Dengan semangat perangkat desa serta masyarakat setempat, pembangunan Taman Wisata Embung Bembem berhasil terealisasikan di tahun 2020 melalui program Pengabdian Masyarakat Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM) UII. Embung Bembem sementara ini akan menjadi entry point untuk dapat mengembangkan potensi-potensi wisata di Desa Giriasih.

Read more

Memasuki tahun 2021, Cilacs UII segera tancap gas mengatur strategi bisnis yang tepat untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Hal ini nampak dalam kegiatan Rapat Koordinasi Kerja Rakorja (Rakorja 2021) yang dilaksanakan secara daring (online) dan diikuti oleh seluruh staf manajemen serta pengajar Cilacs UII pada Kamis (7/1).

Kepala Cilacs UII, Lizda Iswari, M.Sc, dalam sambutannya menyampaikan perkembangan lembaganya di tahun 2020 dengan berbagai kendala yang dialami selama pandemi Covid-19. Selanjutnya, ia memaparkan strategi utama Cilacs UII dalam menghadapi situasi pandemi yang masih terus berlanjut.

Read more

Sampai dengan paruh kedua November 2020, pandemi Covid-19 yang bermula di Wuhan, Tiongkok, telah menyebar ke 219 negara di dunia. Total kasus yang terkonfirmasi mencapai lebih dari 53 juta dengan lebih dari 1,3 juta orang telah meninggal dunia karenanya. Semuanya terjadi hanya dalam waktu singkat, sekitar sembilan bulan[1].

Semua negara berjuang menghadapinya dengan pendekatannya masing-masing. Inilah salah satu faktor yang membedakan dampak yang diderita setiap negara, termasuk dari sisi kehilangan jiwa dan keruntuhan sendi ekonomi. San Marino, Belgia, dan Peru merupakan tiga negara dengan proporsi kematian tertinggi, lebih dari 1.000 orang per 1 juta penduduk.

Saat ini, bahkan gelombang kedua pandemi menyerang negara-negara Eropa, dan beberapa menjalankan kembali pembatasan mobilitas fisik (lockdown) secara terbatas maupun nasional (The Economist, 2020b). Sejak beberapa setelah kemunculannya, pandemi tidak lagi dilihat sebagai masalah kesehatan per se, tetapi sudah masalah lintassektor yang saling terkait erat.

Selain itu, sebagai pandemi global, penanganannya memerlukan kerja sama lintasteritorial dengan orkestrasi yang sensitif dengan waktu karena penyebarannya yang luar biasa cepat (Berkman, 2020). World Health Organization (WHO) telah memainkan peran kritikal dalam konteks ini. Upaya yang telah dilakukan oleh WHO sejak 31 Desember 2019, terekam dengan rapi dalam situsnya[2].

Dalam bingkai ini, bagian pertama tulisan ini mendiskusikan secara ringkas hubungan antara politik dan sains yang tidak selalu sejalan. Pada bagian kedua, tulisan membahas bagaimana ajaran Islam mengedepankan sisi kemanusiaan dan terbukti sangat saintifik dalam memberi saran di kala pandemi.

 

Politik dan Sains

Pada 1 Oktober 2020, situs web majalah sains terkemuka di Amerika Serikat (AS), Scientific American, menayangkan artikel yang berbeda dari biasanya. Judul artikelnya membelalakkan mata pembacanya. Sebagian pembaca menyambutnya dengan gembira, sebagian yang lain, mungkin agak tidak suka dengannya. Mengapa berbeda? Sikap dan harapannya yang tertaut kepada sains yang mempengaruhinya.

“Scientific American endorses Joe Biden” (Scientific American, 2020), demikian judul artikel tersebut. Editorial tersebut menyebut, bahwa sikap ini adalah debut majalah saintifik ini yang terbit pertama kali dalam bentuk mingguan empat halaman pada 1845. Tak pernah, majalah ini mendukung kandidasi seorang presiden AS dalam 175 tahun sejarah hidupnya.

Tidak sulit menebak alasannya. Namun, majalah ini membuatnya lebih jelas yang diikuti sikapnya yang tegas. Alasan yang diungkap adalah bahwa Sang Presiden Dunia Baru tersebut tidak menghargai sains dan menolak bukti saintifik, termasuk dalam melihat isu perubahan iklim global yang dianggapnya tidak ada, dan kasus terakhirnya adalah dalam penanganan pandemi Covid-19.

Dua pekan kemudian, pada 14 Oktober 2020, langkah tersebut diikuti oleh majalah saintifik prestius, Nature (2020). Editorialnya menuliskan bahwa majalah ini tidak bisa tinggal diam ketika sains dirusak. Agak sedikit berbeda dengan Scientific American, selain mengaitkannya dengan isu sains, Nature juga membingkainya dengan isu demokrasi yang terancam dan persatuan bangsa AS yang terpecah.

Editorial kedua majalah saintifik ini seakan menjadi epitaf politik Sang Presiden petahana. Hasil pemilihan umum menunjukkan bahwa dia gagal mempertahankan posisinya. Sang Penantang yang sudah malang melintang di dunia politik hampir lima dekade akan menduduki Gedung Putih pada Januari 2021, sebagai Presiden AS ke-46. Meski demikian, ada masih mengkhawatirkan para saintis, pemilih Sang Petahana masih sangat banyak. Ini berarti tantangan mengkomunikasikan pentingnya fakta, sains, dan kebenaran masih menghadang (Tollefson, 2020b). Jeffrey Shaman, epidemiolog Universitas Columbia menyatakan, “Ini bukan soal ketidakmampuan, ini adalah sabotase. … Dia sudah menyabotase ikhtiar untuk menjaga keselamatan manusia” (Tollefson, 2020a).

Untuk melihat bagaimana pengambil kebijakan menggunakan sains dalam merespons pandemi, Frontiers, sebuah lembaga pendukung sains terbuka terkemuka di Swiss, secara khusus pada Mei dan Juni 2020 melalukan survei kepada lebih dari 20.000 saintis di berbagai negara (Rijs & Fenter, 2020). Salah satu temuannya menunjukkan menurut saintis, pengambil kebijakan belum secara memadai menjadikan sains sebagai konsiderans dalam mitigasi pandemi.

