Nikmat yang selalu diterima setiap saat seringkali luput dari pantauan. Semuanya dianggap sebagai sebuah kewajaran. Rasa bersyukur pun terlupa atau menjadi lebih jarang. Ini mirip dengan pegawai yang ingat untuk bersyukur ketika menerima gaji sebulan sekali. Berbeda dengan, misalnya, pengemudi ojek daring yang selalu ingat bersyukur ketika ada pesanan masuk. Kata alhamdulillah pun menjadi lebih sering diucapkan.
Sebagai bangsa, bisa jadi kita juga serupa. Rasa syukur atas kemerdekaan dari penjajah teringat ketika 17 Agustus tiba, setahun sekali. Kenyamanan atas semua kebaikan yang hadir karena kemerdekaan telah membuat sebagian dari kita terlena. Tanpa kemerdekaan, sulit membayangkan, sebuah bangsa bisa melaksanakan pembangunan dengan baik.
Pembangunan sebagai kemerdekaan
Pembangunan pada hakekatnya adalah menjamin kemerdekaan (kekebasan). Pembangunan mewujud dalam hal, termasuk akses terhadap pendidikan yang berkualitas, layanan kesehatan yang paripurna, pekerjaan yang layak, keamananan yang terjamin, dan juga kebebasan menjalankan ajaran agama dengan tenang.
Warga negara menjadi merdeka untuk memilih banyak hal. Tentu, dengan rasa tanggung jawab dan kekangan hak publik atau orang lain. Inilah teori pembangunan sebagai kemerdekaan (development as freedom) yang dicetuskan oleh Amartya Sen, pemenang Hadiah Nobel di bidang ekonomika pada 1998.
Sebagai ilustrasi, kemerdekaan seorang warga negara dapat memilih atau tidak memilih akses pendidikan yang berkualitas. Termasuk di dalamnya adalah kemerdekaan untuk tidak bersekolah. Tetapi, ketika tidak bersekolah merupakan satu-satunya pilihan seorang warga negara, maka keberhasilan pembangunan perlu dipertanyakan. Begitu juga di aspek layanan kesehatan dan yang lainnya.
Pembangunan yang berhasil akan memungkinkan warga negara mengakses komoditas dalam beragam bentuk. Penghasilan dari pekerjaan yang layak adalah contohnya. Penghasilan ini akan menjadikan warga negara mempunyai kapabilitas (capabilities) untuk melakukan banyak hal, termasuk mengakses layanan pendidikan yang berkualitas. Kapabilitas tersebut akhirnya diterjemahkan ke dalam keberfungsian (functionings) ketika pilihan tersebut dijalankan.
Tidak semua kapabilitas dapat menjadi keberfungsian. Ada faktor konversi yang terlibat di sana. Termasuk di dalam adalah faktor personal, sosial, dan bahkan lingkungan. Seorang warga yang mampu secara ekonomi tetapi memilih tidak menguliahkan anaknya, adalah contoh pengaruh faktor konversi. Atau amsal lain, anak keluarga mapan yang memilih melakukan ‘bunuh diri sosial’ dan menjadi anak jalanan. Ada faktor konversi yang berperan di sana.
Tugas negaralah untuk menjamin bahwa setiap warga negara mendapatkan kemerdekaannya, dalam mengakses komoditas, mengembangkan kapabilitas, dan mengubahnya menjadi keberfungsian. Ketimpangan yang masih ditemukan di Indonesia merupakan perkerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Warga negara dan kelompok masyarakat sipil, termasuk perguruan tinggi, dapat ikut terlibat.
Persatuan sebagai syarat
Persatuan sebuah bangsa bisa menjadi salah satu faktor konversi. Tanpa persatuan sulit mengimaji keberhasilan pembangunan. Tapi, ikhtiar menjaga persatuan bukan tanpa tantangan.
