Pandemi Covid-19 telah merubah sebagian besar tatanan kehidupan manusia, tak terkecuali dalam melaksanakan ibadah bagi umat muslim. Beribadah di masa wabah tentulah harus mengedepankan hati nurani dan rasionalitas untuk menjadikan keselamatan jiwa (hifd al–nafs) di atas segala-galanya. Sebab selain menjaga agama, Islam adalah agama yang sangat memperhatikan keselamatan jiwa.

Read more

Beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola dana Pendidikan) tentu tidaklah asing bagi mahasiswa yang ingin melanjutkan studi pada jenjang Magister (S2) dan Doktoral (S3). Beasiswa ini tidaklah mudah didapatkan, selain banyaknya jumlah mahasiswa yang mengikuti seleksi, materi tes yang diberikan juga tidaklah gampang.

Read more

Program Studi Arsitektur Universitas Islam Indonesia (UII) bekerjasama dengan Pusat Studi Real Estate mengadakan open course and talks dengan judul the new norm of living: green property pada Selasa (11/8). Kegiatan ini menghadirkan Arsitek Praktisi Green Building, Ar. Ariko andikabina GP sebagai pemateri dan Ir. ‪Ahmad Saifudin Mutaqi, M.T., IAI., AA., Kepala Pusat Studi Real Estate Arsitektur UII sebagai host.

Read more

Meski saya orang awam dari perspektif keilmuan arsitektur, hasil pembacaan terbatas saya mengantarkan pada sebuah kesimpulan sementara, bahwa pandemi Covid-19 mempengaruhi para arsitek dalam menjalankan perannya. Saya temukan di literatur yang merekam beragam konsep untuk merespons pandemi dengan program intervensi kreatif, termasuk desain interior yang membatasi penularan virus sampai dengan desain rumah tinggal yang dapat mengakomodasi kebutuhan ruang kerja, ketika sampai hari ini kerja dari rumah (KdR), masih menjadi pilihan yang masuk akal.

Pandemi ini bukan masalah beberapa pekan ke depan, karena sampai hari ini, kita belum melihat bahwa pandemi akan segera berakhir. Sebagian ahli mengatakan bahwa keadaaan tidak akan kembali normal sampai vaksin ditemukan. Ketika vaksin ditemukan pun perlu waktu untuk memproduksinya untuk miliaran umat manusia. Sebagian ahli yang lain mengingatkan bahwa keadaan normal antara sebelum dan bakda pandemi akan sangat berbeda.

 

Dampak dan contoh

Di kesempatan yang singkat ini, saya ingin mengajak para arsitek untuk terus memasang mata dan telinga, mengikuti perkembangan yang ada, dan melakukan refleksi atasnya. Siapkan diri untuk belajar hal baru, yang bahkan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Pandemi telah memberikan pelajaran di depan mata, bahwa banyak kejadian yang di luar imajinasi, dan kita harus siap meresponsnya.

Seorang profesor bidang arsitektur di Korea, seperti dilaporkan di The Korea Herald[1] memprediksi beragam kemungkinan respons tersebut. Untuk desain rumah, termasuk di antaranya adalah desain rumah yang membuat KdR lebih nyaman, rumah yang lebih besar, rumah dengan teras, rumah dengan sirkulasi udara dan akses cahaya yang baik, ruang dengan multifungsi, dan lain-lain.

Dalam konteks yang lebih luas, di luar rumah, beberapa perubahan diprediksi akan terjadi dan sudah mulai menemukan buktinya. Desain ruang publik yang memastikan jarak fisik, desain yang memperhatikan betul alur mobilitas manusia, desain yang fleksibel, sampai penggunaan teknologi bangunan modular yang akan menghadirkan proses kontruksi yang cepat dan fleksibel.

Perlu kita catat di sini, respons yang baik harus kontekstual dan contoh di atas dapat diperpanjang daftarnya hampir tak terbatas. Setiap konteks akan memberikan sederet contoh yang berbeda.

