Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH UII menyelenggarakan diskusi daring “Pro Kontra Putusan Banding Jaksa Pinangki” pada Senin (26/7). Peneliti Pusat Studi HAM UII, Dr. Despan Heryansyah, S.H., M.H. menilai korupsi yang dilakukan oleh Pinangki di lingkungan lembaga peradilan melanggar HAM masyarakat. Kejahatannya dalam kasus ini juga dapat dikatakan bertingkat. 

Pertama, Pinangki telah membantu seorang koruptor. Kedua, Pinangki telah melakukan korupsi itu sendiri, dengan menerima suap, melakukan money laundry, dan permufakatan jahat untuk mengeluarkan fatwa. Tindakan Pinangki ini telah melanggar hak masyarakat untuk mendapat peradilan yang fair, kesetaraan, dan mendiskriminasi.

Read more

Tim mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) yang terdiri dari Anindya Amanda Damayanti, Anisa Sugiyanti, dan Amany Taqiyyah Wardhani kembali menorehkan tinta emas pada acara PTBMMKI CUP yang diadakan oleh Perhimpunan Tim Bantuan Medis Mahasiswa Kedokteran se-Indonesia pada Minggu (25/7).

Read more

Adanya teknologi digital seperti media sosial membawa dampak positif sekaligus negatif. Dampak positifnya adalah jumlah dokter di Indonesia yang masih jauh kurang dan terpusat di perkotaan menjadi dapat lebih mudah diakses oleh siapa saja dan dimana saja. Kegiatan promosi kesehatan dapat lebih mudah gencar dilakukan melalui cara yang efisien atau mudah terjangkau. Contohnya adalah oleh drg. Adrian Rustam, content creator sekaligus founder @orca.dentalstudio seorang dokter yang giat mengedukasi masyarakat lewat konten kreatifnya di sosial media seperti tiktok dan Instagram.

Read more

Pandemi Covid-19 memunculkan banyak kekhawatiran untuk semua orang, tak terkecuali mahasiswa. Banyak orang yang awalnya khawatir terhadap aspek kesehatan, lalu saat ini jauh lebih banyak yang khawatir terhadap aspek lanjutan dari masalah kesehatan atau pandemi.

Read more

Forum Diskusi Strategi dan Karya (FODISKA) bersama Fakultas Kedoteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) menggelar webinar dengan mengangkat tema “Eskalasi Perkembangan dan Penularan Virus: Penangan dan Efektivitas Vaksin” pada Sabtu, (24/7).

Read more

Jurusan Studi Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (FIAI UII) menyelenggarakan diskusi nasional bertemakan “Revitalisasi Studi Tokoh Muslim Dalam Pengembangan Pemikiran Islam”. Acara yang diselenggarakan pada Sabtu (24/7) via Zoom tersebut mengundang Dr. Tamyiz Mukharrom, MA, Dekan FIAI UII, Drs. Suwarsono Muhammad, M.A Ketua Umum Pengurus Yayasan Badan Wakaf UII, dan Dr, Aksin Wijaya, M. Ag. Dosen Pascasarjana IAIN Ponorogo.

Read more

Pendidikan sebagai ikhtiar mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan amanah konstitusi yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Isu tentang pendidikan selalu menarik, karena peran penting pendidikan dalam memajukan peradaban manusia. Kemajuan peradaban manusia selalu disertai dengan kualitas pendidikan yang baik, pada masanya. Generasi terdidik adalah aktor peradaban. Penyataan ini valid tidak hanya untuk masa lalu, tetapi juga untuk masa kini, dan masa depan.

Refleksi saya atas topik yang diangkat dalam diskusi kali ini “pendidikan dan implementasi sila pertama” memunculkan paling tidak tiga isu penting yang saling terkait. Dalam tulisan singkat ini, kacamata yang dipakai adalah posisi saya sebagai seorang muslim.

