Insiden penembakan yang terjadi di Christchurch pada Maret 2019 lalu menjadi pembahasan hangat di dunia internasional. Insiden itu juga memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana masa depan politik internasional. Maka dari itu, Laboratorium Diplomasi Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Islam Indonesia (UII), mengadakan seminar bertajuk “Insiden Christchurch dan Masa Depan Politik Internasional”. Acara seminar dilangsungkan di Auditorium FPSB Lt.3 pada Senin (8/4).

Read more

Plagiarisme menjadi momok tersendiri bagi sebuah perguruan tinggi. Tidak hanya mahasiswa, dosen pun sering terjerat dalam kasus ini. Sebagai langkah prevenif, Universitas Islam Indonesai (UII) melalui Direktorat Perpustakaan mengadakan workshop bertajuk “Pelatihan Pemanfaatan Aplikasi Pengecekan Plagiasi Turnitin,” pada Senin (8/4). Kegiatan ini berlangsung di Ruang Audiovisual lt. 2, Gedung Moh. Hatta, Kampus Terpadu UII.

Read more

Gebrakan teknologi telah menyajikan berbagai perubahan di segala lini. Termasuk dalam perekonomian suatu negara yang saat ini dipengaruhi dan dibentuk oleh teknologi, inovasi dan kewirausahaan. Dalam upaya menghadapi tantangan pada aspek ekonomi ini, tiga mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) yang terdiri dari Ade Wahyu Hidayat (Teknik Sipil 2015), Edwin Budi Setiawan (Teknik Sipil) dan Dwi Nurul Ilmih Ahkam (Teknik Sipil 2015) ciptakan startup digital bernama Idea Valley.

Read more

Indonesia sebagai negara yang wilayahnya berada pada Cincin Api Pasifik akan lebih sering mengalami sebuah bencana alam. Mulai dari gunung meletus, tanah longsor, gempa hingga tsunami pernah terjadi di Indonesia. Maka dari itu diperlukannya sebuah inovasi teknologi dalam menghadapi berbagai tantangan bencana alam ini. Dua mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) berhasil mengembangkan alat pendeteksi korban bencana alam yang tertimbun di dalam tanah atau pun reruntuhan bangunan.

Berkat pengembangan teknologi ini Kedua mahasiswa UII ini yaitu Rahmat Alkausar (Teknik Elektro 2016) dan Muhammad Mibakhul Munir (Teknik Mesin 2017) berhasil meraih juara satu dalam lomba karya tulis ilmiah nasional yang diadakan Universitas Negeri Medan pada 29 Maret-30 Maret 2019.

Read more

Dalam rangka turut serta meningkatkan hubungan persahabatan antara Indonesia dengan Hungaria, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan kuliah umum dengan menghadirkan Ambasador Hungaria untuk Indonesia, H.E Judit Pach. Kuliah umum yang dilaksanakan pada Jum’at (5/4), di Ruang Sidang Utama Fakultas Hukum UII dihadiri oleh Rektor UII, Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D., sejumlah dosen, serta para mahasiswa.

Read more

Kekerasan terhadap remaja dewasa ini kerap terjadi di berbagai daerah. Pengetahuan mengenai bullying dan kekerasan sangat dibutuhkan berbagai lapisan masyarakat. Menyikapi hal ini, untuk ketiga kalinya Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan seminar sebagai wadah bagi masyarakat yang memiliki peran sebagai pendidik.

Seminar bertajuk Cegah Bullying & Kekerasan pada Remaja digelar di Auditorium Fakultas Kedokteran UII pada Sabtu (6/4), dengan menghadirkan 5 narasumber dari berbagai latar belakang keilmuan. Kegiatan tahunan ini diharapkan menjadi agen perubahan untuk memutus tindakan kekerasan.

Read more

Pariwisata di kawasan Gunung Merapi kian hari tampak semakin meningkat. Banyak turis yang datang ke Jogja menyempatkan diri berkunjung ke kawasan Gunung Merapi. Namun, dengan adanya peningkatan tersebut, pengembangan pariwisata di kawasan Gunung Merapi masih tergolong belum berintegrasi. Selain itu, pariwisata halal di Indonesia yang berpotensi sangat besar masih belum dimaksimalkan dengan baik.

Berlatar belakang hal tersebut, tim mahasiswa dari UII (Universitas Islam Indonesia) berhasil meraih Juara 2 pada ajang Accounts, yang merupakan bagian dari ajang Accounting Week 2019 Himpunan Mahasiswa Akuntansi Universitas Andalas Padang pada 28-31 Maret 2019. Tim tersebut beranggotakan Asep Setiawan (Akuntasi 2015), Husein Faisal Ridho (Manajemen 2017) dan Galih Refa Sugiarto (D3 Akuntansi 2017).

