Peran Pemuda

Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyelenggarakan webinar berjudul “10 Tanda-Tanda Anda Berbakat Menjadi Advokat”. Webinar menghadirkan pembicara Founder/Advokat/Legal Consultant di JAS & COP, Dr. Junaidi Albab Setiawan, S.H., M.Comm.Law. Jalannya diskusi yang dipandu oleh Atqo Darmawan Aji digelar secara virtual melalui cloud zoom meeting dan juga disiarkan secara langsung di kanal youtube LKBH FH UII.

Read more

Pendirian UII pada 27 Rajab 1364 merupakan ikhtiar membangun peradaban. Harapan kolektif para pendiri digantungkan. Sejak awal, UII diharapkan menjadi aktor penting yang menyiapkan anak bangsa untuk membangun peradaban baru Indonesia dan Islam. Catatan sejarah menunjukkan itu semua.

Kini, usia UII menginjak 78 tahun menurut kalender hijriah. Kondisi UII saat ini merupakan akumulasi kerja peradaban para pendiri dan pendahulu. Tak seorang pun berhak mengklaimnya sebagai hasil kerja personal. Jika ada (semoga tidak), klaim seperti itu adalah simbol arogansi karena menafikan kontribusi banyak orang.

Kemurahan Allah Swt. telah mengantarkan UII dalam kondisinya yang sekarang. Tanpa bermaksud membanggakan diri, kerja kolektif kita semua, telah menjadikan UII masuk dalam jajaran perguruan tinggi terbaik di Indonesia dan dikenal kolega-kolega di manca negara. Jaringan global pun semakin tertata. Keterlibatan aktif UII di beragam konsorsium internasional dapat menjadi indikasi. Publikasi ilmiah para warganya di kanal internasional dan pengakuan beragam lembaga akreditasi internasional juga semakin menegaskan. Tentu, capaian ini perlu disyukuri bersama, dengan penuh catatan.

Banyak harapan kepada UII yang belum sepenuhnya menjadi nyata. Deretan pekerjaan rumah masih menanti ditunaikan.

Kita bisa sebut di sini beberapa. Termasuk di antaranya adalah peningkatan kualitas pendidikan yang membebaskan, penelitian yang berimbas, dan sensitivitas serta kontribusi signifikan dalam penyelesaian beragam masalah bangsa.

 

Meneguhkan peran

Ke depan, peran kebangsaan sebagai pengawal perjalanan negara dengan meniup peluit ketika ada ketidakberesan seharusnya semakin ringan ketika para pemegang amanah menjalankan roda pemerintahan pada rel yang seharusnya. Saya menyebut ini sebagai peran etis, bukan politis, supaya tetap kalis dari kepentingan politik sesaat.

Saya memimpikan, dalam waktu yang tidak terlalu lama, para pemegang amanah di Indonesia tidak lagi terjebak kepentingan sesaat dan kesejahteraan publik menjadi tujuan bersama. Berita korupsi tidak lagi menghiasi lini masa media. Kontestasi politik hanya menjadi ikhtiar merawat demokrasi yang semakin dewasa dan tidak menyisakan ekses berkepanjangan yang membocorkan energi kolektif bangsa atau memicu segregasi, polarisasi, dan konflik sosial.

Peran etis kebangsaaan itu pun seharusnya tidak memalingkan dari peran membangun peradaban melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Inilah peran keilmuan. Peran ini terlihat seperti sudah menjadi keseharian, tapi justru di situlah masalahnya, ketika tidak ada kesadaran baru untuk meningkatkan sisi kontribusi kualitatif yang dapat menghadirkan perbedaan. Kesadaran baru tersebut, salah satunya bentuknya, bisa jadi adalah penghilangan sekat antardisiplin yang sampai tingkat tertentu menjadi kedaulatan keilmuan yang menutup banyak pintu potensi manfaat. Peran keilmuan juga bisa dibingkai menjadi rekonfigurasi peran kebangsaan.

