Pusat Studi HAM (Pusham) Universitas Islam Indonesia (UII) meluncurkan buku bertajuk “Metodologi Hukum Hak Asasi Manusia: Nalar, Praktik, dan Tantangannya dalam Sistem Peradilan di Indonesia” pada Selasa (12/12) di The Alana Yogyakarta Hotel & Convention Center. Hadirnya buku ini diharapkan dapat mengembangkan diskursus tentang hukum hak asasi manusia. Read more

Dalam mempererat jalinan relasi kemitraan dan alumni, Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menyelenggarakan Jumpa Mitra dan Alumni bertempat di Ballroom Kasultanan, Hotel Royal Ambarrukmo, Yogyakarta, pada Sabtu (9/12). Tidak kurang dari 80 mitra dan alumni menghadiri kegiatan rutin tahunan tersebut, meliputi sesi paparan implementasi kerja sama, kealumnian, serta diskusi bersama mitra dan alumni.

Hingga kini, UII menjalin 229 kerja sama, baik domestik maupun mancanegara. Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D., mengungkapkan rasa syukur atas kerja sama yang dijalankan secara produktif selama 2023. “Kita maju bersama. Dan kami berharap, ikhtiar kolektif tersebut akan berlanjut di tahun-tahun mendatang. Untuk itu, sekali lagi kami ucapkan terima kasih. Kami hari ini patut berbangga karena punya kawan banyak,” ucapnya.

Menurut Prof. Fathul, apabila hendak pergi cepat, maka dapat pergi sendiri. Namun mengingat UII yang bertekad pergi lebih jauh, maka kemitraan menjadi bagian penting dari perjalanan tersebut. “Insyaallah banyak hal yang sudah kita jalankan bersama, dan masih banyak pekerjaan rumah yang masih bisa kita tuntaskan bersama-sama ke depan,” sebutnya.

Mengenai progres implementasi kerja sama, Ia menyampaikan bahwa UII  mendapat dukungan penuh dari berbagai pihak, termasuk Direktorat Kemitraan/Kantor Urusan Internasional (DK/KUI), Direktorat Pengembangan Karier & Alumni (DPKA), hingga Pengurus Yayasan Badan Wakaf (YBW) UII.

“Alhamdulillah, hubungan kami baik sekali. Ini hal yang sangat baik. Sehingga, program-program besar, program-program baik selalu didukung oleh Pengurus Yayasan Badan Wakaf dan itu bagi kami adalah modal yang sangat, sangat penting,” ungkapnya.

Meskipun pandemi sempat memperlambat perkembangan institusi, namun situasi demikian tidak menghentikan perkembangan UII. Di samping mitra, dukungan juga hadir dari alumni melalui Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Keluarga Alumni (IKA) UII maupun jejaringnya di tingkat DPW (Dewan Pimpinan Wilayah) dan DPD (Dewan Pimpinan Daerah).

“Sampai hari ini, sudah ada 30 DPW yang tersebar di seluruh Indonesia. Sudah ada juga di 37 kabupaten/kota, dan sudah terbentuk 8 IKA program studi. Termasuk juga ada DPW khusus, salah satunya ada di Australia. Dan kita berharap ke depan semakin banyak yang akan dibentuk, termasuk juga di wilayah Eropa. Karena alumni kami menyebar tidak hanya di pojok-pojok tanah air, tetapi juga sampai ke mancanegara,” terangnya.

Prof. Fathul berharap diskusi kerja sama tersebut dapat memberi kebermanfaatan dan keberkahan, baik bagi UII, mitra, maupun alumni. “Bisa memberikan masukan kepada kami. Apa hal-hal yang mungkin kita elaborasi ke depannya, apa poin-poin yang mungkin kita tingkatkan di masa mendatang, dan apa catatan-catatan yang ibu bapak berikan kepada kami untuk menjadi lebih baik di masa depan,” pungkasnya.

Potret Capaian Kemitraan UII

Di kesempatan yang sama, Wakil Rektor Bidang Kemitraan dan Kewirausahaan UII, Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D., memaparkan laporan implementasi kerja sama UII untuk tahun 2023 yang didasarkan pada Catur Dharma, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat, serta dakwah Islamiyah yang merujuk pada Rencana Strategis (Renstra) Periode 2022-2026, utamanya Tujuan Strategis Nomor 3, yakni “Pelebatan manfaat melalui perluasan jangkauan jejaring dan peningkatan dampak.”

