Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan Talkshow bertajuk “Pergerakan Mahasiswa Masa Kini” pada Jumat (4/12). Talkshow yang berlangsung secara daring tersebut menjadi rangkaian dari acara Student Festival (StuFest) 2020. Kedua narasumber berasal dari lembaga tingkat universitas turut dihadirkan dalam acara ini. Pancar Setiabudi, sebagai ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) UII 2020, serta Ahmad Sarjun, yang merupakan ketua HIMMAH 2020.

Read more

Kebermanfaatan menjadi kunci dan tujuan utama dari diadakannya berbagai program, serta kegiatan yang memiliki nilai sosial. Program sosial yang dijalankan bisa berupa pemberian bantuan ataupun memberikan pelatihan sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat. Melalui topik terkait bidang sosial, Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan Universitas Islam Indonesa (UII) membuka Talkshow dalam rangkaian Student Festival (StuFest) 2020, Jumat (4/12) bertajuk “Muslim Millenial Berjiwa Sosial”.

Read more

Belajar di negara lain memiliki banyak tantangan bagi mahasiswa internasional. Selain jauh dari keluarga, perbedaan budaya juga menjadi tantangan tersendiri. Seperti tergambar dalam webinar “We are Multiculturalism: Indigenization and Internationalization”. Acara yang diadakan oleh Universitas Islam Indonesia dan Universitas Telkom ini bertujuan memberikan gambaran dan persiapan bagi calon mahasiswa yang ingin melanjutkan kuliah di luar negeri. Narasumber yang hadir yakni Emir Mahira, mahasiswa di University of British Columbia, Kanada. Emir juga merupakan mantan aktor di beberapa film terbaik di Indonesia dan sudah berpengalaman 10 tahun bersekolah di luar negri di tiga negara yang berbeda sejak SMP.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) melalui Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan menggelar Student Festival (StuFest) 2020 sebagai puncak inagurasi dari serangkaian program mahasiswa. StuFest yang digelar pada 4-5 Desember 2020  ini, dikemas untuk memberikan apresiasi bagi peran dan karya mahasiswa baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Merespon keterbatasan karena adanya pandemi, StuFest 2020 dilaksanakan secara virtual dengan memanfaatkan media YouTube. Penyelenggaraan workshop, talkshow, webinar, dan hiburan menarik lainnya menjadi bagaian dari penyelenggaraan StuFest 2020. Tak ketinggalan, Komika Pandji Pragiwaksono pun akan turut memeriahkan StuFest 2020 di akhir kegiatan.

Read more

Pembelajaran daring sebagai langkah preventif penularan virus COVID-19 telah berlangsung cukup lama di Universitas Islam Indonesia (UII). Guna membagikan berbagai pengalaman mahasiswa dalam menghadapi pembelajaran daring, UII bekerjasama dengan Universitas Telkom mengadakan webinar “International Students’ Talk Series 1: International Students Response on the Covid-19 Pandemic”. Acara daring ini menghadirkan narasumber : dr. Nadhira Nuraini Afifa, MPH, alumni muda Harvard University, MD. Jamaluddin Mahasiswa Ph.D, Bhawya, seorang mahasiswa internasional di Universitas Telkom, dan Tran Thi Yuan Thuong, mahasiswa dari Duy Tan University, Vietnam.

Read more

Pandemi Covid-19 akan memasuki bulan kedelapan, terhitung mulai pembelajaran daring dijalankan perguruan tinggi (PT) di Indonesia. Fokus utama PT dalam menjaga kualitas akademik dan menjamin keberlangsungan organisasi tergeser. Masuk dua pekerjaan rumah besar yang memerlukan perhatian ekstra dan mendapatkan prioritas lebih tinggi: menjamin keselamatan jiwa dan menjaga keberlangsungan akademik.

Untuk merespons perubahan ini, Universitas Islam Indonesia (UII) menggunakan tiga pendekatan yang terlihat sekuensial, tetapi dapat beririsan: bertahan dengan cermat, berbenah untuk sehat, dan bertumbuh dengan pesat.

 

Cermat bertahan

Beragam ikhtiar telah diambil oleh UII. Kecermatan dan kecepatan mengambil keputusan sangat penting di tahap ini. Waktu bukan kemewahan yang kita miliki, karena ketidakpastian sangat tinggi. Keterlambatan pengambilan kebijakan atau keputusan akan membawa dampak ikutan yang perlu dimitigasi, karena keterlibatan beragam aspek dan aktor di dalamnya. Sosialisasi kebijakan kepada semua semua warga organisasi, ketika terpisah jarak fisik, menjadi tantangan tersendiri.