Untuk menghindarkan jebakan contoh, mari kita naik ke level abstraksi yang agak tinggi.

 

Mendesain afordans

Terkhusus untuk para arsitek muda, apapun yang dibuat oleh manusia bersifat artifisial, tidak alami. Karenanya, semua karya manusia tersebut disebut artefak. Ketika sebuah artefak berinteraksi dengan aktor di sebuah lingkungan, muncullah kemungkinan tindakan, yang disebut dengan affordance (afordans, mari kenalkan istilah ini). Begitu pun karya arsitektur ketika pandemi dan bakda pandemi. Saya percaya bahwa konsep afordans, dapat mempersenjatai para desainer (termasuk arsitek) dalam menghasilkan artefak, termasuk memberikan makna ulang kepada artefak yang sudah ada.

Saya ingin meminjam rangkuman yang dibuat tiga kawan baik saya (Lanamäki, Thapa, Stendal [2016]). Afordans dapat bersifat kanonikal, sesuai dengan kesepakatan bersama atau konvensi. Misal, sulit menemukan orang yang tidak sepakat ketika kita mengatakan bahwa “rumah digunakan untuk tinggal”. Karenanya di Indonesia, disebut dengan rumah tinggal. ini adalah afordans kanonikal (canonical affordance). Dengan kacamata ini, desainer tidak punya kuasa, karena afordans ini merupakan pemahaman kulural kolektif. Atau, kalau pun bisa, memerlukan waktu yang lama untuk menjadikan sebuah “konsep” baru diterima secara kultural, tanpa debat.

Di tahapan selanjutnya, barulah arsitek bisa masuk. Artefak yang dihasilkan berdasar imajinasi tentang apa yang akan dilakukan oleh penggunanya. Di sini, arsitek akan menghadirkan yang diimajinasikan atau dipersepsikan akan memungkinkan penggunaannya untuk melakukan tindakan tertentu. Misalnya, gedung kampus didesain sebagai ruang pembelajaran yang memungkinkan interaksi antara dosen dan mahasiswa, atau rumah tinggal satu lantai yang didesain untuk pasangan lansia yang mempunyai kesulitan mobiltas fisik “vertikal”, atau rumah tinggal beberapa lantai untuk keluarga besar di tanah yang terbatas. Inilah afordans yang didesain (designed affordance).

Pertanyaan selanjutnya, apakah afordans yang didesain akan digunakan oleh pengguna seperti yang dibayangkan oleh penggunanya? Belum tentu. Banyak contoh yang bisa diberikan. Di sebuah daerah di Sumatera, dekat Muaro Jambi, misalnya, banyak rumah bertingkat yang tidak ditinggali dan dibiarkan untuk rumah burung walet. Atau, ketika pandemi saat ini, ruang yang tadinya didesain untuk kepasitas 20 orang, hanya dihuni oleh 10 orang.

Kapasitas ruang untuk 20 orang adalah afordans potensial (potential affordance). Apakah pengguna riil akan menggunakannya untuk 20 orang, semua terserah pengguna. Kuasa desainer di sini, sudah berpindah ke pengguna. Pengguna bisa membayangkan beragam potensi penggunaan ruang. Jika di kampus, ruang tersebut dapat digunakan sebagai ruang kelas, ruang diskusi, atau bahkan musala kecil. Di rumah, saat ini, ruang tamu bisa dipersepsikan oleh pengguna sebagai ruang kerja. Teras bisa juga dipersepsikan menjadi tempat rapat daring, bahkan untuk lintaslembaga atau lintasnegara.

Dunia nyata tidak dibentuk oleh afordans potensial, tetapi oleh afordans yang teraktualisasi (actualized affordance). Ketika pandemi seperti saat ini, afordans yang teraktualisasi menjadi tidak selalu mudah ditebak dan bisa sangat berbeda dengan yang dibayangkan oleh arsitek ketika mendesainnya. Gedung olah raga bisa berubah menjadi tempat produksi alat pelindung diri, laboratorium teknik mesin menjadi tempat produksi pelindung wajah, pabrik tekstil memproduksi masker yang tidak pernah dilakukan sejak berdirinya, dan hotel menjadi tempat karantina pasien yang terpapar virus.

