covid-19

Bertambahnya orang yang terjangkit virus corona (Covid-19) saban hari sudah tentu membuat sebagian besar orang merasa cemas dan gelisah. Namun demikian, sebagai umat beragama pandemi Covid-19 justru menjadi peluang mendulang berbagai amal utama, tidak hanya ibadah kepada Allah tetapi juga kebaikan terhadap sesama manusia. Sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW tatkala pada zamannya juga pernah terjadi pandemi yang menulari banyak orang.

Menurut Dr. Drs. Asmuni Mth, MA., dosen Hukum Islam sekaligus Direktur Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia, berdasarkan catatan sejarah, pernah ada wabah penyakit pada masa Rasulullah dan sahabat. Meskipun bukan virus mematikan layaknya Covid-19, wabah pada masa itu juga menular dengan cepat dan menyebabkan tidak sedikit orang terkena dampaknya. Pada masa itu, salah satu wabah yang sering terjadi adalah kusta atau lepra.

Read more

Tenaga kesehatan (nakes), tenaga medis dan paramedis, memainkan peran yang sangat penting dalam penanganan pandemi Covid-19. Kita sudah selayaknya angkat topi untuk mereka sebagai tanda takzim.

 

Benteng terakhir

Mari tempatkan nakes sebagai benteng pertahanan terakhir di kala pandemi ini. Mereka bukan pasukan yang berada di garda terdepan, seperti narasi publik yang beredar saat ini. Tidak ada yang salah dengan narasi ini, tapi ini bisa memunculkan kesadaran yang keliru.

Alam bawah sadar sebagian kita akan mengatakan: “Kita punya nakes yang berada di garda terdepan. Kita aman. Mari, kita tetap menikmati hidup: rekreasi dan bercengkerama di tengah kerumunan.” Beragam berita pembubaran keramaian dan kerumuman warga oleh aparat, menjadi bukti empiris.

Bayangkan kalau kita tidak menambah kerepotan para nakes di puskesmas dan rumah sakit. Tanpa pasien terpapar Covid-19 pun, mereka sudah mempunyai banyak pasien yang membutuhkan bantuan. Pasien Covid-19 akan menambah beban mereka, meski penulis sangat yakin mereka, para nakes, akan melakukannya dengan sepenuh hati. Nakes berhati mulia di kala seperti ini, jika tidak dapat terlibat aktif, akan terasa teriris hatinya dan lunglai nuraninya.

Benteng pertahanan terakhir itu kadang jebol karena pasien atau keluarga pasien tidak jujur. Pasien ini ibarat Kuda Troya yang digagas Odysseus untuk menjebol dan menaklukkan Kota Troya, dalam mitologi Yunani, yang langsung menyerang ke jantung pertahanan. Beberapa yang terpapar dan meninggal merupakan nakes yang tidak berada di ruang isolasi dengan protokol ketat dan bahkan direktur rumah sakit.

 

Garda terdepan

Lantas, siapa yang berada di garda terdepan? Kita. Ya, kita. Kita adalah bak para bidak yang menahan serangan terhadap raja dan ratu dalam permainan catur. Ketika garda terdepan terkoyak, karena bidak tidak hati-hati dalam melangkah, raja dan ratu akan berada dalam ancaman. Tenaga medis adalah para raja dan ratu yang harus kita lindungi.

Caranya? Inilah saatnya, semua orang bisa mengambil peran untuk menyelamatkan umat manusia, termasuk dengan berdiam diri di rumah, menikmati waktu bersama keluarga. Jika terpaksa atau panggilan tugas mengharuskan keluar rumah, pastikan untuk menyiapkan: imunitas yang tinggi, istikamah dalam menjaga jarak fisik, menjaga kebersihan tangan, tidak latah mengusap hidup, mulut, dan mata, serta mengenakan alat pelindung diri yang mencukupi (seperti masker).

Sebagian dari kita mungkin merasa hebat, mempunyai imunitas yang baik.Tetapi jangan lupa, di rumah, ada orang tua dan anak kecil, orang-orang terkasih, yang rentan terpapar virus. Jangan egois. Setiap risiko paparan, harus diperhitungkan, karena frasa “memutar ulang waktu” hanya ada di kamusnya Doraemon. Pertimbangan matang selalu muncul di depan. Kalau di belakang, namanya penyesalan.