Menurut survei tersebut, negara yang dinilai sudah menjadikan sains sebagai basis kebijakan termasuk Selandia Baru (disetujui oleh 77% responden/saintis asal negara tersebut), Yunani (76%), Tiongkok (71%), Argentina (705%), Denmark (68%), dan Jerman (66%). Sebaliknya, di sisi lain, negara berikut dipersepsikan oleh responden menafikan relevansi sains dalam mitigasi pendemi. Hanya 18% responden yang menggangap bahwa Amerika menggunakan saintifik dalam mengatasi pandemi. Menyusulnya adalah Chile (22%), Brasil (23%), Inggris (24%), Polandia (29%), dan Rusia (31%).

Bagaimana dengan Indonesia? Setiap kita bisa menilai sendiri negara tercinta, berdasar data yang ada. Beberapa pertanyan ini bisa membantu mencari jawab. Apakah ada penyangkalan dari para pengambil kebijakan? Apakah saran dari para saintis, termasuk para profesor di bidang kesehatan, didengar dengan baik oleh para pengambil kebijakan? Apakah ada komentar dari pengambil kebijakan yang menyepelekan kehadiran pandemi Covid-19? Apakah beragam kebijakan sudah diambil untuk mengatasi, terjaga konsistensinya, dan terorkestrasi antaraktor dengan baik?

Sebagian dari kita mungkin akan sampai kepada kesimpulan: negara kita sudah berbuat baik, tapi seharusnya bisa lebih baik lagi. Sebagian yang lain mungkin berakhir pada kesimpulan yang berbeda. Informasi yang terekam di media massa dan media sosial dapat memberi ilustrasi kaya untuk melihat perkembangan diskursus dalam isu ini.

Fragmen di atas memantik beberapa diskusi lanjutan. Temuan survei Frontiers di atas seakan memberi bukti empiris yang mendukung adagium yang menyatakan bahwa politik dan sains mempunyai logikanya masing-masing dan tidak mudah untuk bertemu, atau bahkan seringkali berlawanan. Tentu hal ini sangat mengkhawatirkan karena kekuasaan sebagai salah satu luaran praktik politik dan pengembangan sains, keduanya seharusnya diabdikan untuk tujuan yang sama: kesejahteraan manusia.

Namun demikian, kedekatan saintis ke dalam dunia politik, yang intinya melibatkan konflik kepentingan, dapat memunculkan masalah baru. Masalah pertama terkait dengan kemungkinan penggunaan sains sebagai “stempel” dan bahkan “kambing hitam”. Sebagai contoh, di Inggris, kepercayaan publik kepada saintis lebih tinggi (4 dari 5) dibandingkan kepada menteri (1 dari 5). Klaim politisi yang menyatakan bahwa mereka “sudah mengikuti sains” dalam merespons pandemi, dikhawatirkan justru akan “menyalahkan sains” (The Economist, 2020a), karena di Inggris, penanganan pandemi dinilai tidak optimal.

Masalah kedua adalah inkompatibiltas. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sainstis berhubungan dengan ketidakpastian, sedangkan politisi menghindarinya. Temuan sains benar secara metodologis dan karenanya ada ruang variasi. Tentu ini tidak mudah diterjemahkan ke dalam kebijakan tunggal. Selain itu, sains dan politik menjalankan operasi terbaiknya dalam kondisi yang berbeda. Sains mengedepankan transparansi, sedangkan politik mengharapkan opasitas sampai tingkat tertentu (e.g. The Economist, 2020a). Tarik ulur dan ambivalensi kebijakan pemerintah Indonesia yang tetap menggelar pemilihan umum kepala daerah (pilkada) merupakan ilustrasi nyata (Widyanuratikah et al., 2020).

 

Islam dan Kemanusiaan

Menjaga jiwa manusia (hifdh al-nafs) menjadi salah satu prioritas utama kala pandemi Covid-19. Mobilitas fisik dibatasi untuk menghindari penularan. Banyak negara bahkan menerapkan pembatasan mobilitas fisik (lockdown) secara nasional.

Beragam ikhtiar mitigasi dipilih. Selain berdasar sains, beragam kajian berdasar ajaran pun dilakukan: baik dari perspektif praktis maupun esoteris.

Dari perspektif praktis, resep abadi Rasulullah ketika menghadapi pandemi (al-tho’un) pun kembali dikaji dan digaungkan. Kata Rasulullah, “Ketika kamu mendengar adanya pandemi di sebuah daerah, maka jangan memasukinya, dan ketika kamu berada di daerah yang terkena pandemi, maka jangan keluar darinya” (Sahih Al-Bukhari 5728).

Pesan dalam hadis tersebut sangat jelas, bahwa ikhtiar terbaik harus dilakukan, untuk tidak memaparkan diri kepada penyakit, dan sebaliknya tidak memaparkan penyakit kepada orang lain.

Perintah agama ini sejalan dengan anjuran sains[3] untuk memutus mata rantai penularan pandemi, dengan menjaga jarak fisik (physical distancing), bukan menjaga jarak sosial (social distancing). Memang, di masa awal pandemi menyerang, World Health Organization (WHO) menganjurkan untuk menjaga jarak sosial”, tetapi lembaga ini kemudian mengoreksinya menjadi menjaga jarak fisik. Jarak sosial justru harus dijaga dengan tetap menjalin komunikasi dengan orang lain dan bahkan saling membantu. Perkembangan teknologi informasi saat ini dapat digunakan untuk menjaga jarak sosial tetapi dekat[4].

Implikasinya adalah cara beraktivitas baru pun diadopsi, termasuk pembelajaran daring dan bekerja dari rumah. Praktik beragama kolektif yang melibatkan orang banyak dalam tempat terbatas (salat berjemaah, pengajian umum) pun ditiadakan. Meskipun demikian, cerita lain, meski tidak dominan, juga ditemukan di lapangan, karena keberagaman sikap keberagamaan[5].

Protokol baru kesehatan pun, termasuk menjaga jarak fisik, memakai masker dengan benar, mencuci tangan secara rutin, menjadi bagian dari keseharian. Survei yang dilakukan oleh Pew Research Center (2020) di Amerika menegaskan kesadaran baru di kalangan warga terkait dengan pentingnya kebersihan. Ajaran Islam sudah sejak kehadirannya menempatkan kebersihan dalam posisi yang istimewa. Rasullah bersabda, “Kebersihan adalah setengah dari iman” (Sahih Muslim 223).

Kampanye besar-besaran dijalankan oleh beragam aktor (internasional, nasional, dan lokal) untuk mengedukasi publik untuk menumbuhkan kesadaran kolektif. Kampanye tersebut masih relevan sampai saat ini karena tak seorang pun yang mengetahui kapan pandemi akan berakhir.