Indonesia dibangun di atas keragaman. Keragaman adalah fakta sosial tak terbantah. Sejak berdirinya, Republik ini tersusun dari anak bangsa dengan berbagai latar belakang: suku, bahasa, dan agama, untuk menyebut beberapa. Keragaman ini oleh para pendiri bangsa telah dirangkai menjadi mosaik yang indah, yang diikat dengan persatuan. Inilah yang menyusun tenun kebangsaan yang digagas oleh para negarawan paripurna yang sudah selesai dengan dirinya.
Kegandrungan untuk terlibat dalam menjaga persatuan dan menjauhi tindakan anti-perdamaian sudah seharusnya melekat di nurani setiap anak bangsa. Perkembangan mutakhir yang ditandai dengan maraknya ujaran kebencian dan informasi bohong (hoaks) tentu mengusik kita sebagai sebuah bangsa. Tenun kebangsaan terancam. Tidak jarang, fenomena ini telah melahirkan sekelompok warga negara yang tuna empati dan menikmati kehinaan kelompok lain.
Kalimat berikut nampaknya menggambarkan situasi saat ini: “Kritik ke kiri, ejek ke kanan, kecam ke depan, fitnah ke belakang, sanggah ke atas, cemooh ke bawah”. Ungkapan ini ditulis oleh Bung Karno pada tahun 1957 yang terekam dalam salah satu tulisan yang termuat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi. Ungkapan tersebut menggambarkan situasi Indonesia pada saat itu, ketika demokrasi dipahami sebagai tujuan, dan bukan alat. Sejarah nampaknya berulang. Pendulum kembali kepada titik yang sama.
Persatuan membutuhkan sikap saling memahami, menghormati, dan menguatkan. Di sana ada nilai-nilai abadi, seperti kejujuran dan keadilan, yang membingkainya. Perguruan tinggi dapat ikut berperan melantangkan pesan ini.
Ini juga sebagai ungkapan rasa syukur atas kemerdekaan yang merupakan nikmat besar Allah kepada bangsa Indonesia. Hanya dengan persatuan, kemerdekaan dapat menjadi milik bersama semua anak bangsa.
Tulisan ini dimuat dalam rubrik refleksi UIINews edisi Agustus 2021.
Tidak Ada Kata Terlambat Memulai Bisnis
Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan Universitas Islam Indonesia (DPK UII) mengadakan webinar “Became Young Entrepreneur to Support Local Brand” dalam rangkaian Student Entrepreneur Week (SEW) pada Sabtu (28/08). Acara ini menghadirkan Najla Bisyir (Founder Bittersweet by Najla) dan Diajeng Lestari (Founder & CEO Hijup.com).
“Perlu diketahui tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu,” kalimat pembuka Najla Bisyir yang merupakan pengusaha bidang Food and Beverage (FnB) dessert box. Produknya terbilang sukses di Indonesia.
Read more
Mensyukuri Kemerdekaan
Nikmat yang selalu diterima setiap saat seringkali luput dari pantauan. Semuanya dianggap sebagai sebuah kewajaran. Rasa bersyukur pun terlupa atau menjadi lebih jarang. Ini mirip dengan pegawai yang ingat untuk bersyukur ketika menerima gaji sebulan sekali. Berbeda dengan, misalnya, pengemudi ojek daring yang selalu ingat bersyukur ketika ada pesanan masuk. Kata alhamdulillah pun menjadi lebih sering diucapkan.
Sebagai bangsa, bisa jadi kita juga serupa. Rasa syukur atas kemerdekaan dari penjajah teringat ketika 17 Agustus tiba, setahun sekali. Kenyamanan atas semua kebaikan yang hadir karena kemerdekaan telah membuat sebagian dari kita terlena. Tanpa kemerdekaan, sulit membayangkan, sebuah bangsa bisa melaksanakan pembangunan dengan baik.