Sampai sekarang, terdapat 180 perjanjian kerja sama melalui Memorandum of Understanding (MoU) dengan mitra domestik, namun yang dilanjutkan dengan Memorandum of Agreement (MoA) hanya berkisar 30 atau 17%. Hal demikian cukup timpang dengan kerja sama internasional yang berjumlah 49 dengan MoA yang berjumlah 25 atau 51%.

“Karena yang hadir di sini ini adalah mitra-mitra domestik, kami berharap kita bisa memikirkan lebih lanjut kira-kira apa sih aktivitas yang nanti bisa direalisasikan, sehingga perjanjian kerja sama ini bisa kemudian meningkat implementasinya,” harapnya.

Lebih lanjut, UII juga aktif dalam kemitraan konsorsium nasional, seperti Aptisi (Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia) Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), BKSPTIS (Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia), serta NUNI (Nationwide University Network in Indonesia atau Jejaring Perguruan Tinggi Nusantara).

Mendorong Upaya Internasionalisasi

UII pula terlibat dalam sejumlah konsorsium internasional, termasuk Passage 2 ASEAN (P2A), ASEAN Sandbox Conference, ASEAN School of Business Forum, SEAMEO (Southeast Asian Ministers of Education Organizations), hingga berbagai proyek Erasmus yang didanai Komisi Eropa (European Commission).

“Contoh misalnya ada salah satu proyek Erasmus bernama Erasmus+ BUiLD (Building Universities in Leading Disaster Resilience), jadi menguatkan universitas dalam konteks kebencanaan. Itu ada 7 universitas di Indonesia ditambah dengan 4 di Eropa. Jadi sekali proyek berjalan selama 3-4 tahun, itu ada lebih dari 10 universitas bergabung di situ,” ujarnya.

Mengenai implementasi mobilitas internasional, UII cukup berpartisipasi aktif melalui program singkat (short program), pengelolaan 19 program gelar ganda (double degree) bersama universitas mitra, maupun transfer kredit. Selain itu, UII juga ikut dalam kegiatan SEA-Teacher (program pertukaran internasional untuk mengajar di sekolah mitra) maupun transfer kredit melalui ICT (International Credit Transfer) serta IISMA (Indonesian International Student Mobility Awards).

“Dari data yang kami peroleh, tahun ini total jumlah awardees (IISMA) dari UII ini ada 48, total sejak 3 tahun yang lalu. Kemudian ada 14 negara yang menjadi negara tujuan, dan jumlah Prodi-nya ada 13,” jelasnya.

 

Selain program jangka pendek, guna mendorong internasionalisasi, ditawarkan pula program gelar penuh (full degree) bagi mahasiswa asing untuk studi di UII, utamanya melalui program FGLS (Future Global Leaders Scholarships) serta KNB (Kemitraan Negara Berkembang) yang merupakan beasiswa dari Pemerintah Indonesia. Saat ini, sejumlah 135 mahasiswa internasional dari 24 negara berkuliah di UII.

Ke depan, pengembangan sistem informasi melalui layanan UIIGateway juga akan dijajaki guna mendukung rencana dan implementasi kerja sama di UII. “Cukup banyak. Yang ingin saya fokuskan di sini ada dua. UIIMobilitas, yaitu manajemen mobilitas sivitas akademika UII secara internasional, kemudian UIIKemitraan ini sedang dalam proses yang itu nanti akan merapikan pengelolaan kemitraan di UII,” pungkasnya. (JRM/RS)

Atas nama UII, saya menyambut baik penulisan dan penerbitan buku berjudul Metodologi Hukum Hak Asasi Manusia: Nalar, Praktik, dan Tantangannya dalam Sistem Peradilan Indonesia yang diluncurkan dan didiskusikan hari ini. Saya juga ingin mengajak semua hadirin untuk memberikan apresiasi yang tinggi kepada ikhtiar kolektif ini, yang melibatkan penulis lintas lembaga dan dengan dukungan penuh dari The Norwegian Center for Human Rights (NCHR) atau Norsksenter for menneskerettigheter, Universitas Oslo.

Kita semua berharap, kehadiran buku langka ini akan menjadi referensi bermakna untuk pembaruan hukum di tanah air, terutama terkait inklusi hukum hak asasi manusia dalam sistem peradilan di Indonesia.

 

Hukum kontekstual

Saya harus melakukan pengakuan di depan. Latar belakang saya sama sekali tidak terkait dengan hukum.

