Universitas Islam Indonesia (UII) senantiasa berupaya menguatkan jejaring kemitraan strategis dalam negeri, salah satunya dengan menjadi bagian Nationwide University Network in Indonesia (NUNI) atau Jejaring Perguruan Tinggi Nusantara. Mengenai hal ini, UII hadir dalam pertemuan nasional NUNI 2023 di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, yang digelar pada 21-24 November. Read more

Dalam dunia yang semakin tanpa batas, fenomena internasionalisasi merupakan suatu keniscayaan yang terjadi pada berbagai sektor, termasuk di dunia pendidikan tinggi. Bagi Universitas Islam Indonesia (UII), internasionalisasi merupakan langkah strategis yang dilandasi oleh visinya sebagai universitas yang diakui di tingkat internasional. Read more

Menyadari pentingnya kontribusi jurnal di sektor pendidikan, Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan bimbingan teknis tata kelola manajemen jurnal dan dilanjutkan dengan evaluasi dan refleksi pengelolaan jurnal. Acara yang diselenggarakan pada Kamis (30/11), di Gedung Prof. Dr. Sardjito UII ini menghadirkan Kepala Pusat Pengembangan Jurnal dan Publikasi Universitas Negeri Semarang, Dr. Evi Widowati, S.KM., M.Kes., sebagai pembicara. Read more

International Mobility Week UII kembali digelar pada Kamis (30/11). Kali ini, acara dilaksanakan dalam bentuk Online Lecture Series melalui platform Zoom Meeting dengan tema utama Transforming Education Through Artificial Intelligence (AI). Acara ini bertujuan untuk memperluas wawasan dan pengetahuan mahasiswa serta masyarakat umum mengenai perkembangan terkini di dunia kecerdasan buatan. Read more

Simpul Pemberdayaan Masyarakat untuk Ketangguhan Bencana Universitas Islam Indonesia (SPMKB UII) menyelenggarakan seminar bertajuk “Save the Earth, Save Yourselves. Think Green, Be Green, and Stop Polluting” sekaligus peresmian kolaborasi antara SPMKB UII/UIIPeduli. Seminar menghadirkan Direktur Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM) UII, Ir. Eko Siswoyo, S.T., M.Sc.ES., Ph.D. dan Andriyas Aryo Prabowo, M.Si. dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) wilayah Sleman sebagai pembicara. Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menambah cacah profesor untuk bidang ilmu hukum pidana serta bidang media dan jurnalisme. Kali ini jabatan akademik tertinggi tersebut diraih oleh Hanafi Amrani, S.H., M.H., LL.M., Ph.D. dan Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si.. Keduanya menerima Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia bersamaan pada Senin (27/11) di Gedung Kuliah Umum, Prof. Dr. Sardjito Kampus Terpadu UII. Read more

Keluarga besar Universitas Islam Indonesia (UII) bersyukur atas nikmat yang tak berhenti terlimpah. Pagi ini, dua sahabat kita mendapatkan amanah jabatan baru, sebagai profesor: Prof. Hanafi Amrani dan Prof. Masduki. Untuk itu, kami mengucapkan selamat atas capaian tertinggi dalam kewenangan akademik ini.

Sampai hari ini, UII mempunyai 39 profesor aktif yang lahir dari rahim sendiri. Ini menjadikan proporsi dosen dengan jabatan akademik profesor mencapai 4,8 persen (39 dari 800 orang). Saat ini, sebanyak 258 dosen berpendidikan doktoral. Sebanyak 67 berjabatan lektor kepala dan 114 lektor. Mereka semua (181 orang) tinggal selangkah lagi mencapai jabatan akademik profesor.

Prof. Hanafi adalah profesor ke-12 di Program Studi Hukum, sedangkan Prof. Masduki adalah profesor pertama di Program Studi Ilmu Komunikasi dan bahkan di Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII.

Selain karena sekarang adalah masa panen dari benih yang sudah ditanam pada waktu lampau, beberapa program percepatan yang didesain dengan mempertimbangkan etika tinggi, alhamdulillah membuahkan hasil. Capaian jabatan profesor bukan hanya merupakan prestasi personal, tetapi juga institusional karena meningkat profilnya.