Pembangunan sebagai kemerdekaan
Pembangunan pada hakekatnya adalah menjamin kemerdekaan (kekebasan). Pembangunan mewujud dalam hal, termasuk akses terhadap pendidikan yang berkualitas, layanan kesehatan yang paripurna, pekerjaan yang layak, keamananan yang terjamin, dan juga kebebasan menjalankan ajaran agama dengan tenang.
Warga negara menjadi merdeka untuk memilih banyak hal. Tentu, dengan rasa tanggung jawab dan kekangan hak publik atau orang lain. Inilah teori pembangunan sebagai kemerdekaan (development as freedom) yang dicetuskan oleh Amartya Sen, pemenang Hadiah Nobel di bidang ekonomika pada 1998.
Sebagai ilustrasi, kemerdekaan seorang warga negara dapat memilih atau tidak memilih akses pendidikan yang berkualitas. Termasuk di dalamnya adalah kemerdekaan untuk tidak bersekolah. Tetapi, ketika tidak bersekolah merupakan satu-satunya pilihan seorang warga negara, maka keberhasilan pembangunan perlu dipertanyakan. Begitu juga di aspek layanan kesehatan dan yang lainnya.
Pembangunan yang berhasil akan memungkinkan warga negara mengakses komoditas dalam beragam bentuk. Penghasilan dari pekerjaan yang layak adalah contohnya. Penghasilan ini akan menjadikan warga negara mempunyai kapabilitas (capabilities) untuk melakukan banyak hal, termasuk mengakses layanan pendidikan yang berkualitas. Kapabilitas tersebut akhirnya diterjemahkan ke dalam keberfungsian (functionings) ketika pilihan tersebut dijalankan.
Tidak semua kapabilitas dapat menjadi keberfungsian. Ada faktor konversi yang terlibat di sana. Termasuk di dalam adalah faktor personal, sosial, dan bahkan lingkungan. Seorang warga yang mampu secara ekonomi tetapi memilih tidak menguliahkan anaknya, adalah contoh pengaruh faktor konversi. Atau amsal lain, anak keluarga mapan yang memilih melakukan ‘bunuh diri sosial’ dan menjadi anak jalanan. Ada faktor konversi yang berperan di sana.
Tugas negaralah untuk menjamin bahwa setiap warga negara mendapatkan kemerdekaannya, dalam mengakses komoditas, mengembangkan kapabilitas, dan mengubahnya menjadi keberfungsian. Ketimpangan yang masih ditemukan di Indonesia merupakan perkerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Warga negara dan kelompok masyarakat sipil, termasuk perguruan tinggi, dapat ikut terlibat.
Persatuan sebagai syarat
Persatuan sebuah bangsa bisa menjadi salah satu faktor konversi. Tanpa persatuan sulit mengimaji keberhasilan pembangunan. Tapi, ikhtiar menjaga persatuan bukan tanpa tantangan.
Indonesia dibangun di atas keragaman. Keragaman adalah fakta sosial tak terbantah. Sejak berdirinya, Republik ini tersusun dari anak bangsa dengan berbagai latar belakang: suku, bahasa, dan agama, untuk menyebut beberapa. Keragaman ini oleh para pendiri bangsa telah dirangkai menjadi mosaik yang indah, yang diikat dengan persatuan. Inilah yang menyusun tenun kebangsaan yang digagas oleh para negarawan paripurna yang sudah selesai dengan dirinya.
Kegandrungan untuk terlibat dalam menjaga persatuan dan menjauhi tindakan anti-perdamaian sudah seharusnya melekat di nurani setiap anak bangsa. Perkembangan mutakhir yang ditandai dengan maraknya ujaran kebencian dan informasi bohong (hoaks) tentu mengusik kita sebagai sebuah bangsa. Tenun kebangsaan terancam. Tidak jarang, fenomena ini telah melahirkan sekelompok warga negara yang tuna empati dan menikmati kehinaan kelompok lain.
