Saya ingin berbagi dua poin dalam tulisan ringkas ini.
Pertama, salah satu tujuan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) adalah memastikan kehidupan sehat dan meningkatkan kesejahteraan (well-being) untuk semua kelompok umur tanpa kecuali.
Data dari World Health Organization (WHO) termutakhir yang dapat diakses (sebelum pandemi, 2018) menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran untuk kesehatan (current health expenditure, CHE) terhadap produk domestik bruto (gross domestic products, GDP)[1], negara-negara berkembang cenderung masih rendah dibandingkan dengan negara maju. Data ini memberikan gambaran proporsi pengeluaran bidang kesehatan dibandingkan dengan pendapatan nasional.
Angka untuk Indonesia menunjukkan 2,87%. Bandingkan misalnya dengan Inggris (10%), Kanada (10,79%), Jepang (10,95%), Prancis (11,26%), Jerman (11,43%), Amerika Serikat (AS) (16,89%). Bahkan alokasi Indonesia juga lebih rendah dibandingkan negara-negara ASEAN, seperti Myanmar (4,7%), Filipina (4,4%), Thailand (3,7%).
Jika dinominalkan, pada 2018, pengeluaran untuk kesehatan per kapita[2] sebesar 111,7 dolar AS. Bandingkan misalkan dengan Inggris (4.315 dolar) dan Amerika Serikat (10.624 dolar), atau bahkan dengan Singapura (2.824 dolar).
Saya yakin, ketika pandemi seperti ini, proporsi alokasi anggaran tersebut seharusnya meningkat. Sektor kesehatan menjadi salah satu prioritas, apalagi dalam konteks di mana pandemi belum dapat seluruhnya dikendalikan. Menteri Keuangan menyebut bahwa alokasi anggaran kesehatan meningkat 200%, dari sekitar Rp113 triliun pada 2019 menjadi Rp300 triliun pada 2021.
Alokasi anggaran kesehatan tentu mempunyai kaitan dengan kualitas kesehatan publik. Ketersediaan infastruktur dan layanan kesehatan membutuhkan dana yang tidak kecil. Saat ini, nampaknya tidak sulit untuk bersepakat bahwa disparitas kualitas layanan kesehatan di Indonesia masih sangat luas biasa. Cerita tentang warga yang kesulitan mengakses layanan kesehatan dasar di puskesmas saja, misalnya, masing sering kita dengar.
Ketersediaan obat yang berkualitas di setiap fasilitas layanan kesehatan dan pasar yang bisa diakses publik merupakan salah satu bagian lain dari ikhtiar menjaga kesehatan publik.
Kedua, saya menemukan data bahwa 90% bahan baku obat Indonesia masih diimpor. Salah satu alasan yang mengemuka adalah bahwa cacah perusahaan nasional yang memproduksi bahan baku obat di Indonesia masih sangat terbatas, sehingga tidak memenuhi kebutuhan.
Pengembangan transfer teknologi dan semberdaya manusia dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan kemandirian. Dari persektif lain, pengembangan obat modern asli Indonesia dengan memanfaatkan bahan baku domestik (termasuk tanaman herbal) nampaknya menjadi tantangan yang harus dipecahkan dan dihadapi secara kolektif.
Secara hitungan ekonomi kasar, harga obat dengan bahan baku lokal, juga diharapkan lebih terjangkau oleh publik.
Ilustrasi berikut bisa menjadi pengingat posisi penting tanaman herbal sebagai obat.
Pada 1664, Pulau Manhattan, di mana Kota New York (yang dulunya bernama New Amsterdam) berada di sisi paling selatannya, diambil alih Inggris. Penguasa sebelumnya adalah Belanda. Belanda bersepakat memberikannya kepada Inggris sebagai imbal balik atas sebuah pulau kecil lain. Pulau yang merupakan penghasil rempah-rempah ini diberikan kepada Inggris kepada Belanda.
