Dosen Program Studi Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia (UII), Hanindya Kusuma Artati., S.T., M.T. teliti potensi likuefaksi menggunakan pendekatan state parameter berdasarkan percepatan maksimum permukaan tanah akibat gempa hasil Codes, Deterministic, and Probabilistic Seismic Hazard Analysis. Hanindya dalam penelitiannya mengangkat studi kasus pada gempa Palu, Sulawesi Tengah, M 7.4, pada 28 September 2018.

Read more

Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menyampaikan gagasannya merespons isu aktual. Gagasan kali ini dikemas dalam Podcast Lexi: Social Justice dengan tema “Legal Talk: Netralitas ASN, TNI, POLRI, dan Penyelenggaraan Pemilu 2024”. Read more

Tahun ini kembali digelar kegiatan akbar berskala nasional Innovation Festival (InnoFest) untuk kali kedua oleh Universitas Islam Indonesia (UII). InnoFest yang digelar pada Rabu (17/1) di Auditorium Fakultas Teknologi Industri UII ini mengangkat tema “Hilirisasi Invensi dan Green Entrepreneurship untuk Mendorong Kemandirian Kesehatan dan Energi bagi Bangsa”. InnoFest menggandeng mitra usaha Dunia Industri (DUDI) untuk berkolaborasi mengembangkan ekosistem inovasi dan kewirausahaan di Indonesia. Read more

Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) melantik dan mengambil sumpah 116 dokter baru yang terdiri dari 36 laki-laki dan 80 perempuan. Acara sumpah dokter FK UII angkatan 62 ini berlangsung pada Rabu (17/1) di Auditorium Prof. Abdul Kahar Muzakkir dengan penuh haru dan khidmat. Acara ini juga ditayangkan melalui kanal YouTube Fakultas Kedokteran UII. Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) menerima kunjungan kerja dari Universitas Al-Azhar Mataram pada Senin (15/1), di Gedung GBPH Prabuningrat Kampus Terpadu UII. Dalam agenda studi banding ini disikusikan terkait dengan penegakkan kode etik dan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Universitas. Read more

Program Studi Arsitektur Universitas Islam Indonesia (UII) menawarkan studi lanjut strata-2 (S-2) Magister Arsitektur dan Program Studi Profesi Arsitek (PPAr) bagi calon wisudawan pada acara bertajuk “Pembekalan Lulusan Sarjana Arsitektur”. Acara yang diselenggarkan pada Sabtu (9/1) di ruang Information and Resources Center (IRC), Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) UII tersebut terselenggara sebagai bentuk monitoring dan tawaran beberapa pilihan yang dapat diambil oleh calon lulusan di bidang arsitektur. Read more

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Dr. Winahyu Erwiningsih, S.H., M.Hum., Not., berhasil meraih gelar prosfesor sebagai jabatan akademik tertinggi. Raihaian ini menjadikannya sebagai profesor di UII pertama pada Bidang Ilmu Hukum Agraria dan Pajak pertama di UII. Tercatat, Prof. Winahyu menjadi Guru Besar ke-13 di FH UII, melengkapi 40 profesor aktif di UII. Read more

Keluarga besar Universitas Islam Indonesia (UII) bersyukur atas nikmat yang tak berhenti terlimpah. Pagi ini, seorang kolega kita mendapatkan amanah jabatan baru, sebagai profesor: Prof. Dr. Winahyu Erwiningsih. Untuk itu, kita semua menyampaikan selamat atas capaian tertinggi dalam kewenangan akademik ini. Profesor bukan gelar akademik, tetapi jabatan yang punya muatan amanah besar yang melekat di sana.

Sampai hari ini, UII mempunyai 40 profesor aktif yang lahir dari rahim sendiri. Dalam setahun terakhir, selama 2023, UII mendapatkan 12 surat keputusan profesor. Prof. Winahyu merupakan profesor ke-13 di Fakultas Hukum UII.

