Pertukaran ide dalam diskusi yang seharusnya mencerahkan seringkali menjelma menjadi debat kusir yang menjengahkan. Debar kusir ini bisa terjadi di banyak tempat: angkringan, grup media sosial, atau ruang publik lain, seperti layar kaca. Yang mengasyikkan, di tengah kejengahan, kadang muncul hiburan ketika dalil “pokoknya”, jurus pamungkas, dikeluarkan oleh peserta diskusi.
Sialnya, kadang kita pun tanpa sadar melakukan hal serupa. Keberanian menertawakan diri sendiri merupakan sebuah kemewahan yang sudah jarang ditemui. Akhiri dengan koreksi diri. Mari berkaca dengan dua fragmen berikut.
Sumbu panjang
Di tengah ceramahnya, Car Nur (Nurcholis Madjid) menunjukkan surat belasan halaman yang dikirimkan ke Romo Franz Magnis-Suseno. Cak Nur juga menunjukkan surat tebal serupa dari Romo Magnis. Episode ini terjadi di suatu siang pada 1996, 24 tahun yang lalu, di Pondok Pesantren Al Kamal, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Cak Nur saat itu, kami undang menjadi salah satu pembicara Pesantren Wawasan Nasional (Sanwanas) yang rutin digelar oleh sekelompok mahasiswa lintasorganisasi antarkampus. Sanwanas merupakan kerja sama ideologis dan aksi antara pegiat Masjid Manarul Ilmi ITS, Jamaah Shalahuddin UGM, HMI Yogyakarta, HMI Semarang, Keluarga Mahasiswa Islam (Gamais) ITB, dan Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) UIN Syarif Hidayatullah. Sanwanas pada saat itu menghadirkan banyak tokoh nasional, seperti Adnan Buyung Nasution, Adi Sasono, Din Syamsuddin, dan Budhy Munawar Rachman.
Apa isi surat Cak Nur dan Romo Magnis? Mereka berdua sedang mendiskusikan salah satu isu sensitif dalam agama. Karenanya mereka memilih jalur surat yang bersifat personal. Seingat penulis, menurut cerita Cak Nur, Romo Magnis keberatan dengan salah satu poin dalam tulisan Cak Nur. Alih-alih marah secara emosional, Romo Magnis mengirim surat sangat panjang kepada Cak Nur, yang berisi beragam argumen.
Cak Nur pun sama, membalasnya dengan surat yang tidak pendek, penuh dengan argumen dan sitasi literatur. Penulis tidak ingat berapa ronde pertukaran surat ini terjadi. Kawan Sanwanas penulis, yang saat ini tersebar dengan berbagai peran, yang membaca tulisan ini dan ingat episode tersebut dapat memverikasi. Begitu pun Romo Magnis yang masih sehat.
Bukan cacah ronde yang menjadi fokus tulisan ini. Sikap beliau berdualah yang menjadi pelajaran. Ini contoh diskusi personal yang tidak mudah kita cari padanannya. Keduanya tidak bersumbu pendek dan tidak mudah tersulut emosi.
Buku dilawan buku
Jika memutar waktu ke belakang, kita juga temui contoh diskusi akademik yang ciamik. Diskusi ini melibatkan beberapa tokoh besar.
Al-Ghazali mengkritisi pemikiran para filsuf, termasuk Ibnu Sina dan Al-Farabi, yang direkam dalam buku Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Al-Ghazali mengkritik ilmu filsafat yang digagas Ibnu Sina yang dianggapnya tidak sesuai dengan akidah Islam.
Ibu Sina yang dikenal sebagai Bapak Kedokteran Modern ini merupakan peminat karya-karya filsuf Yunani. Beragam buku dilahap oleh Ibnu Sina, termasuk, Organon karya Aristoteles yang membahas logika, Elements karya Euclid yang berisi matematika, Almagest besutan Ptolomeus yang mendiskusikan astronomi dengan pendekatan matematis, sampai Metaphysics karya besar Aristoteles tentang metafisika.
Buku yang terakhir ini membuat dahi Ibnu Sina mengernyit. Meski sudah mengulangnya sebanyak 40 kali, sampai agak hafal, tetapi tetap tidak paham, sampai akhirnya Ibnu Sina membaca buku On the Purpose of the Metaphysics karya Al-Farabi. Buku itu dibelinya seharga tiga dirham dari seseorang yang membutuhkan uang di pojok kota tempat tinggalnya, pada suatu sore.