Pulai kecil ini bernama Run, yang terletak di sebelah selatan Pulau Seram dan sebelah barat Pulau Banda. Meski hanya seluas 3 km persegi, pulau ini dipertukarkan dengan Pulau Manhanttan yang luasnya hampir 20 kali lipat. Saat ini, Pulau Run masuk dalam wilayah Provinsi Maluku.
Pulau yang diklaim oleh Belanda melalui Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), ingin direbut kembali oleh Inggris yang saat itu dipimpin oleh Nathaniel Courthope. Kesepakatan “tukar guling” tersebut terjadi setelah melalui pertempuran, pengepungan, dan perundingan.
Apa hubungan cerita di atas dengan peluncuran program studi kali ini?
Pala, salah satu herba, pada saat itu dipercaya sebagai obat ampuh, ketika pandemi menyerang London pada paruh kedua abad ke-17. Sekitar 20% warga London meninggal dunia. Nah, ketika itu, 10 pon (sekitar 4,54 kg) pala yang di Pulau Run seharga 1 penny, berganti harga menjadi 50 shilling di London, alias naik 600 kali.
Apoteker meraih untung yang luar biasa pada saat itu. Seorang apoteker menyatakan, bahwa pala tersebut mahal, tetapi menjadi obat yang murah ketika kematian mendekat.
Pala, saat itu, hanya ditemukan di Pulau Run dan sekitarnya. Ketika Inggris kembali menguasai Pulau Banda Neira pada 1810, pohon pala dibawa Inggris ke daerah koloninya, seperti Sri Lanka dan Singapura. Itulah awal keruntuhan dominasi Belanda dalam perdagangan rempah-rempah.
Cerita tersebut terekam dalam sebuah buku yang ditulis oleh Milton (1999) yang berjudul Nathaniel’s Nutmeg, Or, The True and Incredible Adventures of the Spice Trader who Changed the Course of History. Perjalanan Nathaniel Courthope, seorang petualang Inggris dan arti penting tanaman herba pala kala itu, dan konflik dagang yang menyertainya, terekam dengan apik dalam buku ini.
Kehadiran program studi farmasi program magister di UII, kita harapkan bersama, dapat berandil memecahkan masalah di atas, dengan menghasilkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas di bidang farmasi.
Komitmen untuk memanfaatkan mahadata untuk mendapatkan tilikan baru dan membantu peningkatan kebijakan kesehatan, juga diharapkan menjadikan program studi baru ini semakin penting dan sekaligus unik.
Referensi:
[1] https://www.who.int/data/gho/data/themes/topics/indicator-groups/indicator-group-details/GHO/current-health-expenditure-(che)
[2] https://www.who.int/data/gho/data/indicators/indicator-details/GHO/current-health-expenditure-(che)-per-capita-in-us$
Sambutan pada peluncuran Program Studi Farmasi Program Magister Universitas Islam Indonesia, 12 Juni 2021.
Profesor: Pemburu, Peluru, dan Penjuru
Saya membayangkan seorang profesor yang merupakan “manusia langka” di Indonesia dapat menjalankan paling tidak tiga peran. Untuk memudahkan mengingat, saya menggunakan metafora berima: pemburu, peluru, dan penjuru.
Seorang profesor adalah pemburu. Peran ini akan menjadikannya sebagai pencari rahasia alam yang belum terkuak, penyingkap ilmu Allah yang belum dipahami, dan penemu hubungan antartitik di alam yang menunggu ditegaskan. Profesor, meskipun sudah sampai pada jabatan akademik tertinggi, harus terus haus ilmu dan tidak pernah merasa cukup dengan pengetahuan yang dipunyai. Pesan Al-Qur’an sangat jelas, bahwa manusia tidak diberi ilmu, kecuali hanya sedikit.
Semangat sebagai pemburu ini harus terus dirawat. Saya yakin, selain landasan akal sehat akan pentingnya menjalankan peran ini, sebagai seorang muslim, mengembangkan ilmu juga harus dipahami perintah agama. Dalam tataran praktis, ini bisa dilakukan dengan banyak membaca, konsisten meneliti, dan juga rajin melakukan diskusi untuk memperluas perspektif.