Dari perspektif esoteris agama, Rasulullah menyatakan, “Kematian karena pandemi adalah syahid bagi setiap muslim” (Sahih Al-Bukhari 2830). Tentu, ini adalah ujung ketika semua ikhtiar telah dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan ternyata masih terpapar. Sengaja memaparkan diri untuk mendapatkan redikat syahid tidak dapat diterima.

Hadis lain menegaskan ini. Ketika Rasulullah ditanya seorang sahabat tentang pandemi, Beliau menjawab: “Pandemi adalah azab yang dikirim oleh Allah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, tetapi Dia menjadikannya rahmat untuk kaum mukmin. Siapa saja  tinggal di sebuah kota yang terjangkiti pandemi dan dia tetap tinggal di dalamnya dan tidak meninggalkan kota tersebut, tetapi bersabar dan penuh harapan kepada rida Allah, dan mengetahui bahwa pandemi tidak akan menimpa kecuali sudah ditulis Allah untuknya, maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana orang yang mati syahid” (Sahih Al-Bukhari 5734).

Sisi kemanusiaan kita pun diuji. Pandemi juga telah memunculkan sisi tulen manusia, baik yang buruk maupun yang baik. Sisi buruk manusia ini bisa menjadikannya menganggap pandemi sebagai peluang mengeruk keuntungan finansial yang lukratif yang tuna kepedulian. Di awal pandemi, misalnya, media massa mengabarkan penangkapan para penimbunan masker yang sangat dibutuhkan oleh publik. Tes cepat (rapid test) juga diindikasikan ditunggangi motif komersialisasi[6].

Meskipun dari perspektif bisnis terlihat wajar, tetapi melonjaknya harga saham Pfizer ketika uji coba vaksinnya memberikan hasil baik, dapat menghadirkan tafsir lain, yang terkait dengan perburuan rente di kala pandemi (La Monica, 2020).

Sebaliknya, sisi baiknya, pandemi telah menyadarkan akan kerentanan manusia dan prioritas dalam hidup (Pew Research Center, 2020). Pandemi juga memunculkan mereka yang dengan suka cita membantu sesama, terutama kelompok rentan ketika pandemi menyerang, tidak hanya dari sisi kesehatan tetapi juga dari sisi lain, termasuk pemberdayaan ekonomi dan edukasi publik.

Di Indonesia, sebagai contoh, selain pemerintah, secara nasional, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) membuat gugus tugas khusus untuk merespons pandemi. Muhammadiyah membentuk Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) yang melibatkan berbagai aktor internal lintasmajelis dan lintas-organisasi otonom yang sudah tersebar di seluruh Indonesia (https://covid19.muhammadiyah.id/). Hal serupa juga dilakukan NU dengan membentuk Satuan Tugas NU Peduli Covid-19 yang sudah tersebar di seluruh Indonesia (https://www.nu.or.id/).

Sebanyak 903 rumah sakit di seluruh Indonesia juga berjuang siang malam untuk melayani dan merawat para pasien yang terkonfirmasi Covid-19 (Sari, 2020). Sampai akhir November 2020, sudah sebanyak 180 dokter yang meninggal dunia karena terpapar Covid-19 (Kamil, 2020).

Di awal pandemi menyerang, fokus perhatian banyak diberikan pada bidang kesehatan, terutama kesehatan (fisik). Sejalan dengan waktu, ketika pandemi semakin meluas dan dampaknya mulai terasa di bidang, termasuk kesehatan jiwa dan ekonomi.

Memang tidak semua industri terdampak. Di satu sisi, beberapa sektor industri justru mendapatkan durian runtuh di masa pandemi ini, termasuk sektor telekomunikasi, layanan teknologi informasi (konferensi video, pembelajaran daring), perdagangan daring, dan obat-obatan. Di sisi lain, banyak sektor yang terdampak akut, seperti penerbangan, pariwisata, dan perdagangan konvensional. Sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), juga termasuk yang menderita, karena penurunan pendapatan, jaringan bisnis yang terganggu, dan biaya operasional yang tetap tinggi (BPS, 2020).

Pandemi juga memunculkan beragam inisiatif lintasaktor di masyarakat. Sebagai contoh, di Yogyakarta, muncul gerakan Sonjo (Sambatan Jogja), yang ditujukan untuk membantu masyarakat rentan dan terdampak pandemi (https://gamabox.id/sonjo/). Kegiatan Sonjo difokuskan ke beberapa bidang, termasuk membantu UMKM tetap bertahan dan berkembang, memberikan edukasi publik, dan menjadi simpul antara penyedia dan penerima bantuan.

Fokus yang terakhir ini juga dilakukan beragam aktor lain, termasuk Universitas Islam Indonesia dengan inisiatif Warung Rakyat yang menjadi “tempat mangkal daring pelaku ekonomi kerakyatan” (https://warungrakyat.uii.ac.id/). Sampai pertengahan November 2020, cacah UMKM yang bergabung sudah lebih dari 550. Mereka pun mulai merambah model bisnis baru yang mengandalkan kanal digital, baik yang menggunakan kanal bersama (marketplace) maupun memanen manfaat dari media sosial.

 

Epilog: Pilihan Kesejalanan

Uraian di atas membimbing kepada dua simpulan yang dapat memantik diskusi lanjutan.

Pertama, hubungan antara politik dan sains menarik diselisik lebih lanjut. Pandemi Covid-19 saat ini adalah momentum yang memperjelas urgensi untuk mendapatkan harmoni di antara keduanya. Kasus penanganan pandemi di Selandia Baru atau Jerman, misalnya, dapat menjadi pencelik mata, bahwa sains dan politik dapat berdampingan dengan cukup baik.

Jika kesejalanan ini dapat mewujud, pertanyaan lanjutan yang menggelitik adalah: mengapa tidak terjadi di semua negara? Riset yang sistematis untuk menjelaskan hubungan beragam faktor kontekstual dengan kesejalanan politik dan sains penting untuk dilakukan. Penjelasan ini akan sangat bermanfaat untuk memahami beragam pola hubungan yang ada, dan jika diperlukan, menjadikannya sebagai basis intenvensi.