Saya diberi buku yang akan diluncurkan beberapa waktu lalu. Tentu, saya menyambutnya dengan antusias dan memulai membacanya. Paling tidak sebagian isi buku. Bagian epilog yang ditulis oleh Bapak Andriaan Bedner pun saya baca. Meski tidak dapat mencerna semua poin, saya sebagai orang awam hukum, menangkap banyak poin penting.

Saya pun akhirnya teringat kisah Nenek Minah yang terjadi 14 tahun lalu, pada 2009.

Nenek Minah, pada saat itu, selepas memanen kedelai di Perkebunan Rumpun Sari Antan (RSA), Purwokerto. Dalam perjalanan pulang melihat kakao matang di perkebuan tempat ia bekerja, dan dia ingin memetiknya. Tiga buah kakao dipetiknya dan diletakkan di bawah pohon.

Dia ingin mengambil biji kakao untuk disemai di kebunnya sendiri. Mandor perkebunan memergokinya. Nenek Minah langsung meminta maaf dan menyerahkan ketiga kakao tadi.

Sekitar seminggu kemudian, Nenek Minah menerima surat panggilan dari kepolisian atas dugaan pencurian. Proses hukum pun bergulir.

Akhirnya Nenek Minah dijatuhi hukuman 1 bulan 15 hari karena mencuri 3 buah kakao seberat 3 kg seharga Rp6.000, meski dia tak perlu menjalani hukuman itu, dengan catatan tidak melakukan tindak pidana lain selama masa percobaan tiga bulan.

Tentu, di luar kapasitas saya untuk membahas kasus ini lebih lanjut. Namun, hati nurani saya melihat ada yang “aneh” dalam kasus tersebut. Apalagi jika dikaitkan dengan kasus-kasus besar lain, seperti korupsi.

Sekilas saya lacak latar belakang Nenek Minah. Dia miskin. Untuk ongkos perjalanan menghidiri sidang dengan biaya ojek dan angkutan umum Rp50.000 juga sangat berat.

Banyak pertanyaan yang muncul di benak saya: Apakah itu yang dinamakan keadilan? Apakah hukum memang harus saklek atau kaku tanpa melihat konteks? Ataukah ada perspektif lain?

 

Tirani meritokrasi

Pekan lalu, oleh seorang kawan, saya diberi hadiah sebuah buku, berjudul The Tyranny of Merit. Penulisnya Michael J. Sandel, profesor di Harvard Law School.

Pesan besar yang diusung oleh buku ini adalah, bahwa ketika kesenjangan atau ketimpangan masih ada dan apalagi tajam, prinsip meritokrasi hanya akan mendemoralisasi atau melemahkan semangat mereka yang tertinggal.

Dalam tafsiran sederhana saya, jika hak-hak dasar manusia atau warga negara belum bisa terpenuhi maka maka lapangan permainan tidak akan menjadi landai. Akibatnya, dapat dipastikan jika ada kompetisi atau tuntutan untuk patuh kepada standar tertentu, ada pihak yang merasa diuntungkan. Iklusivitas dan keadilan kemudian dipertanyakan.

Apakah mungkin ini juga berlaku dalam hukum? Saya dengar jika dalam hukum juga ada pilitik. Pembentukan hukum sebagai “standar” bersama, juga katanya tidak selalu kalis dari kepentingan. Ada potensi hak-hak dasar manusia diabaikan.

Jika ini benar, maka paling tidak sebagian hukum positif yang berlaku mengandung ruh ketimpangan. Apakah mungkin meritokrasi dalam konteks kesetaraan di depan hukum masih valid?

Saya tidak akan masuk lebih dalam, karena di luar kapasitas saya. Saya menyerahkan kepada ahlinya untuk mendiskusikannya.

 

Epilog

Sebelum mengakhiri sambutan. Izinkan saya, atas nama UII, khusunya Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PusHAM) UII, dalam kesempatan baik ini menyampaikan terima kasih kepada Direktur The Norwegian Center for Human Rights (NCHR), Oslo University, Norway, diwakili oleh Aksel Tømte.

NCHR sudah memberi dukungan yang luar biasa kepada PusHAM UII sejak 2006 sampai saat ini, dan hanya mengalami hiatus selama dua tahun pada 2017-2018. Selama periode kerja sama tersebut, NCHR sudah mengucurkan dana sekitar Rp36 miliar untuk beragam program bersama.

