kesehatan dan fasilitas yang kurang memadai. Hal ini berdampak munculnya berbagai penyakit infeksi menular, terutama penyakit skabies. Masalah ini mendapat sorotan dari sivitas akademika UII. Mereka berupaya menggerakkan peran relawan kesehatan di lingkungan ponpes (RESKESTREN) untuk meningkatkan taraf kesehatan para santri di sana.

Read more

Bangsa Indonesia sebentar lagi menghelat pemilihan presiden yang dibarengkan dengan pemilihan legislatif pada April 2019. Hari ini, suasana persiapan pesta sudah terasa hangat.

Pesta demokrasi empattahunan ini , di sisi sangat strategis untuk menghasilkan pemimpin nasional dan wakil rakyat yang berkualitas negarawan, tetapi di sisi lain, ekses dari pesta yang tidak sehat dapat menggurat luka sangat dalam bagi yang belum dewasa dalam berpolitik.

Saya yakin, semua sepakat bahwa sisi gelap pesta demokrasi ini harus kita hindarkan, supaya bangsa ini tidak semakin menyia-nyiakan energi positifnya untuk aktivitas yang tanpa dampak. Termasuk dalam penyia-nyian energi bangsa adalah praktik penyebaran hasutan dan ujaran kebencian yang tiada berbatas. Informasi plintiran dan bahkan bohong (hoaks) diproduksi untuk kepentingan jangan pendek tanpa mempedulikan rajutan keragaman bangsa.

Kepemimpinan profetik yang dilandasi teladan Rasulullah, bagi saya, selain membahas kualitas pribadinya, seharusnya tidak mengabaikan sikap pribadi (standpoint) untuk beragam isu penting bangsa.

Dalam tulisan ini, saya ingin mengangkat satu topik yang seharusnya menjadi perhatian para pemimpin dan calon pemimpin bangsa ini karena statusnya yang  sudah akut dan kritis, yaitu terkait dengan penyebaran hoaks.

Mengapa isu ini menjadi penting? Pengalaman lampau kita mengajarkan bahwa dalam musim pemilihan presiden dan pemilihan legislatif, produksi hoaks meningkat tajam. Tidak jarang, meski sering dielak, hoaks menjadi bagian strategi pemenangan dan menhinakan lawan. Bisa jadi tim kampanye formal tidak menuliskan ini dalam daftar strateginya, tetapi sikap tegas terhadap penyebaran hoaks seringkali bersifat ambigu dan abu-abu.

Seyogyanyalah, bukan karena hoaks yang menyebar menguntungkan diri atau jagonya, maka kemudian mata seakan buta. Bukan karena hoaks yang bersliweran menghinakan lawannya, telinga seakan tuli. Juga, bukan karena hoaks tidak mengganggu dirinya, hati menjadi mati.

Kepemimpinan profetik juga seharusnya tidak menutup mata terhadap pendukungnya yang mengabaikan nilai-nilai universal kemanusiaan, seperti kejujuran dan kedamaian; sesuatu yang seringkali sulit ditampik dalam pemenangan kontestasi politik. Kualitas pendukung pemuja hasutan dan anti stabilitas sosial, selama menguntungkan dirinya, lantas tidak ditegur dan diarahkan. Sikap yang tegas tidak diberikan. Sikap seperti ini tentu jauh dari kualitas pemimpin yang mengusung nilai-nilai kenabian, kepemimpinan profetik.

Mari sejenak kita kupas beragam aspek terkait dengan hoaks dan penyebarannya.

Pertama, mengapa kita (manusia) menyebar hoaks? Riset menunjukkan bahwa banyak keputusan yang kita ambil, seringkali bukan karena rasionalitas individu, tapi berdasar narasi kelompok. Di sini, kredibilitas sumber sangat mempengaruhi interpretasi sosial atas informasi. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa kita adalah pencari informasi yang bias; kita mencari informasi yang mendukung pandangan kita dan mengabaikan informasi yang berseberangan. Karenanya, membetulkan informasi yang salah tidak serta merta mengubah kepercayaan orang. Hasilnya adalah kamar gema, ketika informasi senada berulang dan beredar di kalangan tertutup. Di sini, biasanya terjadi eksposur terpilih terhadap informasi yang beredar dan bias konfirmasi karena kecenderungan untuk mencari informasi yang mendukung pemahaman sebelumnya.