Kedua, pandemi telah memunculkan dua sisi ekstrem kemanusiaan. Sebagian (kecil) aktor telah menjadikan pandemi sebagai kesempatan ‘mengail di air keruh’ dengan beragam muslihat yang tuna empati. Tentu, bukan ini yang dibutuhkan ketika pandemi menyerang, karena tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Namun, sebagian besar lainnya terpanggil sisi kemanusiaannya dengan membantu sesama. Yang menarik, inisiatif ini muncul dalam beragam skalanya, baik yang dijalankan oleh organisasi besar (seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama), kampus, maupun gerakan akar rumput yang melibatkan aktor lintassektor (seperti Sonjo). Yang terakhir ini menarik untuk dipahami dengan baik untuk dijadikan semacam model gerakan dalam memobilisasi sumber daya di masa krisis ketika informasi yang tersedia sangat terbatas.

Kedua simpulan di atas dapat diringkas dalam sebuah konsep yang indah diungkap, tetapi tidak selalu mudah diterapkan: kesejalanan.

 

Referensi

Berkman, P. A. (2020). The pandemic lens: Focusing across time scales for local-global sustainability. Patterns, 1(8), 100147.

BPS (2020). Analisis Hasil Survei Dampak Covid-19 Terhadap Pelaku Usaha. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Kamil, I. (2020). IDI Sebut Tak Kurang dari 180 Dokter Meninggal Selama Pandemi Covid-19. Kompas, 30 Novermber. Tersedia daring: https://nasional.kompas.com/read/2020/11/30/20424391/idi-sebut-tak-kurang-dari-180-dokter-meninggal-selama-pandemi-covid-19?page=all.

Kuntowijoyo (2004). Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Bandung: Teraju.

La Monica, P. R. (2020). Pfizer’s CEO sold $5.6 million in stock the day he announced promising vaccine news. CNN, 11 November. Tersedia daring: https://edition.cnn.com/2020/11/11/investing/pfizer-ceo-albert-bourla-stock-sale-vaccine/index.html

Nature (2020). Why Nature supports Joe Biden for US president. Nature, 14 Oktober. Tersedia daring: https://www.nature.com/articles/d41586-020-02852-x

Pew Research Center (2020). What lessons do Americans see for humanity in the pandemic? Tersedia daring: https://www.pewforum.org/essay/what-lessons-do-americans-see-for-humanity-in-the-pandemic/

Rijs, C. & Fenter, F. (2020). The academic response to COVID-19. Frontiers in Public Health, 28 Oktober. Tersedia daring: https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fpubh.2020.621563/full

Sari, H. P. (2020). Kemenkes: Hingga 11 Oktober, ada 903 RS rujukan Covid-19 di Indonesia. Kompas, 12 Oktober. Tersedia daring: https://nasional.kompas.com/read/2020/10/12/17051061/kemenkes-hingga-11-oktober-ada-903-rs-rujukan-covid-19-di-indonesia

Scientific American (2020). Scientific American endorses Joe Biden. Scientific American, 1 Oktober. Tersedia daring: https://www.scientificamerican.com/article/scientific-american-endorses-joe-biden1/

The Economist (2020a). Britain’s government says it is “following the science”. Which science?. The Economist, 9 Mei. Tersedia daring: https://www.economist.com/britain/2020/05/09/britains-government-says-it-is-following-the-science-which-science

The Economist (2020b). The second wave of covid-19 has sent much of Europe back into lockdown. The Economist, 7 November. Tersedia daring: https://www.economist.com/ briefing/2020/11/07/the-second-wave-of-covid-19-has-sent-much-of-europe-back-into-lockdown

Tollefson, J. (2020a). How Trump damaged science — and why it could take decades to recover. Nature, 7 November. Tersedia daring: https://www.nature.com/articles/ d41586-020-02800-9

Tollefson, J. (2020b). Scientists aghast as hopes for landslide Biden election victory vanish. Nature, 4 November. Tersedia daring: https://www.nature.com/articles/d41586-020-03120-8

Widyanuratikah, I., Mursid, F., & Suryarandika, R. (2020). Pilkada di tengah pandemi dan sikap ambivalen pemerintah. Republika, 1 Oktober. Tersedia daring: https://republika.co.id/berita/qhioei328/pilkada-di-tengah-pandemi-dan-sikap-ambivalen-pemerintah

 

Catatan akhir

[1] https://www.worldometers.info/coronavirus/

[2] “Timeline: WHO’s COVID-19 response”, https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/interactive-timeline

[3] Kesejalanan ini juga dapat memantik diskusi lanjutan terkait cara pandang kita terhadap agama. Tawaran Kuntowijoyo (2004) untuk pengilmuan Islam menarik untuk ditinjau ulang. Baginya,

“Meyakini latar belakang agama yang menjadi sumber ilmu atau tidak, tidak menjadi masalah, ilmu yang berlatar belakang agama adalah ilmu yang objektif, bukan agama yang normatif.” (Kuntowijoyo [2004]:57).

[4] https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/transcripts/who-audio-emergencies-coronavirus-press-conference-full-20mar2020.pdf?sfvrsn=1eafbff_0

[5] Lihat misalnya kasus bentrok karena penutupan masjid di Bandung, https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-01354367/ormas-formasi-penurun-maklumat-di-masjid-raya-bandung-meminta-maaf

[6] Lihat misalnya “Ombudsman cium indikasi komersialisasi rapid test Covid-19” https://nasional.tempo.co/read/1361193/ombudsman-cium-indikasi-komersialisasi-rapid-test-covid-19

Pengantar Buku Islam Indonesia 2021 yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada Pengurus Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia

Menyambut tahun 2021, di malam tahun baru Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia bersama Yayasan Baitul Maal PLN Yogyakarta dan Baitul Maal wa Tamwil Beringharjo mengadakan semarak tabligh akbar dan kajian muhasabah pada Kamis (31/12). Agenda yang diadakan melalui Zoom Meeting dan YouTube Masjid Ulil Albab UII ini dihadiri oleh ratusan jamaah. Kajian muhasabah diisi oleh dua pemateri, yakni Associate for Psychologist dan Trainer Dian Ayu Amalia, S.Psi., M. Psi., Psikolog, serta Pembina Teman Hijrah Ustadz Hilman Fauzi.

Read more

Sudah hampir delapan bulan, dampak pandemi Covid-19 terasa di kalangan perguruan tinggi (PT). Sejak pertengahan Maret 2020, beragam respons sudah dijalankan, mulai dari pembelajaran daring (dalam jaringan), kerja dari rumah, sampai dengan pembatalan atau desain ulang aktivitas. Dampak pandemi ini terasa hampir merata di seluruh pojok dunia, tak terkecuali di PT negara maju.