Sampai saat ini, lebih dari 350 dosen dari seluruh Indonesia telah menjadi alumni pelatihan Hukum HAM yang diselenggarakan oleh PusHAM UII. Buku yang diluncurkan secara terbuka hari ini adalah yang ke-9 dengan dukungan penuh dari NCHR.

UII juga mengucapkan terima kasih kepada Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung yang telah memberikan ruang sangat besar kepada PusHAM UII untuk belajar dan berkontribusi melalui Badan Litbangdiklatkumdil Mahkamah Agung. Insyaallah, kontribusi tersebut terus menempa dan memantapkan posisi PusHAM UII sebagai bagian institusi pembaru hukum di Indonesia.

Terima kasih sekali lagi saya sampaikan kepada semua narasumber, penulis buku, pembahas, dan hadirin sekalin. Selamat berdiskusi.

 

Referensi

Sandel, M. J. (2020). The tyranny of merit: What’s become of the common good?. Penguin UK.

Sambutan pada peluncuran buku Metodologi Hukum Hak Asasi Manusia: Nalar, Praktik, dan Tantangannya dalam Sistem Peradilan Indonesia pada 12 Desember 2023.

Universitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas Medan Area (UMA) melaksanakan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama dalam rangka perluasan kerja sama di bidang arsitektur, bisnis dan ekonomi. Penandatanganan MoU digelar pada Kamis (7/12) di Gedung Prof. Dr. Sardjito Kampus Terpadu UII.

Kerja sama ini dilakukan antara pihak UMA dengan Inkubasi Bisnis dan Inovasi Bersama (IBISMA)/Direktorat Pembinaan dan Pengembangan Kewirausahaan Simpul Tumbuh UII, serta Program Studi Arsitektur UII, dalam rangka meningkatkan wawasan di bidang terkait bagi kedua belah pihak.

Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., berharap kerja sama dapat berdampak positif bagi masyarakat luas. “Ini membuat kami berbahagia karena kami percaya kalau ikhtiar positif dari kedua belah pihak akan berdampak positif bagi masyarakat luas, tidak hanya bagi kedua perguruan tinggi tapi juga masyarakat yang lebih luas lagi,” jelas Prof. Fathul Wahid.

Lebih lanjut Prof. Fathul Wahid menyampaikan komitmennya terhadap kerja sama yang terjalin agar dapat dimanfaatkan dengan baik oleh sivitas akademika di masing-masing kampus. “Kami berharap semoga yang terbaik, kerja sama yang bermanfaat nanti akan diisi dengan aktivitas-aktivitas bermakna untuk kedua belah pihak, yang melibatkan semua warga, baik dosen maupun mahasiswa,” harapnya.

Senada, Rektor UMA Prof. Dr. Dadan Ramdan, M.Eng, M.Sc., dalam sambutannya memberikan respons baik terjalinnya kerja sama dengan UII. “Inti dari kerja sama ke depan ingin berubah dengan serius, di mana kami memiliki banyak MoU yang implementasinya terkadang terkendala,” tutur  Prof. Dr. Dadan Ramdan. (JR/RS)

Dalam jagat pendidikan tinggi Indonesia, perguruan tinggi swasta (PTS) tak jarang dianggap sebagai warga kelas dua atau bahkan beban negara. Memang sikap ini tidak secara eksplisit disampaikan, tetapi tidak sulit untuk menemukan indikasinya. Diskusi panjang di antara pimpinan PTS soal ini menyimpan banyak cerita pahit.

 

Beban meringan

Mari berandai-andai. Jika ada orang di dekat pembaca, minta bantuannya untuk membaca bagian di bawah ini. Anggukkan kepala tanda setuju di setiap bagiannya.

Apa yang terjadi jika semua PTS di Indonesia dibekukan? Beban negara dipastikan menjadi lebih ringan. Energinya tidak lagi tersita untuk melayani 2.982 PTS. Apalagi sebagian PTS ini sering dikeluhkan tidak bermutu.

Kantor Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) pun bisa ditutup. Tidak perlu lagi menggaji ribuan Aparat Sipil Negara (ASN) yang ditugaskan di belasan LLDikti yang tersebar di seluruh Indonesia.

Anggaran negara pun tidak lagi tersedot untuk membayar tunjangan profesi 183.713 dosen PTS. Negara tidak perlu direpotkan lagi menyiapkan tempat penyimpanan data transaksi akademik 4.495.453 mahasiswa PTS. Beban layanan teknologi informasinya menjadi lebih ringan.