 

Dekatkan jarak sosial

Satu hal lagi, terakhir tetapi bukan afkir. Yang diperlukan saat ini adalah menjaga jarak fisik, bukan menjaga jarak sosial. Frasa dalam imbauan WHO sudah direvisi. Secara sosial justru kita harus saling mendukung dan menguatkan. Yang kuat, bantu yang lemah. Yang berpunya, sisihkan sebagian hartanya untuk yang papa. Sisihkan juga sebagian untuk penyediaan alat pelindung diri dan perangkat pendukung kesehatan lain, untuk nakes dan warga yang membutuhkan.

Tidak kalah penting, mari sebarkan semangat optimisme yang terukur, bukan optimisme yang meninabobokan, dan sebaliknya, bukan pula pesimisme yang menggerus energi positif. Hentikan juga mengirim informasi yang menyesatkan atau meningkatkan kegalauan di media sosial. Gantilah dengan pesan positif: kitalah yang berada di garda terdepan, untuk melindungi orang-orang terkasih yang rentan, dan para nakes yang menjaga benteng pertahanan terakhir.

Selain menunaikan beragam ikhtiar, mari jangan lelah mengetuk pintu langit, dengan iringan doa, semoga wabah ini lekas sirna dari muka bumi. Setelahnya, kita akan sambut wajah yang sumringah, hati yang tawaduk, dan rasa kesetiakawanan sosial yang mengental. Kengerian akan terurai, rasa jumawa bakal sirna, dan egoisme segera tergerus. Insyaallah.

Tulisan ini telah dimuat di Republika online, pada 16 April 2020, dengan judul sedikit berbeda. 

Pada 27 Rajab 1364, 77 tahun yang lalu, sekelompok anak bangsa yang pemikirannya jauh melampaui zamannya, mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI), nama awal Universitas Islam Indonesia (UII). Mereka adalah juga pada pendiri negara ini, yang mengesampingkan perbedaan, dan mengedepankan kebersamaan.

Tahun ini, pada milad ke-77, kita mensyukuri perkembangan UII yang lahir dan tumbuh bersama bangsa, dalam suasana yang tidak biasa. Pandemi Covid-19 mengancam, tidak hanya Indonesia, tetapi seluruh dunia. Kita melakukan beragam ikhtiar untuk mitigasi dan peduli dengan sesama, yang diringi dengan panjatan doa terbaik kepada Sang Pencipta, Allah Subhanahu wata’ala.

Acara Pidato Milad dalam Sidang Terbuka Senat UII yang sedianya kita lakukan dengan hidmat pada Senin, 28 Rajab 1441 yang bertepatan dengan 23 Maret 2020, pun kita tunda, untuk menghindari mafsadah. Milad ke-77 ini mengangkat tema meluhurkan peradaban.

Di UII, niat mulia ini dapat kita lakukan dengan bingkai: menghormati masa lalu, mengkritisi masa kini, dan menjemput masa depan dengan suka cita.

 

Menghormati masa lalu

Mengapa masa lalu harus kita hormati? Kerja keras aktor peradaban masa lampau UII telah meninggalkan jejak. Sebagian terawat, sisanya memudar sejalan jarum waktu yang berputar. Yang pasti, kontribusi peradaban masa lalu terhadap warna masa kini tidak mungkin kita abaikan. Kaidah inferensi hukum dalam tradisi Islam mengajarkan prinsip al-muhafadhatu ‘ala al-qadimi al-shalihi wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlahi. Kita diminta merawat warisan masa lalu yang baik dan melengkapinya dengan inovasi yang lebih baik.

Para pendiri UII telah menyemai nilai-nilai agung yang perlu dirawat oleh generasi kini dan bahkan masa depan. Paling tidak terdapat empat nilai yang bisa dibaca dari episode awal UII: (1) keragaman pemikiran Islam; (2) kesejalanan antara keislaman dan kebangsaan; (3) integrasi Islam dan ilmu; dan (4) mondialisasi.

UII adalah rumah besar bersama yang di dalamnya keragaman pemikiran Islam dihargai. Latar belakang organisasi atau tokoh pendiri UII beragam. Selain itu, sejak berdirinya, di UII, nilai keislaman dan kebangsaan dirangkai dalam satu tarikan nafas. Keislaman tidak dipertentangkan dengan nasionalisme. Semangat integrasi Islam dan ilmu tergambar jelas dalam pidato Bung Hatta ketika STI dibuka kembali di Yogyakarta pada April 1946. Tidak kalah penting, sejak awal UII didesain tidak hanya menjadi universitas kelas nasional, tetapi disiapkan menjadi warga global.

Sejarah masa lalu umat Islam juga mengajarkan kepada kita, untuk menghargai ilmu dan ilmuwan dengan serius. Universitas merupakan pusat ilmu dikembangkan dan ilmuwan adalah aktornya.