Peran kedua profesor adalah sebagai peluru. Peluru akan menembus sekat untuk menuju sasaran. Beberapa sekat yang ditembus termasuk sekat masa lalu, sekat disiplin ilmu, dan sekat ranah aplikasi.
Sekat masa lalu harus diruntuhkan dengan berikhtiar membuka diri mengakrabkan diri dengan perkembangan mutakhir. Bahkan tidak jarang, sampai level tertentu, kita perlu “melupakan” apa yang sudah dipelajari di masa lampau, dan menggantinya dengan pengetahuan yang lebih mutakhir. Ini mirip dengan mengganti cat tempok rumah. Supaya cat baru dapat melekat dengan baik, maka cat lama perlu dikelupas lebih dahulu. Inilah konsep learn, unlearn, relearn.
Selain itu, sekat disiplin ilmu perlu dibongkar dengan menunmbuhkan keberanian untuk memaparkan diri kepada disiplin baru, tanpa melupkan disiplin lama. Untuk memperluas cakrawala pemikiran, melompati pagar disiplin ilmu bukan sesuatu yang haram, dan bahkan perlu disemarakkan. Hanya dengan cara seperti ini, saling memahami antardisiplin dapat dikembangkan dan kerja sama yang bermakna akan dapat dijalankan.
Ilmu tidak dipelajari untuk kepentingan ilmu semata. Ilmu harus ditingkatkan manfaatnya dengan menembus sekat ranah aplikasi. Apapun ilmunya, seorang profesor perlu melakukan refleksi mendalam mencari strategi untuk meningkatkan manfaat ilmunya untuk publik. Tidak hanya publik akademik sebagai lawan sanding mengembangkan ilmu, tetapi juga publik awam yang menunggu peran seorang profesor.
Kita tahu, peluru bahkan terus melacu di ruang hampa menuju sasasan. Profesor juga nampaknya harus demikian. Meski di jalan lengang, konsistensi harus terus dijaga untuk memastikan manfaat kehadirannya. Sasaran peluru ini adalah manfaat sebesar-besarnya untuk orang banyak.
Terakhir, peran profesor adalah sebagai penjuru. Penjuru adalah rujukan untuk banyak hal, termasuk teladan intelektual dan referensi moral. Seperti dalam baris-berbaris, penjuru menentukan kerapian dan kelurusan pasukan. Tidak salah jika banyak orang menggantungkan harapan tinggi kepada profesor. Sangat bisa dipahami.
Sebagai penjuru intelektual, lagi-lagi, konsistensinya perlu dijaga. Jika ilmuwan seperti nabi yang mendapat wahyu untuk diri sendiri dan tidak punya umat, intelektual ibarat rasul yang mempunyai kewajiban untuk menebarkan wahyu yang diterimanya, kepada umatnya.
Profesor juga harus menjadi penjuru moral. Dalam konteks ini saya teringat sebuah adagium di kalangan ahli statistika: statistika tidak bisa bohong, tapi ahli statistika bisa. Pabrikasi data, persentasi dan interpretasi data yang tidak obyektif adalah beberapa contoh pelanggaran moral yang dekat dengan ahli statistika. Jika pun tidak melakukan, keberanian meniup peluit ketika melihat pelanggaran pun perlu dilatih untuk menjaga akal sehat kolektif.
Sambutan pada acara Serah Terima Surat Keputusan Kenaikan Jabatan Akademik Profesor Jaka Nugraha di Universitas Islam Indonesia pada 15 Juni 2021.
Upaya Pelemahan KPK Terus Berlanjut
Upaya pelemahan KPK terus berlanjut. Dari mulai revisi UU KPK menjadi UU No 19 Tahun 2019 yang meletakkan KPK di bawah rumpun eksekutif, hasil dari judicial review UU KPK yang dalam hal pengujiannya MK menganggap suara aspirasi masyarakat hanya merupakan bagian dari hak masyarakat untuk berpendapat, hingga 75 orang anggota KPK dengan kredibilitas yang bagus dalam jabatannya dinyatakan tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) dan diancam diberhentikan menjadi anggota KPK.