Negara pun tidak perlu menyiapkan anggaran besar untuk sektor pendidikan. Pada 2024, anggaran sektor pendidikan sekitar Rp665 triliun yang setara dengan 20 persen APBN. Jika melihat pola sebelumnya, sekitar satu persen diperuntukkan untuk pendidikan tinggi. Penghematan sebagian anggaran ini membawa kabar bahagia di tengah kesulitan negara membiayai beragam proyek strategis nasional. Ini baru soal yang terukur.

Kebahagiaan pun bertambah, ribuan ASN, termasuk para pejabat, yang selama ini melayani beragam persoalan PTS pun terlepas dari beban beratnya. PTS sering kali dianggap tidak tahu diri, karena terlalu banyak permintaan dan terlalu sering melakukan protes. Sebagian pejabat seakan sudah jengah dengan ulah PTS ini.

Ilustrasi di atas baru didasarkan pada PTS yang berada di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Data 2022 dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang digunakan. PTS yang berada di bawah Kementerian Agama belum masuk radar. Jika ini dimasukkan, hanya kebahagiaan yang membuncah, karena beban di pundak negara menjadi semakin ringan. Tentu, ini perlu dirayakan dengan suka cita. Hore!

Jika pembaca menyambut baik kabar gembira di atas, mari kita lanjutan ceritanya. Anak muda usia kuliah mempunyai waktu banyak bersama keluarga atau mencari nafkah, karena dari cacah mereka yang lebih dari 25 juta, hanya 3.379.828 atau 13,37 persen yang menjadi mahasiswa. Inilah angka partisipasi kasar pendidikan tinggi (APK PT) di Indonesia, jika semua PTS dilenyapkan dari muka bumi Indonesia.

 

Potret yang dicari

Pertanyaannya, apakah potret ini yang kita cari? Tentu saja tidak. Kita tidak ingin semakin penduduk usia kuliah yang tidak mendapatkan haknya, karena negara abai terhadap amanah konstitusi dalam mencerdaskan anak bangsa. Kita tidak rela, bangsa Indonesia semakin tertinggal dengan negara-negara lain. Kualitas anak bangsa harus terus ditingkatkan.

Dengan memasukkan kembali PTS  dalam jagat pendidikan tinggi Indonesia, APK PT menjadi 31,16 persen. PTS berandil sebesar 17,79 persen, lebih tinggi dibandingkan andil PTN.

Karena beragam alasan itulah, PTS lahir di Bumi Pertiwi. Bahkan sebagian PTS lahir sebelum negara Indonesia resmi diproklamasikan. Universitas Islam Indonesia (UII), misalnya, lahir 40 hari sebelum kemerdekaan. Sebagian PTS lain, dibuka ketika bangsa ini dalam situasi sulit. Mereka sudah memikirkan masa depan bangsa. Ini adalah wujud kecintaan PTS yang mendampingi negara ketika tangannya tak sanggup memeluk semua anak bangsa. Sejak lama dilakukan dan masih sama, sampai hari ini.

Jika kesadaran ini yang hadir, maka posisi PTS akan dimuliakan, keberadaannya dianggap mitra, kehadirannya disambut dengan suka cita, dan pertumbuhannya diupayakan bersama. Bukan sebaliknya: posisinya dihinakan dengan selalu diragukan kualitasnya, keberadaan dianggap pesaing, kehadirannya disamakan dengan beban, dan pertumbuhannya diabaikan karena tidak punya masa depan.

Ingat, sebagian besar PTS yang dianggap mapan, juga dimulai dari PTS kecil yang terseok-seok di awal berdirinya. Dengan konsistensi pada nilai pijakan yang mulia dan ikhtiar kolektif istikamah, perlahan PTS bertumbuh dan menegaskan kontribusinya untuk bangsa. Hanya segelintir PTS yang lahir bongsor. Karenanya, tidak perlu lagi menghinakan PTS yang sedang berjuang untuk berkembang.

 

Peran penyanding

Apakah pembaca masih belum yakin tentang dampak signifikan kehadiran PTS? Tidak apa-apa. Jangankan pembaca awam, sebagian pejabat, termasuk yang di PTN, yang digaji dengan uang pajak pun terkadang demikian. Seakan mereka ingin mengaburkan peran PTS dengan mengatakan: “Betul, jumlah PTS ribuan tapi hanya melayani 4,5 juta mahasiswa loh. PTN meski jumlahnya hanya 125, tapi melayani 3,3 juta.”