Di waktu seperti ini, kreativitas arsitek dalam memaknai ulang fungsi artefak menjadi penting. Karenanya, fleksibilitas dalam desain menjadi menarik dikaji untuk menjadikan artefak arsitektur responsif untuk kejadian yang tidak terduga. Desain kursi ruang pelatihan atau rapat yang dapat ditumpuk atau meja yang dapat dilipat adalah beberapa contoh sederhana. Ruang menjadi nyaman digunakan terlepas dari cacah peserta pelatihan atau rapat yang menggunakan.

Pesan saya kepada para arsitek muda, jangan mudah percaya dengan yang saya sampaikan. Selalu telaah dengan skeptis dan kritis. Lawan dengan argumen lain jika diperlukan. Ingat, latar belakang saya bukan arsitektur. Saya hanya mencoba menggunakan pisau analisis yang saat ini digunakan di bidang saya, sistem informasi, dan menggunakannya untuk melihat di konteks arsitektur.

Satu hal yang saya yakini, dan mungkin Saudara sepakat, bagi saya, yang didesain oleh seorang arsitek bukanlah bangunan atau gedung, tetapi afordans yang diimajinasi.

Selamat berkarya dan berimajinasi.

Sambutan pada acara Sumpah Profesi Arsitek, Program Studi Profesi Arsitek, Universitas Islam Indonesia, 13 Agustus 2020.

 

Referensi

Lanamäki, A., Thapa, D., Stendal, K. (2016) When Is an Affordance? Outlining Four Stances. Dalam Introna L., Kavanagh D., Kelly S., Orlikowski W., Scott S. (eds) Beyond Interpretivism? New Encounters with Technology and Organization. IS&O 2016. IFIP Advances in Information and Communication Technology, 489, Springer.

[1] http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20200528000802

 

Menguatkan dan merealisasikan nilai dan tujuan dalam berkeluarga menjadi hal penting guna memicu terbangunnya keharmonisan seluruh anggota keluarga. Hadirnya pandemi telah memberikan dampak bagi ketahanan keluarga. Semakin baik ketahanan keluarga, semakin baik pula kemampuan keluarga menghadapi perubahan akibat pandemi dan pasca pandemi. Dengan memilih kebijakan yang tepat dapat mencegah keluarga di Indonesia berada dalam situasi krisis sekaligus memastikan ketahanan keluaga tetap utuh dan tangguh.

Read more

Saya memulai tulisan ringkas ini dengan pertanyaan untuk menguji akal sehat kita. Jika ada dua hal yang berbeda, apakah keduanya selalu berseberangan secara diametral? Setelah merenung sejenak, nampaknya tidak sulit untuk bersepakat bahwa hal-hal yang berbeda tidak selalu bertentangan. Bahkan, sebagian dari kita sampai pada kesimpulan tambahan: yang berbeda itu bisa jadi berangkat dari posisi berdiri yang berbeda, dan ujungnya, bisa saling melengkapi.

Pola pikir seperti ini penting untuk menghindarkan diri dari jebakan berpikir sempit dan bersumbu pendek. Tidak sulit mencari contoh, energi umat atau bangsa sudah banyak bocor karena jebakan ini. Akibatnya mengerikan: setiap yang berbeda harus dimatikan dan akhirnya hadir adalah monopoli tafsir kebenaran: yang lain salah dan yang benar hanya dirinya atau kelompoknya.