Pertemuan antarwarga, termasuk secara daring di beragam grup, sudah saatnya semakin dihiasi dengan beragam diskusi terkait dengan gagasan untuk pengembangan ilmu dan teknologi, strategi, serta aksi untuk mewujudkannya. Yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa setiap warga kampus, adalah sekaligus menjadi pencetus ide dan bertanggung jawab untuk menjadikannya nyata.

Daftar peran di atas masih bisa diperpanjang, termasuk tidak melupakan ide menjadikan UII sebagai pusat penyiaran Islam. Ini adalah tantangan yang perlu dijawab. Pesan besarnya adalah bagaimana menjadi ajaran Islam sebagai pendorong kemajuan dan kebangkitan. Ajaran Islam perlu terus dikaji dan dikontekstualisasi untuk terus menghadirkan semangat perenial. Inilah peran keislaman.

Pelaksaan ketiga peran di atas: peran kebangsaan, peran keilmuan, dan peran keislaman, perlu terus ditingkatkan. Ketiga peran tersebut bisa dibungkus menjadi peran kemanusiaan untuk membangun peradaban baru yang teritorialnya melintas batas fisik dan imajiner antarnegara.

 

Kerja kolektif

Semua tersebut membutuhkan kerja kolektif yang bersambung antargenerasi. Ini kerja peradaban sepanjang hayat. Saya personal berharap Allah masih mengizinkan saya melihat UII ketika berusia satu abad. Waktu 22 tahun ke depan memang terlalu singkat untuk membangun peradaban baru, tetapi sangat lama untuk berlalu tanpa kemajuan berarti.

Saya berdoa, ketika usia menginjak satu abad pada 27 Rajab 1464 (9 Juni 2042), setelah 1.200 kali purnama dilalui UII, harapan-harapan besar tersebut semakin nyata. UII tetap tegar berdiri dan tumbuh menjadi perguruan tinggi yang semakin dihormati dan tetap menjaga standar akhlak organisasi tertinggi.

Warga UII berhasil secara berjemaah mendorong kemajuan substantif, menentukan takdirnya sendiri, dan tidak terjebak pada muslihat yang dapat membocorkan energi dan menggerus nurani. UII semakin mantap menjadi organisasi modern dengan dukungan teknologi dan semua indikatornya.

UII dan warganya pun, saya doakan, semakin siap menjadi warga global yang berkontribusi pada penyelesaian masalah-masalah kemanusiaan. Banyak inovasi berimbas yang diproduksi dengan niat suci.

Saya percaya, ketika harapan kolektif disatukan dan ikhtiar bersama dilakukan, Allah akan memudahkan jalan ke depan. Jalan untuk membangun peradaban baru Indonesia dan Islam yang bermartabat.

Mari, kita bersama jemput masa depan itu. Yang perlu kita lakukan adalah mengenali kekuatan diri, memahami perkembangan mutakhir, dan meresponsnya secara inovatif.

Apa yang diinisiasi oleh Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) melalui workshop hari ini yang bertajuk Menuju FTSP 2045: Rebranding & Reconfiguring, adalah salah satu anak tangga untuk melakukan itu semua. Saya berharap dari workshop ini muncul kesadaran kolektif baru untuk meneguhkan perjalanan FTSP ke depan, sebagai bagian penting UII. Selain itu, mendesain anak tangga mencapai tujuan yang lebih tinggi sama pentingnya dengan membangun harapan bersama.

Siapa tahu, untuk menemukan hentakan baru, nama FTSP sendiri mungkin ingin diubah sebagai bagian dari penjenamaan (rebranding). Jika disepakati, nama baru tersebut perlu dipilih supaya tidak ada kesan hegemonik disiplin tertentu, tetap menghargai sejarah lampau, tetapi lebih inklusif, distingtif, dan futuristik.

Perjalanan masih panjang, tetapi semoga Allah selalu meridai UII. Amin.

