Hanya kepada Allah yang Maha Melapangkan, segala puji kita kirimkan, setinggi syukur kita panjatkan.

Para wisudawan sebagai penuntut ilmu sudah melalui jalan mulia yang tidak selalu mulus dan rute yang tidak selalu lurus. Semua aral sudah dilalui dengan investasi kerja keras tak putus, dilengkapi iringan doa yang mengalir deras dengan tulus.

Untuk itu, kepada semua wisudawan, selamat untuk pencapaian ini. Semoga Saudara pandai mensyukuri dan tidak lantas puas diri.

Tak lupa, selawat dan salam kita kirimkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad saw., Sang Kekasih Allah. Bagi kita, Rasulullah merupakan uswah, yang mencerahkan dunia dengan risalah dan mengajak manusia ke kebaikan tanpa lelah.

Para wisudawan merupakan anak panah yang dilesatkan oleh Universitas Islam Indonesia (UII), untuk menebar manfaat dan menghadirkan maslahat. Relevansi kehadiran UII di tengah mayarakat, salah satunya ditentukan oleh kiprah para alumninya yang hebat. Karenanya, kami tidak berhenti bermunajat kepada Allah Yang Maha Kuat, semoga UII senantiasa dimudahkan berkhidmat untuk kemajuan umat.

Dalam sambutan ini, izinkan saya memberikan beberapa pesan sederhana, yang mudah-mudahan akan selalu terkenang, di kepala terus terngiang, dan secara istikamah dijalankan dengan riang.

 

Alumnus terbayang

Berikut ini adalah bayangan saya terhadap apa yang dilakukan oleh setiap alumnus UII.

Pertama, agama harus selalu Saudara jaga dengan cara mempraktikkannya dengan istikamah. Dengan demikian, Saudara akan menjadi hamba Allah yang terus berbenah, dan tidak pernah gelisah, karena yakin kepada Allah Yang Maha Pemurah. Selain itu, ilmu agama juga harus terus diasah. Memang, tidak selalu mudah, tetapi itu bukan alasan untuk  lantas pasrah.

Kedua, Saudara harus menjadi manusia yang adaptif dengan zaman. Karenanya, pastikan literasi Saudara terus termutakhirkan. Bekal dari kampus harus diamalkan dan menjadi basis pengembangan diri di masa depan, yang tidak selalu bisa kita prediksikan.

Ketiga, yakinlah bahwa setiap usaha yang sepenuh hati akan memberikan hasil yang dimimpi. Selalulah berbaik sangka kepada Allah tanpa sangsi. Allah Maha Pemberi Rezeki. Allah berfirman: ana ‘inda dhanni abdi bii. Aku sesuai dengan persangkaan hambaKu, kepadaKu.

Keempat, untuk menjaga semangat supaya tak putus, motivasi jangan sampai pupus. Ingat selalu janji Allah Yang Maha Kudus. Jaga niat tetap lurus, dan bekerjalah dengan tulus.

Motivasi juga bisa dijaga bersama sahabat. Sahabat yang hebat adalah yang selalu memberikan pengingat. Tidak menjadi sumber mudarat, apalagi suka berkhianat.

Kelima, sebagai anak bangsa, nasionalisme harus dijadikan bermakna. Saudara tidak boleh hanya mengikuti narasi massa, tetapi juga harus memikirkan nilai dan manfaat yang dikandungnya: apa maknanya untuk sesama dan bangsa.

Jika perjalanan bangsa sudah di relnya, sudah seharusnya terus didorong dan dijaga. Jika melenceng, jangan segan Saudara mengingatkannya. Tentu, dengan cara-cara yang tetap menghargai sesama.

Keenam, kebersamaan sesama manusia, anak bangsa, dan muslim harus selalu dipelihara dalam semangat ukhuwah. Sebagai muslim, Saudara harus menjadi uswah: tidak menjadi muslim yang suka marah, tetapi sebaliknya, yang ramah, tidak menjadi muslim yang terjebak sisi ekstrem parah, tetapi menjadi umat penengah.

Ketujuh, kehadiran Saudara di manapun dan dalam peran apapun, sudah seharusnya memberikan sumbangsih yang berdampak. Jangan sampai Saudara menjadi onak. Pastikan Saudara dapat memberikan kontribusi dalam setiap jejak.

Allah Yang Maha Kuat akan selalu menyimak dengan cermat, setiap untai doa yang terpanjat dan semua niat baik yang tersirat. Semoga kita dimudahkan untuk terus dapat menghadirkan manfaat kepada umat, untuk kebaikan di dunia dan juga akhirat.