Isu pertama terkait dengan misi pendidikan. Pemahaman yang baik atas misi pendidikan akan sangat bermanfaat menjaga semua proses berada dalam koridor yang seharusnya. Isu kedua adalah tentang pemaknaan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam bingkai besar Pancasila. Isu ketiga berhubungan dengan kontekstualisasi sila pertama tersebut dalam pendidikan.

Kita diskusikan secara ringkas setiap isu ini di bagian berikut.

 

Misi pendidikan

Misi pendidikan adalah isu pertama. Untuk mendiskusikan ini, saya meminjam konsep dari khazanah pendidikan Islam. Pendidikan dalam Islam menyentuh semua aspek pengembangan manusia, mulai dari membantu pengembangan individu, meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap aturan-aturan sosial dan moral, dan mentransmisikan pengetahuan (Halstead, 2004).

Dalam tradisi Islam, pendidikan mempunyai tiga prinsip yang saling melengkapi: tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Beragam konseptualisasi ditemukan dalam literatur. Halstead (2004) menawarkan beberapa kata kunci untuk memahami ketiga prinsip ini. Tarbiyah terkait dengan upaya untuk menumbuhkan (to grow) atau meningkatkan (to increase) pribadi pembelajar. Istilah tarbiyah sering disamakan dengan pematangan pribadi. Semua potensi baik kemanusiaan dikembangkan. Kata ini juga yang sering diartikan dengan “pendidikan”.

Ta’lim dikaitkan dengan ikhtiar yang dilakukan supaya pembelajar mengetahui (to know), terinformasi (to be informed), mempersepsikan (to perceive), dan mengenali atau membedakaan (to discern) sesuatu atau bahan ajar. Di sini terjadi transfer ilmu atau pengetahuan.

Ta’dib mencakup aspek lain, yaitu bahwa pembelajar akan dimurnikan (to be refined), didisiplinkan (to be disciplined), dan dibudayakan (to be cultured). Untuk konteks ini, Al-Attas (1980) menegaskan bahwa pendidikan adalah proses menyuntikkan adab (nilai) dan membentuk karakter pembelajar, secara perlahan namun pasti.

Ketiga prinsip tersebut memberikan pesan bahwa pendidikan harus menyentuh tiga aspek: nilai, pengetahuan, dan keterampilan. Nilai menjadi basis yang cenderung bersifat abadi, tak lekang oleh zaman. Nilai yang diinternalisasi akan menjadi landasan kokoh seorang pribadi. Pengetahuan dan keterampilan bersifat lentur dan sangat mungkin berubah sejalan dengan waktu. Masalah manusia berkembang. Ilmu pengetahuan dan keterampilan menyesuaikan.

Dalam konteks ini, pesan sahabat Rasulullah, Ali bin Abi Thalib yang disampaikan lebih dari 14 abad lalu, masuk valid untuk disimak: La turabbuu abnaa akum kamaa rabaakum abaaukum, fainnahum khuliquu li zamaani ghairi zamaanikum. Jangan didik anak-anakmu sebagaimana orang tuamu mendidikmu, karena mereka diciptakan untuk zaman yang bukan zamanmu.

 

Memaknai Pancasila dan sila pertama

Ini adalah isu kedua. Membaca sila pertama tidak bisa terlepas dari Pancasila atau keempat sila lainnya. Pancasila yang telah mempersatukan bangsa Indonesia adalah mitsaq ghalidh atau perjanjian agung atau komitmen kuat yang mengikat semua bangsa Indonesia.

Sebagai ilustrasi penguat, istilah mitsaq ghalidh muncul dalam Al-Qur’an sebanyak tiga kali, untuk mengambarkan tiga keadaan yang berbeda. Yang pertama adalah Allah membuat perjanjian dengan Nabi Muhammad, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa (QS Al-Ahzab 33:7). Kejadian kedua ketika Allah mengambil janji dari Bani Israil dengan mengangkat Bukit Tsur di atas kepada mereka (QS An-Nisa 4:154). Istilah tersebut juga digunakan untuk menggambarkan hubungan pernikahan (QS An-Nisa 4:21).