Dalam konteks perspektif terhadap Islam, misalnya, mari kita lihat beberapa contoh ringan tetapi bisa membawa kita ke dalam diskusi serius yang mendalam. Kata “Islam” tidak jarang diberi predikat yang mencirikan sebuah perspektif yang dianut (sebuah konsep), seperti Islam inklusif (di mesin pencari ditemukan 19.000 entri), Islam pribumi (7.660), Islam puritan (9.400), Islam moderat (204.000), Islam rasional (24.900), Islam rahmatan lil alamin (349.000), Islam syari’at (37.700), Islam transformatif (16.500), Islam liberal (251.000), Islam pluralis (7.110), Islam kebangsaan (42.400), Islam berkemajuan (70.300), dan Islam nusantara (2.030.000). Angka entri di mesin pencari “hanya” untuk memberikan gambaran bahwa konsep tersebut nyata dan dikembangkan.

Konsep tersebut juga terdokumentasi, dilantangkan, atau mewujud dalam bentuk kajian serius, seperti disertasi, jurnal ilmiah, buku, dan bahkan sebuah gerakan kolektif.

Mari jujur akui, seberapa sering kita memikirkan irisan atau persamaam dari beragam “konsep” tersebut? Sebaliknya, apakah energi kita lebih sering kita gunakan untuk mempertentangkannya? Pertentangan tersebut bisa mewujud dalam beragam bentuk, mulai keenggaan berkomunikasi, ketidakmauan bekerjasama, sampai saling menyindir, saling merundung, saling menghinakan, dan bahkan mengkafirkan. Yang terakhir ini sudah melampaui kewenangan manusia, dan menjadi Tuhan, karena sudah mengkapling surga dan neraka untuk manusia.

Jika ini yang terjadi, akan sulit membayangkan berapa banyak energi umat yang terbuang, karena sangat luar biasa. Sebaliknya, jika titik temu (kalimah sawa) dapat diikhtiarkan bersama, saya termasuk yang yakin, umat akan mengumpulkan energi melimpah untuk maju. Di sinilah pentingnya titik temu, melihat irisan terbesar dari setiap perbedaan dan membangun semangat ko-eksistensi, hidup bersama berdampingan dan saling menghargai.

Pesan agama Islam, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis, sangat jelas: kita dilarang mengolok-olok kelompok lain, karena bisa jadi yang diolok-olok itu lebih baik (QS Al-Hujurat 49:11). Pun demikian, sampai hari ini, tidak sulit mencari contoh penganut aliran nyinyirisme, yang menikmati ketika menghujat kelompok lain.

Tema Sekolah Pemikiran Islam (SPI) yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia (PSI UII) kali ini, Islam kebangsaan, pun sangat mungkin juga mendapatkan nyinyiran. Alasan bisa dicari dan argumen bisa diproduksi. Tema ini menurut saya penting, tanpa bermaksud memborong habis tafsirnya, karena dalam beberapa tahun terakhir, muncul pemahaman yang ingin mempertentangkan ghirah keislaman dan semangat kebangsaan atau nasionalisme. Dua hal ini seharusnya bisa kita teriakkan dalam satu tarikan nafas: “Merdeka, Allahu akbar!”.

UII sendiri dibangun di atas dua semangat atau nilai ini. UII yang dalam bahasa Arabnya Al-jami’ah Al-islamiyah Al-Indunisiyah, berarti Universitas Islami Indonesiawi. Ghirah keislaman dan semangat kebangsaan, karenanya selalu kita ikhtiarkan untuk dirawat dan dikembangkan.

Tema kali ini juga mengusung konteks temporal: masa pandemi. Saya membacanya ini sebagai semangat untuk menjadikan Islam sebagai solusi sesuai dengan tuntutan zaman. Tentu ajaran Islam normatif dalam teks suci perlu ditadabburi untuk diopersionalkan. Inilah saatnya kita membangun kesadaran bersama untuk menjadi ajaran agama sebagai gas, pendorong perubahan. Sebaliknya, jangan terjebak sikap yang hanya menjadikan agama sebagai rem, untuk menakut-nakuti. Dua aspek ini harus selalu disandingkan, karena rasulullah diutus menjalankan dua misi ini: membawa kabar gembira (mubasysyiran) dan memberi peringatan (nadziran).

