Sarapan ternyata menjadi hal yang tidak mudah, khususnya bagi para wanita baik yang aktif sebagai ibu rumah tangga maupun menjalani karir sebagai dosen dan peneliti. Fakta ini mendorong jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII menggelar Global Women’s Breakfast (GWB) Seminar 2021. Acara tahunan dari International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC) ini berlangsung secara daring pada Selasa (9/2). Tujuannya untuk mendukung para peneliti wanita di seluruh dunia untuk tetap berkontribusi dalam pengembangan sains dan teknologi. Terdapat 371 titik di berbagai belahan dunia yang juga serempak menggelar acara ini mulai dari New Zealand dan berakhir di Hawai.

Read more

Akhir-akhir ini, nampaknya para intelektual, dan bisa jadi termasuk kita, semakin takut menyuarakan kebenaran. Meskipun antena intelektual kita masih sensitif menangkap sinyal ketidakberesan, tetapi melantangkan pesan secara lugas semakin berisiko.

Menjalankan perintah bagian hadis “qul al-haqq walau kāna murran”[i] (katakanlah kebenaran meskipun itu pahit) nampaknya tidak semudah menghapalkannya. Sebagian besar dari kita sejak kecil nampaknya sudah hapal potongan hadis ini.

Bisa jadi kesimpulan ini bisa jadi salah dan tidak komprehensif. Tapi fakta di lapangan nampaknya mendukungnya.

Karenanya, menjalankan peran sebagai intelektual yang tidak hanya menekuni ilmunya tetapi juga punya kepedulian yang tinggi terhadap masalah bangsa dan negara, semakin menantang. Konsistensi diperlukan di sini.

Tiga hal berikut, nampaknya bisa menjadi pelajaran bersama.

Pertama, saya mengamati, Prof. Ni’mah, demikian kami memanggil (Prof. Ni’matul Huda) sudah terbukti menunjukkan konsistensi. Saya tahu, melakukannya tidak selalu mudah dan bukan tanpa risiko. Kasus teror yang pernah dialamatkan kepada beliau, cukup untuk menjadi bukti yang agak sulit dihapus dari memori kolektif kita.

Saya berdoa, semoga Allah selalu memudahkan dalam semua ikhtiar yang beliau lakukan untuk mengawal negara ini tetap berjalan di atas relnya sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri. Semoga Prof. Ni’mah tetap istikamah.

Kedua, saya juga melihat, Prof. Ni’mah juga mempunyai gayanya sendiri dalam “meniup peluit” sehingga pesan tetap sampai dan yang mendengarkannya tidak merasa sangat terganggu. Salah satunya, nampaknya, karena pendekatan akademik yang dijaga dan dibarengi dengan menjaga kedekatan dengan banyak aktor, tetapi tetap kalis dari kepentingan sesaat. Prof. Ni’mah sangat konsisten mendokumentasikan pemikirannya dalam bentuk buku dan aktif menjadi pembicara di banyak forum yang sesuai dengan bidang keahliannya.

Dalam konteks ini, memastikan bahwa hati nurani tetap hidup dan terjaga sangat penting. Saat ini, tantangannya semakin berat dan sampai level tertentu, kian menakutkan.

Yang menakutkan tidak hanya oknum penguasa yang mungkin lupa asalnya, tetapi juga para pemuja oknum tersebut. Yang pertama kadang jumawa di depan rakyatnya yang seharusnya dilindungi dan dilayaninya, yang kedua, jika tidak segera insaf, akan menjadi anasir jahat yang terus merusak tenun kebangsaan.

Hati nurani yang hidup mungkin bisa menghalau atau mengurangi ketakutan yang mungkin hinggap.

Ini mirip dengan ikan hidup yang berenang di laut. Meskipun air laut asin, tetapi ikan yang hidup tidak menjadi asin. Ikan terpengaruh menjadi asin, hanya ketika sudah mati. Demikian juga halnya, jika hati nurani sudah mati.