Kalimat berikut nampaknya menggambarkan situasi saat ini: “Kritik ke kiri, ejek ke kanan, kecam ke depan, fitnah ke belakang, sanggah ke atas, cemooh ke bawah”. Ungkapan ini ditulis oleh Bung Karno pada tahun 1957 yang terekam dalam salah satu tulisan yang termuat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi. Ungkapan tersebut menggambarkan situasi Indonesia pada saat itu, ketika demokrasi dipahami sebagai tujuan, dan bukan alat. Sejarah nampaknya berulang. Pendulum kembali kepada titik yang sama.
Persatuan membutuhkan sikap saling memahami, menghormati, dan menguatkan. Di sana ada nilai-nilai abadi, seperti kejujuran dan keadilan, yang membingkainya. Perguruan tinggi dapat ikut berperan melantangkan pesan ini.
Ini juga sebagai ungkapan rasa syukur atas kemerdekaan yang merupakan nikmat besar Allah kepada bangsa Indonesia. Hanya dengan persatuan, kemerdekaan dapat menjadi milik bersama semua anak bangsa.
Tulisan ini dimuat dalam rubrik refleksi UIINews edisi Agustus 2021.
Hindari Boros, Capai Kemandirian Finansial Sejak Dini
Setiap orang tentunya memiliki harapan yang baik mengenai keuangan yang mereka miliki. Perencanaan keuangan yang baik sangatlah penting agar mencapai kemandirian finansial. Kemandirian finansial diartikan sebagai suatu kondisi ketika dengan kondisi keuangan yang kita miliki saat ini kita dapat membeli segala sesuatu dengan uang kita sendiri.
Seperti disampaikan Raissasa, seorang investor sekaligus founder Investasi Sejak Dini dalam acara daring “Introduction to Financial Independence” yang diselenggarakan Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) FBE UII pada Minggu (29/8).
Read more
CILACS UII Jalin Kerjasama dengan Fakultas Biologi UNSOED
Pusat Bahasa Internasional dan Kajian Budaya, Cilacs UII menggandeng Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah untuk membuka kelas perdana Gelombang 3 TOEFL preparation bagi mahasiswa. Acara itu berlangsung pada Kamis (26/8). Kegiatan yang merupakan hasil kerjasama ini direncanakan berlangsung hingga gelombang 5 pada akhir tahun 2021 ini.
Read more
Budaya Agama dalam Perdagangan Intan di Martapura
Praktik dan relasi sosial yang terbentuk dalam perdagangan intan di kota Martapura dikupas secara menarik oleh Program Doktor Hukum Islam UII. Acara bertajuk bedah buku “Budaya Agama Dalam Transaksi Jual Beli Intan Melalui Pengempit di Martapura Kalimantan Selatan” ini diadakan pada Kamis (26/8) secara daring. Sang penulis buku, Dr. Amelia Rahmaniah, M.H. turut hadir dalam acara tersebut.
Ia melihat fenomena jual beli intan di Martapura mempunyai keunikan tersendiri dan dapat dijadikan sebagai budaya dalam daerah setempat. Kebiasaan dan rutinitas jika dimaknai secara ilmiah tentu akan memberikan manfaat. Pelaku ekonomi yang dikaji dalam bukunya adalah Suku Banjar yang mendiami daerah aliran sungai dari Banjarmasin sampai Amuntai.
Read more
Memprediksi Masa Depan Afghanistan di Tangan Taliban
Pasca jatuhnya ibukota Kabul di Afghanistan, kelompok Taliban berjanji akan membentuk pemerintahan Islami yang inklusif, melindungi hak perempuan dan kebebasan pers, serta menjadi lebih moderat. Respon masyarakat dunia dan ahli pun menjadi beragam, mulai dari skeptis hingga tak sedikit yang optimis. Berangkat dari hal ini, Institute for Global and Strategic Studies (IGSS), Program Studi Hubungan Internasional (PSHI), Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan diskusi publik “Taliban Revival: What’s Next for Afghanistan” pada Selasa (24/08) secara daring.