Gembira dengan agama kita dan beragama dengan gembira sangatlah penting, terutama untuk generasi milenial yang membutuhkan pendekatan pas untuk dakwah yang menggerakkan, untuk menjadi orang baik dan bermanfaat.

Sambutan pada Pembukaan Sekolah Pemikiran Islam ke-4 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia dengan tema “Islam Kebangsaan dan Peran Pemuda Milenial di Era Pandemi” pada 12 Agustus 2020.

Sertifikasi kompetensi tenaga kerja konstruksi dinilai semakin mendesak. Data menunjukkan pada tahun 2019, tenaga kerja konstruksi yang bersertifikat baru sekitar 9%. Hal ini dikemukakan Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang juga dosen Teknik Lingkungan UII, Dr.-Ing. Ir. Widodo Brontowiyono, M.Sc. melalui aplikasi pesan singkat yang diterima Bidang Humas Universitas Islam Indonesia (UII) pada Selasa (11/8).

Read more

Tema diskusi malam ini adalah “merawat intelektualisme, meruwat demokrasi”.  Tema ini memberi dua pesan kepada kita. Pertama, bahwa intelektualisme, konsistensi untuk selalu mempertanyakan banyak hal berdasar ilmu, harus dijaga. Tujuannya adalah menjaga kewasaran nalar. Tidak hanya nalar personal, tapi lebih dari itu, adalah nalar kolektif. Kedua, demokrasi tidak tumbuh dengan sendirinya. Diperlukan adanya intervensi aktif untuk merawatnya dengan sepenuh hati.

Mengapa demokrasi perlu diruwat? Demokrasi di Indonesia masih berusia muda. Di sini, demokrasi diterjemahkan dalam bingkainya yang sangat luas. Salah satu hal penting dalam demokrasi, adalah bahwa kanal suara publik dibuka dan masukannya diperhatikan. Singkatnya: kebebasan berpendapat dijamin. Mengapa ini penting? Indonesia pernah berada di suatu masa ketika bersuara jujur saja bisa berujung di penjara dan keputusan negara sangat elitis, meski menyangkut hajat hidup orang banyak.

Salah satu buah reformasi pada 1998 adalah ruang publik yang lebih nyaman untuk mendiskusikan banyak hal. Publik mulai diberikan kanal kebebasan untuk menyampaikan opini dan aspirasi. Inilah salah satu esensi demokrasi yang harus disyukuri sebagai anak bangsa.

Meski tidak sulit untuk bersepakat bahwa ada ekses dari ini. Pengalaman berdemokrasi yang baru seumur jagung dan proses menjadi bangsa yang belum tuntas, nampaknya turut memberi andil. Tidak sulit mencari bukti munculnya konflik negara berhadapan dengan warganya dan konflik horisontal antarwarga. Politik primordial dan politik identitas, untuk kepentingan kelompok sesaat, adalah beberapa bukti lain, bahwa Indonesia masih memerlukan waktu untuk utuh menjadi sebuah bangsa.

Acemoglu dan Robinson (2020) dalam bukunya The Narrow Corridor: States, Societies, and the Fate of Liberty, membahas mahalnya harga kebebasan. Mereka berargumen bahwa kebebasan akan muncul dan berkembang jika negara dan warga kuat. Negara yang kuat diperlukan untuk mengendalikan kekerasan, menegakkan hukum, dan menyediakan layanan publik yang memberdayakan. Di sisi lain, warga yang kuat dibutuhkan untuk mengontrol dan mengekang negara. Intelektualisme yang tumbuh di kalangan warga, terutama kaum terpelajarnya, adalah salah satu upaya menguatkan warga.

Masih menurut Acemoglu dan Robinson, kebebasan membutuhkan koridor, bukan pintu, karena mencapainya adalah sebuah proses yang merupakan sebuah perjalanan panjang sampai kekerasan dikendalikan, hukum ditulis dan ditegakkan, dan layanan publik yang berkualitas disediakan. Dalam perjalanan ini, negara dan para elit belajar hidup bersama kekangan yang dibuat oleh warga, dan beragam segmen warga harus belajar bekerja sama di tengah keragaman.