Sari sambutan pada workshop Menuju FTSP 2045: Rebranding & Reconfiguring, 17 Februari 2021

Pembelajaran Daring UII

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) mengadakan seminar online pengabdian masyarakat seri 1 pada Sabtu (13/2). Dekan FK UII Linda Rosita, M.Kes., Sp.PK. dalam sambutannya menyampaikan setiap tahun FK UII menghasilkan sekitar 200 dokter. Di tengah situasi pandemi ini ia berharap mahasiswa tidak kehilangan semangat belajar.

Read more

Ustad Sulaiman Rasyid mengungkapkan terdapat hal-hal yang harus diperhatikan ketika ingin mencari pasangan, terutama yang sesuai dengan syariat Islam. Baik dari segi akhlaknya, keturunannya dan juga amal ibadahnya. Hal tersebut disampaikan Ustad Sulaiman Rasyid saat menjadi narasumber Kuliah Online Pra Nikah melalui aplikasi zoom meeting pada Sabtu (13/2).

Read more

Direktorat Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan bedah disertasi berjudul Dinamika dan Strategi Penguatan Identitas Keislaman di UII Yogyakarta (Telaah Historis) pada Kamis (11/2) secara daring. Bedah disertasi yang ditulis oleh Pengasuh Pondok Pesantren Putra UII, Dr. Suyanto, S.Ag., M.S.I., M.Pd. ini menghadirkan Sekretaris Pengurus Yayasan Badan Wakaf UII, Dr. Muhammad Syamsudin, S.H., M.H. dan Dosen Fakultas Ilmu Agama Islam UII, Kurniawan Dwi Saputra, Lc., M.Hum.

Read more

Sebanyak sebelas arsitek muda lulusan Program Studi Profesi Arsitek Universitas Islam Indonesia (UII) secara resmi dilantik dan diambil sumpahnya pada Kamis (11/2) secara daring. Sebelumnya, para arsitek muda yang terdiri dari 5 perempuan dan 6 laki-laki ini telah menempuh pendidikan selama satu tahun akademik. Para lulusan ini juga telah dibekali dengan workshop, research design, magang serta pelatihan kode etik dan tata etika profesi arsitek.

Read more

Sebagai bentuk penghargaan yang diberikan kepada Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. akan kiprahnya, Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menggelar acara Peringatan 30 Tahun Pengabdian Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. bertajuk “Srikandi Konstitusi Pemikiran dan Jejak Langkah 30 Tahun Mengabdi” pada Rabu (10/2).

Read more

Penangkapan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, pasca kudeta militer masih hangat diperbincangkan. Sebagaimana dalam Program Ngalir Live Talk #18 yang diadakan prodi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (HI UII) pada Sabtu (13/2). Acara bertemakan “Kudeta Militer Myanmar” ini menghadirkan pembicara Irawan Jati, M.Hum., M.S.S.

Read more

Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan (DPK) UII mengadakan Bedah Buku Pedoman Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) pada Selasa (9/2). Acara ini bertujuan menjaring animo mahasiswa untuk berpartisipasi dalam Pekan Ilmiah Nasional (PIMNAS) 2021.

Diungkapkan Direktur DPK UII, Beni Suranto, M.Soft.Eng bahwa pada tahun 2021 ada banyak peraturan PIMNAS yang berubah, seperti skema luring / daring, pendanaan, dan lainnya. Ia berharap banyak proposal dari UII yang bisa lolos PIMNAS 34 tahun ini dan mendapat medali. “Dengan mengikuti kegiatan hari ini saya harap mahasiswa dapat membuat proposal sesuai pedoman dan dapat lolos pendanaan,” pesannya.

Read more

Saat ini, nampaknya tidak sulit bersepakat bahwa teknologi informasi semakin dekat hubungannya dengan desain dan konstruksi bangunan. Literatur mencatat, bahwa sejarah Building Information Modeling (BIM) secara konseptual dimulai di awal 1960an. Dalam dekade terakhir, penggunaan BIM semakin lazim.

