Waktu berjalan, tuntutan berubah. Apa yang di masa lampau sudah canggih, belum tentu valid untuk hari ini. Begitu juga, apa yang sudah cukup di hari ini, sangat mungkin kedaluwarsa di masa mendatang.

Hukum alam atau sunatullah ini berlaku di banyak konteks, termasuk dalam manajemen perguruan tinggi. Ketiga cacah mahasiswa terbatas, proses manual insyaallah masih memadai. Tetapi ketika mahasiswa sudah sangat banyak dengan proses bisnis yang semakin kompleks, penggunaan teknologi merupakan sebuah keniscayaan.

Teknologi dapat menjadi akselerator lompatan dengan beragam perubahan yang dimungkinkannya. Dalam konteks universitas, teknologi informasi, misalnya, akan memfasilitasi banyak aspek: mulai dari mendukung pelaksanaan proses bisnis, pemberian layanan, sampai dengan pengambilan keputusan.

 

Ijtihad organisasional

Tidak salah, jika kita menempatkan layanan teknologi informasi sebagai instrumen strategis dalam menjalankan roda universitas. Pilihan menggunakannya hanya sebagai alat bantu operasional sudah tidak mencukupi. Karenanya, transformasi digital menjadi jalan yang harus ditempuh.

Di Universitas Islam Indonesia (UII), penggunaan teknologi informasi untuk beragam keperluan sudah sangat lama dilakukan. Tetapi teknologi tidak kalis dari hukum alam yang akan kedaluwarsa pada masanya.

Beragam solusi yang sudah dikembangkan di masa lampau telah menunaikan tugasnya. Sudah terlalu banyak manfaat yang sudah diberikan.  Kita harus memberikan apresiasi kepada para pengawal dan pengembangnya.

Namun, tuntutan berubah. Pembaruan harus selalu dilakukan. Pada 2016, UII melakukan ijtihad organisasional dalam pengembangan solusi teknologi informasi. Peran Badan Sistem Informasi (BSI) pun didefinisikan ulang. BSI mempunyai tiga peran yang saling melengkapi: pelayan, mitra, dan katalis.

Serangkaian inisiatif lain telah dilakukan: mulai dari audit teknologi informasi, pengembangan infrastruktur, pengembangan aplikasi terintegrasi, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, sampai dengan perbaikan layanan.

Infrastruktur baru digelar. Jaringan kabel optik di lingkungan kampus terpadu diganti. Panjangnya lebih dari 6 km. Teknologi yang dipilih pun semoga masih layak sampai 20 kali ke depan. Ekosistem pusat data diremajakan dan ditingkatkan kapasitasnya. Sistem pengamanan pun diperbaiki.

Untuk distribusi Internet, desain baru diadopsi. UIIConnect merupakan hasilnya. Semua pengguna merasa nyaman karena mendapatkan pengalaman yang serupa. Tidak ada lagi kasta dalam pelayanan. Sekitar 1.000 titik akses Internet, saat ini, sudah terpasang di semua pojok UII, yang dihubungkan dengan kabel baru yang panjangnya lebih dari 50 km.

Integrasi aplikasi juga dipercepat. UIIGateway menjadi rumah dari modul-modul yang dikembangkan. Solusi legasi secara perlahan kita pensiunkan karena telah rampung menjalankan misinya.

Sampai saat ini, sekitar 40 modul sudah dikembangkan dan akan terus bertambah. Ketika pandemi Covid-19 menyerang di awal 2020, layanan ini sudah teruji untuk menjaga roda organisasi tetap berjalan dengan baik.

 

Masa depan

Apakah itu sudah cukup? Tidak. Perubahan terus terjadi, tuntutan selalu mengalir. Masih banyak pekerjaan rumah lain yang menunggu untuk dituntaskan.

Meski demikian, kita perlu membangun optimisme bahwa UII sudah berada di jalan yang benar. Kita insyaallah sudah mempunyai basis terinstal (installed base) yang kuat. Beragam layanan baru dapat dikembangkan di atasnya.

Percepatan pengembangan solusi perlu menjadi salah satu fokus ke depan. Penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dalam mendukung pengembangan solusi sedang dieksplorasi. Ini bukan soal ‘gaya-gayaan’ supaya terlihat keren karena dianggap mengikuti perkembangan. Ini adalah perkara peningkatan produktivitas dan adopsi teknologi yang bermakna. Itu pun tidak lantas mengabaikan koridor etika.