Di Australia misalnya, pada pertengahan Oktober 2020, sebanyak 11.000 staf akan dirumahkan. Angka ini diperkirakan menjadi 21.000 di akhir 2020 (Derwin, 2020). Penurunan cacah mahasiswa, terutama mahasiswa internasional, yang di beberapa PT merupakan sumber dari 40% total pendapatannya, menjadi salah satu sebab. Selain pemutusan hubungan kerja sekitar 10% staf, beberapa PT juga melakukan reorganisasi, termasuk memangkas cacah fakultas.

Potret di belahan dunia lain seperti Amerika dan Eropa tidak jauh berbeda (Bodin, 2020). Beberapa PT diprediksi di ambang kebangkrutan karena penurunan cacah mahasiswa dan juga tersendatnya pendapatan untuk menjamin keberlangsungan organisasi. Di Inggris misalnya, diperkirakan terdapat penurunan cacah mahasiswa internasional sampai 121.000 (Burke, 2020). Cacah staf yang berisiko dirumahkan mencapai 30.000. Di Amerika, sekitar 337.000 orang diperkirakan kehilangan pekerjaan di PT. Angka ini sekitar 7% dari total staf yang bekerja di PT Amerika (Bauman, 2020).

 

Potret PT Indonesia

Sampai saat ini, tidak ada data lengkap yang dapat diakses. Namun, catatan anekdotal yang tersebar secara umum mengindikasikan potret buram. Survei yang dilaksanakan oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta pada awal Juli 2020, menunjukkan bahwa hanya 19,16% dari 51 PT swasta yang tidak mempunyai masalah finansial. Sisanya melakukan mitigasi dengan beragam cara, termasuk pemutusan hubungan kerja.

Selain itu, beberapa PT sudah memotong gaji/tunjangan (23,7%) dan menunda pembayaran gaji/tunjangan (5,88%). Solusi lain yang diambil adalah penggunaan saldo/tabungan (35,29%), meminta bantuan ke badan penyelenggara/yayasan (27,45%), meminjam uang ke pihak ketiga seperti bank (5,88%), serta menjual aset (3,9%). Angka-angka ini, paling tidak menunjukkan bahwa PT di kala pandemi tidak sedang baik-baik saja.

Memang, di sisi lain, potret PT besar dengan mahasiswa dari kalangan menengah ke atas nampaknya masih cerah, karena kapasitas finansial yang masih memadai. Tetapi tidak demikian halnya untuk PT yang selama ini menyasar mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah. Dampaknya sudah sangat terasa, mulai dari penurusan cacah mahasiswa baru pada 2020 ini secara drastis.

Meski demikian, PT besar yang tidak terdampak secara signifikan, juga tetap harus berhati-hati. Jika pandemi berkepanjangan, dampaknya mungkin akan terasa dalam waktu 2-3 tahun mendatang jika kapasitas finansial kelas menengah ke atas juga mulai goyang, ketika pendapatan menurun dan tabungan semakin tergerus. Karenanya, tidak ada pilihan lain untuk semua PT untuk mendesain rencana matang untuk memitigasi pandemi yang tak seorang pun tahu kapan akan berakhir.

 

Mitigasi kala pandemi

Dalam keadaan normal sebelum pandemi menyerang, fokus PT dapat disederhanakan ke dalam dua aspek: kualitas akademik dan keberlangsungan organisasi. Ketika pandemi menyerang, dua fokus baru menggeser kedua aspek tersebut: keselamatan jiwa dan keberlangsungan akademik.

Beragam inisiatif telah dijalankan oleh PT, dengan secara macam keterbatasan dan ceritanya. Pembelajaran daring dan kerja dari rumah, misalnya, telah berlangsung sejak pertengahan Maret 2020. Beberapa PT, saat ini juga menjalankan pembelajaran campuran, kombinasi antara daring dan luring (luar jaringan), meskipun tidak sulit untuk bersepakat bahwa porsi daringnya masih sangat dominan. Banyak aktivitas akademik lain dan pendukungnya pun didesain ulang dengan memanfaatkan kanal daring berbantuan teknologi informasi (TI).

Ketika pandemi baru menyerang, PT masih punyai dalil kedaruratan untuk membuat ruang toleransi atau kompromi sampai batas yang disepakati. Namun, setelah memasuki semester baru tahun akademik 2020, dalil kedaruratan sudah berkurang validitasnya. Artinya, PT sudah harus harus menaruh fokus lebih besar pada aspek kualitas akademik dan keberlangsungan organisasi, yang sempat terpinggirkan. Apa yang bisa dilakukan PT? Berikut beberapa di antaranya.

Pertama, penguatan ekosistem TI tidak lagi menjadi pilihan, tetapi sudah merupakan keniscayaan. Ekosistem TI di sini harus dibaca dalam definisinya yang luas, termasuk sistem informasi dan personel pendukungnya. Para pemimpin PT sudah seharusnya menaruh perhatian khusus di sisi ini, dengan serangkaian program dan alokasi sumber daya.

Terdapat satu hal penting di sini: pemimpin PT harus mengubah perspektif dalam melihat biaya yang dikeluarkan untuk TI, dari belanja operasional (operational expenditure) menjadi belanja modal alias investasi jangka panjang (capital expenditure). Tanpanya, akan sulit mengembangkan argumen untuk alokasi sumber daya dalam jumlah yang agak besar.

Selain itu, investasi TI tidak hanya untuk keperluan otomasi, tetapi lebih dari itu, untuk mentransformasi organisasi (Hammer, 1990). Karenanya, ekosistem TI di sini tidak hanya dibingkai sebagai pendukung operasional, tetapi sebagai perkakas strategis.

Kedua, masih terkait dengan yang pertama, penguatan ekosistem pembelajaran daring. Pada masa pandemi, meski tidak sempurna dan tanpa masalah, pembelajaran daring adalah pilihan yang paling rasional, karena mobilitas fisik sangat terbatas sebagai ikhtiar menjaga keselamatan jiwa.

Kesiapan setiap PT sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Karenanya, dalam konteks ini, PT perlu mempercepat penguatan ekosistem pembelajaran daring. Tidak hanya dari aspek TI, tetapi juga dari sisi produksi konten pembelajaran yang berkualitas, peningkatan kapabilitas aktor, desain proses pembelajaran, dan tidak kalah penting adalah penjaminan mutunya.