Ini menjadikan proporsi dosen dengan jabatan akademik profesor mencapai 5 persen (40 dari 790 orang). Persentase ini hampir dua kali lipat dibandingkan rata-rata nasional, yang baru 2,61 persen dari sekitar 311.000 dosen.

Saat ini, sebanyak 262 dosen UII berpendidikan doktor (33,2%). Sebanyak 67 berjabatan lektor kepala dan 116 lektor. Mereka semua (183 orang) tinggal selangkah lagi mencapai jabatan akademik profesor.

Pada kesempatan yang baik ini, izinkan saya berbagi perspektif dan mengajak hadirin, terutama profesor baru, untuk membantu mematangkannya melalui refleksi lanjutan.

 

Kewajiban fidusia kepada mahasiswa

Dalam sambutan pendek ini, saya akan membahas kewajiban fidusia (fiduciary duties) profesor. Istilah fidusia digunakan di bidang hukum yang merujuk kepada pengalihan hak kepemilikan sebuah benda. Dalam konteks ini ada kepercayaan, seperti arti asal kata fidusia dari bahasa Latin, fidere yang berarti “mempercayai”. Fidusia adalah konsep relasional karena melibatkan lebih dari pihak.

Hubungan fidusia juga mengandaikan ada penerima manfaat (beneficiaries) yang menjadi fokus. Hubungan ini juga dianggap sebagai sesuatu yang berbeda, lebih tinggi, lebih murni, daripada sekedar hubungan kontraktual.

Mari, kita terapkan konsep ini dalam konteks pendidikan tinggi. Profesor dan secara luas dosen atau pendidik juga mempunyai hubungan fidusia dengan mahasiswa. Mahasiswa menaruh kepercayaan kepada para pendidik.

Di sini lain, sebagai implikasi, para pendidik mempunyai kewajiban fidusia yang merupakan hutang kepada mahasiswa (Scharffs & Welch, 2005). Kewajiban ini termasuk di antaranya memberikan bimbingan kepada mahasiswa, memberikan pengajaran yang berkualitas, menyediakan lingkungan pendidikan yang bebas dari rundungan dan pelecehan seksual, dan membentuk suasana kelas yang memandang mahasiswa setara dan bebas dari favoritisme atau jebakan anak emas. Daftar ini tentu bisa diperpanjang.

Juga penting disampaikan di sini bahwa pendidik tidak boleh menggunakan memanfaatkan relasi kuasa dengan mahasiswa untuk kepentingannya (Freedman, 1986). Dalam konteks ini, mahasiswa dalam posisi yang lemah.

Kehadiran para profesor diharapkan memberikan pencerahan kepada para mahasiswa. Peran ini sangat tidak mungkin diwakilkan, dan membutuhkan kehadiran dan interaksi langsung dengan mahasiswa.

Tentu, ada pengorbanan di sini, dari sisi waktu dan energi. Tetapi sekali ini, ini adalah harga layak yang harus dibayar karena mahasiswa (termasuk keluarganya) yang sudah menarik kepercayaan yang sangat tinggi.

Kita tidak mungkin membuat mahasiswa bertepuk sebelah tangan. Kita lengkapi dengan tangan kita supaya suara meriah muncul tapi bertemunya kedua tangan tersebut.

 

Kewajiban fidusia kepada publik

Apakah hubungan fidusia juga terjadi antara profesor dengan publik? Saya mengajak hadirin merenungkannya.

Profesor yang menjadi intelektual publik bisa menjadi salah satu penjelmaan karena kesadaran ini. Di sini, kepentingan publik menjadi fokus utama.

Di satu sisi, publik menaruh kepercayaan yang tinggi kepada profesor dan di sisi lain, juga ada “hutang” kepada publik yang harus dibayar oleh para profesor.