Kita semua berharap, di masa depan yang tidak terlalu jauh, semakin banyak layanan yang dapat diberikan untuk beragam pemangku kepentingan: mahasiswa, tenaga kependidikan, dosen, manajemen, sampai dengan mitra dan publik. BSI bekerja keras untuk itu semua.

 

Apresiasi

Di belakang setiap layanan dengan dukungan infrastruktur yang andal, dipastikan ada orang-orang dengan dedikasi tinggi. Mereka adalah aktor di belakang layar yang sering terlupa diapresiasi.

Mengapa? Sebagai sunatullah, infrastruktur biasanya disadari keberadaannya jika layanannya terganggu. Bayangkan, misalnya jaringan listrik, koneksi Internet, atau layanan UIIGateway, dianggap sebagai sesuai yang seharusnya oleh pengguna. Teriakan dari pengguna akan muncul ketika ada gangguan dalam layanannya.

Menjaga ketersediaan layanan ada 24 jam sehari dan 7 hari dalam sepekan, sangat menantang. Kita bersyukur, dengan catatan yang mungkin ada, tim BSI telah menjalankan tugasnya dengan baik dalam mengawal transformasi digital di UII. Mari, kita terus berikan apresiasi sekaligus masukan, untuk mendorong kinerja BSI yang semakin baik di masa mendatang.

Tulisan sudah dimuat di UIINews edisi November 2023.

Kafe Prancis Universitas Islam Indonesia (UII) gelar workshop manik-manik pada Jumat (17/11) di Gedung Perpustakaan Mohammad Hatta Kampus Terpadu UII. Acara ini diikuti oleh kurang lebih 49 peserta yang berasal dari UII dan luar UII. Workshop ini diselenggarakan bersama Sarsa.id yang mana menjadi salah satu rangkaian acara Anniversary yang ke-8 Kafe Prancis UII. Read more

Kontingen mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) berhasil menyabet Peringkat 3 Nasional pada ajang Musabaqoh Tilawatil Qur’an Mahasiswa Nasional (MTQMN) XVII 2023 yang digelar pada 3-10 November 2023. Sejumlah 10 mahasiswa sukses menjuarai beragam cabang perlombaan, termasuk Hifzhil Qur’an, Khaththil Qur’an, Tilawatil Qur’an, Desain Aplikasi Komputer Al-Qur’an, hingga Debat Ilmiah Kandungan Qur’an dalam Bahasa Arab. Read more

Sebagai salah satu wujud kepedulian terhadap krisis kemanusiaan, Universitas Islam Indonesia (UII) kembali salurkan bantuan untuk masyarakat Palestina yang hingga kini masih berjuang hidup di tanah kelahirannya sendiri. Inisiatif kali ini melalui dana yang terkumpul dari jamaah Masjid Ulil Albab UII sebesar 8,3 juta rupiah. Read more

Akreditasi sekolah arsitektur sangat diperlukan untuk menetapkan dan pencapaian standar ukuran tentang mutu pendidikan pada suatu lembaga pendidikan perguruan tinggi. Sekolah Arsitektur di Indonesia saat ini berjumlah 196 PT meliputi berbagai jenjang pendidikan, dari diploma, sarjana, profesi, magister dan doktoral. Read more

Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKSPTIS) baru saja merampungkan Rapat Kerja Nasional di Pekanbaru pada 17-18 November 2023. Acara yang bertempat di Universitas Islam Riau (UIR) ini dihadiri sekitar 80 utusan, yang berasal dari berbagai pojok Indonesia.

Acara didahului dengan pelantikan pengurus masa amanah 2023-2027 oleh Wakil Presiden Republik Indonesia ke-10 dan ke-12, Dr. Jusuf Kalla, yang juga sekaligus Ketua Dewan Penasihat BKSPTIS. Dalam pidato inspirasinya Dr. Jusuf Kalla mengajak PTIS untuk meningkatkan kualitasnya.

 

Peran penting inklusif

Beragam gagasan dimunculkan, baik dari para pembicara dan juga peserta. Direktur Jenderal Kelembagaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Dr. Lukman, memaparkan data sebaran PTIS yang memberikan harapan besar. Dari 2.982 perguruan tinggi swasta (PTS) yang mengabdi untuk negeri, sebanyak 997 atau sepertiganya adalah PTIS.

Jika sebaran mahasiswa dipukul rata, yang sedang menuntut ilmu di PTIS sekitar 1,5 juta orang. Ini adalah angka yang sangat besar dan mengindikasikan peran penting PTIS dalam ekosistem pendidikan tinggi nasional.