Ikatan yang kuat ini menjadi sangat penting ketika melihat bangsa Indonesia yang sangat beragam. Keragaman adalah fakta sosial di Indonesia yang tak terbantah. Kita tidak mungkin lari darinya. Para pendiri bangsa telah memberikan rumus besarnya ‘bhinneka tunggal ika’. Kita memang berbeda, tetapi kita satu bangsa. Menutup mata dari perbedaan jelas mengabaikan akal sehat. Sebaliknya, hanya mengedepankan perbedaan akan menggadaikan hati nurani.

Terkait dengan sila pertama, sejarah mencatat, dalam formulasinya yang sekarang sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” telah melalui proses yang sangat panjang dan tidak mudah. Dalam bahasa seorang muslim, sila ini berarti tauhid, mengesakan Tuhan dan tidak menyetukanNya dengan yang lain. Di dalam tauhid terdapat makna penyerahan diri secara totalitas, bahwa misi menjadi manusia adalah menghamba kepada Allah.

Rumusan sila pertama ini juga menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara agama dan sekaligus bukan negara sekuler. Indonesia tidak didasarkan pada satu agama, dan juga tidak memisahkan agama sama sekali dalam kehidupan bernegara. Indonesia sering disebut dengan negara-bangsa yang religius (religious nation-state).

HAMKA (1951) menyebut sila pertama ini sebagai urat tunggangnya Pancasila, dan menjadi pijakan dalam mengamalkan keempat sila lainnya. Sila pertama ini juga dapat dianggap sebagai landasan moral bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila telah menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  Bingkai kesatuan dalam keragaman kita perlukan. Sidang Tanwir Muhammadiyah pada Juni 2012 di Bandung, misalnya, menghasilkan pokok pikiran untuk pencerahan dan solusi permasalahan bangsa, yang salah satu poinnya menyebut bahwa NKRI yang berdasar Pancasila merupakan negara perjanjian atau kesepakatan (darul ‘ahdi), negara kesaksian atau pembuktian (darus syahadah), dan negara yang aman dan damai (darussalam).

 

Kontekstualisasi sila pertama dalam pendidikan

Isu diskusi yang ketiga terkait kontekstualisasi sila pertama dalam pendidikan. Paling tidak terdapat dua implikasi (aspek) penting di sini: (a) pengamalan agama masing-masing dengan baik dan (b) penghargaan terhadap agama orang lain.

Implikasi pertama adalah pesan bahwa setiap warga negara Indonesia seharusnya manusia religius atau manusia yang mengimani adanya Tuhan. Agama tidak hanya dimaknai sebagai yang tertulis atau yang diaku, tetapi lebih dari ini. Ajaran agama harus dipelajari dengan baik oleh setiap pemeluknya. Nilai-nilainya harus diinternalisasi dan diamalkan oleh pemeluknya dengan sekuat tenaga. Nilai-nilai abadi agama, seperti kejujuran, keadilan, kedamaian, harus dikedepankan dan dilantangkan.

Ini adalah gambaran idealitas. Realitas di lapangan sangat mungkin berbeda dan ini akan memantik diskusi lanjutan. Banyak faktor terkait yang setiapnya memerlukan penyelisikan yang mendalam.

Dalam konteks pengamalan Pancasila, muncul pertanyaan lain: apakah nilai-nilai agama ini sudah mewarnai pengamalan keempat sila lainnya?

Kedua adalah pesan bahwa di Indonesia, beragam agama diakui negara. Pemahaman terhadap keragaman ini akan memunculkan sikap saling menghargai dan menjadikan pemeluk agama yang berbeda dalam hidup berdampingan dalam harmoni.

Pemahaman ini sangat penting dilantangkan karena dalam masyarakat yang religius, isu agama bersifat sangat sensitif. Kita menjadi saksi, beberapa konflik non-agama di Indonesia yang menjadi besar karena dibingkai dengan isu agama. Eskalasi konflik menjadi semakin cepat, ketika ada informasi bohong atau hoaks yang ikut disebar secara masif.