 

Mengkritisi masa kini

Masa kini adalah ladang dakwah kita, yang mengharuskan kita senantiasa untuk melakukan evaluasi diri sebagai pijakan untuk maju ke depan. UII harus menjadi bagian umat tengahan (ummatan washatan), umat terbaik dan adil, yang menjadi saksi aktivitas beragam kelompok lainnya. Persaksian akan mudah dijalankan jika kita terlibat dalam beragam aktivitas yang positif. Artinya, UII harus banyak terlibat menyelesaikan masalah yang ada. Ini adalah dakwah dengan tindakan.

Untuk itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dengan serius diikuti dan mencoba terlibat aktif di dalamnya. Ilmu pengetahuan berkembang sejalan dengan munculnya beragam masalah yang harus dipecahkan dan dipahami. Sensitivitas warga UII terhadap masalah nyata harus terus diasah. Selain itu, warga UII juga sudah seharusnya, berikhtiar menawarkan narasi alternatif yang mencairkan kejumudan berpikir dan menghubungkan beragam golongan yang tercerai.

Salah satu narasi alternatif tersebut adalah menjauhkan diri dan umat dari jebakan “bermain sebagai korban”. Mentalitas ini perlu dikembangkan supaya umat tidak terkuras energinya untuk menyalahkan orang atau pihak lain dan untuk terus mengeluh, tetapi terlena tidak melakukan ikhtiar terbaik yang menghadirkan perubahan. Mengapa ilmuwan muslim masa lampau sangat produktif dalam mengembangkan ilmu dan menulis? Salah satunya adalah karena mereka tidak menghabiskan waktunya untuk mengeluh, dan sebaliknya, menggunakannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan merekamnya dalam tulisan yang bermutu.

 

Menjemput masa depan dengan suka cita

Optimisme adalah sikap tengahan antara ketakutan (khouf) dan pengharapan (raja’). Apa yang kita ikhtiarkan hari ini sudah seharusnya dibingkai dengan optimisme menjemput masa depan. UII harus diimajinasikan dapat memainkan peran yang lebih penting ke depannya, dalam mendidik anak bangsa dan menghasilkan artefak akademik yang bermakna untuk meninggikan peradaban manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.

Karena itulah, anak tangga peradaban baru tidak hanya perlu didesain, tetapi lebih dari itu, harus mulai ditapaki secara serius. Bertahap tapi pasti. Karena peradaban tidak mungkin ditinggikan secara soliter, maka solidaritas dalam bentuk kerja sama antaraktor perlu dibangun. UII, lagi-lagi, harus berikhtiar menjadi simpul kerja sama yang menyatukan energi positif yang terserak, dan mengorkestrasinya menjadi simfoni yang mempunyai daya lesat yang lebih dahsyat. Dalam konteks ini, kesadaran beragama atau nilai-nilai Islam sudah seharusnya ditempatkan tidak hanya sebagai pedal rem, tetapi justru sebagai pedal gas yang diinjak untuk meninggikan peradaban.

Menariknya, masa depan seorang muslim, tidak ditandai dengan kematian. Horizon waktunya melampaui imajinasi manusia. Masa depan tersebut, mewujud ke dalam tiga indikator penting: kesejahteraan (lahum ajruhum inda rabbhim), kedamaian (wa la khaufun alaihim), dan kebahagiaan (wa la hum yakhzanun).

Semoga Allah selalu memudahkan UII dan seluruh warganya untuk merawat warisan baik masa lalu, memberikan yang terbaik untuk masa kini, dan meluhurkan peradaban masa depan. Semoga Allah senantiasa meridai UII.

Tulisan ini dimuat di UIINews edisi April 2020.

Program Studi Rekayasa Tekstil, Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia memberikan bantuan Alat Pelindung Diri (APD) kepada masyarakat dan tenaga medis. Inisiasi tersebut, turut menggandeng alumni serta Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI). APD yang diberikan menggunakan bahan Spun viscose yarn 8450 30R dan Spun cotton yarn 7454 30C, yang telah melalui proses kimiawi sehingga memiliki sifat Water Repellent (menolak air) dan Anti Bacterial. APD ini telah diuji di Laboratorium Kendali Mutu Prodi Rekayasa Tekstil FTI UII, sehingga aman untuk digunakan.