PTIS juga menjadi tempat menimba ilmu mahasiswa dengan beragam latar belakang agama. Bahkan, Universitas Amal Ilmiah (Unaim) yang beroperasi di Wamena, misalnya, lebih dari 90 persen mahasiswanya beragama Kristen. PTIS juga tersebar di semua wilayah Indonesia. Di Pulau Jawa terdapat 544 PTIS, Sumatera 267, Sulawesi 73, Kalimantan 51, Nusa Tenggara 40, Maluku 9, Papua 8, dan Bali 5. Ini adalah sisi inklusif PTIS yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Tentu, kita tidak menutup mata, tingkat kematangan PTIS sangat beragam. Sebagian sudah mapan, sebagian lain masih berkembang. Untuk keperluan pengungkitan kualitas PTIS inilah, BKSPTIS dilahirkan pada 27 April 1978. PTIS diharapkan maju secara bersama untuk mendidik anak bangsa dan menjalankan peran penting lainnya.

 

Mandiri dan mendunia

Rakernas yang dihelat di Bumi Lancang Kuning ini mengangkat tema “membangun perguruan tinggi Islam yang mandiri dan mendunia”. Pilihan tema ini tentu bukan tanpa alasan. Karakter ini diperlukan untuk menegaskan peran peradaban PTIS.

PTIS harus mandiri. Mandiri dapat dilihat dalam berbagai perspektif. Termasuk di dalamnya, adalah mandiri dalam menjalankan roda organisasinya, kapabel dalam mengembangkan lembaganya, dan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. PTIS tidak boleh tergantung uluran tangan pihak lain dengan menggadaikan kebebasannya.

Meski demikian, peran pemerintah terus diharapkan untuk dapat menghadirkan ekosistem yang sehat untuk bertumbuh dan berkembangnya PT, termasuk PTIS. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah amanah konstitusi. Kehadiran PTIS, bersama dengan PTS lain, merupakan uluran tangan anak bangsa membantu negara. Negara, dengan alasan apa pun tidak boleh lepas tangan.

Ada sisi kemandirian lain yang perlu mendapatkan perhatian. Mandiri juga dapat dilihat dari kehadiran iklim kebebasan akademik yang sehat. Kampus harus diupayakan untuk tetap menjadi pilar yang steril dari kepentingan jangka pendek dan selalu menyuarakan kebenaran dan membongkar kebohongan. Akal sehat dan perangai ilmiah warga kampus pun harus selalu dijaga, supaya antena akademiknya masih sensitif untuk menangkap sinyal beragam masalah bangsa.

Selain itu, semangat mendunia atau mondialitas harus menjadi bagian cita-cita setiap perguruan tinggi Islam. Ini bukan soal harus mempunyai program, mahasiswa, atau kerja sama internasional saja. Ini adalah perkara peningkatan kualitas dengan standar terbaik, standar yang diakui dunia. Standar ini dapat bercermin dalam banyak aspek, termasuk pola pikir, desain program, sampai pada kualitas eksekusi.

 

Peta jalan masa depan

PTIS harus menjelma menjadi institusi yang modern jika ingin menjadi salah satu penentu arah peradaban. Masa depan kolektif PTIS harus didesain dengan serius. Jika tidak, maka orang lain yang akan mendesain masa depannya dan PTIS akan menjadi penonton di pinggiran lapangan.

Berangkat dari kesadaran tersebut, Universitas Islam Indonesia (UII) bekerja sama dengan LP3ES menggagas kelahiran buku yang bertajuk Peta Jalan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Bedah buku ini menjadi pengisi salah satu sesi acara. Peserta memberikan respons yang sangat baik. Banyak harapan digantungkan.

Selain memberikan potret kondisi mutakhir PTIS, buku ini juga menawarkan beragam strategi pengembangan yang bisa dipilih. Strategi ini merupakan pengembangan dari akumulasi tradisi baik yang sudah didokumentasikan oleh banyak PTIS. Faktor kontekstual Indonesia sudah seharusnya masuk dalam radar semua pimpinan PTIS dalam merumuskan masa depan dan mendesain anak tangga untuk mencapainya.

Gagasan yang diusung oleh buku ini, merupakan ikhtiar untuk mengajak para pemimpin PTIS meluangkan waktu sejenak untuk membicarakan hal-hal besar. Dalam beberapa tahun terakhir, pimpinan dan warga PTIS sudah terjebak pada labirin administratif yang seakan tiada ujung.