Pembelajaran daring sangat mungkin menjadi bagian permanen PT ke depan, baik sebagai komplemen, dalam bentuk pendamping pembelajaran tatap muka, maupun suplemen, dalam bentuk pelengkap pembelajaran tatap muka dengan pembukaan program studi pendidikan jarak jauh (e.g. Gallagher & Palmer, 2020). Jika yang terakhir ini dijalankan, maka model bisnis yang tepat juga perlu diformulasikan.

Ketiga, karena menunggu pandemi berakhir laksana mengharap Bang Toyib yang tak seorang pun tahu kapan pulang, inovasi dalam mendesain ulang beragam aktivitas akademik dan pendukungnya harus dilakukan. Inovasi ini untuk menyiasati keterbatasan mobilitas fisik warga PT, termasuk mahasiswa dan dosen. Ini adalah ikhtiar untuk menjaga harapan dan tidak menyerah kepada keadaan. Ini juga bukti bahwa pandemi tidak hanya sebagai musibah yang harus dimitigasi, tetapi juga membawa berkah tersembunyi (a blessing in disguise).

Di masa mendatang, meski pandemi sudah berakhir, model aktivitas daring seperti admisi mahasiswa baru, konferensi maya, dan mobilitas maya dapat menjadi salah satu opsi permanen, ketika dapat dijalankan dengan lebih mudah, murah, dan tetap berkualitas.

Keempat, meski terakhir, ini bukan afkir: mitigasi finansial. Ketika kapasitas finansial orang tua mahasiswa atau mahasiswa terdampak, maka prioritas pengeluaran dapat berubah. Data sampai akhir 2019 menunjukkan bahwa angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia baru mencapai 35,69%. Angka ini menunjukan persentasi penduduk Indonesia berusia 19-23 tahun yang menikmati bangku kuliah.

Pendidikan tinggi untuk banyak orang masih merupakan barang mewah. Di samping itu, pandemi telah menambah cacah penduduk miskin secara signifikan, tidak hanya di Indonesia (Luxiana, 2020), tetapi di banyak negara lain (The Economist, 2020). Catatan anekdotal dari lapangan menguatkan ini, ketika banyak calon mahasiswa yang mundur dengan alasan ketidakmampuan finansial.

Tentu, kondisi kesehatan finansial setiap PT berbeda-beda. Tetapi, nampaknya semua sepakat, kesehatan finansial merupakan salah satu faktor penting untuk menjamin keberlangsungan organisasi, dan karenanya perlu dimitigasi dengan serius. Faktor kontekstual setiap PT akan menghasilkan beragam strategi. Tidak selalu mudah dan mengenakkan, tetapi pilihan memang tidak banyak.

 

Epilog

Pandemi Covid-19 yang menyerang tiba-tiba menjadikan waktu tidak di pihak PT. Keputusan harus diambil secara cepat dengan informasi terbatas karena ketidakpastian sangat tinggi. Yang jelas, kondisi saat ini sangat berbeda dari masa sebelum pandemi. Prediksi pun tidak mudah dilakukan, apalagi ditambah dengan kecepatan perubahan yang bisa sangat cepat dan mendadak. Karenanya, efektivitas dari sebuah keputusan lebih penting dibandingkan kesempurnaan.

Pandemi memang belum jelas kapan berakhir, tetapi optimisme terukur harus terus  dijaga. Sangat disayangkan, jika pandemi yang telah memaksa PT mengorbankan banyak hal ini berlalu begitu saja, tanpa banyak perubahan berarti untuk lentingan lebih baik ke masa depan.

 

Referensi

Bauman, D. (2020). The pandemic has pushed hundreds of thousands of workers out of higher education. The Chronicle of Higher Education, 6 Oktober. Tersedia daring: https://www.chronicle.com/article/how-the-pandemic-has-shrunk-higher-educations-work-force

Bodin, M. (2020). University redundancies, furloughs and pay cuts might loom amid the pandemic, survey finds. Nature, 30 Juli. Tersedia daring: https://www.nature.com/articles/d41586-020-02265-w

Burke, M. (2020). Pandemic is a looming disaster for UK universities with 30,000 jobs threatened. Chemistry World, 30 April. Tersedia daring: https://www.chemistryworld.com/news/pandemic-is-a-looming-disaster-for-uk-universities-with-30000-jobs-threatened/4011632.article

Derwin, J. (2020). This is how many jobs each Australian university has cut – or plans to – in 2020. Business Insider, 18 September. Tersedia daring: https://www.businessinsider.com.au/australian-university-job-cuts-losses-tally-2020-9

Gallagher, S., & Palmer, J. (2020). The pandemic pushed universities online. The change was long overdue. Harvard Business Review, 29 September. Tersedia daring: https://hbr.org/2020/09/the-pandemic-pushed-universities-online-the-change-was-long-overdue

Hammer, M. (1990). Reengineering work: don’t automate, obliterate. Harvard Business Review68(4), 104-112. Tersedia daring: https://hbr.org/1990/07/reengineering-work-dont-automate-obliterate

Luxiana, K. M. (2020). Mahfud MD: Angka kemiskinan naik jadi 9,7% karena pandemi Covid. detikNews, 24 Oktober. Tersedia daring: https://news.detik.com/berita/d-5227270/mahfud-md-angka-kemiskinan-naik-jadi-97-karena-pandemi-covid

McKie, A. (2020). UK universities ‘face £2.6bn coronavirus hit with 30K jobs at risk’. Times Higher Education, 23 April. Tersedia daring: https://www.timeshighereducation.com/news/uk-universities-face-ps26bn-coronavirus-hit-30k-jobs-risk

The Economist (2020). From plague to penury: The pandemic is plunging millions back into extreme poverty. The Economist, 26 September. Tersedia daring: https://www.economist.com/international/2020/09/26/ the-pandemic-is-plunging-millions-back-into-extreme-poverty

Tulisan ini sudah dimuat dalam Majalah UII Business and Economic Insights, edisi November-Desember 2020.

Menyelesaikan program doktor bukanlah hal yang mudah. Tidak semua mahasiswa yang mengambil program ini bisa menyelesaikannya. Doktor adalah kaum terpelajar negeri ini yang sebagian besarnya berafiliasi di perguruan tinggi. Mereka memiliki tanggung jawab besar sebagai bagian dari besarnya gelar yang disandang. Hal inilah yang disampaikan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Fathul Wahid, Ph.D kepada 12 doktor baru yang telah menyelesaikan studinya. Mereka menamatkan studinya di berbagai kampus terkemuka di negara Belanda, Jerman, Inggris, Malaysia, dan Indonesia. Penyambutan Doktor Baru UII Tahun 2020 digelar pada hari Selasa (22/12) dan disiarkan langsung melalui kanal YouTube UII.