Tidak banyak yang tahu kalau Ibnu Sina lebih banyak menulis buku filsafat dibandingkan kedokteran. Sebuah sumber menyebutkan, dari 240an karyanya yang bisa diakses sampai hari ini, sebanyak 150 terkait dengan filsafat dan “hanya” 40 yang membahas kedokteran.
Berpuluh tahun kemudian, Ibnu Rusyd mempertanyakan pemikiran Al-Ghazali dan merekamnya ke dalam buku Tahafut al-Tahafut (Kerancuan dari Kerancuan). Ibnu Rusyd juga sepaham dengan beberapa poin pemikiran Al-Ghazali yang mengkritik Ibnu Sina.
Yang menarik, keempat nama besar ini tidak hidup sezaman. Ibnu Sina (980-1037) lahir 30 tahun setelah Al-Farabi (872-950) meninggal. Al-Ghazali (1058-1111) menghirup udara dunia 21 tahun setelah Ibnu Sina wafat. Ibnu Rusyd (1126-1198), hadir di muka bumi berselang 25 tahun dari mangkatnya Al-Ghazali.
Penulis tidak dalam kapasitas untuk membahas buku-buku berat yang ditulis orang-orang besar ini. Yang jelas, ketika mereka mengkritik sebuah pemikiran dalam sebuah buku, mereka menuliskannya ke dalam buku lain dengan konseptualisasi yang utuh. Tidak hanya dengan komentar menyengat yang mematahkan semangat dan ide mentah yang tidak dipikir panjang, apalagi dengan dalil “pokoknya” sebagai tanda terpojok. Mereka membaca betul argumen per argumen sebelum mengkritisi. Tidak hanya melihat ringkasan orang lain yang mungkin bias, apalagi hanya melihat sampulnya.
Pelajaran
Dua fragmen di atas menyimpan banyak pelajaran penting. Pahami setiap ide sebelum menyanggahnya. Matangkan ide tandingan sebelum mengeluarkannya. Jika tidak, siapkan diri untuk malu seperti seorang pesilat yang masih mentah jurusnya tetapi berani unjuk gigi dengan arogan. Tidak semua ide harus diketahui orang. Kadang kita cukup menyimpannya dalam-dalam; untuk dimatangkan atau menunggu waktu yang pas untuk dimunculkan.
Dalam berdiskusi, ada saatnya berbicara. Tetapi tidak jarang, kita harus mendengar. Kita harus tahu kapan mulut berbicara dan kapan telinga terjaga. Dalam diskusi tertulis, ini serupa dengan menulis dan membaca.
Tidak semua diskusi harus terjadi di ranah terbuka. Isu yang sensitif tidak perlu menjadi konsumsi publik. Nampaknya tidak sulit mencari contoh diskusi publik di negeri ini yang menuai cibiran. Publik memang sudah semakin dewasa, meski kadang tidak seperti yang kita duga.
Dalam berdiskusi, hati boleh panas, tetapi kepala harus tetap dingin. Mudah? Tidak juga. Kita perlu memperpanjang sumbu, fokus pada ide bukan pada orang. Jangan sakit hati ketika ide tidak terjual. Yang ditolak adalah ide kita, buka kita. Tidak ada ide yang sempurna. Satu lagi: dalam berdiskusi, jangan berharap semua orang harus mengikuti ide kita.
Diskusi yang mencerahkan inilah yang akan mengasah hati dan akal: modal untuk menjadi orang hebat yang tidak mudah dibeli harga dirinya. Ibnu Sina dalam otobiografinya menulis, asistennya yang sangat setia, Abu Ubayd al-Juzjani, sering melantunkan bait syair kepadanya: ketika aku menjadi hebat, tak satupun kota yang mampu menampungku; ketika hargaku naik, tak seorangpun yang sanggup membeliku.
Tulisan ini telah dimuat di Republika Online 23 April 2020, dengan judul yang berbeda.
Kiat Universitas di Inggris dan Taiwan Menyiasati Pandemi Covid-19
Pandemi virus corona (Covid-19) membuat perguruan tinggi harus putar otak agar layanan pendidikannya tetap berjalan optimal. Selain mulai beralih ke platform daring, perguruan tinggi juga mengubah sistem pelayanan, asesmen penilaian, dan metode pembelajaran dalam praktek mengajar. Hal ini guna memastikan agar mahasiswa tetap mendapat kualitas pelayanan dan pendidikan yang sama layaknya sebelum pandemi. Seperti tengah diupayakan universitas yang ada di Inggris dan Taiwan.