Peran intelektualisme publik ini bisa mewujud dalam beragam bentuk. Termasuk di dalamnya terlibat aktif dalam penyelesaian masalah publik atau meningkatkan kualitas kehidupan melalui aktivisme bersama organisasi publik.

Selain itu, juga dapat berbentuk ikhtiar mewarnai diskusi di ruang publik terkait isu bersama. Ikhtiar ini dapat disampaikan dalam beragam kanal, termasuk diskusi maupun tulisan populer atau kolom.

Studi yang dilakukan oleh Osborne dan Wilton (2017), misalnya, menemukan beragam alasan mengapa profesor menulis kolom di media populer. Beberapa yang mengemuka termasuk bahwa kolom akan memberikan wajah publik bagi kampus dan meningkatkan hubungan positif dengan konteks.

Kolom yang ditulis para profesor juga dipercaya akan memberikan sudut pandang akademik beragam isu yang muncul di media massa, selain juga akan menantang bias konservatisme atau pemahaman yang terlanjut melekat di tengah masyarakat. Dalam bahasa lain, kolom para profesor ini menawarkan perspektif baru yang lebih segar untuk beragam isu.

Responden lain mengatakan, menulis kolom juga sebagai bagian pengabdian kepada publik dengan membayar kepercayaan yang sudah diberikan kepada para profesor atau pendidik secara luas.

Sekali lagi, apa yang saya sampaikan diniatkan untuk membuka mata kolektif kita dan juga menghangatkan diskusi yang bermakna. Semoga berkenan.

Semoga amanah profesor ini menjadi pembuka berjuta pintu keberkahan, tidak hanya bagi pribadi dan keluarga, tetapi juga institusi dan publik. Sekali lagi, jabatan profesor tidak hanya merupakan prestasi, tetapi juga sekaligus amanah publik yang perlu dijalankan dengan sepenuh hati.

 

Referensi

Freedman, M. H. (1986). The professional responsibility of the law professor: Three neglected questions. Vanderbilt Law Review39(2), 275-286.

Osborne, G., & Wilton, S. (2017). Professing in the local press: Professors and public responsibilities. Journal of Community Engagement and Scholarship10(1), 67-80.

Scharffs, B. G., & Welch, J. W. (2005). An analytic framework for understanding and evaluating the fiduciary duties of educators. BYU Education & Law Journal, 4, 159-229.

Sambutan pada acara Serah Terima Surat Keputusan Profesor untuk Prof. Winahyu Erwiningsih, S.H., M.Hum., Not. pada 5 Januari 2024.

Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menggelar Musyawarah Wilayah (Muswil). Bertemakan “Perguruan Tinggi Swasta Daerah Istimewa Yogyakarta Maju Bersama”, acara dilaksanakan di Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), Kaliurang, pada Kamis (4/1). Read more

Mengapa berita palsu, informasi salah, atau hoaks bisa menyebar cepat? Ada banyak jawaban. Salah satu jawabannya adalah karena naluri dan emosi telah mengalahkan fakta dan nalar.

Jika ini terjadi, maka akal sehat tergadaikan. Diskusi sehat pun tidak mungkin dijalankan. Pintu bertukar pikiran sudah ditutup rapat.

Sialnya, kasus seperti ini tidak hanya menjangkiti kalangan awam. Kalangan terpelajar pun banyak yang terjerat. Apalagi jika dilengkapi dengan embel-embel kepentingan, yang memudahkan produksi 1001 macam argumen pembenaran.

Karenanya, ketika ada informasi yang memapar seseorang dan itu mengonfirmasi opini awal yang sudah dipercaya, maka apa pun kualitasnya, informasi tersebut akan dilahapnya tanpa penalaran yang berarti. Inilah yang disebut dengan bias konfirmasi.

Di saat yang sama, informasi lain meski benar, tetapi jika tidak sesuai dengan opini semula, maka akan ditampik. Sangat sulit bagi orang yang seperti ini untuk berpindah pendirian.