Kehadiran PTS seakan dianggap tidak berharga, karena kalah dengan PTN yang dianggap selalu hebat. Posisi yang membandingkan dan bukan menyandingkan ini sangat berbahaya. Sialnya, hal ini tidak disadari. Terus terang, saya juga sangat khawatir jika sudut pandang yang muncul dari alam bawah sadar ini diadopsi oleh pejabat pengambil kebijakan.

Mungkin karena pemahaman ini juga, ada modul khusus bersampul sebuah apel merah di atas tumpukan buku, yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak berjudul: Modul Penggalian Potensi Pajak Sektor Usaha Jasa Pendidikan. Namun, ini baru dugaan, dan karenanya perlu ditabayun, supaya tidak menimbulkan fitnah.

Mari kita lanjutkan dengan beberapa data. Dari 34 provinsi yang terdaftar dari data BPS, di 21 provinsi, proporsi mahasiswa yang menuntut ilmu di PTS lebih dari separuh. Di Sumatera Utara, misalnya, dari 381.458 mahasiswa, 78,3 persen berkuliah di PTS. Di Riau, sebanyak 73,0 persen mahasiswa duduk di bangku PTS. Bahkan di DKI Jakarta, angka ini mencapai 85,1 persen. Potret ini belum ditambah dengan fakta sebaran PTS yang menjangkau pelosok negeri yang tidak terjangkau oleh tangan negara.

 

Kaca mata jernih

Negara sudah seharusnya melihat PTS dengan kaca mata yang lebih jernih. Betul, ada disparitas kualitas PTS. Fenomena serupa pun terjadi di PTN, meski dengan kesenjangan yang berbeda. Itulah pekerjaan rumah bersama bangsa ini.

PTS tidak pernah ingin menjadi anak emas dan diperlakukan istimewa. Yang dibutuhkan hanya lapangan permainan setara yang menjadi lahan subur untuk pertumbuhan bersama. PTS sudah bertahun-tahun membuktikan dirinya mampu mandiri, tanpa terlalu banyak uluran tangan pemerintah.

PTS pun tidak lantas menjadi anak durhaka yang lupa berterima kasih kepada negara dengan beragam program ungkitan. Apresiasi tinggi tentu diberikan. Namun, jeritan PTS yang menggaung di ruang publik dalam beberapa tahun terakhir, termasuk kebijakan penerimaan mahasiswa baru, perlu didengar kembali dengan kesadaran baru dan dilihat lagi dengan lensa yang lebih sensitif.

Bisa jadi, tidak semua usulan mungkin diakomodasi, karena beragam alasan. Tetapi, saya yakin banyak ruang terbuka untuk perbaikan bersama. Itulah indahnya argumentasi di dunia akademik ketika semuanya mungkin dibicarakan dengan terbuka tanpa kepentingan tersembunyi dan kalis dari adu kuasa. Semoga.

Tulisan sudah tayang di Republika.id pada 3 Desember 2023.

Sepuluh mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) mendapatkan hadiah dari Bank Mandiri. Sejumlah mahasiswa UII ini merupakan pengguna rekening mandiri untuk membayar SPP ke UII. Seremonial penyerahan hadiah dilaksanakan pada Selasa (5/12) di Gedung Prof. Dr. Sardjito Kampus Terpadu UII.

Sepuluh mahasiswa tersebut di antaranya, Siti Musyawwirriatun Tyasing Ratri, Komarul Ikhwan, Fabian Pasha Bagastama, Khoirul Nizam, Muhammad Rafi Rizqullah, Devan Alingga Abda, Danang Kristanto, Barlian Malika Satino, Nurul Alaika, dan Muhammad Tursino.

Turut hadir dalam penyerahan hadiah Furqon, S.E. selaku Direktur Keuangan dan Anggaran, Arif Fajar Wibisono, S.E, M.S.c. selaku Direktur Pembinaan Kemahasiswaan, Rifqi Sasmita Hadi, S.E., M.M., selaku Kepala Bidang Humas, dan Bambang Suratno, S.T., M.T., Ph.D., selaku Kepala Divisi Kemitraan Dalam Negeri.

Selain itu, dari pihak Bank Mandiri, Vidiandika Wisnu Adicandra selaku Officer Transaction Banking Retail Bank Mandiri Area Yogyakarta, Nita Triyuniyati selaku Branch Manager Mandiri UII dan Rizky Fahasin Khuluqi selaku Staf Transaction Banking Retail Bank Mandiri Area Yogyakarta.