Topik tersebut tercermin dalam kegiatan Webinar Series Mobilitas dan Internasionalisasi Perguruan Tinggi di Masa Pandemi Covid-19, Sharing session from UK and Taiwan. Kegiatan berlangsung pada Kamis (23/04) melalui aplikasi pertemuan daring.
Read more
Sebaran Dokter di Indonesia Belum Merata
Tidak meratanya pendistribusian dokter di Indonesia masih menjadi persoalan, terlebihi di tengah situasi pandemi Covid-19 yang saat ini sudah di tetapkan sebagai bencana nasional oleh pemerintah. Hal ini diharapkan juga menjadi perhatian para dokter lulusan Fakultas Kedokteran UII yang secara resmi dilantik dan diambil sumpahnya pada Kamis (23/4).
Read more
Membawa Tiongkok ke Peradilan Internasional karena Pandemi Covid-19
Beberapa lembaga non-pemerintah yang berbasis di Eropa menuding Tiongkok sebagai biang keladi pandemi virus corona (Covid-19) yang kini menyebar ke seluruh dunia. Mereka bahkan berencana membawa permasalahan itu ke Peradilan Internasional. Merespon isu tersebut, CLDS UII mengadakan seminar yang mengundang pakar hukum dan hubungan internasional. Acara diadakan secara daring sebagai langkah memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Read more
Diskusi yang Mencerahkan
Pertukaran ide dalam diskusi yang seharusnya mencerahkan seringkali menjelma menjadi debat kusir yang menjengahkan. Debar kusir ini bisa terjadi di banyak tempat: angkringan, grup media sosial, atau ruang publik lain, seperti layar kaca. Yang mengasyikkan, di tengah kejengahan, kadang muncul hiburan ketika dalil “pokoknya”, jurus pamungkas, dikeluarkan oleh peserta diskusi.
Sialnya, kadang kita pun tanpa sadar melakukan hal serupa. Keberanian menertawakan diri sendiri merupakan sebuah kemewahan yang sudah jarang ditemui. Akhiri dengan koreksi diri. Mari berkaca dengan dua fragmen berikut.
Sumbu panjang
Di tengah ceramahnya, Car Nur (Nurcholis Madjid) menunjukkan surat belasan halaman yang dikirimkan ke Romo Franz Magnis-Suseno. Cak Nur juga menunjukkan surat tebal serupa dari Romo Magnis. Episode ini terjadi di suatu siang pada 1996, 24 tahun yang lalu, di Pondok Pesantren Al Kamal, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Cak Nur saat itu, kami undang menjadi salah satu pembicara Pesantren Wawasan Nasional (Sanwanas) yang rutin digelar oleh sekelompok mahasiswa lintasorganisasi antarkampus. Sanwanas merupakan kerja sama ideologis dan aksi antara pegiat Masjid Manarul Ilmi ITS, Jamaah Shalahuddin UGM, HMI Yogyakarta, HMI Semarang, Keluarga Mahasiswa Islam (Gamais) ITB, dan Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) UIN Syarif Hidayatullah. Sanwanas pada saat itu menghadirkan banyak tokoh nasional, seperti Adnan Buyung Nasution, Adi Sasono, Din Syamsuddin, dan Budhy Munawar Rachman.
Apa isi surat Cak Nur dan Romo Magnis? Mereka berdua sedang mendiskusikan salah satu isu sensitif dalam agama. Karenanya mereka memilih jalur surat yang bersifat personal. Seingat penulis, menurut cerita Cak Nur, Romo Magnis keberatan dengan salah satu poin dalam tulisan Cak Nur. Alih-alih marah secara emosional, Romo Magnis mengirim surat sangat panjang kepada Cak Nur, yang berisi beragam argumen.
Cak Nur pun sama, membalasnya dengan surat yang tidak pendek, penuh dengan argumen dan sitasi literatur. Penulis tidak ingat berapa ronde pertukaran surat ini terjadi. Kawan Sanwanas penulis, yang saat ini tersebar dengan berbagai peran, yang membaca tulisan ini dan ingat episode tersebut dapat memverikasi. Begitu pun Romo Magnis yang masih sehat.