Menjamin adanya kebebasan sangatlah menantang, dan tidak jarang koridornya menyempit atau dipersempit karena kepentingan tertentu. Aksi “borong habis tafsir demokrasi”, meminjam istilah dari Prof. Ni’matul Huda, oleh para elit dalam kekuatan oligarki bisa membahayakan persatuan bangsa. Dalam beberapa tahun terakhir, tidak sulit menjadi bukti pola pikir dikotomis, “dia” versus “saya”, “mereka” lawan “kita”, dalam beragam jargonnya, marak ditemukan di kalangan warga negara. Dampak negatifnya menjadi sangat berbahaya, ketika semakin banyak warga tidak siap menjadi pemikir mandiri, yang diperparah dengan kemampuan verifikasi minimal.

Lagi-lagi, di sini, intelektualisme yang mempunyai peran penting untuk menjaga nalar bangsa tetap sehat. Intektualisme menjadi ikhtiar menuju pemikir mandiri dan tidak terbawa arus narasi publik, yang tidak kalis dari kepentingan pada desainernya. Saat ini, kemandirian berpikir menjadi sangat pengting ketika opini emosiona lebih dominan di masa pascakebenaran.

Saya melihat lewat tulisan-tulisannya, Mas AE Priyono memberi contoh kepada kita untuk tak lelah, terus berpikir secara serius. Tidak hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu personal, tapi lebih dari itu, untuk mengedukasi dan membuat perbedaan di tangah-tengah masyarakat. Termasuk buah intelektualisme, adalah kritik jujur terhadap ketidakadilan dan hilangnya akal sehat, yang dilandasi rasa cinta kepada Indonesia dan rindu akan hadirnya bangsa yang lebih bermartabat.

Saya harus melakukan pengakuan. Secara personal saya tidak pernah satu orbit fisik dengan Mas AE. Saya mengenal Mas AE lewat tulisan, termasuk status kritisnya di Facebook, dan cerita para senior di Universitas Islam Indonesia. Sangat jelas terlihat bahwa Mas AE adalah penekun pemikiran serius yang istikamah menjaga keyakinannya.

Lewat tulisan, Mas AE telah menyuarakan kegelisahannya untuk kebaikan bangsa ini, dengan pilihan sikap tegas dan gaya lugas. Untuk penyuka perubahan, tulisan kritisnya sangat bernas. Tapi, bagi mereka yang berseberangan, tulisannya mungkin terasa pedas dan membuat telinga panas.

Selamat jalan Mas AE. Saya yakin, Allah telah menyiapkan tempat terbaik untuk Njenengan.

Sambutan pembuka pada diskusi bedah buku “Menolak Matinya Intelektualisme” dan “Pergulatan Intelektual Membela Demokrasi” untuk mengenang wafatnya Mas AE Priyono, 10 Agustus 2020.

Semakin berkembangnya teknologi informasi serta meluasnya jangkauan internet dan penggunaan media sosial memunculkan berbagai permasalahan baru. Salah satunya yakni kekerasan berbasis gender di dunia maya/online (KBGO). Fenomena tersebut diakui sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia paling luas yang difasilitasi kemajuan teknologi. Ironisnya, kaum perempuan menjadi target utama. Secara global, data menunjukkan bahwa satu dari tiga wanita mengalami kekerasan fisik atau seksual selama hidupnya. Tindakan ini sering digunakan untuk menyerang, menindas atau membungkam perempuan di ruang pribadi dan publik dunia maya.

Read more

Banyak tantangan yang akan dihadapi di era new normal. Salah satunya yakni di bidang pemasaran dengan mengikuti model gaya hidup baru. Tips menghadapi tantangan ini dibahas dalam webinar yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Teknik Industri Universitas Islam Indonesia (IKATI UII) pada Minggu (9/8).

Read more