Itulah harapan saya, dan saya berharap juga Saudara dan semua hadirin, untuk setiap alumnus UII. Pesan ini pun valid untuk kita semua.

Tujuh pesan tadi mungkin sulit diingat. Tapi, izinkan saya membantu Saudara dengan tujuh huruf: a, l, u, m, n, u, dan s, yang dibaca alumnus, yang merupakan singkatan dari:

A: Agama yang terjaga

L: Literasi yang termutakhirkan

U: Usaha yang sepenuh hati

M: Motivasi yang tak pupus

N: Nasionalime yang bermakna

U: Ukhuwah yang terpelihara

S: Sumbangsih yang berdampak

 

Pandailah bersyukur

Dalam kesuksesan Saudara ketika menjalani studi terkandung kontribusi banyak orang, baik yang Saudara lihat dengan langsung, maupun yang secara senyap dilakukan tanpa Saudara ketahui.

Saudara mungkin melihat para dosen mendampingi dalam diskusi dan sahabat menemani dalam mengaji. Tapi jangan lupa, nun jauh di sana, di luar radar, orang tua tidak hentinya mengirimkan doa terbaik untuk Saudara. Tidak jarang mereka bangun malam dengan niatan yang mulia dan harapan tinggi agar Saudara menjadi pribadi yang cakap dan berwatak.

Seringkali, untuk memenuhi kebutuhan Saudara, orang tua membanting tulang, memeras keringat, dalam kadar yang mungkin di luar bayangan Saudara. Orang tua menjalaninya dalam diam, supaya Saudara tidak terlarut dalam suasana hati yang dapat mengganggu studi Saudara.

Banyak rahasia yang disimpan oleh orang tua Saudara, terkait dengan ikhtiar dan harapan tak terbatas mereka terhadap studi Saudara. Bisa jadi di sana, ada air mata yang terbendung, agar Saudara tidak ikut murung. Atau, tangis yang tertahan, karena orang tua ingin Saudara tanpa beban.

Karenanya, jangan lupa mengucapkan ungkapan terima kasih kepada orang tua Saudara. Rangkul dan cium mereka, jika mereka bersama Saudara hari ini. Kirimi pesan bahagia, jika mereka, karena suatu hal, tidak bisa bergabung bersama Saudara secara fisik. Kirimi mereka doa terbaik setiap hari tanpa lelah, jika mereka sudah disayang Allah di alam kubur. Jadilah Saudara bagian amal jariyah bagi orang tua.

Saudara adalah kebanggaan mereka. Kesuksesan dan kebahagiaan Saudara merupakan wujud nyata doa mereka. Mereka tidak mengharapkan balasan. Kasih orang tua kepada anaknya tidak berbatas waktu, sepanjang masa. Balasan apapun terhadap mereka tidak akan sanggup menyamai pengorbanan orang tua kepada Saudara. Karenanya, selalu lengkapi dengan kiriman doa tanpa henti dan istikamah menjadi orang baik.

Tetaplah menjadi orang baik, yang keberadaannya dicari, kehadirannya dinanti, kepergiannya dirindui, kebaikannya diteladani, dan kematiannya ditangisi.

 

Jaga jejaring

Di daerah tempat Saudara berkarya nanti, silakan jalin hubungan dengan Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (IKA UII) setempat. Insyaallah dengan demikian, Saudara dapat terus terhubung dengan sumber energi positif untuk mengembangkan jejaring, mendiskusikan kontribusi kolektif, tidak hanya untuk UII, tetapi lebih penting untuk berandil menyelesaikan beragam masalah riil yang ada di masyarakat.

Sekali lagi, selamat berbahagia. Rayakan kebahagian ini dengan keluarga tercinta. Doa kami, para dosen dan tenaga kependidikan, di UII, insyaallah selalu menyertai perjalanan hidup Saudara.

Semoga Allah senantiasa membimbing langkah kita dan memudahkan kita dalam menjalani setiap peran yang kita mainkan. Semoga Allah meridai UII dan kita semua.

Sambutan pada acara Wisuda Magister, Sarjana, dan Diploma, , Universitas Islam Indonesia, Periode IV dan V Tahun Akademik 2020/2021, yang diselenggarakan secara daring pada 4 September 2021

Zakat merupakan syariat Islam yang kini semakin mendapat perhatian luas dari pemerintah. Pemerintah mengakomodasi kebutuhan warga muslim mengenai persoalan zakat dengan menciptakan undang-undang mengenai pengelolaan zakat. Penguatan hukum zakat di Indonesia ditandai dengan lahirnya UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Sebagaimana eksistensi hukum pajak yang telah lama berlaku, dan merupakan tanda hadirnya negara pada agama melalui politik hukum pluralisme. 