Hadza Min Fadhli Robby, S.IP., M.Sc., yang juga dosen prodi Hubungan Internasional di UII, mengajak untuk melihat dan memahami perspektif personal rakyat Afghanistan terlebih dahulu. Berdasarkan perbincangan dengan rekan-rekan Afghanistannya, Hadza mengungkapkan bahwa perasaan masyarakat Afghanistan bercampur aduk. Ketidakpastian rezim ini memiliki efek yang sangat buruk tidak hanya pada sektor pendidikan, tetapi terhadap kelangsungan kehidupan sosial ekonomi dan budaya di Afghanistan, lanjutnya.
Read more
Mengakselerasi Inovasi dan Kewirausahaan
Universitas Islam Indonesia (UII) bekerjasama dengan organisasi RIVGURU menyelenggarakan webinar “Accelerating Innovation and Entrepreneurship” pada Selasa (24/8). Acara ini menghadirkan tiga pembicara, Nitin Gupta, MBA., Dr. Ir. Arif Wismadi, M.Sc., dan Hari Setiaji, S.Kom., M.Eng.
Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, Ph.D mengatakan bahwa inovasi merupakan hal yang sangat penting. Tidak hanya ketika memulai usaha, tetapi juga untuk menjaga eksistensi dan mengembangkannya. Ketika organisasi gagal atau terlambat merespon perubahan dengan inovasi maka organisasi tersebut akan menurun, gagal, atau bahkan mati.
Read more
Mahasiswa FK UII Juarai Lomba Video Edukasi
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) berhasil menjuarai lomba video edukasi dalam acara LabMa Social Campaign Fair 2021 yang diadakan oleh UII pada 24 Juni-14 Agustus 2021. Mereka adalah Anastasya Syam Ramadhani, Zalfa Nihamuyassari Kanilla, dan Muhammad Hakim Abyantoro mengajak masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan kesolidaritasan di masa pandemi Covid-19, khususnya dalam hal ekonomi.
Read more
Mahasiswa UII Juara 2 Emergency Medical Competition
Tim Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) yang terdiri dari Anindya Amanda Damayanti, Amany Taqiyyah Wardhani, dan Anisa Sugiyanti berhasil meraih Juara 2 pada Emergency Medical Competition bidang poster publik yang diadakan oleh Perhimpunan Tim Bantuan Medis Mahasiswa (PTBMMKI) Wilayah 1. Kompetisi ini digelar secara virtual pada 20 Juli – 22 Agustus 2021.
Read more
Lebih Kreatif dengan Seni dan Humor
Saya yakin semua sepakat bahwa inovasi sangat penting, tidak hanya untuk mempunyai sebuah usaha, tetapi juga untuk menjaga eksistensi, dan mengembangkannya. Terlalu banyak contoh, organisasi yang menurun dan bahkan mati, ketika gagal atau bahkan terlambat dalam melakukan inovasi. Kodak dan Nokia bisa menjadi contoh sebagai pengingat.
Tema webinar kali ini Accelerating Innovation and Entrepreneurship terasa sangat tepat. Inovasi tidak hanya perlu dilakukan tetapi harus cepat dilakukan. Dan, inovasi harus berujung pada kewirausahaan alias dipasarkan. Jika tidak, namanya kreativitas.
Kreativitas adalah jalan menuju inovasi, tetapi tidak semua kreativitas menjadi inovasi. Kreativitas berfokus pada kebaruan, tetapi inovasi selain baru juga harus laku, alias diterima oleh pasar.
Tentu ada konseptualisasi lain dalam memandang kreativitas dan inovasi. Variasi itu sendiri merupakan semua kreativitas. 🙂
Pendorongan inovasi bisa dilakukan dengan menyemarakkan kreativitas. Di sambutan pendek ini, saya ingin mengajak partisipan untuk meningkatkan kreativitas dengan dua pendekatan: seni dan humor.