Fathul Wahid menyebutkan terdapat dua konsep tanggung jawab besar di bidang intelektual sesuai yang tertulis di dalam Al-Qur’an yaitu konsep ulul albab dan konsep arrosikhuna fil ilmi. Konsep ulul albab yaitu bagi orang yang akalnya berlapis-lapis (pemikiran yang tajam) dan memiliki  dua misi yaitu berdzikir dan berfikir.

“Berdzikir dapat diartikan dengan luas tidak hanya transendental kepada Allah tetapi juga horizontal sosial, peduli dengan kondisi bangsa dan negara juga bagian dari dzikir sosial. Karena dzikir artinya ingat dan ingat itu syarat untuk peduli, orang yang tidak ingat tidak mungkin peduli. Peduli pada nasib bangsa dan negara ini, mendorong jika lurus, meluruskan jika belok, ini juga tanggung jawab dzikir sosial,” terangnya.

Fathul Wahid menerangkan misi dari berpikir yang meliputi dua hal yaitu memikirkan fenomena alam dan fenomena sosial. Inilah kajian riset yang Rektor UII harap dilakukan secara istiqomah oleh para doktor. Melakukan riset sama halnya mengungkap pesan terselubung Allah, yang terselip di banyak fenomena alam dan sosial dan ilmu yang dihasilkan bisa dikatakan sebagai hidayah, dan hidayah hanya diberikan kepada yang bersungguh-sungguh.

Fathul Wahid mengungkapkan bertambahnya jumlah doktor di UII perlu disyukuri, karena data di Australia menunjukan sekitar 20 persen mahasiswa program doktoral tidak menyelesaikan studinya. Terlebih di masa pandemi semakin memburuk dan persentasenya bertambah lagi 25 persen yang dikarenakan masalah keuangan yang akut, sehingga saat ini jumlahnya menjadi 45 persen mahasiswa di Australia yang terancam tidak bisa menyelesaikan studinya.

“Data tadi pagi di pangkalan data perguruan tinggi menunjukkan bahwa dari 296.000 dosen yang terdaftar, hanya 42.825 yang bergelar doktor, artinya hanya 14,5 persen. Data di UII ada 212 yang bergelar doktor, ini sekitar 27 persen dari total dosen yang 700 lebih. Angka ini menarik karena hampir dua kali lipat rata-rata nasional, sehingga kita memang harus bersyukur sebagai warga UII dan ini tanpa kerja kolektif ibu bapak tidak mungkin dapat tercapai,” jelasnya.

Lebih lanjut, konsep yang kedua iaitu al-rasikhuna fi al-ilmi, yaitu orang-orang yang mendalam ilmunya. Doktor adalah orang yang mendalam ilmunya. Kedalaman ilmu seharusnya membimbing kepada Sang Pemilik Ilmu. Fathul Wahid mengutip Tafsir Ibnu Katsir tentang karakteristik orang yang mendalam ilmunya yaitu tawadhu’ kepada Allah, menghinakan diri di hadapan Allah untuk mendapat ridho-Nya, tidak berbesar diri terhadap orang yang berada di atasnya dan tidak merendahkan orang yang berada di bawahnya.

Ketua Bidang Pengembangan Pendidikan Pengurus Yayasan Badan Wakaf UII, Dr. Siti Anisah, S.H., M.H. berharap kepada seluruh doktor baru untuk terus menerus hadir mendampingi mahasiswa sehingga proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik. “Mohon untuk tetap mengajar, membimbing, menguji di program studi masing-masing, meski nantinya bapak dan ibu akan ada tambahan kesibukan lainnya baik dari program studi yang lebih tinggi maupun kesibukan dari luar,” ucapnya.

Pentingnya Dukungan Internal Kampus

Mewakili doktor baru UII, Dr. rer. Soc. Masduki, S.Ag., M.Si. menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang mendukung seluruh proses pendidikan doktor. Rasa syukur yang mendalam juga ia ucapkan karena dengan bersyukur maka kenikmatan yang diperoleh juga akan bertambah. “Kita bersyukur, alhamdulillah perjalanan panjang itu sudah sampai pada satu titik dan kita berterimakasih jadi ini moment thanksgiving sekali lagi untuk pimpinan universitas dan badan wakaf,” ucapnya.

Masduki menyebutkan bantuan dan support dari universitas bisa dibagi tiga. Pertama, bantuan moral (ethic) lingkungan yang mendukung bahwa seorang akademis bisa mencapai level tertinggi di UII sangat baik. Kedua, dukungan yang bersifat regulasi seperti pemberian izin bagi dosen untuk tinggal dan stay di luar negeri. Ketiga adalah dukungan yang bersifat pendanaan baik bagi penerima beasiswa dari luar UII ataupun dari dalam UII. (HA/RS/ESP)

Saya ingin menyampaikan tiga poin. Pertama, menjadi doktor adalah nikmat yang harus disyukuri, karena tidak semua yang mengambil studi doktor dapat menyelesaikannya dengan beragam alasan. Tanpa dukungan banyak pihak dan izin Allah, nampaknya menjadi doktor menjadi sesuatu di luar imajinasi.

Di Amerika Utara, tingkat kegagalan studi doktor diperkirakan mencapai 40-50% (Litalien & 2015). Di Australia, sebelum pandemi Covid-19 menyerang, sekitar 20% mahasiswa program doktor tidak menyelesaikan studinya. Ketika pandemi, mereka menghadapi masalah pendanaan akut, sebanyak 45% (dari 1.020 responden) kemungkinkan akan menghentikan studi sampai akhir tahun ini (Johnson et al., 2020).

Saya belum menemukan statistik serupa di Indonesia. Data dari internal UII, bisa memberi gambaran bahwa tidak semua menyelesaikan program yang sudah diikuti. Yang menyelesaikan pun, ada yang cepat dan ada yang mendekati tenggat.

Kedua, doktor adalah kaum elit negeri ini. Sebagian besar mereka berafiliasi dengan lembaga pendidikan tinggi. Data termutakhir di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi menunjukkan, bahwa dari 296.040 dosen, hanya 42.825 alias 14,46% yang berpendidikan doktor.

Saat ini, UII mempunyai 212 dosen bergelar doktor, atau sekitar 27,8% dari total dosen. Angka ini hampir dua kali rata-rata nasional. Sebanyak 122 dosen sedang menempuh program doktor (baik di dalam maupun di luar negeri). Jika dengan izin Allah, semuanya dapat menyelesaikan studinya, maka cacah doktor di UII akan mencapai 334 atau sekitar 44,8% (sekitar tiga kali rata-rata nasional).