Read more

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Program Studi (prodi) Ahwal Al-Syakhshiyah (Hukum Keluarga), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia berhasil mempertahankan raihan akreditasi A (Unggul) dengan nilai 373 dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Capaian tersebut sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan No. 2403/SK/BAN-PT/Ak-PPJ/S/IV/2020, tertanggal dari 29 Maret 2020 sampai lima tahun kedepan.

Read more

Dampak pandemi COVID-19 dirasakan semua negara, tak terkecuali Malaysia. Ditengarai, pandemi ini akan memperburuk kondisi ekonomi Malaysia, bahkan lebih berat dibanding krisis ekonomi tahun 1998 dan 2008. Bisnis akan banyak gulung tikar dan banyak buruh migran terpaksa akan kehilangan pekerjaan.

Read more

stres pandemi covid-19

Pembaharuan informasi mengenai penyebaran virus Corona (Covid-19) terus disajikan oleh media dan menjadi bahan obrolan hangat di tengah masyarakat. Untuk menekan laju penyebarannya, pemerintah pun menetapkan beberapa kebijakan. Di antaranya menghimbau warga untuk berdiam diri di rumah, menjaga jarak aman tiap orang, melarang kegiatan yang mengundang kerumunan, serta menerapkan kerja dan beribadah di rumah. Tanpa disadari berbagai kebijakan itu dapat memberi dampak psikologis bagi seseorang. Gangguan seperti stres, kecemasan berlebihan, khawatir, ketakutan, bahkan depresi pun dapat dialami tiap orang di tengah pandemi Covid-19. Lantas bagaimana mengatasinya?.

Read more

Dalam beberapa bulan terakhir, pandemi Covid-19 telah mengubah pola hidup milyaran manusia di seantero jagad. Indonesia pun tidak lepas darinya. Kerja dari rumah seakan menjadi kelaziman baru, dengan berbagai catatan.

Di dunia pendidikan, pembelajaran daring yang mewujud dalam beragam moda dan strategi menjadi keniscayaan karena pilihan lain tidak banyak. Dosen dan mahasiswa sama-sama mencari takaran pembelajaran yang pas, terutama yang belum terbiasa dengannya.

Kritik dan kegalauan pun muncul mengiringi praktik baru ini. Sesuatu yang sangat wajar, karena keadaan telah memaksa kita melakoni pola hidup baru.

 

Pencelik mata

Praktik pembelajaran daring ternyata tidak selalu seindah yang dibayangkan banyak orang. Apalagi jika menengok sedikit ke belakang, ketika diskusi tentang disrupsi dalam pembelajaran yang diprediksi akan menjadikan banyak perguruan tinggi (PT) gulung tikar.

Apakah keyakinan tersebut masih valid, terutama dalam konteks Indonesia, paling tidak dalam horizon waktu satu dekade mendatang? Situasi ini dapat menjadi pencelik mata.

Saat ini semakin mudah meyakinkan orang bahwa disparitas digital di Indonesia masih sangat tajam. Disparitas ini tidak hanya terkait dengan lokasi geografis, tetapi juga status kemajuan.

PT dengan perbedaan lokasi yang dekat, kematangan kesiapan digitalnya dapat sangat berbeda. Fakta ini seharusnya juga mencelikkan mata kita bahwa kebijakan tunggal untuk seluruh wilayah Indonesia akan menemukan banyak hambatan di lapangan.

Faktor disparitas konteks harus selalu dimasukkan dengan serius sebagai konsiderans dalam setiap kebijakan. Karenanya, tidak perlu kaget jika kebijakan pembelajaran daring untuk seluruh perguruan tinggi menimbulkan kegundahan baru.

Untuk saat ini yang mungkin dilakukan adalah melakukan kontektualisasi sebatas daya dukung lembaga. Pada situasi pandemi Covid-19 ini, kita tidak punya kemewahan untuk mendapatkan opsi lain yang terhidang. Ruang tolerasi dan kompromi harus dibuka. Logika lazim perlu kita pinggirkan sejenak. Kita harus belajar mengelola ekspektasi.

 

Beberapa skenario

Karenanya, membayangkan apa yang terjadi di perguruan tinggi Indonesia bakda pandemi Covid-19 mereda, menjadi sangat menarik. Apakah praktik pembelajaran dan proses bisnis daring dengan semua cerita ikutannya mengubah bagaimana perguruan tinggi mengelola dirinya?

Mari kita bayangkan beberapa skenario masa depan. Pertama, sebagian perguruan tinggi akan menarik pelajaran dari situasi saat ini.  Mereka akan secara serius memperbaiki kualitas dan kapasitas layanan teknologi informasinya.