Keselamatan jiwa sivitas UII menjadi prioritas utama. Sebagian besar aktivitas dan layanan fisik di kampus ditiadakan. Semuanya diupayakan secara daring. Karenanya, kehadiran ekosistem teknologi informasi menjadi penting. Pembelajaran daring dan kerja dari rumah menjadi satu-satunya pilihan.

Tidak semua PT siap dengan ini, baik dari sisi infrastruktur maupun kesiapan sivitasnya. Kita patut bersyukur, transformasi digital yang mulai dilakukan di UII sejak 2016 telah memberikan basis infrastruktur yang sangat memadai.

Misi utama PT harus diselamatkan: pembelajaran mahasiswa. Ekosistem pembelajaran daring harus disiapkan dengan cepat. Mahasiswa yang masih berada di luar negeri pun segera dipulangkan, sebelum ada pembatasan penerbangan internasional.

Budaya digital secara perlahan mulai terbentuk, lengkap dengan catatan di banyak hal. Beberapa kritik bernada protes pun masuk. Beberapa orang masih membayangkan kesempurnaan. Dalam situasi seperti ini, kesempurnaan adalah lawan dari efektivitas.

 

Sehat berbenah

Pandemi telah memaksa kita belajar banyak hal dengan cepat. Setelah beberapa bulan, kita sadar bahwa tidak mudah meramalkan kapan pandemi akan berakhir, meski kita semua menginginkannya. Hanya berpangku tangan sambil menunggu, bukan pilihan yang bijak. UII harus berbenah untuk kembali sehat: secara operasional dan finansial, sebagai basis keberlangsungan organisasi.

Banyak yang kita benahi, termasuk penguatan ekosistem teknologi informasi, dan secara khusus ekosistem pembelajaran daring. Sebuah cetak biru dibuat. Survei telah dilakukan kepada dosen dan mahasiswa. Tilikan dari survei ini dijadikan dasar kebijakan. Misalnya, selain menggunakan zoom untuk pembelajaran daring sinkron, kita juga berlangganan Panopto untuk pembelajaran daring asinkron. Beragam pelatihan pun digelar.

Banyak proses bisnis didesain ulang: mulai dari admisi mahasiswa baru, pembinaan mahasiswa baru, pembelajaran dan evaluasinya, sampai dengan wisuda. Sebanyak mungkin konsiderans dan aktor dilibatkan.

Sangat mungkin, hasil desain ulang dalam berbenah tidak sesempurna yang dibayangkan jika dibandingkan dengan ketika kondisi normal. Atau, bisa jadi, yang perlu berubah adalah pola pikir kita: sempurna untuk diri sendiri akan sangat berbeda dengan sempurna untuk orang banyak yang kondisinya sangat beragam.

Dalam konteks inilah seringkali dibutuhkan penyamaan frekuensi, termasuk dalam membuat ruang toleransi.

 

Pesat bertumbuh

Saya yakin semua sepakat, pengorbanan selama pandemi akan terasa sia-sia, jika tak ada perubahan bermakna yang dilakukan. Hasil berbenah akan menjadi pijakan lentingan ke depan.

Ada banyak hal yang bisa dibayangkan bersama untuk menjadi mimpi kolektif. Salah satunya adalah percepatan digitalisasi kampus perlu dilakukan dengan orkestrasi yang baik. Tanpanya, solusi yang dihasilkan akan tidak efektif dan temporal. Bermanfaat, tetapi sesaat. Ini mirip dengan minum parasetamol untuk menghilangkan sakit kepala karena gigi berlubang.

Digitalisasi ini akan menjadi basis pengembangan beragam layanan ke depan, termasuk pembelajaran daring yang lebih berkualitas dan beragam aktivitas akademik daring lainnya. Inilah modal bertumbuh,

Ke depan, pembelajaran daring sangat mungkin menjadi bagian permanen dalam proses bisnis. Ada dua pilihan: melengkapi pembelajaran konvensional (jika situasi sudah memungkinkan) dan menjadi modal pembukaan program studi pendidikan jarak jauh yang hampir 100% aktivitas akademik dan pendukungnya dijalankan secara daring.

Tentu, semuanya pasti dengan catatan. Inilah ruang diskusi yang terus kita buka.