Read more

Social control dan agent of change adalah dua istilah yang tak sulit ditemukan pada fase awal perkuliahan. Dua istilah ini dianggap menjadi pintu masuk pembeda antara mahasiswa dan siswa secara garis besar. Kata-kata ini juga kerap digunakan sebagian mahasiswa senior maupun pimpinan universitas dalam rangka memerkenalkan mahasiswa baru pada tanggung jawab dan peranannya sebagai mahasiswa, tak terkecuali melalui jalur kelembagaan.

Berbeda dengan kampus lain, kelembagaan di Universitas Islam Indonesia (UII) memiliki positioning yang terbilang cukup unik. Bukan hanya independen, tetapi juga memiliki dinamika politik yang bermain di dalamnya. Dunia kelembagaan UII ini bernama Student Government (SG) yang juga disebut sebagai “dapur” mahasiswa dalam berlembaga. SG menjadi pokok bahasan dalam seminar Students Government Center pada Sabtu (6/4), di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito UII.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) memasuki usia ke-76 tahun. Di usia yang tidak muda lagi, UII terus berupaya meningkatkan kualitas serta potensi yang dimiliki guna mencetak generasi bangsa yang kompeten dan berakhlak islami dengan pendidikan yang berkualitas sebagai wujud pelayanan UII pada bangsa.

Di hadapan peserta Sidang Terbuka Senat Milad Ke-76 UII, di Auditorium Prof. Dr. Abdulkahar Mudzakkir UII, Kamis (4/4), Rektor UII Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D., mengatakan pelayanan pada bumi pertiwi ini menyentuh beragam ranah mulai dari bagaimana UII melayani agama, rakyat, ilmu serta keluarga dan berbagai dimensi: masa lalu, masa kini dan harapan. Read more

Masa depan berawal dari imajinasi. Kegagalan dalam berimajinasi merupakan awal yang problematik dalam mendesain masa depan. Imajinasi kolektif menjadi lebih berbobot karena memberikan arah jalan bersama yang harus ditempuh.

Demikian juga universitas. Beragam imajinasi dimunculkan dan ditawarkan. Revolusi industri 4,0, misalnya, sering dianggap titik tolak perubahan universitas. Banyak yang mengamini. Beragam konseptualisasi ditawarkan. Praktik salin tempel konsep dari konteks asing pun tidak jarang mengisi meja diskusi.

Adakah yang salah? Mungkin ya, barangkali tidak. Tergantung kepada nilai pijakan dalam memandang peran universitas. Setiap ide yang muncul harus dilihat dengan kacamata nilai pijakan. Praktik terbaik yang terbukti sukses di sebuah konteks, tidak menjamin memunculkan cerita serupa di konteks lain. Kemampuan mengkontekstualisasi ide sangat penting.

Kekuatan ide penyintas

Idelah yang ditranslasikan ke sebuah konteks. Karenanya, praktik terbaik bukan diadopsi, tetapi diadaptasi. Ide yang dikandung praktik yang dimaknai. Praktik hasil kontekstualisasi seharusnya bersifat tulen karena menjadi kongruen dengan nilai pijakan.

Nilai pijakan bisa beragam: kapitalisme, humanisme, keserakahan, kelestarian, atau lainnya. Setiap ide dapat dilacak nilai pijakannya. Ide dengan nilai pijakan kapitalisme, sangat mungkin tidak bisa berdampingan dalam harmoni dengan ide yang muncul dari tradisi humanisme. Ide yang muncul karena keserakahan, sulit berjalan seiring dengan ide yang mengedepankan kelestarian.

Nilai pijakan mungkin berubah sejalan dengan waktu, meski tidak mudah. Studi yang dilakukan oleh Collins dan Porras (2004) yang terekam dalam buku “Built to Last”, menemukan bahwa institusi penyintas yang berusia panjang dan hebat adalah yang setia mengawal nilai pijakan. Mereka menyebutnya ideologi inti yang disandingkan dengan tujuan inti.

Tapi nilai pijakan saja tidak cukup menjadi bekal universitas menjadi penyintas, yang sanggup beradaptasi dengan perubahan. Diperlukan imajinasi berani dan tulen yang berangkat dari pemahaman yang baik atas konteks. Konteks di sini bisa mewujud dalam dimensi ruang dan waktu yang unik. Lokasi geografis, preferensi warga universitas, kebutuhan lingkungan, kematangan infrastruktur merupakan contoh keunikan konteks.

Universitas terimajinasi

Beragam imajinasi universitas dapat didaftar di sini, seperti universitas kelas dunia, universitas riset, dan universitas entrepreneurial. Tidak jarang, imajinasi ini diucapkan dan ditulis sambil lalu, sonder konseptualisasi. Beberapa pertanyaan dapat diajukan. Apakah imajinasi tersebut berangkat dari pemahaman yang baik atas konteks? Apakah imajinasi tersebut telah dikonseptualisasi dengan memadai? Tanpa jawaban yang tegas atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, imajinasi universitas masa depan menjadi kabur.