Hal ini tanpa disadari telah memalingkan perhatian dari diskursus besar terkait dengan peran peradaban yang diemban PTIS. Pengembangan sains yang serius merupakan salah satu pintu masuknya.

Menambah fokus lain di tengah beban bejibun memang tidak selalu mudah. Tetapi ikhtiar seperti ini jangan sampai ditinggalkan sama sekali. Kerja peradaban ini akan lebih ringan jika dijalankan secara kolektif. Semoga.

Tulisan sudah tayang di Republika.id pada 20 November 2023.

Kompas Institute bekerja sama dengan Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar workshop penulisan bagi mahasiswa dengan tema “Menarasikan Peristiwa Dengan Memikat,” pada Kamis (16/11) di Gedung Sardjito, Kampus Terpadu UII. Kegiatan yang digelar di beberapa kampus di D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah ini juga dalam rangka memeriahkan Borobudur Marathon 2023 yang dihelat oleh Kompas Institute.

Penyelenggaraan workshop diharapkan dapat memberikan pemahaman lebih mendalam mengenai teknik penulisan naratif. Materi yang disajikan mencakup sejumlah aspek terkait penulisan berita, seperti menentukan ide, mengumpulkan data, menyusun outline berita, penerapan 5W+1H, piramida terbalik, judul, lead, bridging, paragraf isi, hingga penutup.

Mohamad Final Daeng, seorang jurnalis berpengalaman dari Harian Kompas dihadirkan sebagai pemateri. Dengan latar belakangnya yang kaya akan pengalaman di dunia jurnalistik, ia membawa wawasan dan keterampilan praktis kepada peserta.

Wakil Direktur Bisnis Harian Kompas, Novi Eastiyanto dalam sambutannya menekankan pentingnya interaksi yang lebih dekat antara Harian Kompas dan mahasiswa. Novi menyatakan bahwa workshop ini adalah langkah awal dalam memberikan pengetahuan kepada mahasiswa mengenai pendekatan jurnalistik dalam merinci peristiwa.

“Ini adalah langkah awal untuk kita semua berinteraksi lebih dekat dengan teman-teman mahasiswa atau adik-adik mahasiswa karena kapabilitas yang ada di Harian Kompas dalam konteks bagaimana memberikan warna dari sebuah peristiwa dengan sebuah pendekatan jurnalistik,” ujarnya.

Sementara Sekretaris Eksekutif UII, Hangga Fathana S.IP., B.Int.St., M.A, menyoroti pentingnya proses editorial dalam menyajikan informasi kepada publik. Ia menyampaikan bahwa media massa dengan proses editorial yang ketat memastikan bahwa berita dan fakta yang disampaikan kepada publik memiliki keakuratan dan tanggung jawab yang tinggi.

“Kita menghadapi banjir informasi dan harian Kompas ada di garda terdepan untuk senantiasa menjaga, mengawal mutu editorial itu sampai hari ini. Kami merasa ini adalah suatu kehormatan ketika Harian Kompas melalui Kompas Institute berkenan merekatkan kerja sama antara dengan pendidikan tinggi, khususnya Universitas Islam Indonesia,” ujar Hangga Fathana.

Selain pemaparan materi, Kompas Institute dalam dalam kesempatannya di kampus UII juga memperkenalkan kompas.id, yakni sebuah platform digital Harian Kompas. Mahasiswa yang hadir diberikan akses gratis selama tiga bulan untuk mengakses berita eksklusif dan liputan khusus yang terdapat di kompas.id.

Melalui workshop penulisan diharapkan dapat memberikan wawasan dan keterampilan baru kepada mahasiswa dalam mengembangkan kemampuan menulis naratif mereka. Kerja sama antara Harian Kompas dan UII diharapkan dapat menjadi langkah awal yang berkelanjutan dalam mendukung pendidikan dan persiapan mahasiswa menghadapi tantangan di dunia nyata. (AD/JR/RS)

Mahasiswa internasional Universitas Islam Indonesia (UII) menyampaikan pernyataan solidaritas dengan Palestina dalam acara “Solidarity for Palestine”, pada Rabu (15/11). Digelar bersama Culture & Learning Center (CLC) UII di Ruang Sidang Datar Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII, Kaliurang, kegiatan “Solidarity for Palestine” bertujuan untuk menyoroti keadaan yang berlangsung serta mengemukakan dukungan pada masyarakat Palestina. Read more

Wakil Presiden Republik Indonesia ke-10 dan ke-12, Dr. (H.C.) Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, menekankan urgensi perguruan tinggi Islam swasta untuk meningkatkan kualitas. “Sekarang ini kita (perguruan tinggi Islam swasta) harus mengejar kualitas. Di mana-mana ada tujuan untuk meningkatkan universitas mencapai standar dunia,” ungkap Jusuf Kalla. Read more

Obrolan khayali dengan seorang kawan terpelajar tentang kegelisahan panjang yang belum menemukan jawaban.