Ajaran Islam sangat jelas melarang untuk merendahkan agama lain (QS Al-An’am 6:108). Di sisi lain, penghargaan itu tidak lantas diwujudkan dalam “sinkretisme agama”, tetapi dalam bentuk toleransi yang menghargai setiap pemeluk menjalankan agamanya masing-masing (QS Al-Kafirun 109:6). Hak menjalankan ajaran agama dalam damai ini harus dijamin oleh negara.

Pendidikan seharusnya memasukkan dua aspek di atas ke dalam kurikulumnya. Yang menjadi catatan penting di sini, adalah bahwa pemahaman keragaman agama harus diakui secara jujur, baik di ruang publik maupun privat. Tanpanya, toleransi yang disuarakan akan menjadi basa-basi pemanis tuna ketulusan.

 

Penutup

Pendidikan mempunyai misi abadi untuk menjadikan manusia mengembangkan semua potensi kemanusiaannya. Selain harus kokoh yang diikhtiarkan dengan pengajaran nilai, pendidikan juga harus lentur untuk merespons perkembangan mutakhir.

Nilai-nilai tersebut, salah satunya, diturunkan dari ajaran agama yang menjadi muatan sila pertama Pancasila. Sila ini yang juga menjadi basis keempat sila lainnya memberikan dua pesan penting: bahwa manusia Indonesia harus menjalankan agamanya masing-masing dan menghormati agama orang lain dengan tulus. Poin terakhir ini menjadi sangat penting, ketika pengalaman kolektif bangsa mencatat, bahwa isu agama dapat menjadi pemicu konflik yang mudah dibakar dan membesar.

 

Referensi

Al-Attas, S. M. N. (1980). The Concept of Education in Islam. Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia.

Halstead, J. M. (2004). An Islamic concept of education. Comparative Education, 40(4), 517-529.

HAMKA (1951). Urat Tunggang Pantjasila. Jakarta: Pustaka Keluarga.

Makalah pemantik diskusi “Pendidikan dan Implementasi Sila Pertama” yang diselenggarakan secara daring oleh Buletin Neng Ning Nung Nang dalam rangka menuju Satu Abad Tamansiswa pada 27 Juli 2021.

 

Sekretaris Eksekutif Universitas Islam Indonesia (UII) Dr. Raden Bagus Fajriya Hakim, S.Si., M.Si. membuka kegiatan The 2nd National Sustainability University Leaders Meeting 2021 pada hari kedua pelaksanaan, Kamis (22/7). Dalam sambutannya disampaikan, pemaparan materi oleh para narasumber dalam kegiatan ini memberikan penekanan kajian yang saling melengkapi satu sama lain.

Menurutnya hal ini menjadikan prinsip sustainability dapat menjadi satu rangkaian keilmuan dan motivasi. Selanjutnya, dapat diangkat menjadi visi misi bersama dalam mewujudkan keinginan kuat untuk berkolaborasi agar keseimbangan alam Indonesia tetap terjaga dengan baik, diikuti lingkungan dan berbagai sumber daya alam yang sehat. “Harapannya dapat memberikan manfaat kebaikan bagi semuanya,” tuturnya.

Wakil Ketua UI GreenMetric World University Rankings Junaidi, M.A. memaparkan konteks yang perlu disadari bersama. Pertama, yaitu konteks pandemi. Pandemi ini mempengaruhi cara bersikap dan cara mengelola kampus masing-masing. Terlepas dari tantangan yang dihadapi pasti masih ada harapan disana.

Menurutnya dalam konteks sustainability office, kita semua perlu meninjau atau mendefinisikan kembali operasional kampus. Misalnya, perlu memperhatikan sirkulasi udara di gedung-gedung kampus dan hal-hal lain untuk menyikapi pandemi ini.

Konteks kedua adalah SDGs, yaitu mewujudkan konsep SDGs dalam kampus yang berkelanjutan dan lestari. Ketiga, dalam konteks green metric. Junaidi mengajak untuk berkolaborasi memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada di green metric network, mengambil inspirasi dan mengadaptasi pengalaman terbaik dari berbagai perguruan tinggi. Selantjutnya, yaitu tentang perguruan tinggi di Indonesia yang belum menerapkan sustainability office pada visi misi kampusnya.