Livin’ by Mandiri yang merupakan super apps dengan tagline digital dan kekinian gencar mengadakan media awareness di berbagai kampus guna meningkatkan user Livin’ pada generasi Z. Dengan adanya program racing pembayaran VA melalui Livin’ diharapkan Mahasiswa/i lebih mengenal lagi dan tertarik untuk menjadi bagian dari Bank Mandiri.

Bank Mandiri menghadirkan pembayaran kampus lewat virtual account (VA), yang dapat diakses melalui all channel Bank Mandiri seperti Livin’, ATM, Agen, dan counter Teller.

“Hal ini harapannya menjadi penyemangat mahasiswa untuk menggunakan transaksi dengan bank yang dia pakai yang paling nyaman digunakan, untuk Bank Mandiri mudah-mudahan ini jumlah pemenang harapannya lebih bertambah,” ungkap Furqon.

Ia mengungkapkan juga bahwa UII memiliki banyak Bank mitra, ada 10 Bank mitra yang mana 5 Bank mitra untuk penerimaan dari mahasiswa yaitu Bank mandiri, Bank Muamalat, Bank Syariah Indonesia, Bank Bukopin dan BPD Syariah. Selain itu juga Bank BRI, Bank BTN, BTN Syariah dan Bank Niaga.

Sementara Vidiandika Wisnu Adicandra yang akrab disapa Candra menjelaskan bahwa sistem pemilihan 10 mahasiswa yang mendapatkan hadiah ini bersyarat dengan mahasiswa/i UII yang harus melakukan pembayaran VA kampus terlebih dahulu, kemudian setiap transaksi finansial dihitung by poin.

Lebih lanjut, ia ungkap harapannya kepada sepuluh mahasiswa UII yang mendapatkan hadiah dari Bank Mandiri tersebut.

“Harapannya nanti mahasiswa tersebut dapat menjadi ambassador dan mengajak teman-teman yang lain untuk segera join Livin’ by Mandiri karena banyak program menarik, cocok dengan anak muda, serta super lengkap memenuhi kebutuhan finansial sehari-hari seperti bayar kuliah, isi token listrik, top up e-wallet, e commerce, investasi dan lain sebagainya,” pungkasnya. (LMF/RS)

Universitas Islam Indonesia (UII) menunjukkan komitmennya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi kewirausahaan hijau dan inovasi berkelanjutan di lingkungan perguruan tinggi. Berkolaborasi dengan Erasmus+ CBHE ANGEL Project Team UII dan Pusat Ekonomi Inovasi dan Akselerasi Bisnis (PEIAB), diselenggarakan penyerahan draft Peraturan Universitas Tentang Pengelolaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada Rabu (6/12), di Lantai 3 Gedung Fakultas Hukum (FH) UII. Read more

Mahasiswa Program Studi Profesi Arsitek (PPAr) Universitas Islam Indonesia (UII) mempresentasikan rencana penataan kawasan Bandengan-Karangsari, Kendal pada Selasa (5/12) di Hotel Westlake, Sleman sebagai rangkaian dari program pengabdian. Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar Ngaji Bareng dengan tema Meneladani Khazanah Tafsir Al-Quran di Indonesia pada Senin (4/12) di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakir, Kampus Terpadu UII. Ngaji bareng menghadirkan Prof. Dr. Quraish Shihab, Lc., M.A. dan K.H. Ahmad Baha’uddin Nursalim sebagai narasumber.

K.H. Ahmad Baha’uddin Nursalim atau biasa dikenal dengan Gus Baha dalam ceramahnya mengatakan bahwa Indonesia yang damai ini tidak lepas dari peran kitab-kitab yang datang ke Indonesia.  Misalnya, arti kemenangan.

“Arti kemenangan itu tafsir yang datang ke kita dan yang paling terkenal adalah tafsir Munir karangannya Syekh Nawawi Al Jawi, itu beliau menyebut kemenangan umat Islam itu kemenangan logika, logika bahwa alam raya ini dimulai dari satu Tuhan yang berstatus wajibul wujud. Tentu lebih masuk akal ketimbang logika yang lain. Misalnya, logika nihilism bahwa alam ini dimulai dari ketiadaan. Karena itu lahir satu teori ketiadaan menciptakan yang ada,” tutur Gus Baha.

Pengasuh Pondok Pesantren Tahfizul Al-Quran Lembaga Pembinaan Pendidikan Pengembang Ilmu Al-Quran Rembang ini dalam kesempatannya menerangkan makna dari Q.S. Al Maidah ayat 56, yakni “Barang siapa yang mempertuhankan Allah dan mengikuti semua aturan-Nya, maka para pengikut Allah itulah yang akan menjadi pemenang.”