Perhatian terhadap BIM pun meningkat tajam. Data cacah artikel di basisdata Science Direct maupun di Google Scholar, misalnya, mengindikasikan hal ini dengan sangat jelas. Dari basisdata Science Direct ditemukan bahwa pada 1997 hanya ada 16 artikel yang mendiskusikan BIM dan pada 2020, angka ini menjadi 692. Pada rentang waktu yang sama, pada 1997 Google Scholar merekam 273 artikel tentang BIM, dan pada 2020 terdapat 15.400 artikel.

Secara kebetulan, pada 2013, saya menulis sebuah artikel terkait dengan BIM untuk konferensi internasional di bidang sistem informasi. Tentu dalam perspektif agama, tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Ndilalah adalah kata yang digunakan oleh Kiai Sholeh Darat Allahu yarhamhu untuk menjelaskan konsep takdir. Inilah cerita tentang takdir saya yang “bersentuhan” dengan BIM, namun mohon dipahami bahwa saya bukan ahli BIM.

Seorang kawan seperjalanan dari Jerman saat itu mengambil studi doktoralnya di program yang sama dengan saya. Karena berkantor di sepanjang koridor yang sama, interaksi pun cukup intens. Tradisi yang dikembangkan di program doktoral yang saya ikut sekitar satu dekade lalu itu memungkinkan semua mahasiswa berbagi cerita tentang risetnya. Obrolan di meja kantin atau di dapur tidak jarang masih terkait dengan keilmuan dan riset. Suasana yang bagi saya ngangeni ini sangat perlu untuk dikembangkan di kampus kita.

Bahkan, kawan seperjalanan lain yang berbagi ruang kantor dengan saya sepakat melabeli ruang kantor sebagai “Socratic Corner”. Mungkin agak berlebihan, tetapi di ruang berukuran sekitar 2,5 x 5 meter persegi, kami berdua, mempertanyakan banyak hal dan berikhtiar mencari jawabnya. Kami berdua, bahkan saat ini, setelah sekitar satu dekade, masih menulis bersama, bersama pembimbing yang kami berdua panggil dengan “guru”.

Fragmen singkat ini paling tidak memberikan gambaran bagaimana takdir “menyentuhkan” saya dengan BIM. Suatu siang, ketika kami mengobrol di meja kantin, diskusi terkait kawan saya berlanjut. Saya pun akhirnya ikut berpikir menggunakan beragam pisau analisis yang kami pelajari bersama. Saya ambil tisu makan dan mencoretkan beberapa gambar dan ide di sana. Coretan di tisu makan itulah yang akhirnya menjadi cikal bakal artikel kami berdua tentang BIM (Merschbrock & Wahid, 2013).

 

Dua bentuk teknologi

Selain beragam potensi baik yang ditawarkan oleh BIM, kami menemukan beberapa catatan. Semua berangkat dari pemahaman bahwa BIM, sebagai sebuah perangkat lunak, merupakan artefak sosial. Di sana, ada nilai dan intensi desainer yang disuntiknya ke dalamnya. Inilah yang oleh Orlikowski (2000) dilabeli dengan technological artefact, artefak teknologikal, yang sebetulnya per definisi ada aspek sosialnya di sana. Inilah yang sering juga kita dalam informasi tentang produk yang dikeluarkan oleh produsennya. Semua narasi didasarkan pada asumsi yang dibayangkan oleh desainernya ketika mendesain.

Pertanyaannya kemudian adalah: apakah teknologi tersebut, dalam praktik, digunakan persis seperti yang diinginkan oleh desainernya? Ternyata tidak selalu. Konteks tempat teknologi di gunakan bisa mempengaruhinya dengan beragam penyesuaian. Inilah yang disebut dengan technology-in-use. Secara umum, ada tiga kemungkian penggunaan: inersia (digunakan secara sangat terbatas), aplikasi (dengan beragam gradasi), dan perubahan (dengan improvisasi). Karenanya, jika lensa analisis ini digunakan, saran “seharusnya” atau “kudune” menunjukkan adanya pengabaian informasi kontekstual. Perlu dicatat di sini, bahwa penyesuaian tidak selalu buruk.