Bukan cacah ronde yang menjadi fokus tulisan ini. Sikap beliau berdualah yang menjadi pelajaran. Ini contoh diskusi personal yang tidak mudah kita cari padanannya. Keduanya tidak bersumbu pendek dan tidak mudah tersulut emosi.
Buku dilawan buku
Jika memutar waktu ke belakang, kita juga temui contoh diskusi akademik yang ciamik. Diskusi ini melibatkan beberapa tokoh besar.
Al-Ghazali mengkritisi pemikiran para filsuf, termasuk Ibnu Sina dan Al-Farabi, yang direkam dalam buku Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Al-Ghazali mengkritik ilmu filsafat yang digagas Ibnu Sina yang dianggapnya tidak sesuai dengan akidah Islam.
Ibu Sina yang dikenal sebagai Bapak Kedokteran Modern ini merupakan peminat karya-karya filsuf Yunani. Beragam buku dilahap oleh Ibnu Sina, termasuk, Organon karya Aristoteles yang membahas logika, Elements karya Euclid yang berisi matematika, Almagest besutan Ptolomeus yang mendiskusikan astronomi dengan pendekatan matematis, sampai Metaphysics karya besar Aristoteles tentang metafisika.
Buku yang terakhir ini membuat dahi Ibnu Sina mengernyit. Meski sudah mengulangnya sebanyak 40 kali, sampai agak hafal, tetapi tetap tidak paham, sampai akhirnya Ibnu Sina membaca buku On the Purpose of the Metaphysics karya Al-Farabi. Buku itu dibelinya seharga tiga dirham dari seseorang yang membutuhkan uang di pojok kota tempat tinggalnya, pada suatu sore.
Tidak banyak yang tahu kalau Ibnu Sina lebih banyak menulis buku filsafat dibandingkan kedokteran. Sebuah sumber menyebutkan, dari 240an karyanya yang bisa diakses sampai hari ini, sebanyak 150 terkait dengan filsafat dan “hanya” 40 yang membahas kedokteran.
Berpuluh tahun kemudian, Ibnu Rusyd mempertanyakan pemikiran Al-Ghazali dan merekamnya ke dalam buku Tahafut al-Tahafut (Kerancuan dari Kerancuan). Ibnu Rusyd juga sepaham dengan beberapa poin pemikiran Al-Ghazali yang mengkritik Ibnu Sina.
Yang menarik, keempat nama besar ini tidak hidup sezaman. Ibnu Sina (980-1037) lahir 30 tahun setelah Al-Farabi (872-950) meninggal. Al-Ghazali (1058-1111) menghirup udara dunia 21 tahun setelah Ibnu Sina wafat. Ibnu Rusyd (1126-1198), hadir di muka bumi berselang 25 tahun dari mangkatnya Al-Ghazali.
Penulis tidak dalam kapasitas untuk membahas buku-buku berat yang ditulis orang-orang besar ini. Yang jelas, ketika mereka mengkritik sebuah pemikiran dalam sebuah buku, mereka menuliskannya ke dalam buku lain dengan konseptualisasi yang utuh. Tidak hanya dengan komentar menyengat yang mematahkan semangat dan ide mentah yang tidak dipikir panjang, apalagi dengan dalil “pokoknya” sebagai tanda terpojok. Mereka membaca betul argumen per argumen sebelum mengkritisi. Tidak hanya melihat ringkasan orang lain yang mungkin bias, apalagi hanya melihat sampulnya.
Pelajaran
Dua fragmen di atas menyimpan banyak pelajaran penting. Pahami setiap ide sebelum menyanggahnya. Matangkan ide tandingan sebelum mengeluarkannya. Jika tidak, siapkan diri untuk malu seperti seorang pesilat yang masih mentah jurusnya tetapi berani unjuk gigi dengan arogan. Tidak semua ide harus diketahui orang. Kadang kita cukup menyimpannya dalam-dalam; untuk dimatangkan atau menunggu waktu yang pas untuk dimunculkan.
Dalam berdiskusi, ada saatnya berbicara. Tetapi tidak jarang, kita harus mendengar. Kita harus tahu kapan mulut berbicara dan kapan telinga terjaga. Dalam diskusi tertulis, ini serupa dengan menulis dan membaca.