Ketiga, pilihan sikap menjaga nurani tetap menyala dan menjaga hubungan dengan penguasa, memerlukan kapasitas personal yang lebih dari cukup. Di samping itu, perlu keberanian bersikap yang sangat mudah disalahpahami. Dalam hal ini, Prof. Ni’mah memberi contoh dengan sangat baik.

Ini mungkin mirip dengan konsep “jalan ketiga” yang diperkenalkan dan ditapaki oleh mendiang Prof. Cornelis Lay, meski dalam suasana dan intensitas yang berbeda. Jalan ini merupakan ikhtiar menyatukan kekuasaan (termasuk kedekatan dengan kekuasaan) dan nilai-nilai kemanusiaan.

Penilaian saya bisa jadi salah, tetapi dengan mengungkapkannya secara terbuka, Prof. Ni’mah akan tahu, kata mata apa yang saya pakai untuk melihat beliau. Beliau bisa meluruskan, jika ada yang kurang pas.

Prof. Ni’mah, tetaplah istikamah dan teruslah menginspirasi. Semoga Allah selalui meridai dan memudahkan langkah.

Terakhir, mari kita terus berdoa bersama untuk kebaikan bangsa dan negara kita, yang tidak lama lagi agak berusia 100 tahun.

Jangan sampai kita lelah mencintai bangsa dan negara ini. Kita dorong terus jika sudah di jalan yang lurus, dan kita ingatkan dengan cara-cara yang elegan dan konstitusional jika keluar dari rel konstitusional yang sudah disepakati.

Ini seharusnya menjadi kerja kolektif semua anak bangsa yang sepakat dengan visi serupa. Sekali lagi, semua ini perlu kita lakukan, bukan karena kebencian kita kepada orang, kelompok, atau partai tertentu, tetapi karena kecintaan dan kerinduan untuk menyaksikan Indonesia masa depan yang lebih demokratis, sejahtera, berkeadilan, dan bermartabat.

[i] Hadis ini yang diriwayatkan oleh Abu Dzarr dan shahih menurut Ibu Hibban merupakan potongan hadis yang panjang (Bulūgh al-Marām:888).

 

Sambutan pada acara peluncuran buku dan peringatan 30 tahun pengabdian Prof. Ni’matul Huda yang diselenggarakan oleh PSHK FH UII, 10 Februari 2021.

Setelah berhasil memenangkan kompetisi bisnis menggunakan MonsoonSIM pada akhir tahun 2020, pada awal tahun 2021 tim mahasiswa Program Studi Akuntansi Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menorehkan prestasi gemilang. Di kala pandemi masih belum berakhir, tim mahasiswa UII berhasil meraih juara satu pada kompetisi tahunan Enterprise Resource Planning Simulation (ERPsim) Competition Asia Pasific Japan Cup 2020 yang diselenggarakan oleh SAP University Alliance Asia Pacific Japan pada 28 Januari – 5 Februari 2021.

Read more

Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH UII menyelenggarakan diskusi daring dengan tema “Mengenal Mahkamah Pelayaran Nasional”. Acara yang diadakan bersama Forum Silaturahmi Advokat Alumni (FSAA) FH UII ini menghadirkan dua pemateri. Mereka yakni Peni Pudji Turyani, M.H. (Mantan Ketua Mahkamah Pelayaran) dan Asril Pasaribu, S.H. (Mantan Hakim Mahkamah Pelayaran).

Read more

Kegiatan tahunan Global Women’s Breakfast (GWB) yang diselenggarakan serentak di banyak belahan dunia oleh IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemistry) dan para mitranya selalu menarik, karena beberapa alasan. Pertama, meskipun diberi judul kasual, sarapan pagi, acaranya masih bersifat ilmiah. Mungkin GWB bisa kita semua sebut sarapan pagi ilmiah. Kedua, seperti namanya, acara ini digagas dan dikawal oleh para perempuan yang aktif di bidang sains, terutama kimia.