“Jadi, kemenangan umat Islam yang permanen itu adalah kemenangan logika. Kalau kemenangan perang, kemenangan bernegara, kemenangan sosial orang Islam ya pernah kalah. Zaman Nabi ‘Sugeng’ saja pernah mengalami kalah periode Mekah. Ketika periode Madinah juga pernah mengalami kalah di peristiwa Perang Uhud, tapi kalah-kalah sosial ini tidak ada pengaruhnya dengan kalah secara logika. Logika bahwa alam ini dimulai dari satu Tuhan (wajibul wujud) tentu lebih mudah dicerna,” terang Gus Baha.

Gus Baha juga menyampaikan bahwa tafsir yang datang kepada kita itu mempunyai latar belakang cerita maupun peristiwa yang berbeda-beda, Oleh karena itu, jangan bersikap ekstremis dalam mengambil/memaknai ajaran tafsir yang datang ke Indonesia.

“Andaikan kita meneladani tafsir-tafsir yang ada di Indonesia, kita ini pasti menguatkan aqidah. Bukan menang kalah urusan sosial, urusan apalah, itu urusan kedua ketiga lah syukur-syukur menang. Tapi kalau itu kita paksakan itu yang nomor 1 pasti kita sering kecewa,” tuturnya.

Gus Baha juga menyampaikan bahwa dalam kitab Fathul Bari karya Shahih Al-Bukhari dijelaskan kemenangan umat islam itu adalah aqidah. Artinya, ketika islam bahkan belum kuat, akan tetapi hujjahnya saja itu sudah menang. Karenanya, Syekh Nawawi mengatakan bahwa yang harus menang itu adalah hujjahnya.

Sementara itu, Prof. Quraish Shihab menyampaikan sebuah pelajaran yang dapat dipetik dari asbabun nuzul salah satu ayat Al Qur’an yang turun setelah perang Uhud. Beliau mengatakan bahwa sebagian sahabat nabi meninggalkan medan perang, bahkan diduga ada yang terguncang imannya, sehingga meninggalkan Islam.

“Ada satu penafsiran yang saya anggap baik sekali dari seorang pemikir Al Jazair Malik bin Nabi, beliau berkata ayat ini pelajaran bagi kita semua bahwa jangan menilai baik buruknya sesuatu dengan mengaitkannya pada sosok yang mengucapkannya,” tutur Prof. Quraish Shihab.

Prof. Quraish Shihab mengemukakan sahabat-sahabat yang meninggalkan medan perang dan meninggalkan agama Islam mungkin karena mereka hanya mengagumi sosok nabi pada saat hidupnya saja, dan begitu tersebar bahwa beliau wafat, maka mereka meninggalkannya.

“Ini karena mereka mengaitkan kebenaran dengan sosok manusia, jangan pernah menilai baik buruknya sesuatu karena ada materi. Jangan pernah mengaitkan baik buruknya susuatu karena ini diucapkan oleh profesor ini itu dan sebagainya. Nilailah baik buruknya sesuatu itu dari idenya bukan dari orangnya. Walaupun itu diucapkan oleh nabi Muhammad SAW, selama ucapan itu bersumber dari pribadi beliau bukan dari Allah SWT,” tutur Prof. Quraish Shihab.

Beliau juga berpendapat bahwa ini adalah pilihan yang baik untuk mengingatkan kita ketika membaca ataupun menilai suatu tafsir-tafsir dari siapapun orang yang kita kagumi. Maka, jadikanlah kebenaran atau baik-buruknya sesuatu itu berdasarkan ide yang disampaikan.

Prof. Quraish Shihab juga mengatakan bahwa tafsir karya ulama Indonesia itu cukup banyak, akan tetapi tidak banyak yang lengkap 30 Juz. Lalu, tidak banyak juga tafsir yang ditulis dalam bahasa melayu (bahasa Indonesia). Maka, itu adalah hal yang perlu dirintis pada saat ini.

“Yang penting, jangan pernah menduga sekali-kali bahwa kita bangsa Indonesia tidak mampu melebihi bangsa-bangsa lain walaupun yang bahasa ibunya yang bahasa Al Qur’an. Sekali lagi, kita mampu asal kita mau belajar,” tandas Prof. Quraish Shihab. (JRM/RS).