Tidak semua diskusi harus terjadi di ranah terbuka. Isu yang sensitif tidak perlu menjadi konsumsi publik. Nampaknya tidak sulit mencari contoh diskusi publik di negeri ini yang menuai cibiran. Publik memang sudah semakin dewasa, meski kadang tidak seperti yang kita duga.
Dalam berdiskusi, hati boleh panas, tetapi kepala harus tetap dingin. Mudah? Tidak juga. Kita perlu memperpanjang sumbu, fokus pada ide bukan pada orang. Jangan sakit hati ketika ide tidak terjual. Yang ditolak adalah ide kita, buka kita. Tidak ada ide yang sempurna. Satu lagi: dalam berdiskusi, jangan berharap semua orang harus mengikuti ide kita.
Diskusi yang mencerahkan inilah yang akan mengasah hati dan akal: modal untuk menjadi orang hebat yang tidak mudah dibeli harga dirinya. Ibnu Sina dalam otobiografinya menulis, asistennya yang sangat setia, Abu Ubayd al-Juzjani, sering melantunkan bait syair kepadanya: ketika aku menjadi hebat, tak satupun kota yang mampu menampungku; ketika hargaku naik, tak seorangpun yang sanggup membeliku.
Tulisan ini telah dimuat di Republika Online 23 April 2020, dengan judul yang berbeda.
UII Andalkan Mobilitas Virtual di Tengah Pandemi Covid-19
Virus corona (Covid-19) memberikan berbagai dampak bagi setiap instansi, tak terkecuali perguruan tinggi di Indonesia. Universitas Islam Indonesia (UII) merespon perubahan ini dengan mengadakan Webinar Series bertemakan mobilitas dan internasionalisasi perguruan tinggi di masa pandemi Covid-19. Kegiatan tersebut dilaksanakan selama empat hari mulai tanggal 22 sampai 30 April 2020 yang berlangsung melalui Google Meet.
Read more
UII Terus Berikhtiar Merespons Dampak Covid-19
Mewabahnya virus Covid-19 yang telah ditetapkan World Health Organization (WHO) sebagai pandemi globlal, hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Ketersebaran ‘pageblug’ ini pun telah menerobos batas-batas wilayah dan berdampak di beragam sektor. Situasi ini, mau tidak mau juga harus dihadapi oleh masyarakat di wilayah Yogyakarta.
Read more
Alumni FK UII Paparkan Pengalaman Jadi Relawan Medis Covid-19
Ikatan Keluarga Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (IKA FK UII) menyelenggarakan Webinar Series bertajuk “Perkembangan Terkini Covid-19”. Acara yang digelar pada pada Senin (20/4) itu selain mendiskusikan perkembangan terbaru Covid-19 juga menyorot kerja keras para tenaga medis di lapangan. Diskusi dan Seminar yang berlangsung secara daring tersebut menghadirkan tiga alumni Fakultas Kedokteran UII dari berbagai angkatan. Sebagai moderator, dr. Hafidz Alhadi Luqmana (Alumni FK UII 2007), dan dua pembicara, dr. Rahmat Nugroho (Alumni FK UII 2009), serta dr. Kiki Widyastuti Sp.P., M. Kes (Alumni FK UII 2002).
Read more
Pandemi Covid-19 Turut Ubah Lanskap Hubungan Eropa-Tiongkok
Menyebarnya virus Corona (Covid-19) yang terjadi di berbagai negara di belahan dunia tidak hanya membawa dampak besar di bidang kesehatan. Covid-19 juga memberikan dampak global terhadap banyak aspek baik perekonomian, pendidikan, bahkan mempengaruhi hubungan antarnegara. Beberapa negara menghadapi perubahan drastis sebagai dampak adanya pandemi global itu. Hal inilah yang kemudian diarahkan oleh Program Studi Hubungan Internasional UII dengan mengadakan Webinar Talk Series Measuring The Global Impact of Covid-19 – Session 2 dengan mengangkat Topik “Dampak COVID-19 terhadap hubungan Tiongkok dan Eropa”. Kegiatan itu berlangsung pada Selasa (20/4) melalui platform daring guna meminimalisir dampak penyebaran Covid-19.
Read more
Hikmah Pandemi Covid-19: Bukan Halangan Ramadan Tak Maksimal
Hingga sekarang pandemi virus corona (Covid-19) masih membuat banyak orang merasa takut dan khawatir. Terlebih mendekati bulan suci Ramadan, tentunya banyak ibadah yang tidak bisa dijalankan seperti tahun-tahun sebelumnya. Seperti shalat berjamaah, shalat tarawih, dan i’tikaf yang dilakukan di rumah. Meski demikian, banyak cara menyiasatinya sehingga ibadah Ramadan pun tetap maksimal.