Salah satu Acara GWB2021 di Indonesia digelar oleh Jurusan Kimia, Universitas Islam Indonesia.

Saat ini, perempuan mewakili hampir separuh penduduk bumi. Data mutakhir yang dapat diakses berstempel waktu 2019, menunjukkan bahwa 49,6% populasi dunia adalah perempuan. Angka rasio jenis kelamin (sex ratio), perbandingan cacah laki-laki untuk setiap perempuan, adalah 1,01. Tentu, ada perbedaan untuk setiap negara. Kasus terekstrem adalah Djibouti dengan rasio jenis kelamin 0,83 (lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki) dan Qatar 3,39 (untuk setiap perempuan, terdapat 3,39 laki-laki).

Di Indonesia, menurut Sensus Penduduk 2020, rasio jenis kelaminnya adalah 1,02. Dari 270,2 juta jiwa, sebanyak 50,58% (136,66 juta jiwa) adalah laki-laki, dan sisanya (49,42%; 133,54 juta) adalah perempuan.

Rasio jenis kelamin untuk semua negara, termasuk Qatar, ketika bayi lahir mendekati 1,0 (antara 0,94 sampai 1,11). Namun, sejalan dengan kelompok umur, rasio jenis kelamin cenderung mengecil, alias semakin banyak perempuan, karena usia harapan hidup perempuan (75,6 tahun) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (70,8 tahun).

Meskipun demikian, beragam sumber menunjukkan bahwa perempuan tidak mempunyai akses yang serupa dengan mitranya, laki-laki. Perempuan dianggap terpinggirkan di banyak konteks, termasuk politik, ekonomi, dan sains, untuk menyebut beberapa saja. Sebagai contoh, data dari Institute for Statistics UNESCO pada 2019, rata-rata proporsi perempuan periset di seluruh dunia hanya 29,3%. Tentu, terdapat perbedaan antarkawasan, negara, dan disiplin.

Proporsi terbesar ditemukan di Asia Tengah (Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan), sebesar 48,2%. Yang menarik, proporsi perempuan periset di negara-negara Arab (41,5%) lebih tinggi dibandingkan, misalnya, dengan Eropa Tengah dan Timur (39,3%) dan Amerika Utara dan Eropa Barat (32,7%). Proporsi ini didasarkan pada cacah orang yang bekerja di bidang riset dan pengembangan (research and development).

Sayang data serupa untuk konteks Indonesia tidak tersedia. Tapi, mari, kita dekati dengan cara lain. Kita anggap perguruan tinggi adalah representasi lembaga ilmiah. Sampai akhir 2019, proporsi perempuan dosen di lebih dari 4.500 perguruan tinggi di Indonesia adalah 43,6%. Data dari Universitas Islam Indonesia memberikan angka serupa: 43,2%. Apakah ini bagus atau kurang bagus? Kita bisa diskusikan.

Terlepas dari beragam interpretasi yang muncul, nampaknya tidak sulit untuk bersepakat bahwa peran perempuan dalam pengembangan sains sangat penting dan tidak mungkin diabaikan. Angka ini juga mengindikasikan ada ruang akses yang serupa di pendidikan tinggi. Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2019) mengkonfirmasi hal ini. Proporsi mahasiswa perempuan di Indonesia adalah 51,2%. Meski, lagi-lagi, sebarannya bisa beragam antarwilayah dan antardisiplin.

Ada temuan menarik yang ingin saya bagi di sini. Apakah nilai masyarakat mempengaruhi? Saya ambil data khusus dari Sumatera Barat, rumah suku Minangkabau yang menggunakan sistem matrilineal dalam masyarakatnya. Proporsi perempuan dosen di sana lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional, yaitu 54,11%. Dengan data ini, kita bisa berhipotesis bahwa sikap kita dalam memandang dan menempatkan perempuan, sangat mungkin mempunyai imbas besar dalam masyarakat. Tentu, riset yang lebih sistematis diperlukan untuk membuktikannya.