Pada kesempatan yang baik ini, izinkan saya berbagi perspektif dan mengajak hadirin, terutama profesor baru, untuk membantu mematangkan melalui refleksi lanjutan. Dalam sambutan pendek ini, saya akan membahas kebebasan saintifik.

 

Mendefinisikan kebebasan saintifik

Ini soal kebebasan saintifik (scientific freedom atau freedom of scientific research). Kebebasan ini menjadi pilar utama dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Kebebasan ini adalah fondasi yang memungkinkan para ilmuwan dan peneliti untuk menjelajahi ide, mencari kebenaran, dan berinovasi tanpa hambatan yang tidak perlu.

Bahkan kebebasan saintifik dianggap sebagai kebutuhan demokrasi, hak sipil dan politik, dan salah satu penjamin kesehatan dan kesejahteraan manusia selama tidak menimbulkan dampak buruk bagi orang lain (dikutip oleh Wilholt, 2010).

Ini adalah bagian dari kebebasan akademik (academic freedom) yang memiliki cakupan yang lebih luas dan melampaui riset saintifik. Kebebasan akademik mencakup kebebasan anggota komunitas akademik (dosen, peneliti, mahasiswa) di perguruan tinggi yang memungkinkan kinerja efektifnya dalam menjalankan tugasnya, seperti pengajaran, riset, pembelajaran, praktik seni tanpa interferensi atau batasan karena hukum, regulasi, atau tekanan publik yang tidak masuk akal (e.g. Fuchs, 1963).

 

Beragam argumen

Dalam literatur ditemukan beragam argumen dalam memandang kebebasan saintifik (Wilholt, 2010; Bayertz, 2006).

Sebagian pemikir (e.g. Wilholt, 2010), mengenalkan argumen epistemologis dan politis. Yang pertama dikaitkan dengan upaya untuk mengorganisasi ikhtiar saintifik kolektif. Yang kedua untuk memastikan bahwa pengetahuan saintifik harus dihasilkan secara independen dari kepentingan politik karena peran penting sains terjait hajat hidup publik.

Pemikir lain (Bayertz, 2006) membagi argumen kebebasan akademik menjadi tiga.

Pertama adalah argumen Aristotelian. Argumen ini mendasarkan pada premis antropologis bahwa manusia pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu, mencari pengetahuan, dan menanyakan apa yang menyatukan dunia. Menurut Aristoletes, karakter alami manusia adalah kebutuhan bawaannya terhadap pengetahuan dan kebenaran, bahkan meski tidak jelas manfaat praktisnya (Bayertz, 2006).

Perspektif ini melihat bahwa pencarian pengetahuan sebagai sebuah kebajikan (virtue) dan mengandung etika teleologi terkait dengan kontribusi pengetahuan terhadap kesejahteraan manusia.

Kedua adalah argumen Kantian. Kebebasan saintifik berasal dari fakta bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai persepsi sadar, yang merefleksikan dirinya sendiri dan dunia; namun menonjolkan dimensi kritis rasionalitas dan refleksi manusia. Sains dalam konteks ini dianggap sebagai kendaraan menuju pencerahan (Bayertz, 2006).

Di sini ada penghargaan atas martabat dan otonomi manusia. Kebebasan saintifik menghormati otonomi individu untuk terlibat dalam riset dan membentuk kemandirian intelektual. Kebebasan saintifik, ketika dipandu oleh prinsip etis, berkontribusi pada pengejaran pengetahuan yang universal, memberikan manfaat bagi kemanusiaan secara keseluruhan.

Ketiga adalah argumen Baconian. Argumen ini mengedepankan penggunaan praktis dan perolehan pengetahuan. Prioritasnya tidak lagi pada nilai intrinsik dari kebenaran atau perolehan pencerahan, namun pada potensi industri dari pengetahuan dan perolehan kesejahteraan material yang terkait dengannya (Bayertz, 2006). Ada ide komersialisasi pengetahuan di sini.

Dalam konteks ini adalah diskusi terkait dengan riset empiris dan penalaran induktif. Kebebasan saintifik memungkinkan peneliti untuk terlibat dalam kegiatan yang menghasilkan pengetahuan melalui observasi dan eksperimen sistematis. Selain itu, ada prinsip utilitarianisme pragmatis di sini. Kebebasan saintifik, jika dilakukan dengan tanggung jawab, dapat membawa manfaat praktis bagi masyarakat dan pada akhirnya berkontribusi pada kebaikan yang lebih besar.