Kedua, bagaimana hoaks menyebar? Fitur berbagi sosial media merupakan sumber kuat penyebar hoaks. Proses berbagi ini dapat dilakukan oleh pegiat media sosial atau bot, program yang ditujukan untuk maksud serupa. Media sosial yang difasilitasi Internet telah menghadirkan kekayaan informasi di satu sisi, memunculkan kemiskinan atensi individu atas informasi di sisi lainnya. Hal ini, sampai tingkat tertentu, akan mencegah pemilahan informasi berdasar kualitas. Informasi berkualitas rendah dan tinggi sama-sama dapat menyebar dengan cepat.

Biasanya, informasi, baik hoaks atau fakta, menjadi viral tidak melalui rangkaian pertukaran informasi yang panjang antarpengguna-biasa. Dalam konteks ini, media, pesohor, atau tokoh dengan banyak pengikut dapat menyebar informasi dengan jangkauan luas memperpendek rangkaian.

Ketiga, siapa penyebar hoaks? Hoaks dapat disebar oleh beragam aktor: individu, organisasi bermotivasi finansial/politis, atau bahkan pemerintah/negara. Kita dapat menjadi penyebar hoaks ketika ‘ringan jari’ dalam membagi informasi tanpa verifikasi. Partai politik dan simpatisannya juga tidak kalis dari potensi menjadi pelaku jika menghalalkan semua cara dalam memenangkan kontestasi. Ketika pemerintah memberikan informasi yang menutupi fakta yang ada, tidak sulit menyatakan bahwa mereka juga dalam golongan ini.

Keempat, mengapa kita percaya atau tidak hoaks? Setiap dari kita mempunyai pandangan dunia yang berdasar pada konsep, kepercayaan, dan pengalaman, untuk menginterprstasikan dan menilai realitas. Jika hoaks yang kita terima sesuai dengan pandangan dunia kita, maka kita akan cenderung percaya dengan hoaks tersebut. Persepsi terhadap ancaman yang muncul karena hoaks juga mempengaruhi tingkat kepercayaan kita. Jika hoaks tersebut menimbulkan potensi masalah yang berdampak kepada kita, tidak jarang kita mudah mempercayainya. Repetisi kemunculan hoaks atau frekuensi kita berjumpa dengan hoaks serupa juga memicu tingkat kepercayaan.

Kelima, apa dampak hoaks? Beragam dampak hoaks dapat diidentifikasi dengan mudah. Segregasi atau polarisasi sosial adalah salah satunya. Tidak sulit mencari ilustrasi kasus ini di seputar musim pemilihan kepala daerah. Sialnya, polarisasi ini juga terbawa ke dunia nyata. Dampak buruk lain adalah terbentuknya masyakarat masokhis tuna empati yang cenderung sarkastik dan menikmati penderitaan orang lain. Ujungnya adalah tertutupnya manfaat media sosial.

Keenam, apa yang bisa kita lakukan untuk menghalau hoaks? Biasakan menjadi manusia yang berpikiran terbuka dan terlatih dalam diskusi yang dilandasi fakta. Pendekatan ilmiah berbasis data tanpa bias diperlukan. Selain itu, suarakan kebenaran dengan lebih lantang. Di sini, publik perlu diedukasi untuk membentuk ‘ketahanan informasi’, bersikap kritis terhadap setiap informasi yang diterima, tidak menelannya mentah-mentah, dan tidak asal menyebarkannya. Pemahaman dan keataan atas nilai-nilai kemanusiaan universal yang dibawa oleh norma agama juga menjadi sangat penting. Ini adalah rem paling pakem. Tidak ada satupun agama yang mengajarkan umatnya untuk menyebar kebencian dan berperilaku anti kedamaian dengan menyebar hoaks.