Hal inilah yang menjadi perhatian Lembaga Dakwah Kampus Universitas Islam Indonesia (UII) dengan mengadakan kajian pra Ramadan 1441 Hijriah pada 18 April lalu melalui Google Meet. Kajian bertemakan “Aku Rindu Ramadanku yang Dulu” itu diisi oleh Ust. Ahmad Dahlan, Lc., MA.
Read more
PTS, Ambil Ancang-Ancang di Kala Pandemi!
Pandemi Covid-19 membawa universitas di Australia mengalami krisis ekonomi. Demikian pesan yang diusung oleh harian The Guardian (14/4/20). Seberapa parah? Sebanyak 21.000 orang diramalkan akan dirumahkan, dalam enam bulan ke depan, jika pemerintah tidak memberikan tambahan dukungan finansial. Seperti diketahui, sektor pendidikan di Australia merupakan industri ekspor terbesar ketiga dengan sumbangan mahasiswa asing. Inilah salah satu kontributor utama krisis.
Ketika Australia tidak lagi menjadi pilihan studi mahasiswa asing, pendapatan pun menurun drastis. Pendapatan yang hilang diperkirakan mencapai 4,6 miliar dolar Australia atau 45,4 triliun rupiah. Tidak terlalu sulit membayangkan, masalah apa yang mungkin terjadi, ketika sebuah universitas papan atas menggantungkan 40% pendapatan dari mahasiswa asing. Melengkapi cerita nestapa ini, empat hari kemudian (18/4/20), harian yang sama menulis bahwa mahasiswa asing merasa ditelantarkan.
Kisah suram juga berasal dari negara jiran, Malaysia. Asia Sentinel (2/4/20) menurunkan tulisan bahwa pandemi Covid-19 telah memperparah masalah perguruan tinggi swasta (PTS) di sana. Sebuah studi menunjukkan bahwa 55% PTS di Malaysia mengalami kerugian. Karenanya, diprediksi sebanyak separuh PTS dapat bangkrut secara permanen. Universitas kelas dunia, University of Reading dan University of Nottingham, yang membuka kampus cabang di Malaysia pun tidak luput dari masalah ini dan sudah gulur tikar, paling tidak, sementara.
Potret Indonesia
Kabar pahit di atas membangunkan kita yang merasa baik-baik saja dari lamunan. Bagaimana dengan perguruan tinggi di Indonesia? PT negeri (PTN) nampaknya tidak akan banyak terpengaruh. Dana dari pemerintah yang digelontorkan, paling tidak untuk membayar pos belanja pegawai, akan sangat membantu. Apalagi dengan kebijakan penerimaan mahasiswa baru yang terkesan dilakukan dengan menutup mata, lupa kalau ada PTS di sekitarnya. Alasannya yang mencuat seringkali adalah bahwa PTN lebih berkualitas dibandingkan PTS. Klaim ini tidak selalu benar. Namun yang jelas, di Indonesia dengan disparitas yang luar biasa, pendidikan bukan hanya soal kualitas, tetapi juga akses alias pemerataan. Misi ini tidak mungkin dilakukan negara tanpa bantuan PTS.
Bagaimana nasib PTS? Sampai saat ini, tidak banyak terdengar apa yang akan dilakukan pemerintah untuk PTS. Justru yang terdengar agak lantang adalah bagaimana pajak PTS dapat dipanen secara maksimal. “Siapa yang suruh mendirikan PTS”, nyinyir seseorang ketika suatu waktu penulis bercerita tentang isu ini. Astaghfirullah.
Tidak ada data siap tayang bagaimana pandemi ini berdampak kepada PTS. Namun, diskusi informal antarpemimpin PTS sudah mencium bau tidak sedap. Ini kabar buruk. Sudah banyak PTS yang merasa kesulitan, baik secara teknis maupun finansial. Nampaknya, ketika semua pihak kewalahan, termasuk negara yang mengeluarkan surat utang pandemi dengan nomimal yang fantastis, PTS harus mencari akar lain untuk pegangan, supaya tidak terseret arus yang semakin deras. Mengharap fasilitas seperti PTN tentu bak mimpi di siang bolong. Tidak pada tempat dan waktunya. Meski pahit, ini merupakan pilihan paling realistis.