Jika dirangkum secara sederhana, ketiga argumen tersebut beririsan dalam hal adanya kemajuan, pencerahan, dan kesejahteraan, meski dengan penekanan yang berbeda-beda.

 

Tantangan dan keterbatasan

Namun, kita bisa boleh menutup mata, jika kebebasan saintifik juga mempunyai tantangan yang harus dimitigasi. Tantangan tersebut termasuk koridor etika, karena riset mungkin memiliki dampak negatif terhadap masyarakat atau lingkungan.

Selain itu, aspek ketergantungan finansial dan politik dapat menggadaikan independensi saintifik. Jika terjebak, periset mungkin menerima riset pesanan untuk memberi stempel kepada kebijakan yang tidak selalu berpihak kepada kebaikan khalayak.

Ketidaksetaraan akses terhadap beragam sumber daya dan peluang riset juga menjadi tantangan lain karena dapat menciptakan ketimpangan dalam kebebasan saintifik.

Tanpa ketaatan terhadap koridor etika, Kebebasan saintifik dapat disalahgunakan, seperti dalam kasus riset yang dapat membahayakan keamanan publik. Karenanya, konsekuensi sosial dari kebebasan saintifik harus dikelola dengan bijak dan bertanggung jawab.

 

Referensi

Bayertz, K. (2006). Three arguments for scientific freedom. Ethical theory and moral practice9, 377-398.

Fuchs, R. F. (1963). Academic freedom. Its basic philosophy, function, and history. Law and Contemporary Problems28(3), 431-446.

Wilholt, T. (2010). Scientific freedom: its grounds and their limitations. Studies in History and Philosophy of Science Part A41(2), 174-181.

Sambutan pada acara serah terima surat keputusan profesor untuk Prof. Hanafi Amrani dan Prof. Masduki pada 27 November 2023.

Universitas Islam Indonesia (UII) mewisuda 1.108 lulusan pada upacara wisuda Periode II Tahun Akademik 2023/2024 yang digelar Sabtu dan Minngu, 25-26 November 2023 di Auditorium Prof. K.H. Abdulkahar Mudzakkir UII. Dari jumlah tersebut 650 wisudawan berhasil meraih predikat cum laude. Lulusan UII kali ini terdiri dari 26 ahli madia, 1.003 sarjana, 71 magister, dan 8 doktor. Hingga wisuda periode ini, tercatat UII telah menghasilkan lebih dari 120.000 lulusan yang telah berkarya di berbagai bidang baik di dalam negeri maupun mancanegara. Read more

Selalu asah dan tambah kecakapan Saudara. Apa yang sudah Saudara kuasai sampai hari ini, insyaallah akan menjadi modal awal untuk berkontribusi dengan beragam peran. Tapi ingat, lingkungan berubah, tuntutan bertambah.

Untuk menjamin relevansi keberadaan Saudara dan untuk memastikan kontribusi terbaik, pilihannya tidak banyak. Salah satunya adalah dengan terus belajar. Dari beragam sumber, dengan berbagai cara.

Salah satu kecakapan masa depan yang sering disebut adalah terkait dengan mahadata. Kita menjadi saksi, bahwa data dan informasi sangat melimpah, sehingga kita tidak mungkin mengunyah semuanya. Jika di masa lampau tantangannya adalah mencari informasi, saat ini berubah, tantangannya adalah menyaringnya, untuk mengambil beragam keputusan.

Kehadiran teknologi mutakhir yang menjadi bagian keseharian, seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence), juga menjadi bahan diskusi di banyak kesempatan. Sebagian orang menebar ketakutan bahwa teknologi tersebut akan menggantikan peran manusia, sebagian lain melihatnya dengan optimisme. Bagi ahli tekno-optimis, kehadiran kecerdasan buatan tidak menghilangkan peran manusia tetapi justru membebaskannya: mengotomatiskan aktivitas yang menyita waktu manusia. Manusia bisa menggunakan waktunya untuk hal lain.

 

Ilustrasi pembuka

Ini soal bingkai. Pilihan bingkai akan mempengaruhi banyak hal dan ini valid untuk banyak konteks.