Read more
UII Sepakati Kerja Sama dengan Nur Mubarak University, Kazakhstan
Universitas Islam Indonesia (UII) menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Nur Mubarak University, Kazakhstan pada Jumat (11/6). Seremoni penandatanganan MoU tersebut dilaksanakan secara virtual yang dihadiri oleh pimpinan kedua universitas. Penandatanganan MoU digelar dan difasilitasi oleh Direktorat Kemitraan/Kantor Urusan Internasional UII.
Read more
Shelter UII Siap Tampung Pasien Covid-19
Universitas Islam Indonesia (UII) bersama Pemerintah Kabupaten Sleman dan gerakan kemanusiaan Sambatan Jogja (Sonjo) membuka shelter baru untuk karantina pasien Covid-19. Shelter yang bertempat di Rumah Susun Mahasiswa (rusunawa) UII Jl. Kaliurang Km. 14,5 ini diperuntukkan untuk pasien Covid-19 tanpa gejala (OTG) dan gejala ringan. Secara resmi keberadaan shelter dibuka pada Senin (14/6) oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Sleman Harda Kiswaya, S.E., M.Si.
Read more
UII Resmikan Pendirian Program Studi Farmasi Program Magister
Universitas Islam Indonesia (UII) meresmikan pendirian Program Studi Farmasi Program Magister pada Sabtu (12/6), setelah sebelumnya mendapatkan SK dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan April yang lalu. Ketua Jurusan Farmasi UII Prof. Dr. apt. Yandi Syukri, M.Si. menyampaikan adanya tahapan pencapaian visi pendirian Magister Kimia UII di tahun 2022 hingga tahun 2038 guna memberikan mutu kurikulum pendidikan pasca sarjana yang berkualitas.
Read more
Diskusi Kelanjutan Palestina Pasca #SaveSheikhJarrah
Konflik Palestina dan Israel tak kunjung usai hingga saat ini. Konflik terus berlanjut dan bahkan semakin memuncak dengan adanya sengketa di wilayah Sheikh Jarrah. Warga Palestina terancam dari tempat tinggalnya. Tak hanya itu, konflik terus berlanjut hingga menimbulkan gencatan senjata antara Palestina dan Israel pada bulan Mei 2021. Konflik Palestina dan Israel seolah menjadi isu permanen dan menarik perhatian dunia internasional, tak terkecuali Indonesia yang juga turut menyuarakan dukungannya bagi warga Palestina.
Read more
Takmir Masjid Al-Azhar Adakan Pelatihan IT Bagi Mahasiswa
Takmir masjid Al-Azhar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyelenggarakan pelatihan IT virtual bertemakan “Kiat-kiat Presentasi dalam Promosi Marketing dan Personal Branding” melalui zoom meeting pada Jum’at (11/6). Pelatihan bertujuan untuk meningkatkan skill mahasiswa FH UII di bidang marketing dan personal branding, Pelatihan menghadirkan pemateri dosen FH UII, Fuadi Isnawan, S.H., M.H. dan dimoderatori mahasiswa FH UII, Fitti Muzzadha Elfa,
Read more
UII Raih Gold Winner Pada Entrepreneurial Campus Award 2021
Universitas Islam Indonesia (UII) meraih penghargaan Gold Winner Kategori Kampus Akademis pada ajang Entrepreneurial Campus Award 2021 yang diadakan MarkPlus, Inc. Penghargaan bergengsi itu diberikan kepada perguruan tinggi akademis dan vokasi yang berhasil memenuhi kriteria penilaian yang ditetapkan penyelenggara, yaitu pemacu kreativitas, inovasi, entrepreneurship, dan leadership di kalangan perguruan tinggi selama kurun waktu tahun 2020.