Mari, perlebar perspektif  dan perpanjang horison kemanusiaan kita. Bisa jadi saat ini, kita diam melihat hoaks mengoyak tenun kebangsaan kita. Atau, bahkan menjadi bagian gerombolan penyebar tanpa merasa bersalah. Tapi kita perlu ingat, bisa jadi, kita pun dapat menjadi korban dari hoaks.

Tentu, mengambil sikap hanya ketika menjadi korban adalah pilihan pengecut dan mementingkan diri sendiri. Sikap seharusnya, bukan karena kita dapat apa atau terkena dampak, tetapi didasarkan pada nilai-nilai kebajikan abadi yang anti penyebaran hasutan dana kebencian.

Jika kebencian itu masih ada, sebagian orang mengatakan itu sangat manusiawi. Tapi, mari upayakan tidak menujukan kebencian kepada pribadi tetapi kepada gagasan atau program. Kalau kata kebencian tetap dipertahakankan, mari berikan sifat untuknya manjadi “kebencian yang akademik”. Ada adu argumen di sana. Ada tukar gagasan cerdas di dalamnya. Jika sintesis masih belum terlaksana, atsar Sahabat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah yang terekam dengan indah dalam Kitab Nahjul Balaghah dapat menjadi benteng terakhir:

“Cintailah kekasihmu itu sekedarnya saja, boleh jadi kamu akan membencinya suatu ketika. Dan bencilah orang yang kamu benci sekedarnya saja, boleh jadi kamu akan mencintainya suatu ketika”

 ——

Disarikan dari Pidato Kunci pada  Seminar Nasional “Kepemimpinan Profetik” yang diselenggarkan pada 13 September 2018

Ada berbagai macam cara mendukung kesuksesan sebuah tim kebanggaan bagi para penggemar. Kebanyakan masyarakat mengartikan mendukung sebuah tim dengan datang ke stadion saat tim kebanggaan bertanding. Namun saat ini melalui riset dan penelitian terutama di kalangan mahasiswa dapat menunjang kesuksesan bagi sebuah tim sepakbola itu sendiri.

Read more

Pernikahan adalah hal yang fitrah, yang didambakan oleh setiap insan, baik itu laki-laki maupun perempuan. Islam mensyariatkan nikah sebagai amalan sunnah bagi yang melaksanakannya. Akan tetapi, mayoritas pemuda atau mahasiswa belum memiliki pemahaman yang cukup untuk menikah atau ilmu berumah tangga. Pernikahan ialah pintu utama pembentukan keluarga, sehingga pernikahan harus dilandasi dengan ilmu. Harapannya agar dapat membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warahmah dalam kehidupan rumah tangganya.

Read more

Gedung Olahraga (GOR) Ki Bagoes Hadikoesoemo UII tampak dipenuhi pecinta futsal tanah air khususnya Yogyakarta. Hal ini karena dilaksanakannya charity games (pertandingan amal) bertajuk SKN Bolalob Trofeo pada 5 hingga 7 Oktober 2018 lalu. Pertandingan amal ini diikuti oleh 4 kesebelasan, yakni SKN FC Kebumen, Vamos Mataram, Kancil BBK Pontianak, dan Tim Nasional Futsal Indonesia. Ajang ini sekaligus menjadi persiapan Timnas untuk menghadapi AFF Futsal Championship pada November mendatang.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) menyalurkan bantuan logistik untuk korban gempa di Palu-Donggala. Penyaluran bantuan tersebut bekerjasama dengan lembaga kemanusiaan ACT. Sejumlah 6 truk logistik diberangkatkan dari halaman Gedung Soekiman Wirjosandjojo, Kampus Terpadu UII, pada Jum’at siang (5/10). Bantuan kali ini meliputi kebutuhan makanan, minuman, selimut, terpal, alat tulis, alat ibadah, dan lain-lain.

Read more

Sejak berdiri tahun 1998, Prodi Farmasi Universitas Islam Indonesia (UII) telah memiliki lebih dari 2.500 lulusan. Dalam rangka menyambut 20 Tahun lahirnya, Prodi Farmasi UII menyelenggarakan kegiatan International Conference on Pharmacy Research and Practice dengan Tema “Accelerating Pharmacy Education and Research, Responding Global Development on Pharmaceutical Regulation and Practice”.