Berikut adalah sebuah ilustrasi. Prof. Regina Barzilay, ahli kecerdasan buatan dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), bersama tim yang latar belakang lintasdisiplin, mengubah bingkai dalam menemukan antibiotik yang membunuh bakteri jahat. Mereka tidak mencari zat yang mempunyai karakteristik serupa dengan zat penyusun antibiotik sebelumnya. Pendekatan lama yang biasa digunakan adalah mencari kemiripan struktural zat.

Mereka mengubah bingkai, yang berfokus pada efek zat: apakah zat tersebut membunuh bakteri? Mereka mengubah isu penemuan antibiotik, dari bersifat biologikal menjadi informasional.

Sebuah algoritma dilatih dengan lebih dari 2.300 senyawa, berharap menemukan yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Model yang dihasilkan diaplikasikan pada sekitar 6.000 molekul pada sebuah basis data. Selanjutnya, model diaplikasi pada 100 juta molekul dari basis data lain. Di awal 2020, mereka akhirnya menemukan sebuah molekul pembunuh bakteri.

Berita di media yang muncul adalah bahwa kecerdasan buatan telah menemukan antibiotik. Ada yang salah dengan perspektif ini karena tidak menggambarkan cerita sebenarnya.

Penemuan ini bukan kemenangan kecerdasan buatan, tetapi kesuksesan kognisi manusia: yang mengubah bingkai dalam menemukan molekul pembunuh bakteri. Apresiasi seharusnya diberikan kepada kecakapan manusia, bukan kepada teknologi baru.

Prof. Barzilay menjelaskan, “Manusialah yang memilih senyawa, mengetahui apa yang mereka lakukan ketika memberikan material kepada model untuk dipelajari”. Manusia yang mendefinisikan masalah, mendesain pendekatan, memilih molekul untuk melatih algoritma, dan memilih basis data zat untuk diteliti.

 

Model mental

Itulah hebatnya bingkai yang mendasari model mental (mental model). Model mental ini menjadikan dunia lebih dapat dipahami, karena memungkinkan kita melihat pola, memprediksi kejadian, dan memahami beragam kejadian di depan mata.

Kita menggunakan dalam banyak kesempatan: mulai dari sebagai memilih sekolah, menentukan karier, membangun rumah, menjadi orang tua, dan lain-lain. Bingkai ini bisa berubah. Yang paling berbahaya adalah ketika seseorang mempunyai bingkai yang tidak membuka alternatif lain.

Soal kekuatan bingkai ini, dibahas dengan sangat apik dalam buku Framers (Cukir, Mayer-Schonberger, & de Vericourt, 2021). Ilustrasi di atas ada di dalam buku ini.

Penulis buku menyatakan jika ingin menggunakan bingkai dengan baik, kita perlu mengaplikasikan pola pikir kausalitas (sebab-akibat), konterfaktual (membayangkan realitas yang berbeda), dan mengenali batasan-batasan.

Dalam suatu waktu, ada kalanya bingkai lama sudah tidak relevan, dan kita perlu merevisinya atau bahkan menggantinya dengan yang sama sekali baru. Selain itu, beragam bingkai mungkin hadir berdampingan.

 

Bingkai keseharian

Kita bisa tambahkan ilustrasi sederhana untuk menegaskan bahwa bingkai yang tepat akan menjadikan banyak hal menjadi lebih baik.

Bagaimana jika kita melihat beragam masalah dengan bingkai seperti berikut. Kita bersyukur

  1. untuk istri yang mengatakan malam ini kita hanya makan mi instan, karena itu artinya ia bersama kita bukan dengan orang lain;
  2. untuk suami yang hanya duduk malas di sofa menonton TV, karena itu artinya ia berada di rumah dan bukan di bar, kafe, atau di tempat mesum;
  3. untuk anak-anak yang ribut mengeluh tentang banyak hal, karena itu artinya mereka di rumah dan tidak jadi anak jalanan;
  4. untuk tagihan pajak yang cukup besar, karena itu artinya kita bekerja dan digaji tinggi.
  5. untuk sampah menumpuk selepas pertemuan yang harus kita bersihkan, karena itu artinya keluarga kita dikelilingi banyak teman;
  6. untuk pakaian yang mulai kesempitan, karena itu artinya kita cukup makan;
  7. untuk rasa lelah, capai, dan penat di penghujung hari, karena itu artinya kita masih mampu bekerja keras;
  8. untuk semua kritik yang kita dengar tentang pemerintah, karena itu artinya masih ada kebebasan berpendapat;
  9. untuk bunyi alarm keras pukul 04.00 pagi yang membangunkan kita, karena itu artinya kita masih bisa terbangun dan masih hidup; atau
  10. untuk ijazah bertumpuk-tumpuk yang harus ditandatangani rektor, karena itu artinya proses pembelajaran berjalan efektif dan mahasiswa menyelesaikannya dengan baik.