Seperti diulas dalam bedah buku “Politik Hukum Pengelolaan Zakat di Indonesia, Kajian Terhadap UU No. 23 Tahun 2011” yang ditulis oleh Dr. H. Muhammad Bahrul Ilmie, M.Hum. Ia menyoroti fenomena politik hukum terkait dualisme kewajiban warga negara yang beragama Islam yaitu kewajiban membayar pajak sekaligus zakat. Acara ini diadakan Prodi Hukum Islam Program Doktor FIAI UII pada Kamis (2/9).

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) berkomitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan secara konsisten. Salah satunya dengan menggelar Rapat Tinjauan Manajemen Sistem Penjaminan Mutu (RTM SPMU) setiap tahunnya. RTM SPMU tahun ini dilakukan secara daring melalui zoom meeting pada Rabu (1/9) yang dihadiri oleh segenap pimpinan UII, mulai dari rektor hingga wakil rektor, pimpinan fakultas, prodi hingga direktorat serta kepala badan.

Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, Ph.D. dalam sambutannya menyampaikan, ada lima hal yang harus diperhatikan dalam meningkatkan penjaminan mutu pendidikan, diantaranya yaitu: penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan. 

Read more

Pendengar podcast di Indonesia tergolong memiliki jumlah yang banyak dan terus bertambah. Hal ini membuat para podcaster (sebutan untuk pembuat konten podcast) memandang bahwa podcast adalah konten masa depan. Sifatnya yang fleksibel, bisa didengarkan di mana saja, dan kapan saja sambil melakukan aktivitas lain membuatnya kian digandrungi. Tentunya, untuk menggaet para pemirsa, podcast harus dibuat dengan menarik dan informatif. Berangkat dari hal tersebut, Uniicoms TV milik Prodi Ilmu Komunikasi UII mengadakan Webinar Ngonten (Ngobrol Bahas Konten) dengan tema “Penting Nggak Sih Riset dalam Podcast Interview?” dalam rangkaian acara Festival Konten Inspiratif (FKI) 2021 pada Selasa (31/08). 

Read more

Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII menyelenggarakan Kuliah Umum Konstitusi, bertemakan “Menguji Daya Lenting Konstitusi di Tengah Turbulensi” pada Senin (30/8). Kuliah umum ini merupakan seri yang ke-5 dengan pembicara Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Ia merupakan Hakim Konstitusi RI 2008-2018 dan Guru Besar HTN/Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Read more

Bagi setiap insan muslim, mencari ilmu merupakan perkara wajib yang harus diupayakan hingga akhir hayat. Baik muslim maupun muslimah, keduanya harus meningkatkan wawasan berpikir yang luas dengan jalan menuntut ilmu. Dengan bekal ilmu yang cukup, akan membantu kita selalu berproses menjadi pribadi yang lebih baik bagi. Demikian yang diucapkan Meyda Sefira, S.T., M.T. dalam acara daring “Muslimah Inspiring Event” yang diadakan pada Selasa (31/08).  

Read more

Dalam kesempatan ini izinkan saya berbagi cerita. Bukan kisah biasa, dan insyaallah menginspirasi kita semua.

Ini kisah tentang teladan Kiai Sholeh Darat yang nama lengkapnya Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani. Sebutan Darat diambil dari nama kawasan Beliau tinggal pada saat itu: kawasan Darat, Semarang Utara.

Kiai Sholeh dilahirkan pada sekitar 1820 M. Ada dua pendapat terkait tempat lahir: di Mayong atau di Bangsri. Keduanya ada di pesisir utara Pulau Jawa: Jepara.

Ayahnya adalah Kiai Umar. Keluarga ini alim yang mencintai tanah air. Kiai Umar menurut riwayat adalah orang kepercayaan Pangeran Diponegoro, yang kita tahu semuanya, dengan gigih melawan penjajah Belanda, pada saat itu.

Dalam waktu singkat ini, saya ingin mengajak hadirin untuk melakukan refleksi atas keteladanan Kiai Sholeh Darat, yang insyaallah relevan untuk merayakan kegembiraan kita hari ini.