Pertama, seni. Seni jenis apapun, mulai dari bermain instrumen musik, menggambar, menulis, sampai dengan sulap. Selain menguasai bidang utama keahlian, upayakan mengasah rasa seni. Ini soal kedalaman dan keluasan pengalaman, yang sangat penting untuk memunculkan kreativitas.
Para pemenang Hadiah Nobel, jika kita ingin mengambil contoh serius, adalah para pecinta seni. Sekelompok 15 peneliti dari Michigan State University menemukan perbedaan antara ilmuwan biasa dengan ilmuwan pemenang Hadial Nobel.
Kelompok pemenang mempunyai inklinasi ke bidang seni yang beragam. Ilmuwan yang menjadi penampil (seperti aktor amatir, penari, atau sulap) adalah mereka yang paling kreatif. Kreativitasnya 22 kali lebih besar dibanding kelompok ilmuwan biasa. Mereka yang suka dengan menulis (puisi, novel, cerita pendek, esai, atau sejenisnya) 12 kali lebih kreatif, dan yang mempunyai hobi menggambar atau melukis tujuh kali lebih kreatif. Semua itu terekam dalam buku Adam Grant (2016) yang berjudul Originals.
Kedua, humor. Penelitian mutakhir menemukan bahwa humor sehat dalam kadar yang pas berguna untuk menjaga emosi positif yang sangat bermanfaat di tempat kerja dan juga di tempat interaksi sosial lainnya. Penelitian menemukan bahwa pimpinan yang mempunyai selera humor dipandang 27% lebih memotivasi dan dikagumi, dibandingkan dengan yang tidak. Bawahan juga 15% lebih tertarik untuk melibatkan diri. Tim yang humoris juga dua kali lebih baik dalam memecahkan tantangan kreativitas (Aaker & Bagdonas, 2021). Ujungnya adalah kinerja yang membaik.
Semakin senior seorang profesional, biasanya semakin lupa dengan humor. Sebuah survei terhadap 1,4 juta responden di 166 negara mengkonfirmasi ini. Pertanyaan sederhana ditanyakan: “Apakah Anda banyak tersenyum atau tertawa, kemarin?” Responden berusia 16, 18, dan 20 sebagian besar menjawab ya. Pada usia 23, jawaban menjadi tidak. Dan, tertawa mulai dilupakan sampai dengan pensiun (Aaker & Bagdonas, 2021).
Bapak Wahid Supriyadi (CEO RivGuru Indonesia) nampaknya bisa bercerita banyak soal ini. Buku Beliau yang berjudul Diplomasi Ringan dan Lucu: Kisah Nyata (Supriyadi, 2020) yang mengumpulkan pengalaman berharga Beliau ketika menjadi diplomat dan duta besar, bisa menjadi bukti nyata. Humor bisa memecahkan masalah atau paling tidak membuka pintu banyak solusi atas beragam masalah.
Saya yakin dalam webinar ini, banyak poin menarik yang akan dibagi terkait dengan inovasi dan kewirausahaan. Saya juga yakin para peserta akan membawa pulang beragam konsep penting yang tidak hanya terngiang dalam ingatan, tetapi juga akan mendorong aksi nyata.
Referensi
Aaker, J. & Bagdonas, N. (2021). Humor, Seriously: Why Humor is a Secret Weapon in Business and Life. Redfern, New South Wales, Australia: Currency.
Grant, A. M. (2016). Originals: How Non-conformists Move the World. New York: Penguin.
Supriyadi, M. W. (2020). Diplomasi Ringan dan Lucu: Kisah Nyata. Yogyakarta: Buku Litera.
Sambutan pada webinar Accelerating Innovation and Entrepreneurship yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Indonesia dan RivGuru pada 24 Agustus 2021.