Tiga hal yang terkait dengan keberlangsungan sustainability office, yaitu kebijakan dalam kepemimpinan, kelembagaan, dan jejaring green metric. Green metric didesain dengan dua pemikiran, yaitu sustainability dan internasionalisasi. “Harapannya kedepannya kita bisa menerapkan tentang sustainability office pada kampus masing-masing seperti yang diharapkan oleh green metric,” pesannya.

Pemaparan Hasil Workshop Sustainability Leader

Hari kedua kegiatan The 2nd National Sustainability University Leaders Meeting 2021 diisi dengan pemaparan hasil Workshop Sustainability Leader yang sudah didiskusikan di hari pertama. Workshop terbagi menjadi tiga kelompok dengan topik berbeda. Pemaparan hasil workshop dipandu oleh Kepala Bidang Akademik dan Organisasi, Badan Perencanaan dan Pengembangan/Rumah Gagasan/Sustainability Office UII, Shubhi Mahmashony Harimurti, S.S., M.A. Pemaparan disampaikan oleh ketua kelompok masing-masing.

Kelompok pertama diketuai oleh Andi Joko dari Universitas Telkom, memaparkan hasil diskusi dengan membahas topik “Kebijakan dan Kepemimpinan yang Berkomitmen pada Komunitas dan Lingkungan”. Kelompok ini dimoderatori oleh Eko Siswoyo, S.T., M.Sc.ES., Ph.D, Ketua Jurusan/Program Studi Teknik Lingkungan Program Sarjana UII.

Andi Joko menyampaikan dinamika yang dialami oleh masing-masing universitas di kelompoknya, yaitu kepemimpinan yang belum memiliki visi Kampus Lestari, baru menyadari betapa pentingnya pengelolaan Kampus Lestari, dan baru memulai program Kampus Lestari. Kelompoknya mengelompokkan kepemimpinan keberlanjutan menjadi tiga, yaitu visi, kebijakan, dan komitmen.

“Kami mencoba mengelompokkan hasil diskusi menjadi tiga kelompok besar. Sejauh mana visi misi kampus yang kemudian dikelola dan dikawal dalam pelaksanaannya pada masing-masing kampus. Sejauh mana kebijakan kampus mampu dan dipastikan mengarah kepada terwujudnya sustainability university. Sejauh mana komitmen dari kepemimpinan di kampus mampu menjamin bahwa semua kegiatan yang diprogramkan didukung dengan komitmen kuat dan dipastikan akan berkelanjutan,” jelasnya.

Ia juga menyampaikan beberapa program nyata dari setiap perguruan tinggi dari kelompok satu. “Mudah-mudahan hasil diskusi kelompok satu dapat memberikan manfaat dan menjadi pertimbangan rekan-rekan agar ke depan bisa lebih baik lagi dalam pengelolaan kampus berwawasan lingkungan,” tutupnya.

Kelompok kedua diketuai oleh Prof. Amin Retnoningsih dari Universitas Negeri Semarang yang memaparkan hasil diskusi dengan membahas topik “Kelembagaan Sustainability Office, Pengembangan Jejaring, dan Inovasi Keberlanjutan”. Kelompok ini dimoderatori oleh Dr. Raden Bagus Fajriya Hakim, S.Si., M.Si. Kelompok dua mendiskusikan tentang pengalaman dari perguruan tinggi yang sudah memiliki sustainability office, tantangan yang dihadapi sustainability office pada setiap perguruan tinggi, kelembagaan yang seperti apa (adhoc atau fulltime staff), dan hubungan antar organ di perguruan tinggi dengan sustainability office.

Prof. Amin memaparkan tentang kondisi masing-masing perguruan tinggi yang ada di kelompoknya. “Pak Imam dari UIN Pekalongan menyampaikan usul bahwa sustainability office ini perlu diusulkan ke Kemdikbud sebagai lembaga resmi yang harus dimiliki oleh setiap perguruan tinggi,” lanjutnya.