Pertama, penjelajah ilmu. Kiai Umar, ayah Kiai Sholeh Darat, termasuk penggemar rihlah ilmiah, melakukan perjalanan dari satu guru ke guru lainnya. Kiai Sholeh Darat selalu diajak. Karenanya berkenalan dengan para kiai penting pada saat itu, yang merupakan kawan Kiai Umar, seperti Kiai Hasan Besari[1], Kiai Darda, Kiai Murtadha[2], dan Kiai Jamasri.

Kiai Sholeh Darat juga kemudian berguru ke Kiai M. Syahid di Kajen. Kiai Syahid adalah cucu Kiai Mutamakkin yang hidup semasa Paku Buwono II. Guru selanjutnya adalah Kiai Raden Haji Muhammad Salih bin Asnawi, Kudus, Kiai Ishak Damaran Semarang, dan masih banyak guru yang lain.

Kiai Sholeh Darat juga berguru ke Mekkah, ke beberapa syekh pada saat itu. Di antaranya adalah Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah dan Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan.

Kiai Sholeh Darat mendalami beragam ilmu ketika belajar ke guru-guru yang berbeda tersebut: mulai dari tafsir Al-Qur’an, fikih, nahwu dan sharaf, falak, tasawuf, dan lain-lain. Dalam konteks kekinian, praktik ini bisa kita sebut sebagai pendekatan multidisiplin.

Kedalaman dan keluasan pengalaman dan ilmu Kiai Sholeh Darat inilah yang mempengaruhi sikap dan apa yang dikerjakannya kemudian.

Kedua, penebar ilmu. Kiai Sholah Darat akhirnya mengajar beberapa tahun di Mekkah, bersama kawan seperjuangnya, termasuk Syekh Ahmad Khatib, Kiai Mahfudz Termas, Kiai Nawawi Banten, Kiai Kholil Bangkalan, dan lain-lain. Mereka ada para ulama kelas dunia.

Meskipun nyaman mengajar di Makkah, Kiai Sholeh Darat memilih pulang ke Indonesia (saat itu belum ada negara yang bernama Indonesia) bersama Ki Ageng Girikusumo, pendiri Pondok Pesantren Ki Ageng Girikusumo di Mranggen, Demak, dan Kiai Kholil Bangkalan.

Kiai Sholeh Darat kemudian mengajar di Pesantren Salatiang, Purworejo, sebelum kemudian mendirikan pesantren di Darat, Semarang Utara.

Kiai Sholeh Darat adalah penerjemah Al-Qur’an pertama ke dalam bahasa Jawa. Saat itu, untuk mengakses Al-Qur’an tak mudah jika tidak mengerti bahasa Arab tanpa guru di depannya. Penerjemahan ini, menurut riwayat, terkait dengan usul Raden Ajeng Kartini yang saat itu merasa kesulitan memahami Al-Qur’an, bahkan untuk surat Al-Fatihah sekalipun.

Akhirnya Kiai Sholeh Darat menulis Tafsir Faidlu al-Rahman, sampai juz ke-enam, akhir surat An-Nisa. Tafsir inilah yang juga menjadi hadiahnya kepada Raden Ajeng Kartini dalam tasyakuran pernikahannya dengan R.M. Joyodiningrat, Bupati Rembang.

Untuk meningkatkan akses publik awam ke literatur dan ajaran Islam, Kiai Sholeh Darat akhir banyak menerjemahkan dan menulis kita dalam bahasa Jawa dengan tulisan pegon. Termasuk di antaranya adalah Sabilu al-‘Abid terjemahan Kitab Jauharatu al-Tauhid karya Syekh Ibrahim Al-Laqani dan terjemahan Matan al-Hikam, kitab tasawuf karya Syekh Ahmad bin ‘Atha illah Al-Iskandary.

Kiai Sholeh Darat aktif menulis sampai akhir hayat.

Teladan Kiai Sholeh Darat adalah konsistensinya dalam mengajar dan membuka akses seluas-luasnya terhadap bahan belajar untuk publik. Penerjemahan ke dalam bahasa Jawa dengan tulisan pegon itu pun bentuk perlawanan Kiai Sholeh Darat kepada penjajah Belanda yang saat itu melarang penerjemahan Al-Qur’an.

Ketiga, maha guru para tokoh. Jika pada saat itu sudah ada perguruan tinggi dan sistem pendidikan sekarang, Kiai Sholeh Darat adalah seorang profesor. Banyak tokoh besar agama Islam yang merupakan murid langsung Kiai Sholeh Darat. Yang paling kita kenal, adalah Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Ahmad Dahlan, dua murid kesayangan Beliau.