Bingkai yang ditawarkan oleh Barnett (2018) dalam bukunya “The Ecological University” menarik untuk didiskusikan. Universitas berhubungan dengan beragam ekosistem: ekologi pengetahuan, institusi sosial, subjektivitas manusia, ekonomi, pembelajaran, budaya, dan lingkungan alam. Meski penuh tantangan, optimisme dalam melihat peran universitas harus terus dipupuk. Karenanya, universitas harus sensitif terhadap ekosistem yang melingkupinya. Kehadiran universitas tidak semata karena alasan instrumental, terutama ekonomi yang cenderung kapitalistik.

Perspektif ini berbeda dengan prediksi Christensen dan Eyring (2011), penulis buku “The Innovative University” yang menyatakan bahwa separoh universitas swasta nirlaba di Amerika Serikat akan bangkrut dalam 10-15 tahun ke depan, karena penyebaran pembelajaran daring. Beragam respons muncul atas prediksi ini. Bahkan rektor dari sebuah universitas di Amerika Serikat menawarkan taruhan senilai satu juta dolar Amerika untuk prediksi Christensen ini. Konteks dalam buku tersebut, tentu tidak bisa disalin mentah-mentah ke Indonesia.

Terlepas dari itu, perubahan perspektif ini menjadi penting karena akan mempengaruhi beragam instrumen untuk menilai kinerja sebuah universitas. Pendekatan reduksionis yang hanya mengedepankan angka atau indeks bisa membimbing ke arah yang salah. Pendekatan positivistik dengan angka memang memudahkan untuk membandingkan, tetapi perlu dicatat dengan tinta tebal, hasilnya tidak akan komprehensif.

Reduksi imajinasi universitas dalam bentuk angka, tentu akan menggadaikan ideologi dan tujuan inti kehadirannya. Tujuan kehadiran universitas sangatlah mulia, tri darma, seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang. Universitas harus menjalankan tiga misi: produksi pengetahuan melalui penelitian yang berdampak, diseminasi pengetahuan lewat pengajaran dan publikasi yang berkualitas, dan aplikasi pengetahuan dalam beragam bentuk pengabdian kepada masyarakat yang tepat program dan sasaran.

Untuk membangun imajinasi kolektif, frasa operatif terpenting dalam konteks ini adalah “yang berdampak”, “yang berkualitas”, dan “yang tepat program dan sasaran”. Fakta di lapangan memberikan bukti bahwa ketiga darma tersebut dapat ditunaikan dalam ragam kualitas yang variatif, mulai dari sekedar menggugurkan kewajiban sampai dengan sepenuh hati.

Universitas masa depan

Jika pilihan sepenuh hati disepakati, maka universitas tidak boleh lagi beroperasi pada menara gading yang eksklusif. Universitas sudah tidak lagi menjadi menara yang mentransmisikan pengetahuan kepada mahasiswa, sampai mahasiswa menjadi menara pengetahuan yang siap mentransmisikan pengetahuan ketika memasuki masyarakat. Sialnya, otomasi pembelajaran berbasis mesin, masih mewarisi perspektif ini.

Universitas juga tidak boleh hanya menjadi pabrik pekerja masa depan. Indikasinya beragam, seperti banjir permintaan kebermanfaatan kompetensi, skema pemeringkatan, dan efisiensi luaran. Kinerja universitas pun tidak jarang direduksi dalam daftar periksa dan angka. Nampaknya tidak sulit mencari ilustrasi empiris di Indonesia.

Universitas masa depan harus berikhtiar bersama dengan masyarakat, dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa, dalam mengembangkan kemitraan yang kritikal-kreatif untuk menghadirkan manfaat, pengetahuan, dan warga masyarakat masa depan. Universitas mempunyai nilai pijakan sebagai basis moral yang kuat. Perubahan lingkungan direspons dan perkembangan teknologi diadaptasi, tetapi tanpa melupakan nilai pijakan.

Universitas yang terimaji seharusnya juga dapat hidup berdampingan dengan ekosistem yang melingkupinya, untuk mendukung dan mengembangkannya. Ekosistem dan universitas saling mempengaruhi secara resiprokal. Peran pengambil kebijakan dan regulasi yang dibuatnya juga sangat penting untuk menjaga iklim yang kondusif.

Karenanya, mata dan telinga harus terjaga untuk menjadi radar sensitif dalam menangkap sinyal perubahan. Ini merupakan ikhtiar kolektif, melibatkan sebanyak mungkin warga universitas. Tanpanya, universitas akan gagal menjadi penyintas ruang dan waktu, yang legitimasi dan relevansinya disangsikan.

Tulisan ini telah dimuat dalam rubrik Opini Harian Republika pada 4 April 2019.