Read more

Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) UII menyelenggarakan kegiatan Pengajian bagi para Satpam yang bertugas di lingkungan kampus UII. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat menumbuhkan etos kerja yang lebih baik sesuai dengan landasan nilai-nilai keislaman.

Read more

Bencana Gempa dan Tsunami yang terjadi di Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah, pada 28 September 2018 telah menyebabkan kerusakan infrastruktur dan 800 orang lebih meninggal dunia. Data tersebut kemungkinan masih berubah, karena kondisi lapangan yang dinamis dan evakuasi korban masih berjalan. Mayoritas kerusakan terjadi pada bangunan rumah tinggal warga dan beberapa bangunan lain, seperti hotel dan tempat ibadah. Selain itu, proses pengkajian juga terus dilakukan untuk mengumpulkan data yang lebih akurat guna penanganan lebih lanjut.

Topik tersebut sebagaimana tergambar dalam acara Jumpa Pers Humas Universitas Islam Indonesia dengan beberapa wartawan tentang Gempa dan Tsunami Wilayah Donggala dan Palu serta Hasil Kajian Wilayah DIY, pada Kamis (04/10) bertempat di Ruang Sidang VIP Lantai 3, Gedung Rektorat GBPH Prabuningrat Kampus Terpadu UII.

Read more

Hari ini, karena rida Allah Swt, kita menjadi saksi Wisuda Doktor, Magister, Sarjana, dan Diploma Universitas Islam Indonesia (UII) Periode I Tahun Akademik 2018/2019. Kali ini, UII meluluskan sebanyak 1.018 mahasiswa, yang terdiri dari 1 doktor, 110 magister, 821 sarjana, dan 86 ahli madyaa. Para wisudawan ini menjadikan bahwa sampai saat ini, telah meluluskan lebih dari 93.512 alumni, yang telah berkarya di beragam sektor, baik di dalam maupun luar negeri.

Inilah salah satu buah yang UII bisa tawarkan ke bangsa dan umat, sebagai perwujudan dari visi UII menjadi rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil alamin.

Saya pribadi, dan UII sebagai institusi, mengucapkan selamat untuk pencapaian semua wisudawan. Menyelesaikan studi bukanlah tanpa rintangan. Tetapi dengan keteguhan dan kerja keras, semuanya dapat dilalui dengan tuntas. Ucapan selamat juga saya sampaikan kepada keluarga para wisudawan. Dukungan dan doa yang terkirim tiap hari telah menerangi dan melapangkan jalan, serta menghalau rintangan dalam studi.

Namun, wisuda bukan akhir perjuangan. Wisuda justru gerbang menuju kiprah nyata yang lebih bermanfaat. Apa yang Saudara pelajari di kampus sudah seharusnya menjadi modal awal untuk terus berkembang. Saudara telah membuka pintu lebih lebar untuk berkhidmat. Saudara telah menjadi manusia yang lebih siap membuat jejak dan meninggalkan dampak.

Oleh para pendiri, tujuan pendidikan UII sudah disetel dengan sangat mulia. UII diharapkan menghasilkan cendekiawan dan pemimpin bangsa.

Cendekiawan atau intelektual atau ulul albab sudah seharusnya tidak hanya mumpuni dalam disiplin pilihannya, tetapi juga harus sensitif dengan masalah di lingkungannya. Dia juga adalah manusia yang selalu mengembangkan diri, menajamkan kemampuan analisisnya (QS 3:190-191), dan menjaga potensi kemanusiaannya: hati, penglihatan, dan pendengaran (QS 7:179).

Ulul albab menggabungkan dimensi pikir dan zikir, persis dengan yang disimbolkan oleh gerbang UII: masjid melambangkan zikir dan perpustakaan mengindikasikan pikir. Karenanya, terinspirasi oleh tafsir Al-Azhar karya Prof. HAMKA, ulul albab adalah manusia dengan akal rangkap dan potensi lengkap.