Sebagai warga elit negeri ini, tanggung jawab besar juga menyertainya. Ingat kata Paman Ben kepada Peter Parker alias Spiderman 🙂 Tidak tertulis dalam kontrak legal, tetapi melekat dalam kontrak etis. Apa tanggung jawab besar tersebut? Inilah poin ketiga. Saya ingin membingkainya dengan dua konsep penting dalam Al-Qur’an.

Konsep pertama adalah ulul albab, orang yang akalnya berlapis-lapis (QS Ali Imran: 190-191). Ulul albab secara bahasa berasal dari dua kata: ulu dan al-albab. Ulu berarti ‘yang mempunyai’, sedang al albab mempunyai beragam arti. Kata ulul albab muncul sebanyak 16 kali dalam Alquran. Dalam terjemahan Indonesia, arti yang paling sering digunakan adalah ‘akal’. Karenanya, ulul albab sering diartikan dengan ‘yang mempunyai akal’ atau ‘orang yang berakal’. Al-albab berbentuk jamak dan berasal dari al-lubb. Bentuk jamak ini mengindikasikan bahwa ulul albab adalah orang yang memiliki otak berlapis-lapis alias otak yang tajam.

Ulul albab mempunyai dua misi: berzikir dan berpikir. Berzikir diartikan secara luas, tidak hanya secara vertikal transendental, tetapi juga horizontal sosial. Peduli dengan kondisi bangsa dan negara, juga bisa masuk ke dalam zikir sosial ini. Bukankah zikir berarti ingat dan ingat terkait dengan kepedulian? Orang yang tidak peduli tidak akan ingat dengan realitas yang bahkan ada di sekelilingnya.

Misi berpikir melingkupi dua hal: fenomena alam dan fenomena sosial. Inilah kajian riset, termasuk yang dilakukan secara istikamah oleh para doktor. Riset pada intinya adalah mengungkap “pesan tersembungi Allah” yang terselip di banyak fenomena alam dan sosial. Ilmu yang didapatkan dapat kita anggap sebagai hidayah. Dan hidayah, hanya diberikan kepada yang sungguh-sungguh. Inilah “jihad” dalam arti yang luas (QS Al-Ankabut: 69).

Konsep kedua adalah al-rasikhuna fi al-ilmi, orang-orang yang mendalam ilmunya (QS Ali Imran: 7). Tentu kita akan mudah sepakat kalau doktor adalah orang-orang yang mendalam ilmunya. Saya tidak menjebakkan diri dalam diskusi definisi ilmu di sana.

Yang saya pahami, kedalaman ilmu seharusnya membimbing kepada Sang Pemilik Ilmu. Kedalaman di sini hanyalah perspektif manusia. Dalam pandangan Allah, manusia tidak diberi ilmu kecuali hanya sedikit (QS Al-Isra’: 85), dibandingkan ilmu Allah yang tidak terbatas. Ilmu tersebut tidak habis ditulis jika saja air laut menjadi tinta dan pepohonan menjadi penanya. Bahkan jika dihadirkan sejumlah itu lagi (QS Luqman: 27). Metafora ini sudah cukup memberi gambaran keluasan ilmu Allah dan kekerdilan pengetahuan kita.

Bagian akhir dari tafsir Ibnu Katsir untuk ayat 7 dari Surat Ali Imran mencatat karakteristik para orang yang mendalam ilmunya (al-rasikhuna fi al-ilmi) ini: (1) tawaduk kepada Allah, (2) menghinakan diri di depan Allah untuk mendapatkan ridaNya, (3) tidak berbesar diri terhadap orang yang berada di atasnya, dan (4) tidak merendahkan orang yang berada di bawahnya.

Konsep kedua ini (ulul albab dan al-rasikhuna fil al-ilmi) berfokus kepada nilai esoteris menjadi orang dengan akal berlapis dan mempunyai ilmu yang dalam.

Semoga Allah membimbing langkah kita semua, terutama para doktor baru, untuk terus berkiprah, menebar manfaat, dan meninggalkan jejak.

Referensi
Johnson, R. L., Coleman, R. A., Batten, N. H., Hallsworth, D., & Spencer, E. E. (2020). The Quiet Crisis of PhDs and COVID-19: Reaching the financial tipping point. Research Square. doi: 10.21203/rs.3.rs-36330/v2

Litalien, D., & Guay, F. (2015). Dropout intentions in PhD studies: A comprehensive model based on interpersonal relationships and motivational resources. Contemporary Educational Psychology, 41, 218–231. doi:10.1016/j.cedpsych.2015.03.004

Sambutan pada acara Penyambutan Doktor Baru Universitas Islam Indonesia, 22 Desember 2020.

imam al ghazali - berita uii

Program Studi Ilmu Komunikasi FPSB UII melalui channel YouTube UNIICOMS TV mengadakan acara Komunikita dengan tema “Komunikasi Profetik : Prinsip Komunikasi dalam Al-Qur’an”. Program yang telah memasuki episode ke-19 ini menghadirkan narasumber salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII yaitu Dr. Subhan Afifi, M.Si.

Read more

Masa pandemi bukan berarti mengurangi aktivitas produktif. Banyak aktivitas indoor mengasyikkan yang dapat dilakukan ketika pandemi. Salah satunya kebiasaan membaca buku. Kebiasaan ini sangat baik karena tidak hanya menambah pengetahuan tapi juga memuaskan rasa ingin tahu akan topik yang menjadi minat kita. Sebagaimana dibahas oleh English Department Students Association (EDSA FPSB UII) dalam acara english junkies yang diadakan melalui Zoom. Pembicara yang hadir adalah salah satu mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI UII), Irvan Rusian.

Read more

Menjadi seorang guru adalah profesi mulia. Namun bagaimanakah cara menjadi guru sekaligus membantu orang lain dalam hal perekonomian?. Hal tersebut dibahas oleh English Department Association (EDSA), Prodi Pendidikan Bahasa Inggris PBI FPSB UII dengan mengadakan webinar bertema “Sociopreneur As An Educator”. Kegiatan yang dikemas dengan nama EDSATALK ini berlangsung secara daring dengan narasumber Wakhyu Budi Utami, S.Pd., M.App.Ling. Ia adalah seorang guru sekaligus penggerak komunitas sociopreneur.

Read more