Apesnya, opini awal yang terbentuk pun tidak selalu yang benar. Informasi salah yang memapar bertubi-tubi, akan lebih mudah dipercaya dibandingkan dengan informasi benar yang baru sekali diketahui.

Informasi apa pun yang diberikan oleh orang bercitra baik dan mempunyai tautan emosional baik juga serupa: lebih mudah dipercaya, meski tidak benar dan berlawanan dengan akal sehat. Kerumitan bertambah, ketika banyak pihak yang saling mengklaim sebagai otoritas yang bisa dipercaya. Dalam konstelasi ini, para pihak tersebut termasuk para ahli dengan beragam argumen dan segenap khalayak, terutama warganet.

Kekhawatiran di atas akan menemukan banyak bukti di musim kontestasi politik seperti saat ini. Coba simak beberapa informasi yang beredar di dunia maya berikut: Polisi Temukan Gudang Penyimpanan Ijazah Palsu Gibran; Mahfud MD Laporkan Gibran Rakabuming Raka ke KPU; Mendag Zulkifli Hasan Ditangkap Karena Penistaan Agama; Rektor UGM Mengeluarkan Gielbran Muhammad Noor atas Aksi Mengkritik Presiden Jokowi; Gibran Menggunakan 3 Mic pada Debat Cawapres, Berbeda dengan Dua Calon Lain; dan Warga Solo Teriaki Prabowo “Anies Presiden”. Semua informasi tersebut dipastikan merupakan hoaks. Situs www.kominfo.go.id sudah menayangkan klarifikasi untuk setiapnya. Bisa jadi, ketika suhu politik semakin menghangat, produksi hoaks juga meningkat, baik dengan memoles pasangan jagoan atau memfitnah pasangan lawan.

Apa yang terjadi jika hoaks tersebut terus menyebar dan dipercaya oleh semakin banyak orang? Beragam skenario bisa dibayangkan, termasuk suhu politik yang semakin memanas. Bukan karena adu gagasan bernas, tetapi benturan keganasan culas. Semuanya tidak ada yang berakhir indah.

Dalam konteks politik, fenomena di atas telah melahirkan yang oleh William Davies dalam bukunya Nervous State disebut sebagai “demokrasi perasaan” (democracy of feelings), ketika perasaan semakin mendominasi keputusan manusia. Fakta dimanipulasi untuk memberikan dampak emosional yang maksimum, dan perasaan dimainkan untuk menavigasi perubahan yang sangat cepat.

Bagi Davies, dalam situasi seperti ini, tantangan terbesarnya bukan lagi pada penghormatan kepada kebenaran, karena kebenaran sudah menjadi isu politik. Kebenaran dibuat menjadi relatif dan diputarbalikkan. Alih-alih digunakan untuk resolusi konflik, kebenaran justru digunakan untuk memperuncing konflik.

Informasi yang beredar pun, termasuk hoaks, dianggap sebagai representasi kebenaran. Kecepatan sebaran informasi tersebut semakin dahsyat ketika terjadi di pusaran publik dengan imajinasi paranoid yang tinggi karena perasaan terancam, kesesuaian informasi dengan opini awal yang dimiliki, dan frekuensi informasi yang diterima.

Jika ini yang terjadi, dalam konteks perhelatan politik, kebebasan warga dapat direnggut dengan manipulasi dan penggiringan opini, sehingga akal sehat menjadi sulit untuk berfungsi. Di sini, terjadi surplus perasaan yang dibarengi dengan defisit penalaran yang akut.

Bagaimana melawannya? Diperlukan gerakan bersama-sama mengedepankan penalaran merdeka yang tidak dikangkangi oleh perasaan tuna nurani. Semuanya penting dilakukan untuk merawat kewarasan kolektif sebagai bangsa.

Tulisan sudah tayang di Kolom Analisis Harian Kedaulatan Rakyat pada 29 Desember 2023.