Tulisan dimuat dalam Kolom Refleksi UIINews edisi November 2020.

Mahasiswa FIAI Sabet Juara 1 Artikel Ilmiah Nasional

Mahasiswa Program Studi S1 Akuntansi Universitas Islam Indonesia (UII), Gilang Bagus Saputra berhasil meraih juara satu di Accounting Challenge tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Politeknik Batam pada 14-15 November 2020. Bagi Gilang, kompetisi seperti ini menjadi wadah untuk mengukur kemampuan materi yang telah ia dapat di bangku perkuliahan.

Read more

Pentingnya Menjaga Sport Performance

Siapa bilang sektor pertanian tidak menjanjikan, meski menurut Kementerian Pertahanan lahan pertanian di Indonesia menyusut 60.000 hektare tiap tahun, dan banyak anak petani yang memilih tidak melanjutkan profesi orang tuanya, nyatanya pertanian di Indonesia masih menyimpan potensi yang luar biasa besar.

Read more

University rankings need a rethink“, demikian judul tulisan yang diterbitkan oleh Nature pada 24 November 2020 (Gadd, 2020). Bagi mereka yang familier dan peduli dengan metodologi pemeringkatan perguruan tinggi (PT), isu tersebut bukan hal baru. Sama sekali tidak mengagetkan.

 

Sejarah ringkas

Pemeringkatan perguruan tinggi bukan praktik baru. Praktik ini sudah dilakukan lebih dari satu abad lalu di Inggris, ketika jurnal bergensi The Lancet menerbitkan artikel berjudul “Where we get our best men“, pada 18 Agustus 1900.

Kemunculannya secara lebih luas dan terakses secara publik terjadi di Amerika, ketika US News and World Report melansir “America’s Best Colleges” pada 1983. Sekitar satu dekade kemudian, praktik serupa muncul di Inggris, tatkala harian The Times, meluncurkan “Good University Guide” pada 1993 (Marope & Wells, 2013).

Sekitar satu dasawarsa kemudian, pada Juni 2003, The Academic Ranking of World Universities (ARWU) diluncurkan. ARWU sangat elistis karena memasukkan poin pemenang hadial Nobel di dalam metodologinya. Selain ini, publikasi yang diperhitungkan dalam komponen hanya yang diindeks oleh Science Citation Index-Expanded (SCIE) dan Social Science Citation Index (SSCI) dan yang terbit di Science dan Nature .

Setahun kemudian, pada 2004, majalah Times Higher Education (THE) bekerja sama dengan Quacquarelli Symonds (QS) menerbitkan Times Higher Education World University Rankings. Kerja sama ini berjalan sampai 2009, sebelum mereka pecah kongsi. THE akhirnya berkolabarasi dengan Thomson Reuters sebagai pemasok data. QS membuat pemeringkatan sendiri menggandeng Elsevier yang menyediakan basisdata Scopus, mulai 2007.

Masih banyak lembaga pemeringkatan lain di luar sana, baik yang menggunakan indikator (yang diklaim) generik maupun yang spesifik pada bidang tertentu.

 

Minus dan plus

Beberapa pesan keras dibawa tulisan di Nature tersebut: pemeringkatan PT cacat dari lahir, digunakan dengan buruk, dan membudidayakan ketidakadilan (Gadd, 2020). Pemeringkatan sudah memunculkan debat sejak kemunculannya.

Sudah banyak pemikir yang menyatakan pendapatnya, baik melalui buku, artikel jurnal ilmiah, maupun kanal lain. Debat isu ini juga direkam dalam buku berjudul Rankings and Accountability in Higher Education: Uses and Misuses yang diterbitkan oleh Unesco pada 2013.

Sulit menghitung artikel jurnal yang membahas isu ini dari berbagai perspektif (e.g. Van Raan [2005]; Sih (2007); dan Amsler dan Bolsmann [2012]). Soh (2007) misalnya membuat daftar tujuh dosa besar pemeringkatan, termasuk presisi palsu, diskrepansi bobot dan redundansi indikator. Secara tajam, Amsler dan Bolsmann (2012) menyatakan bahwa pemeringkatan PT adalah telah membuat kelas kapitalis baru lintasnegara dan memfasilitasi bentuk baru eksklusi sosial.