Sari sambutan pada Global Women’s Breakfast 2021 (GWB2021) yang diselenggarakan oleh Jurusan Kimia, Universitas Islam Indonesia, 9 Februari 2021.

Perdebatan mengenai vaksinasi di lini masa akhir-akhir ini sering menimbulkan pro dan kontra di berbagai lapisan masyarakat. Alih-alih memberikan solusi pada penyelesaian pandemi, kegaduhan yang ditimbulkan pada akhirnya hanya berujung pada debat kusir dan menjadi bola liar di media sosial. Menyikapi hal ini, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII memberikan ruang diskusi kepada mahasiswa dan masyarakat luas dalam acara bertajuk “Ada Apa Dengan Vaksin?” pada Minggu (7/2).

Read more

Ustadz Ir. Nanung Danar Dono, S.Pt., M.P., Ph.D., IPM., ASEAN Eng., Auditor Halal Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM UII) Yogyakarta turut menyoroti pihak-pihak yang menentang keberadaan vaksin Covid-19. Terlebih spekulasi yang menyebut haram karena vaksin berasal dari babi. Karenanya penting untuk berhati-hati terhadap informasi, senantiasa tabayyun akan kebenaran informasi sebelum menyebarkan pada orang lain.

Read more

Sejarah dan semangat pendirian Universitas Islam Indonesia (UII) oleh para tokoh perjuangan nasional menginspirasi Suyanto, S.Ag., M.Si., M.Pd., Pengasuh Pondok Pesantren Putra UII dalam meraih gelar doktor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di hadapan dewan penguji dalam sidang promosi doktor yang dilaksanakan di Gedung Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, pada hari Rabu (27/1), Suyanto berhasil mempertahankan disertasi berjudul “Dinamika dan Strategi Penguatan Identitas Keislaman”.

Read more

Sukses Berkarir Sesuai Syariat Islam

Setiap tahun Universitas Islam Indonesia (UII) memberi kesempatan mahasiswanya untuk mendapatkan beasiswa. Beasiswa yang didapatkan beragam tergantung program yang diikuti. Mulai dari potongan SPP, hingga kuliah gratis sampai lulus dan uang saku ratusan ribu per bulan. Hal ini pun menjawab image yang kerap terdengar jika kuliah di UII mahal. Banyak mahasiswa yang sudah membuktikan jika bisa kuliah di kampus akreditasi A tanpa uang sepeserpun alias gratis. Caranya bagaimana? Tentunya dengan prestasi. Mulai dari IPK tertinggi di Program Studi/Fakultas, hafal Alquran, atlet seni, unggulan, pesantren UII, dan masih banyak lainnya baik dari internal yayasan juga eksternal.

Read more

Diskusi terkait generasi yang hilang (lost generation) dimulai ketika UNICEF menjelang peringatan Hari Anak Sedunia, pada 11 November 2020 menerbitkan sebuah laporan global yang diberi bingkai “Averting a Lost COVID Generation” (UNICEF, 2020). Laporan tersebut berisi usulan besar yang harus menjadi kerja kolektif untuk merespons, memulihkan, dan mengimaji ulang dunia bakda pandemi yang ramah bagi anak-anak. Secara umum, usulan mitigasi tersebut terkait dengan pendidikan, kesehatan, kesenjangan digital, dan kemiskinan. Laporan tersebut memantik diskusi lanjutan di banyak negara, termasuk di Indonesia.

Ini bukan masalah ketika masa pandemi saja, tetapi terkait masa depan sebuah bangsa. Jika kekhawatiran generasi yang hilang menjadi nyata, maka akan terlihat dalam beberapa tahun ke depan. Pandemi bisa jadi hanya memperburuk keadaaan, karena di banyak belahan dunia, nasib anak-anak memang belum membaik. Sebabnya beragam, termasuk konflik yang tidak berkesudahan dan kemiskinan.