Daftar di atas dapat diperpanjang. Bingkai di atas tentu tidak dimaksudkan untuk menjadi pembenar semua tindakan yang tidak produktif.

Saya termasuk yang percaya, bingkai yang tepat akan menjadikan kita lebih produktif dan sekaligus lebih bahagia dalam menjalani hidup.

Referensi

Cukier, K., Mayer-Schönberger, V., & de Véricourt, F. (2021). Framers. Penguin.

Sambutan pada wisuda doktor, magister, sarjana, dan diploma Universitas Islam Indonesia, 25-26 November 2023.

Dalam beberapa kesempatan, saya mendengar ceramah yang mengajak dunia pendidikan untuk menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI). Tidak dijelaskan bidang aplikasi spesifiknya.

Di kesempatan yang lain, penceramah berbeda dengan antusias mengatakan jika kampus harus mengadopsi teknologi blockchain dan mahadata (bigdata). Lagi-lagi, tidak diberikan ilustrasi atau pembuktian konsep tersebut dengan baik.

Kalau pun bidang aplikasi disebutkan, para pembicara tersebut tidak memberikan gambaran yang utuh. Fokus hanya pada sisi teknologi. Padahal teknologi tidak mungkin diimplementasikan dalam ruang hampa. Ada banyak konsiderans lain yang perlu dimasukkan ke dalam radar, termasuk konteks implementasi dan beragam implikasinya.

Dalam sebuah perbincangan, kolega pimpinan perguruan tinggi dengan bangga menyatakan jika kampusnya sudah menggunakan kecerdasan buatan. Yang satu menggunakan avatar untuk memroduksi video pembelajaran dan satunya lagi menggunakan chatbot untuk merespons pertanyaan dari publik. Tentu, kedua contoh ini valid. Tetapi, apakah hanya sebatas itu imajinasi kita? Ada banyak pertanyaan lain yang dapat dimunculkan.

 

Sonder konseptualisasi

Dari ilustrasi sederhana di atas, paling tidak ada dua isu yang menuntut keawasan kita. Tanpa keawasan ini, warga kampus akan terjebak pada jargon dan terlena tanpa konseptualisasi yang memadai.

Pertama, kecerdasan buatan didefinisikan secara berbeda-beda. Hal ini pun dapat diterima selama setiap definisi menyinggung substansinya. Tentu, untuk menyebut kecerdasan buatan, seseorang pun tidak harus memahami secara teknis bagaimana beragam algoritmanya bekerja. Tetapi, memahami konsep dasarnya tetap diperlukan. Untuk apa? Supaya kita tidak hanya terjebak narasi tanpa mampu memaknainya dengan memadai.

Sebagai ilustrasi sederhana. Saat ini, yang paling populer adalah kecerdasan buatan generatif (generative AI) yang dikembangkan berbasis pembelajaran mesin (machine learning) dan mampu menghasilkan teks, video, gambar, dan jenis konten lainnya. Kecerdasan buatan jenis ini disebut “generatif” karena kemampuannya dalam menghasilkan “konten baru”, sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya, bukan hanya melakukan tugas berdasarkan data yang sudah ada. Dalam konteks ini, data lampau yang digunakan untuk pembelajaran akan mempengaruhi luaran yang diproduksi oleh algoritma yang tertanam.

Kedua, tujuan penggunaan kecerdasan buatan di dunia pendidikan. Apakah untuk sekedar mendapatkan legitimasi (semu) karena sudah mengadopsinya? Ataukah, untuk tujuan yang lebih mulia: meningkatkan kualitas manajemen, proses pendidikan, atau artefak akademik? Meskipun sah-sah saja menggunakan kecerdasan untuk mendapatkan legitimasi, namun, dampaknya kurang bermakna. Pendekatan seperti ini, tidak jarang mengabaikan beragam dampak ikutannya, yang tidak selalu positif.