Ancang-ancang
Karenanya, penulis mengajak semua PTS untuk menyiapkan kuda-kuda, ambil ancang-ancang. Memang kuda-kuda tidak selalu menjamin seorang pesilat tidak jatuh terjerembap, tapi paling tidak akan membuatnya bertahan lebih lama, sambil menunggu kabar baik datang.
Ini kabar buruknya. Ketika penghasilan orang tua mahasiswa terdampak pandemi, pemimpin PTS harus dapat mengelola ekspektasi terkait dengan kelancaran pembayaran. Ini tidak hanya untuk mahasiswa aktif, tetapi juga untuk calon mahasiswa. Pun demikian, beragam inisiatif untuk menghindarkan mahasiswa putus kuliah karena masalah pembiayaan juga perlu dipikirkan. Subsidi silang bisa menjadi alternatif. Sektor pendidikan seharusnya tidak didekati dengan pola pikir transaksional.
Prioritas pengeluaran publik pun bisa bergeser, yang menempatkan pendidikan tidak pada posisi tertinggi. Animo mahasiswa baru sangat mungkin turun. Karenanya, edukasi publik menjadi sangat penting, sembari menyiapkan inovasi yang mengatasi masalah teknis karena pandemi, seperti dengan memudahkan proses admisi.
Gerakan pengencangan ikat pinggang pun perlu digaungkan secara kolektif, untuk memperpanjang umur finansial. Pembatalan program dan realokasi anggaran adalah beberapa contohnya. Identifikasi pos-pos pengeluaran yang mungkin ditekan. Ini tidak selalu mudah, karena selama ini sudah banyak PTS yang menjalankannya karena anggaran yang tidak lukratif. Penulis sangat yakin, saat ini, otak para pemimpin PTS, dipenuhi banyak pikiran; salah satunya adalah tentang menjamin bahwa gaji dan tunjangan dosen dan tenaga kependidikan masih bisa dibayarkan untuk beberapa bulan ke depan. Bahkan sebagian mungkin sudah membayangkan pemotongan gaji atau meminjam dari pihak ketiga, termasuk bank, untuk menjamin kelangsungan hidup.
Pun demikian, PTS sebagai bagian anak bangsa, tetap harus berikhtiar untuk berandil menangani pandemi, sesuai dengan kapasitasnya.
Berkah tersamar
Ini kabar baiknya. PTS, bersama dengan PTN, dipaksa berubah oleh keadaan. Proses pembelajaran pun dilakukan secara daring. Beberapa kolega merasakan beban yang lebih beran ketika pembelajaran daring. Pun demikian dengan mahasiswa.
Para dosen pun mau tidak mau harus mengikuti irama. Para profesor belajar menjadi Youtuber, awak kamera, atau penyunting video amatir. Semuanya dilandasi rasa sayang kepada para mahasiswa yang tersebar nun jauh di sana. Tidak semuanya dapat memuaskan kebutuhan mahasiswa, yang merupakan pribumi digital dengan ekspektasi tinggi.
Sejalan dengan waktu, penulis yakin, keandalanan para dosen dalam memproduksi konten pembelajara akan semakin baik. Dosen yang dulunya enggan belajar menggunakan beragam fasilitas teknologi informasi, pun berubah. Memang perubahan hanya karena dua hal: sadar atau dipaksa keadaan.
Aneka rapat untuk menjamin bahwa roda organisasi tetap berjalan digelar secara daring. Bahkan seorang kolega, menginginkan, rapat daring yang dijalankan dapat diteruskan, meski pandemi sudah usai.
Pelbagai diskusi atau seminar daring bertebaran. Kini adalah saat yang baik, bagi semua dosen untuk meningkatkan kapabilitas dirinya dan membagi manfaat kepada yang lain. Ini adalah berkah tersamar lain dari pandemi.
Karenanya pilihannya hanya dua: ambil ancang-ancang atau menunggu Godot yang tak kunjung datang. Inilah pilihan realistisnya: panen berkah tersamar, berharap yang terbaik, tetapi siapkan diri untuk yang terburuk.
Meminjam pepatah Tiongkok, para pemimpin PTS, mari nyalakan lilin dan hentikan mengutuk kegelapan. Semoga kabar baik segera datang!
Tulisan ini sudah dimuat di Republika online pada 21 April 2020.