Sebelum berguru kepada Kiai Sholeh Darat, Kiai Hasyim dan Kiai Darwis (nama kecil Kiai Ahmad Dahlan) adalah murid Kiai Kholil Bangkalan. Mereka berdua diminta oleh Kiai Kholil ke Semarang untuk berguru kepada Kiai Sholeh Darat, sahabatnya.

Mereka berdua berguru selama dua tahun, sebelum akhirnya dikirim ke Makkah untuk berguru kepada sahabat Kiai Sholeh Darat, yaitu Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam Masjid Al-Haram pada saat itu, yang berasal dari Sumatera. Sepulang dari Makkah, Kiai Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 1912 dan Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926.

Salah satu murid lain Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang mempunyai hubungan dengan Universitas Islam Indonesia adalah Kiai Abdul Halim Majalengka, pendiri Perikatan Umat Islam (PUI) pada 1917. Tokoh-tokoh dari PUI bersama NU, Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), cendekiawan nasionalis, adalah para pendiri UII pada 1945.

Kedalaman dan keluasan ilmu, serta keikhlasan dan kesepenuhhatian Kiai Sholeh Darat dalam mengajar, nampaknya yang menjadikan murid-muridnya istikamah menjadi penerusnya.

Demikian, kisah ringkas dari seorang maha guru para ulama besar Nusantara. Saya yakin, banyak teladan yang bisa kita ambil. Silakan hadirin merefleksikannya masing-masing, baik kita sebagai manusia, muslim, dosen, maupun juga profesor.

Hari ini, masih ada 66 dosen UII yang mempunyai pendidikan doktor dan jabatan fungsional lektor kepala. Saya mengajak semua hadirin untuk berdoa, semoga 66 sahabat kita ini dimudahkan jalannya untuk menjadi profesor, dengan niat lurus untuk membuka banyak pintu manfaat lebih lebar. Beberapa usulan sudah sampai Jakarta dan beberapa lainnya sudah disetujui senat.

Selamat kepada Prof Budi Agus Riswandi, profesor ke-24 yang lahir dari rahim UII. Ini tidak hanya kebahagian Prof Budi, tetapi juga keluarga besar Universitas Islam Indonesia. Juga kepada keluarga Prof Budi: ada istri yang selalu mendorong, Ibu Putri Tunggal Dewi, S.Pd.Si., M.Pd., dan juga anak-anak, sebagai permata hati dan sumber semangat: Mas Atta’allah Almutaaly Riswandi, Mbak Kyanna Angela Hatsu, dan Mbak Kenina Evelyna Hatsu.

Semoga jabatan profesor ini membuka berjuta pintu keberkahan, tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi terlebih untuk lembaga dan masyarakat luas.

Semoga Allah meridai UII dan kita semua.

[1] Ajudan Pangeran Diponegoro. Salah satu cucu Kiai Hasan Besari, Kiai Moenawir juga akhirnya menjadi salah satu murid Kiai Sholeh Darat di kemudian hari. Kiai Moenawir kemudian mendirikan Pondok Pesantren Krapyak.

[2] Teman seperjuangan Kiai Umar dalam melawan Belanda. Putri Kiai Murtadha ini akhirnya menjadi istri Kiai Sholeh Darat sepulang dari Makkah.

Sambutan pada acara penyerahan Surat Keputusan Profesor atas nama Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum. pada 31 Agustus 2021.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Dr. Budi Agus Riswandi, S.H. M.Hum. secara resmi menyandang gelar Profesor dalam bidang Ilmu Hukum. Pembacaan Surat Keputusan Kenaikan Jabatan Akademik Profesor dibacakan oleh Taufiqurrahman, S.E. selaku Kepala Bagian Tata Usaha Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah V DIY pada Selasa (31/08) di Gedung Prof. Dr. Sardjito Kampus Terpadu UII, dan ditayangkan secara langsung di kanal YouTube Universitas Islam Indonesia.

Read more

Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan Universitas Islam Indonesia (DPK UII) mengadakan webinar “Became Young Entrepreneur to Support Local Brand” dalam rangkaian Student Entrepreneur Week (SEW) pada Sabtu (28/08). Acara ini menghadirkan Najla Bisyir (Founder Bittersweet by Najla) dan Diajeng Lestari (Founder & CEO Hijup.com).

“Perlu diketahui tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu,” kalimat pembuka Najla Bisyir yang merupakan pengusaha bidang Food and Beverage (FnB) dessert box. Produknya terbilang sukses di Indonesia.