 

Lapangan permainan yang tidak rata

Data yang dikumpulkan oleh UNICEF (2020) menunjukkan bahwa bahwa dampak pandemi di negara dengan tingkat ekonomi secara umum lebih parah dibandingkan negara kaya. Disparitas ini yang menjadikan dunia menjadi lapangan permainan yang tidak rata (unlevelled playing field), untuk semua warganya.

Di Indonesia, kasusnya tidak berbeda jauh. Isu disparitas antarwilayah dan antarkelompok masyarakat sudah lama menghiasi diskusi terkait dengan strategi pembangunan. Bisa jadi pendekatan efek tetesan ke bawah (trickle down effect) yang gagal di masa lampau mempunyai andil munculnya disparitas tersebut.

Disparitas di berbagai bidang adalah fakta sosial yang masih aktual di Indonesia. Disparitas tersebut membesar saat ini, karena pendemi ini telah memberikan dampak yang lebih dahsyat kepada golongan rentan: tidak beruntung secara ekonomi dan keterbatasan akses ke banyak layanan (termasuk pendidikan dan kesehatan).

Pandemi telah mengubah cara hidup secara drastis. Dengan teknologi informasi (TI), misalnya, cara hidup tersebut menemukan bentuknya yang baru. Tetapi masalah muncul, selain TI tidak dapat mengantikan semua aktivitas luring, akses terhadap TI juga timpang.

Beragam inovasi dilakukan untuk memanfaatkan TI untuk mendukung beragam aktivitas semaksimal mungkin, Meski tidak sulit untuk bersepakat, masih banyak cacatan dan pertanyaan yang belum terjawab. Ketimpangan juga diupayakan untuk dikurangi. Namun untuk yang ini, kompleksitasnya jauh lebih tinggi dan tidak bisa dijalankan serta merta dalam waktu yang singkat.

Sebagian kelompok masyarakat dapat dengan mudah menanggung biasa perpindahan (switching cost), tetapi sebagian lainnya tidak demikian.

Anak-anak (baca: manusia yang belum mandiri) dari keluarga yang kurang beruntung inilah yang membutuhkan perhatian lebih. Perbedaan curam ini perlu masuk dalam radar ketika diskusi.

 

Strategi besar

Untuk merespons realitas di atas terkait risiko generasi yang hilang, paling tidak ada tiga strategi besar untuk konteks Indonesia, yang dapat memantik diskusi lebih mendalam.

Pertama, mengelola ekspektasi kolektif. Situasi pandemi berbeda dengan ketika normal. Kenyataan saat mungkin berbeda dengan beragam asumsi yang biasaya mendasari keputusan dan kebijakan sebelum pandemi menyerang. Karenanya kita perlu menyinkronkan perspektif dalam melihat realitas. Hal ini penting untuk menjalin kesejalanan langkah kolektif semua komponen bangsa.

Misalnya, di situasi seperti ini, apakah kita harus terburu-buru membuka sekolah atau perguruan tinggi, ataukah menunggu waktu yang tepat? Atau apakah pembatasan mobilitas fisik warga dijalankan dengan ketat dengan mengabaikan sepenuhnya aktivitas ekonomi? Menemukan takaran yang pas diperlukan dan perlu dikawal dengan konsisten. Sangat mungkin tidak memuaskan semua orang.

Menentukan prioritas menjadi sangat penting. Dalam konteks pendidikan anak-anak, misalnya, penyederhaan konten pembelajaran dan fokus pada yang pokok perlu dilakukan, termasuk strategi pembelajarannya. Memindah pembelajaran luring ke daring dengan durasi dan gaya yang sama, bisa jadi tidak menyelesaikan masalah. Selain ada variasi kesiapan, juga ada aspek psikologis yang perlu dipertimbangkan.