Ia juga menyampaikan kesimpulan dari diskusi kelompoknya, yaitu sustainability office dengan fulltime staff lebih menjamin keberlanjutan dari sustainability campus dan sustainability office memiliki peran utama dalam menyusun sustainability report dan menyusun target dari kebijakan, implementasi, program, anggaran, dan lain-lain.

Kelompok ketiga diketuai oleh Dewi Agustina dari Universitas Negeri Lampung yang memaparkan hasil diskusi dengan membahas topik “Aktivitas dan Program Pengembangan Sustainability Office”. Kelompok ini dimoderatori oleh Kepala Bidang Akreditasi dan Rekognisi, Badan Perencanaan dan Pengembangan/Rumah Gagasan/Sustainability Office UII Ayundyah Kesumawati, S.Si., M.Si.

Berbeda dengan kelompok sebelumnya. Kelompok ini lebih menceritakan pengalaman dari Universitas Negeri Lampung (UNILA) dalam mendirikan SDGs Center karena banyak dari perguruan tinggi kelompok tiga yang belum mempunyai sustainability office. UNILA menyadari bahwa universitas memegang peranan penting untuk membuat kredibilitas, program, dan monitoring SDGs di nasional maupun internasional.

Setelah sesi pemaparan hasil workshop, kegiatan dilanjutkan dengan penyampaian kesimpulan dan komitmen pengembangan sustainability leader oleh Eko Siswoyo, S.T., M.Sc.ES., Ph.D. Dalam kesempatan ini disampaikan bahwa UI Greenmetric World University Ranking Network terus berbenah, adaptif, makin medapat rekognisi dunia internasional dan kian terasa perannya dalam menunjang keberlanjutan.

Berikutnya, pemimpin sangat berperan dalam menentukan keberhasilan suatu program keberlanjutan, di mana pemimpin yang memiliki visi misi yang kuat dan mampu menghasilkan kebijakan berkomitmen pada lingkungan serta didukung oleh semua elemen diperlukan untuk mencapai lingkungan yang lestari.

Kesimpulan dan komitmen selanjutnya, kolaborasi dan sinergi antara berbagai pihak, baik internal maupun eksternal menjadi kunci sukses dalam pencapaian tujuan. Terakhir, keberlanjutan memerlukan komitmen yang kuat dan menjadi tanggung jawab bersama. “Kegiatan ini sangat berguna untuk kita semua dan bisa ditularkan kepada rekan-rekan di kampus. Semoga sustainability office ini benar-benar terealisasikan dan memberikan impact positif terhadap lingkungan,” tutup Eko Siswoyo.

Rangkaian kegiatan The 2nd National Sustainability University Leaders Meeting 2021 yang berlangsung selama dua hari (21-22 Juli 2021) ini, ditutup oleh Wakil Rektor Bidang Sumber Daya dan Pengembangan Karir UII, Dr. Zaenal Arifin, M.Si. selaku dan Junaidi, M.A. selaku Wakil Ketua, UI GreenMetric World University Rankings. (MDL/RS)

Bumi saat ini memiliki masalah global yang cukup kompleks. Penting bagi perguruan tinggi untuk turut berperan terhadap pembangunan berkelanjutan. Hal ini dikemukakan Researcher, Community and Sustainability Centre, Universiti Malaya, Mohd Fadhli bin Rahmat Fakri pada sesi kedua kegiatan The 2nd National Sustainability University Leaders Meeting 2021 yang digelar secara daring, Rabu (21/7).

Read more

Pemimpin perguruan tinggi di masa pandemi Covid-19 hendaknya dapat memahami masalah dan meresponsnya dengan cepat. Kecepatan dan ketepatan respons ini sangat penting untuk menjaga keberlanjutan operasi dan akademik. Namun, setelah 1,5 tahun berjalan, alasan kedaruratan telah berkurang validitasnya.

Read more