UII mendapatkan apresiasi atas terobosan dan kreativitas strategi pemasaran universitas yang dilakukan untuk beradaptasi dalam situasi pandemi. Penyerahan penghargaan kepada Rektor UII berlangsung secara virtual pada Kamis (10/6) yang bersamaan dengan penyelenggaraan kegiatan Jakarta Marketing Week 2021.
Read more
Farmasi dan Kesehatan Publik
Saya ingin berbagi dua poin dalam tulisan ringkas ini.
Pertama, salah satu tujuan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) adalah memastikan kehidupan sehat dan meningkatkan kesejahteraan (well-being) untuk semua kelompok umur tanpa kecuali.
Data dari World Health Organization (WHO) termutakhir yang dapat diakses (sebelum pandemi, 2018) menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran untuk kesehatan (current health expenditure, CHE) terhadap produk domestik bruto (gross domestic products, GDP)[1], negara-negara berkembang cenderung masih rendah dibandingkan dengan negara maju. Data ini memberikan gambaran proporsi pengeluaran bidang kesehatan dibandingkan dengan pendapatan nasional.
Angka untuk Indonesia menunjukkan 2,87%. Bandingkan misalnya dengan Inggris (10%), Kanada (10,79%), Jepang (10,95%), Prancis (11,26%), Jerman (11,43%), Amerika Serikat (AS) (16,89%). Bahkan alokasi Indonesia juga lebih rendah dibandingkan negara-negara ASEAN, seperti Myanmar (4,7%), Filipina (4,4%), Thailand (3,7%).
Jika dinominalkan, pada 2018, pengeluaran untuk kesehatan per kapita[2] sebesar 111,7 dolar AS. Bandingkan misalkan dengan Inggris (4.315 dolar) dan Amerika Serikat (10.624 dolar), atau bahkan dengan Singapura (2.824 dolar).
Saya yakin, ketika pandemi seperti ini, proporsi alokasi anggaran tersebut seharusnya meningkat. Sektor kesehatan menjadi salah satu prioritas, apalagi dalam konteks di mana pandemi belum dapat seluruhnya dikendalikan. Menteri Keuangan menyebut bahwa alokasi anggaran kesehatan meningkat 200%, dari sekitar Rp113 triliun pada 2019 menjadi Rp300 triliun pada 2021.
Alokasi anggaran kesehatan tentu mempunyai kaitan dengan kualitas kesehatan publik. Ketersediaan infastruktur dan layanan kesehatan membutuhkan dana yang tidak kecil. Saat ini, nampaknya tidak sulit untuk bersepakat bahwa disparitas kualitas layanan kesehatan di Indonesia masih sangat luas biasa. Cerita tentang warga yang kesulitan mengakses layanan kesehatan dasar di puskesmas saja, misalnya, masing sering kita dengar.
Ketersediaan obat yang berkualitas di setiap fasilitas layanan kesehatan dan pasar yang bisa diakses publik merupakan salah satu bagian lain dari ikhtiar menjaga kesehatan publik.
Kedua, saya menemukan data bahwa 90% bahan baku obat Indonesia masih diimpor. Salah satu alasan yang mengemuka adalah bahwa cacah perusahaan nasional yang memproduksi bahan baku obat di Indonesia masih sangat terbatas, sehingga tidak memenuhi kebutuhan.
Pengembangan transfer teknologi dan semberdaya manusia dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan kemandirian. Dari persektif lain, pengembangan obat modern asli Indonesia dengan memanfaatkan bahan baku domestik (termasuk tanaman herbal) nampaknya menjadi tantangan yang harus dipecahkan dan dihadapi secara kolektif.
Secara hitungan ekonomi kasar, harga obat dengan bahan baku lokal, juga diharapkan lebih terjangkau oleh publik.
Ilustrasi berikut bisa menjadi pengingat posisi penting tanaman herbal sebagai obat.