 

Tantangan

Lensa di atas kami gunakan. Kami menemukan bahwa tidak semua orang bahagia dengan penggunaan BIM. Ini ada tantangan. Ada beragam alasan. Dari sisi klien, mereka tidak mau tahu dengan apa bangunan mereka didesain dan dikonstruksi. Biaya menjadi isu sensitif bagi mereka. Pada kasus ekstrem, klien akan mengatakan, “Silakan pakai apa saja, yang penting bangunan jadi dan berkualitas baik”. Ini temuan dari konteks Norwegia. Cerita di Indonesia mungkin berbeda.

Dalam konteks yang lebih luas, sebetulnya penambahan biaya ini bisa dikompensasi dengan pengurangan biaya di sisi lain, misalnya ketika tahap prefabrikasi komponen atau pemeliharaan paskakonstruksi. Tentu, diskusi lanjutan perlu dilakukan, untuk memvalidasi dan menemukan strategi mitigasi.

Dari sisi aktor yang terlibat dalam rantai proses, aktor yang berada di mata rantai lebih akhir (seperti insinyur dan kontraktor), menjadi kehilangan kemerdekaannya, karena tergantung dengan aktor yang lebih awal (seperti arsitek). Mengapa ini terjadi?

Seringkali, proyek konstruksi bangunan melibatkan organisasi temporer dan karenanya membentuk sistem yang terhubung secara longgar (a loosely coupled system). Di dalam sistem yang longgar, elemen- elemennya saling mempengaruhi “secara tiba-tiba (daripada kontinu), kadang-kadang (daripada konstan), dapat diabaikan (daripada signifikan), tidak langsung (daripada langsung), dan memerlukan waktu (daripada seketika)” (Weick, 1982, h. 380)—dikutip dalam Orton dan Weick (1990).

Perspektif yang saya angkat ini tentu bukan untuk mendemotivasi kajian dan penggunaan BIM dalam praktik, tetapi melengkapi cerita bahwa dalam praktik ada fakta lain. Fakta tersebut adalah bahwa dunia nyata sangat mungkin tidak selalu sesederhana dengan model yang tertulis dalam buku. Betul, model tersebut berasal dari konseptualisasi dunia nyata. Tetapi, model mempunyai keterbatasan menangkap kompleksitas dunia nyata.

Karenanya, sebagai arsitek muda, Saudara dituntut terus untuk mengembangkan kemampuan adaptif dengan tidak lelah dan lengah dalam mengikuti perkembangan serta mengasah sensitivitas untuk meresponsnya.

Cerita singkat saya ini, paling tidak akan menenangkan Saudara ketika terjun di dunia nyata dan menemukan yang terjadi di lapangan tidak seperti yang dibayangkan.

Sekali lagi, saya ucapkan selamat untuk pencapaiannya. Semoga Allah senantiasa memudahkan langkah Saudara untuk berkontribusi di dunia nyata.

 

Referensi

Merschbrock, C., & Wahid, F. (2013). Actors’ Freedom of Enactment in A Loosely Coupled System: The Use of Building Information Modelling in Construction Projects. Proceedings of the 21st European Conference on Information Systems. Utrecht, Belanda, 5-8 Juni.

Orlikowski, W. J. (2000). Using technology and constituting structures: A practice lens for studying technology in organizations. Organization science11(4), 404-428.

Orton, D., & Weick, K. E. (1990). Loosely coupled systems: A reconceptualization. Academy of Management Review, 15(2), 203-223.

Weick, K. E. (1982). Management of organizational change among loosely coupled elements. Dalam P. S. Goodman (Ed.), Change in Organizations (pp. 375-408). San Francisco: Jossey-Bass.

 

Sari sambutan pada Sumpah Profesi Arsitek ke-6 Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia, 11 Februari 2021