Artinya, kapasitas tersebut tidak hanya untuk mendukung pembelajaran daring, tetapi juga proses bisnis dan layanan digital lainnya. Integrasi layanan digital, mulai dari admisi mahasiswa baru sampai dengan pelacakan alumni akan menjadi salah satu prioritas.

Produksi konten pembelajaran yang lebih bermutu akan mendapat perhatian lebih. Tak ketinggalan, beragam program peningkatan kapabilitas dosen akan menemukan momentum baru.

Sebagian rektor yang dulunya pelit, sangat mungkin akan menggelontorkan tambahan investasi dalam bidang teknologi informasi. Perguruan tinggi kelompok pertama ini akan membuat lompatan karena adanya kombinasi visi baru, kesadaran bersama, dan dukungan sumber daya.

Kedua, sebagian PT akan menemukan kesadaran baru, melihat urgensi untuk berubah, tapi dukungan sumber daya tidak cukup tersedia. Kelompok ini dituntut untuk cerdik dalam membuat perencanaan, termasuk daftar prioritas.

Untuk itu diperlukan pengetahuan yang cukup dan eksposur yang memadai terhadap ide-ide serupa yang sudah ditranslasikan di konteks lain.

Jika ini dilakukan, perubahan akan berjalan perlahan tapi pasti. Semakin lama, infrastruktur yang sudah terinstal akan menjadi basis untuk peningkatan skalabilitas dan layanan baru. Namun demikian, ketika peluang untuk mempercepat perubahan terlihat, harus dimanfaatkan sebaik mungkin supaya tidak kehilangan momentum bakda Covid-19.

Ketiga, sebagian PT kemungkinan akan kembali ke bisnis seperti sedia kala. Tidak banyak perubahan drastis yang direncanakan dan dieksekusi. Kalau pun ada lebih sebagai upaya mendapatkan legitimasi.

Mengapa ini mungkin terjadi? Pertama, setiap PT mempunyai nilai unik sebagai pijakan. Ini bukan nilai indah yang termaktub dalam dokumen atau terpampang dalam bingkai di dinding. Nilai yang paling menentukan adalah yang terinternalisasi di benak pengelola PT.

Yang jelas, tidak semua nilai ini kompatibel dengan ide peningkatan kualitas layanan dan kinerja akademik yang tulen. Kedua, tidak semua pengelola PT sensitif dengan perubahan lingkungan. Mentalitas “gini aja bisa” akan menjadi jebakan dan mengekang gerak.

Skenario ketiga mungkin terlihat jahat dan menakutkan. Jika kita ingin mengelak, pertanyaannya: “Siapa yang dapat menjamin bahwa skenario ini tidak mungkin terjadi?”

 

Epilog

Warga PT yang berakal sehat akan menarik pelajaran berharga dari pandemi Covid-19. Pola hidup baru di dunia perguruan tinggi dalam beberapa pekan terakhir, dan sangat mungkin masih berlanjut, semoga tidak untuk yang lama, telah memantik kesadaran baru yang bisa menjadi pijakan untuk lompatan yang tinggi ke depan. Masa depan tersebut tidak harus berada dalam horizon waktu yang jauh, tetapi bisa kita mulai dari esok hari.

Kita memang tidak bisa memastikan setiap perubahan akan membawa kepada kemajuan, tetapi semua sepakat bahwa untuk maju, PT harus berubah.

Tulisan ini telah dimuat di rubrik Opini Harian Republika, 4 April 2020.

Di tengah kesibukannya bekerja dari rumah, Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U., Sabtu (11/4) menyerahkan bantuan alat pelindung diri (APD) dan vitamin pada 15 rumah sakit rujukan pasien Covid-19. Kali ini, Mahfud mengatasnamakan Ketua Dewan Penasehat Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (IKA UII).

Read more

covid-19

Covid-19 (Coronavirus Disease 2019) menjadi wabah pandemi di seluruh dunia dengan lebih dari dua juta kasus positif dan korban jiwa hingga 165.310 jiwa. Atas keprihatinan ini, Forum Kedokteran Islam Indonesia (FOKI) dan Pusat Studi Bioetik dan Hukum Kedokteran Islam (BIOHUKI) Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) mengadakan seminar daring internasional.

Seminar bertema “Covid-19; from Biomolecular to Bioethics” itu diadakan pada Jumat (7/4) pukul 07:00-10:00. Seminar ini juga didukung oleh Pertubuhan Amal Perubatan Ibnu Sina Malaysia (PAPISMA) dan Scientific Medical Activity of Research and Technology (SMART) FK UII.

Read more