Pada 1664, Pulau Manhattan, di mana Kota New York (yang dulunya bernama New Amsterdam) berada di sisi paling selatannya, diambil alih Inggris. Penguasa sebelumnya adalah Belanda. Belanda bersepakat memberikannya kepada Inggris sebagai imbal balik atas sebuah pulau kecil lain. Pulau yang merupakan penghasil rempah-rempah ini diberikan kepada Inggris kepada Belanda.
Pulai kecil ini bernama Run, yang terletak di sebelah selatan Pulau Seram dan sebelah barat Pulau Banda. Meski hanya seluas 3 km persegi, pulau ini dipertukarkan dengan Pulau Manhanttan yang luasnya hampir 20 kali lipat. Saat ini, Pulau Run masuk dalam wilayah Provinsi Maluku.
Pulau yang diklaim oleh Belanda melalui Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), ingin direbut kembali oleh Inggris yang saat itu dipimpin oleh Nathaniel Courthope. Kesepakatan “tukar guling” tersebut terjadi setelah melalui pertempuran, pengepungan, dan perundingan.
Apa hubungan cerita di atas dengan peluncuran program studi kali ini?
Pala, salah satu herba, pada saat itu dipercaya sebagai obat ampuh, ketika pandemi menyerang London pada paruh kedua abad ke-17. Sekitar 20% warga London meninggal dunia. Nah, ketika itu, 10 pon (sekitar 4,54 kg) pala yang di Pulau Run seharga 1 penny, berganti harga menjadi 50 shilling di London, alias naik 600 kali.
Apoteker meraih untung yang luar biasa pada saat itu. Seorang apoteker menyatakan, bahwa pala tersebut mahal, tetapi menjadi obat yang murah ketika kematian mendekat.
Pala, saat itu, hanya ditemukan di Pulau Run dan sekitarnya. Ketika Inggris kembali menguasai Pulau Banda Neira pada 1810, pohon pala dibawa Inggris ke daerah koloninya, seperti Sri Lanka dan Singapura. Itulah awal keruntuhan dominasi Belanda dalam perdagangan rempah-rempah.
Cerita tersebut terekam dalam sebuah buku yang ditulis oleh Milton (1999) yang berjudul Nathaniel’s Nutmeg, Or, The True and Incredible Adventures of the Spice Trader who Changed the Course of History. Perjalanan Nathaniel Courthope, seorang petualang Inggris dan arti penting tanaman herba pala kala itu, dan konflik dagang yang menyertainya, terekam dengan apik dalam buku ini.
Kehadiran program studi farmasi program magister di UII, kita harapkan bersama, dapat berandil memecahkan masalah di atas, dengan menghasilkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas di bidang farmasi.
Komitmen untuk memanfaatkan mahadata untuk mendapatkan tilikan baru dan membantu peningkatan kebijakan kesehatan, juga diharapkan menjadikan program studi baru ini semakin penting dan sekaligus unik.
Referensi:
[1] https://www.who.int/data/gho/data/themes/topics/indicator-groups/indicator-group-details/GHO/current-health-expenditure-(che)
[2] https://www.who.int/data/gho/data/indicators/indicator-details/GHO/current-health-expenditure-(che)-per-capita-in-us$
Sambutan pada peluncuran Program Studi Farmasi Program Magister Universitas Islam Indonesia, 12 Juni 2021.
Blockchain Tingkatkan Keamanan Data Dari Peretasan
Penemuan teknologi blockchain dianggap dapat semakin meningkatkan keamanan data. Blockchain atau yang lebih dikenal dengan sebutan Distributed Ledger Technology, memungkinkan kita memindahkan data secara peer to peer. Caranya dengan mendistribusikan database ke beberapa titik sehingga tidak perlu bergantung pada satu buah server. Demikian seperti disampaikan Muhammad Devito Dunggio, Chairman of Asosiasi Blockchain Indonesia dalam webinar Talks in Deventer yang belum lama ini diselenggarakan UII.
“Blockchain masih tergolong baru, sehingga masih sangat perlu banyak perbaikan dalam sistemnya. Namun, teknologi blockchain ini bertumbuh dengan sangat pesat terutama dalam bidang finance”, ujarnya.
Read more