Tentu, tidak semua pemikir memberikan kritik pedas. Banyak yang menjadikannya sebagai objek analisis dan menawarkan alternatif yang diklaim lebih komprehensif (lihat misalnya Guarino et al. [2005], Taylor & Braddock [2007], dan Amsler [2014]).

Terlepas dari plus dan minus pemeringkatan, nampaknya ada beberapa poin yang harus disepakati. Ekselensi PT perlu diupayakan dengan serius. Di dalamnya, termasuk memastikan dampak positif aktivitas akademik, baik dalam bentuk lulusan maupun artefak akademik yang berkualitas. Cara mengukurnya pun bisa beragam.

Selain itu, aroma komersialisasi pemeringkatan PT juga tercium kuat (lihat misalnya Vaughn [2002] dan beberapa tulisan dalam Marope, Wells, & Hazelkorn [2013]). Sebagian orang, bisa jadi, menganggap ini sebagai simbiosis mutualisme. Bagi lembaga pemeringkat, penerimaan dari PT akan meningkatkan legitimasinya. Sebaliknya, PT seringkali mengkapitalisasi hasil pemeringkatan untuk keperluan promosinya. Mungkin hal ini juga yang menjadikan praktik pemeringkatan semakin menguatkan eksistensinya.

Debat ini nampaknya tidak akan berujung. Ini mirip dengan berbalas pantun antara dua orang yang mempunyai energi berlebih. Setiap kubu mempunyai argumennya masing-masing. Setiap metodologi mempunyai basis dan dipastikan mempunyai kekurangan. Pemeringkatan pada intinya hanya efektif untuk komparasi, tetapi tidak untuk mendapatkan gambaran komprehensif.

 

Epilog

Sadar dengan hal ini, aforisme “All models are wrong, but some are useful” sering disitir oleh Ben Sowter, Senior Vice President Quacquarelli Symonds (QS) dalam banyak presentasinya.

Akhirnya, semuanya terserah kita. Gunakan hasil pemeringkatan dengan bijak dan jangan terjebak pada angka peringkat. Selisikan terhadap data nominal mentah, biasanya lebih banyak memberikan tilikan untuk pijakan perbaikan.

Selain itu, semua perlu dilakukan dengan satu catatan tebal: tidak ada ruang toleransi untuk praktik tidak etis dalam pemeringkatan, termasuk fabrikasi dan duplikasi data dengan sengaja.

Apakah praktik tidak etis ini ada? Garis demarkasi antara yang etis dan tidak etis bisa jadi sangat tipis. Verifikasi atasnya pun tidak mudah, karena tidak semua lembaga pemeringkatan membuka datanya. Wallahualam.

 

Referensi

Amsler, S. (2014). University ranking: A dialogue on turning towards alternatives. Ethics in Science and Environmental Politics13(2), 155-166.

Amsler, S. S., & Bolsmann, C. (2012). University ranking as social exclusion. British Journal of Sociology of Education33(2), 283-301.

Gadd, E. (2020). University rankings need a rethink. Nature587, 523.

Guarino, C., Ridgeway, G., Chun, M., & Buddin, R. (2005). Latent variable analysis: A new approach to university ranking. Higher Education in Europe30(2), 147-165.

Marope, M. & Wells, P. (2013). University rankings: The many sides of the debate. Dalam P.T.M. Marope, P.J. Wells, & E. Hazelkorn (ed.). Rankings and Accountability in Higher Education: Uses and Misuses. Prancis: Unesco.

Marope, P.T.M., Wells, P.J. & Hazelkorn, E. (ed.) (2013). Rankings and Accountability in Higher Education: Uses and Misuses. Prancis: Unesco.

Soh, K. (2017). The seven deadly sins of world university ranking: A summary from several papers. Journal of Higher Education Policy and Management39(1), 104-115.

Taylor, P., & Braddock, R. (2007). International university ranking systems and the idea of university excellence. Journal of Higher Education Policy and Management29(3), 245-260.

Van Raan, A. F. (2005). Fatal attraction: Conceptual and methodological problems in the ranking of universities by bibliometric methods. Scientometrics62(1), 133-143.

Vaughn, J. (2002). Accreditation, commercial rankings, and new approaches to assessing the quality of university research and education programmes in the United States. Higher Education in Europe27(4), 433-441.

 

Refleksi ringan, 29 November 2020.

Catatan: Tidak seperti biasanya, tulisan Pojok Rektor ini memang sengaja dibuat agak “berat” dengan banyak referensi.