Langit masih berhiasan semburat merah awan selepas Magrib. Saya pun sampai di sebuah kedai kopi. Suasana masih lengang, karena ukurannya yang lumayan besar. Cacah tamu yang datang pun belum banyak. Sebagian orang mungkin masih meneruskan wirid atau menunda makan malamnya.

Tubuh saya arahkan ke salah satu kursi kosong. Saya sampaikan jika menunggu seorang kawan, ketika pelayan menghampiri.

Tak selang lama, kawan saya pun datang. Seperti biasanya, dia mendekat dengan langkah tegap dan senyum merekah. Topi laken fedora setia menutup kepalanya.

Kami pun mencari kursi yang lebih nyaman. Agak di dalam. Setelah memesan minuman tradisional, kami pun berbincang.

“Mas, gelisah gak, dengan kondisi bangsa saat ini,” tanya kawan tersebut membuka pembicaraan. Kami cukup dekat meski mengabdi di kampus yang berbeda.

“Jelas sekali, Mas”, jawab saya.

Obrolan pun mengalir menyangkut banyak hal. Kami berdua berbagi kegalauan soal melempemnya kaum terpelajar bangsa ini. Tentu, kami pun merasa bagian dari mereka. Jika pun dianggap tidak benar, paling tidak, nurani kami mengirim sinyal seperti itu. Ada perasaan bersalah yang menghantui.

Kegelisahannya ini sudah lebih dari cukup untuk memproduksi asam lambung dan mengganggu ritme tidur. Sialnya, keberanian yang ditunggu juga tidak kunjung datang. Tulisan ini harus pun menunggu beberapa hari, sebelum saya putuskan untuk dirampungkan.

Kala itu, kami berbagi perspektif dan cerita, tentang apa yang mungkin dilakukan. Kami sadar dengan beragam kekangan dan risiko yang menghadang. Bukan hanya soal personal, tetapi juga gerbong institusi.

Banyak kawan-kawan yang kami harapkan ternyata sudah terkooptasi dan terbeli. Saya pun tersentak seakan tak terpercaya, sebelum akal sehat saya kembali menyapa. Semuanya ternyata masuk akal dari kacamata pragmatisme.

Meski demikian, kami sepakat untuk menjaga optimisme. Kami yakin, di luar sana, masih ada kawan-kawan yang mempunyai kepedulian serupa. Tulisan ini juga bentuk sapaan terhadap mereka.

 

Kampus kuburan

Obrolan di kedai itu mengingatkan saya kepada cerita seorang dosen senior yang sangat saya hormati. Dalam sebuah kesempatan, Prof Zaini Dahlan, Rektor Universitas Islam Indonesia 1994-2002, gelisah dan berkata, “Kampus kita kok sepi sekali ya, kayak kuburan”.

Komentar tersebut tidak mengarah kepada sepi fisik, tetapi sepi suara intelektual. Kampus di sini pun tidak merujuk kepada bangunan fisik semata, tetapi keseluruhan ekosistem pembentuk perguruan tinggi.

Karenanya, saya sangat senang, jika sebagian dosen masih menyempatkan menulis di kanal media publik untuk merespons berbagai masalah bangsa. Kadang secara personal, gagasan disampaikan. Di lain waktu, pusat studi menyampaikannya secara kolektif.

Ini adalah ikhtiar penting untuk menjaga sukma intelektual tetap hidup. Meski saya yakin, tidak semua orang, termasuk kalangan terpelajar, menganggap budaya menyampaikan pemikiran kritis ini masih penting. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan penghargaan koin dan poin dalam karier akademik dosen.

Yang jelas, tidaklah berlebihan jika kita menyimpulkan jika suara intelektual kampus sudah sangat jarang terdengar di ruang publik untuk merespons beragam isu dalam berbangsa dan bernegara. Padahal, pekerjaan rumah bangsa dan negara ini masih banyak.