Sensitivitas terhadap masalah bangsa adalah modal dasar menjadi pemimpin bangsa. Pemimpin seharusnya adalah pemecah masalah, bukan bagian dari masalah.

Beragam program ko-kurikuler, yang dilengkapi dengan ekstra-kurikuler, didesain untuk mengembangkan potensi kemanusiaan Saudara. Saudara telah mengikuti beragam pembinaan, mulai dari Orientasi Nilai Dasar Islam (ONDI), Pesantrenisasi Awal, Latihan Kepemimpinan Islam Dasar (LKID), Latihan Kepemimpinan Islam Menengah (LKIM), Latihan Kepemimpinan Islam Lanjut (LKIL), Pesantrenisasi Akhir, dan beragam kegiatan pengembangan diri, bakat, dan minat lainnya, termasuk aktivitas Saudara di organisasi kemahasiswaan, semuanya bermuara di satu tujuan yang sama: mengembangkan potensi kemanusian Saudara.

Bisa jadi, ketika mengikuti kegiatan kurikuler, ko-kurikuler, dan ektra-kurikuler dan bahkan sampai saat ini, di antara Saudara masih mempertanyakan manfaatnya. Tidak mengapa. Pada saatnya, saya yakin Saudara akan merasakan di kemudian hari: satu tahun lagi, lima tahun ke depan, 10 tahun mendatang, atau untuk horison waktu yang lebih jauh. Semuanya tergabung dengan lintasan kehidupan yang akan kita lewati.

Pemikiran kita memang tidak didesain untuk menghubungkan antartitik dalam kehidupan kita secara maju. Kita tidak bisa dengan mudah memprediksi masa depan. Tapi, saya termasuk orang yang percaya, pada saatnya, episode-episode kehidupan kita akan terhubung ke masa lalu. Apa yang kita panen sekarang adalah buah dari apa yang kita tanam di waktu lampau. Apa yang mungkin kita nikmati di masa depan, adalah karena ikhtiar yang kita lakukan pada masa lalu dan kini.

Formula ini juga berlaku untuk materi kuliah yang bisa jadi sampai saat ini, belum bisa kita dengan tegas menyatakan manfaatnya. Bisa jadi ketika berkarya di satu bidang spesifik, Saudara akan berkesimpulan bahwa materi kuliah tidak relevan, tetapi banyak yang lupa, bahwa materi yang bersifat umum telah membuka pintu untuk Saudara ke beragam pilihan berkarya. Yakinlah, belajar sesuatu yang baik insyaallah akan semakin mempertajam kurva pembelajaran Saudara. Kurva pembelajaran ini juga harus terus Saudara asah pada dunia pascakuliah.

Menjadi pembicara yang baik sangat dianjurkan; tetapi jangan lupa belajar menjadi pendengar yang baik. Mendengar adalah sebuah aktivitas, bukan hanya sesuatu yang dilakukan menunggu giliran bicara. Menjadi pendengar baik berarti kita menghargai orang, mengasah empati, dan sekaligus merendahkan hati.

Kita tidak harus selalu mengomentari setiap masalah yang ada. Seringkali kita hanya butuh melakukan refleksi mendalam dan menginternalisasi pelajaran. Karenanya, Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin menuliskan, idzaa raaitumul mu’mina shamutan waquuran fadnuu minhu fainnahu yulaqqinul khikmata”, yang berarti “apabila kamu melihat orang mukmin yang pendiam lagi tenang, maka dekatilah dia. Sesungguhnya dia akan mengajarkan hikmah kebijaksanaan”. Inilah manifestasi “diam adalah emas”.

Kita harus belajar mengolah rasa: paham kapan mulut terbuka, tahu kapan mata dan telinga terjaga, dan sadar kapan hati ditata.

Para wisudawan, tetaplah menjadi orang baik, yang keberadaannya dicari, kehadirannya dinanti, kepergiannya dirindui, kebaikannya diteladani, dan kematiannya ditangisi.

 ——

Disarikan dari sambutan rektor pada wisuda doktor, magister, sarjana, dan diploma Universitas Islam Indonesia, 29 September 2018