Public figure sekaligus influencer, Zaskia Adya Mecca menjadi pemateri dalam rangkaian acara Growth Fest IBISMA UII yang diadakan secara daring pada Rabu (25/12). Webinar bertemakan “Inspiring Womenpreneur” Bangkit Perempuan Indonesia! ini mengupas bagaimana peran perempuan dalam memberikan dampak ke masyarakat serta menjalankan bisnis di masa pandemi.

Rininta Hanum, M.Eng. selaku Kepala Program Inkubasi IBISMA membuka sesi dengan mengatakan bahwa 80% UMKM yang ada di Indonesia dimiliki oleh perempuan. Hal tersebut terbukti bahwa wanita merupakan penggerak roda perekonomian yang ada di Indonesia. Perempuan juga dapat berperan penting terhadap perekonomian salah satunya melalui wirausaha.

Senada, Zaskia juga menegaskan sebagian produk endorse yang diterimanya juga dimiliki oleh perempuan. “Kelebihan dari perempuan itu bisa multitasking dan tetap fokus sama semuanya misalnya ketika aku menyetir aku  masih bisa nelpon dan bahas urusan lain. Berbeda sama mas Hanung apabila nyetirnya harus fokus dan jika tidak biasanya sudah nyasar yang harusnya belok malah lurus,” terang perempuan yang akrab disapa Bia itu.

Siasat Bisnis di Tengah Pandemi

Ia juga banyak bercerita bagaimana menjalankan usaha di masa pandemi. Menurutnya, sangat penting mengajak karyawan untuk turut merasakan kepemilikan dalam bisnis. Salah satunya dengan terbuka dengan kondisi keuangan perusahaan, keuntungannya, hingga modal yang dibutuhkan.

Di luar dugaan, walaupun di masa pandemi bisnis fashionnya tidak mengalami penurunan penjualan dan bahkan stabil. Para karyawannya tergerak menjadi tenaga pemasar, padahal biasanya hanya bagian pengemasan. Baju-baju, kerudung, dan produk-produk lain mereka tawarkan ke tetangga agar bisa mencapai target penjualan.

“Tapi targetku sendiri tidak ambil keuntungan yang banyak setiap produk, biasanya lebih dari sepuluh ribu sekarang cuma ambil sepuluh ribu. Tentunya agar banyak yang beli dan uangnya  bisa berputar untuk modal lagi”, imbuhnya.

“Usahaku yang lumayan agak terdampak itu di sektor oleh-oleh. Meski tidak sampai memberhentikan karyawan, namun sistem kerja diubah menjadi gajian per hari yang mereka masuknya juga cuma setengah hari. Dari situ aku mulai inovasi, tidak melulu jualan oleh-oleh, aku mulai membuat burger Bleger karena tidak mungkin menargetkan wisatawan di masa pandemi. Produk ku menyasar masyarakat Jogja dan aku pilih makanan yang bisa dimakan di mana aja, praktis, dan mengenyangkan.”, terangnya.

Tidak Melupakan Kewajiban

Zaskia mengingatkan bahwa memulai bisnis tidak harus diawali dengan uang yang banyak. Memulai suatu juga bisa melalui modal kreativitas, inovasi, inisiatif, dan konsistensi. Terlebih sekarang banyak teknologi yang bisa jadi sarana bisnis misalnya bikin akun instagram parenting atau akun yang ngebahas sehari satu Hadits dan akun lain yang sesuai dengan passion diri, ketika sudah mempunyai banyak follower bisa dijual atau dijadikan paid promote.

Rahasia suksesnya bisnis yang ia bangun adalah ridho dari suami. “Ingat kewajiban fokus pertama adalah menjadi seorang istri dan seorang ibu. Jika punya pemasukan lebih besar dari suami jangan sombong. Istri adalah makmum suami. Jika diawali dengan niat seperti itu insyaAllah berkah dan tambah dimudahkan Allah SWT.

“Konsep sedekah juga jangan dilupakan. Ketika memulai usaha kita harus ada niat sedekah karena usaha tidak cuma buat diri kita tapi juga buat orang lain,” ujarnya.

Zaskia menambahkan tips untuk selalu bahagia bahwa jangan pernah menjadikan semuanya beban. Ia menghilangkan semua standar dalam hidup. Misalnya standar anak harus punya nilai bagus, standar harus liburan ke luar negeri, dan menyederhanakan standar bahagia. (HN/ESP)