Ruang toleransi karenanya perlu disepakati. Pilihan saat ini tidak banyak. Di sini, sangat mungkin ada pengorbanan yang harus dilakukan, tetapi semuanya untuk kebaikan yang lebih besar. Di sinilah pentingnya mengelola ekspektasi kolektif. Tanpa ini, akan sangat sulit mengelola perbedaan kepentingan yang ada.

Kedua, menyesuaikan diri dengan tatatan baru. Di sini, Variasi konteks memerlukan keragaman adaptasi, sehingga tidak ada solusi “gebyah uyah” atau seragam untuk semua. Komunikasi yang baik pun dikembangkan.

Dalam konteks pendidikan, misalnya, inovasi penggunaan TI perlu terus diikhtiarkan. Tidak sulit untuk bersepakat bahwa pendidikan tidak hanya transfer ilmu atau ketrampilan, tetapi lebih penting, adalah transfer nilai atau pembentukan karakter. Pertanyaan ini menjadi penting dicarikan jawabnya: dalam situasi ketika pilihan tidak banyak. apakah transfer nilai bisa difasilitasi TI?

Jika poin di atas disepakati, investai TI perlu diupayakan. Tidak selalu mudah untuk semua lembaga atau warga. Inovasi lain bisa menggantikan atau melengkapi jika dibutuhkan, seperti teknologi radio dan teknologi ugahari lainnya.

Tidak kalang penting, dalam konteks ini adalah upaya kolektif mengembangkan budaya digital. Bisa jadi budaya baru ini menjadi permanen, hidup berdampingan dengan budaya lama. Dalam konteks pendidikan tinggi, penggunaan TI, ini bisa mempercepat demokratisasi pendidikan, meningkatkan angka partisipasi kasar (APK), dan memfasilitasi pembelajaran sepanjang hayat.

Ketiga, melandaikan lapangan permainan. Ketimpangan yang ada perlu dikurangi, jika tidak mungkin dihilangkan. Di sini, negara harus hadir. Negara perlu memastikan kesejalanan dengan aktor lain, jika kapasitasnya terbatas. Orkestrator yang ulung dan mumpuni diperlukan di sini.

Setiap kebijakan yang diambilpun perlu dipikirkan hati-hati dan dengan kejujuran tingkat tinggi, sehingga publik dapat ikut “memikirkan”. Jangan sampai ada kebijakan dengan motif tersembunyi yang menguntungkan sebagian kelompok kecil warga. Kebijakan harus ramah untuk sebanyak mungkin warga, jika ke semuanya tidak mungkin dilakukan. Kelompok yang terakhir ini perlu juga dipikirkan program intervensi khususnya.

Bisa jadi kebijakan yang  dikeluarkan tidak bersifat tunggal untuk seluruh warga, tapi ada ruang kontekstualisasi. Indonesia sangat luas dan beragam. Ruang inovasi sampai level tertentu harus dimungkinkan.

Misalnya, ketika pembatasan mobilitas dilakukan, warga dan termasuk UMKM yang rentan, perlu ditingkatkan kemampuan belinya atau dicukupi kebutuhannya. Di sektor pendidikan, sebagai contoh lain, bantuan lain kepada sekolah mungkin juga perlu dipikirkan untuk memitigasi kehilangan pembelajaran (learning loss).

Program intervensi tersebut tidak selalu mudah dan murah. Tetapi, ini penting untuk melendaikan lapangan permainan.

 

Referensi

UNICEF (2020). Averting a Lost COVID Generation. New York, NY: UNICEF.

 

Elaborasi ringan dari paparan di Zoominar bertema “Mengantisipasi Lost Generation Akibat Pandemi” yang diselenggarakan oleh SeICMI DIY, MW KAHMI DIY, KB PII Jogja Besar, dan LesPK pada 6 Februari 2021.