Kita bisa sebut di antaranya, korupsi yang tak kunjung berkurang, kolusi dan nepotisme dalam semua bentuknya, penyalahgunaan kekuasaan yang melawan kepentingan publik, perusakan alam yang dibiarkan, sampai dengan beragam pengelabuan akal sehat publik.

 

Gelisah yang tersendat

Dalam diskusi terbatas, kegelisahan tersebut  kadang muncul. Namun, kerongkongan para intelektual dapat tiba-tiba tersendat, ketika suara kritis hendak dikeluarkan. Ada beragam kemungkinan alasan.

Termasuk di antaranya adalah masalah labirin administratif yang menghantui para dosen dan pimpinan kampus. Tugas-tugas ini sudah menghabiskan banyak energi tanpa tambahan kualitas yang memadai. Meme Dr Strange bertangan banyak sebagai representasi dosen yang terjebak di semesta jamak dengan tugas bejibun, menggambarkan realitas ini.

Persaingan yang tidak sehat antarkampus untuk menempati peringkat, tak jarang telah menyita energi. Pemeringkatan yang merupakan anak kandung neoliberalisme ini tanpa disadari dapat menjauhkan kampus dari orientasi misinya. Tak jarang, untuk mencapainya beragam muslihat dilakukan dengan mengabaikan koridor moral.

Selain itu, menyampaikan gagasan di ruang publik pun bukan tanpa risiko. Saya masih simpan jawaban Prof Azyumardi Azra ketika kami mendiskusikan soal ini melalui WhatsApp, sekitar sebulan sebelum beliau wafat. Beliau pun sadar risiko bersuara kritis.

Prof Azra membalas pesan saya:  “Saya juga kadang-kadang khawatir karena sering mengkritik secara terbuka di media elektronik dan media cetak. Saya tawakkaltu (alallah) sajalah. … Bahkan yang terhitung kawan kita dalam barisan kepemimpinan nasional ikut-ikutan menyalahkan mereka yang kritis.”

Beragam definisi intelektual dapat ditemukan dalam literatur. Secara sederhana, intelektual adalah mereka yang selain mumpuni secara keilmuan, juga tetap menjaga sensitivitasnya untuk mengendus masalah publik dan meresponsnya.

Intelektual tidak boleh menjauh dari urusan publik. Ketika berhubungan dengan publik, tugas intelektual menurut Chomsky (2017) dalam bukunya berjudul The Responsibility of Intellectuals, adalah menyampaikan kebenaran dan membongkar kebohongan; memberikan konteks kesejarahan; dan mengungkap tabir ideologi dari beragam gagasan yang mengekang debat. Karena para intelektual mempunyai banyak privilese yang dinikmati, maka tanggung jawabnya pun lebih besar dibandingkan kalangan awam kebanyakan.

Saya dan Prof Azra pernah berdiskusi ringan soal isu kebebasan berpendapat warga, terutama di kalangan intelektual. Pemicunya adalah teror yang diterima salah satu kolega saya, Prof Ni’matul Huda, ketika akan menjadi pembicara sebuah seminar.

Saya masih ingat, saat itu mengutip pendapat Acemoglu dan Robinson (2019) dalam bukunya The Narrow Corridor: “Kebebasan akan muncul dan berkembang jika negara dan warga kuat. Negara yang kuat diperlukan untuk mengendalikan kekerasan, menegakkan hukum, dan menyediakan layanan publik yang memberdayakan. Di sisi lain, warga yang kuat dibutuhkan untuk mengontrol dan mengekang negara. Intelektualisme yang tumbuh di kalangan warga, terutama kaum terpelajarnya, adalah salah satu upaya menguatkan warga.”

Kita semua tahu, saat ini, tidak semua media kalis dari kooptasi dan tidak semua kelompok masyarakat sipil steril dari intervensi. Namun, ketika intelektualisme di kalangan terpelajar juga memudar, tanpa bermaksud jemawa, gantungan harapan publik akan semakin sirna.

Kita pun menjadi saksi, secara perlahan bangunan intelektualisme tergerogoti beragam sebab dan dalih. Pilar-pilarnya pun menjadi keropos. Tanpa kemunculan kesadaran kolektif kaum intelektual, kampus dalam imajinasi moral pun menunggu waktu untuk roboh.

Semoga tidak!

 

Referensi

Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2019). The narrow corridor: How nations struggle for liberty. Penguin UK.

Chomsky, N. (2017). The responsibility of intellectuals. The New Press.

 

Tulisan sudah tayang di Republika pada 13 November 2023, dengan beberapa penyesuaian.