Dua isu di atas terkait dengan kampus sebagai pengembang pengguna teknologi yang akan digunakan di kampus. Isu ini juga valid untuk teknologi maju lainya, termasuk blockchain dan mahadata.

Ini bukan soal mengadopsinya, tetapi juga harus menakar makna yang dihadirkannya. Bisa jadi, ada yang berpendapat: daripada tidak mengadopsi sama sekali. Tentu saja, pendapat seperti ini juga dibolehkan. Namun, dampaknya ke dunia pendidikan terbuka untuk didiskusikan.

 

Praktik abu-abu pekat

Di sisi lain, sebagai pengguna, kemudahan yang dihadirkan oleh layanan yang dibangun dengan kecerdasan buatan telah melupakan banyak warga kampus akan dampak negatifnya. Penggunaan ChatGPT, misalnya. Di banyak kesempatan, diskusi lebih banyak diwarnai dengan manfaat yang dihadirkannya. Namun, sangat sedikit yang awas dan memberikan perhatian kepada sisi gelapnya.

Saat ini, misalnya, mahasiswa dapat dengan mudah menggunakan ChatGPT untuk mengerjakan beragam tugas kuliah. Dosen pun dipastikan kesulitan untuk mendeteksinya. Ada keputusasaan di sana, yang diobati dengan dalih: selama tidak ketahuan, tidak apa-apa.

Dosen pun serupa. Mereka menggunakannya untuk membuat artikel, laporan, atau proposal. Terlihat sangat indah dan bermanfaat. Apalagi hanya dengan biaya langganan yang sangat murah.

Kedua ilustrasi di atas merupakan praktik yang dapat memunculkan beragam diskusi etika. Jika ada aspek pendakuan atas karya, praktik ini dapat masuk ke ranah sisi gelap, atau paling tidak abu-abu pekat yang nyaris melanggar garis merah. Tentu, diskusi panjang tentang isu etika dan potensi bias yang mengikutinya dapat dibuka untuk membahasnya.

Isu ini pun sudah masuk radar banyak penerbit jurnal bereputasi dan juga lembaga donor. Beberapa kebijakan tertulis pun sudah dibuat untuk menegaskan koridor etika.

 

Kepedulian yang diharapkan

Karenanya, sambil berikhtiar menguasai teknologi dengan lebih baik, pimpinan dan warga kampus di Indonesia sudah saatnya peduli dengan sisi gelap kecerdasan buatan. Beberapa prinsip dasar berikut dapat membuka diskusi lanjutan.

Pertama, kita sepakat bahwa perkembangan teknologi, termasuk kecerdasan buatan, tidak bisa dibendung. Teknologi maju seperti ini perlu dikuasai dengan baik. Beberapa kampus pun mulai menawarkan program studi spesifik terkait dengan ini.

Kedua, kesadaran dialektika perlu dilantangkan bahwa setiap teknologi selalu hadir dengan dua sisi: positif dan negatif. Kedua hal ini harus dipikirkan bersamaan. Jika tidak, aksi korektif sangat mungkin terlambat untuk dijalankan. Di sini, koridor etika harus dibuat, supaya pengembangan teknologi tidak melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Eksploitasi manusia terhadap liyan dengan bantuan teknologi adalah contohnya.

Ketiga, adopsi kecerdasan buatan harus memperhatikan dampaknya yang bermakna di dunia pendidikan dan tidak sekedar untuk terlihat keren serta mendapatkan pujian. Adopsi teknologi ini seyogyanya bukan lantaran tekanan koersif otoritas yang lebih tinggi atau sekedar mengikuti tren, tetapi karena kesadaran normatif akan dampaknya yang bermakna.

Sebagai penutup, bagi yang pesimis, di satu sisi, kehadiran kecerdasan buatan dikhawatirkan meminggirkan manusia. Tetapi di sini lain, bagi yang optimis, kehadirannya justru dianggap membebaskan manusia dari beragam aktivitas yang menyita banyak waktu. Kesadaran akan isu-isu etika mungkin dapat menjadi penengahnya.

Tulisan sudah tayang di Republika.id pada 23 November 2023.