Read more

Nikmat yang selalu diterima setiap saat seringkali luput dari pantauan. Semuanya dianggap sebagai sebuah kewajaran. Rasa bersyukur pun terlupa atau menjadi lebih jarang. Ini mirip dengan pegawai yang ingat untuk bersyukur ketika menerima gaji sebulan sekali. Berbeda dengan, misalnya, pengemudi ojek daring yang selalu ingat bersyukur ketika ada pesanan masuk. Kata alhamdulillah pun menjadi lebih sering diucapkan.

Sebagai bangsa, bisa jadi kita juga serupa. Rasa syukur atas kemerdekaan dari penjajah teringat ketika 17 Agustus tiba, setahun sekali. Kenyamanan atas semua kebaikan yang hadir karena kemerdekaan telah membuat sebagian dari kita terlena. Tanpa kemerdekaan, sulit membayangkan, sebuah bangsa bisa melaksanakan pembangunan dengan baik.

 

Pembangunan sebagai kemerdekaan

Pembangunan pada hakekatnya adalah menjamin kemerdekaan (kekebasan). Pembangunan mewujud dalam hal, termasuk akses terhadap pendidikan yang berkualitas, layanan kesehatan yang paripurna, pekerjaan yang layak, keamananan yang terjamin, dan juga kebebasan menjalankan ajaran agama dengan tenang.

Warga negara menjadi merdeka untuk memilih banyak hal. Tentu, dengan rasa tanggung jawab dan kekangan hak publik atau orang lain. Inilah teori pembangunan sebagai kemerdekaan (development as freedom) yang dicetuskan oleh Amartya Sen, pemenang Hadiah Nobel di bidang ekonomika pada 1998.

Sebagai ilustrasi, kemerdekaan seorang warga negara dapat memilih atau tidak memilih akses pendidikan yang berkualitas. Termasuk di dalamnya adalah kemerdekaan untuk tidak bersekolah. Tetapi, ketika tidak bersekolah merupakan satu-satunya pilihan seorang warga negara, maka keberhasilan pembangunan perlu dipertanyakan. Begitu juga di aspek layanan kesehatan dan yang lainnya.

Pembangunan yang berhasil akan memungkinkan warga negara mengakses komoditas dalam beragam bentuk. Penghasilan dari pekerjaan yang layak adalah contohnya. Penghasilan ini akan menjadikan warga negara mempunyai kapabilitas (capabilities) untuk melakukan banyak hal, termasuk mengakses layanan pendidikan yang berkualitas. Kapabilitas tersebut akhirnya diterjemahkan ke dalam keberfungsian (functionings) ketika pilihan tersebut dijalankan.

Tidak semua kapabilitas dapat menjadi keberfungsian. Ada faktor konversi yang terlibat di sana. Termasuk di dalam adalah faktor personal, sosial, dan bahkan lingkungan. Seorang warga yang mampu secara ekonomi tetapi memilih tidak menguliahkan anaknya, adalah contoh pengaruh faktor konversi. Atau amsal lain, anak keluarga mapan yang memilih melakukan ‘bunuh diri sosial’ dan menjadi anak jalanan. Ada faktor konversi yang berperan di sana.

Tugas negaralah untuk menjamin bahwa setiap warga negara mendapatkan kemerdekaannya, dalam mengakses komoditas, mengembangkan kapabilitas, dan mengubahnya menjadi keberfungsian. Ketimpangan yang masih ditemukan di Indonesia merupakan perkerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Warga negara dan kelompok masyarakat sipil, termasuk perguruan tinggi, dapat ikut terlibat.

 

Persatuan sebagai syarat

Persatuan sebuah bangsa bisa menjadi salah satu faktor konversi. Tanpa persatuan sulit mengimaji keberhasilan pembangunan. Tapi, ikhtiar menjaga persatuan bukan tanpa tantangan.

Indonesia dibangun di atas keragaman. Keragaman adalah fakta sosial tak terbantah. Sejak berdirinya, Republik ini tersusun dari anak bangsa dengan berbagai latar belakang: suku, bahasa, dan agama, untuk menyebut beberapa. Keragaman ini oleh para pendiri bangsa telah dirangkai menjadi mosaik yang indah, yang diikat dengan persatuan. Inilah yang menyusun tenun kebangsaan yang digagas oleh para negarawan paripurna yang sudah selesai dengan dirinya.

Kegandrungan untuk terlibat dalam menjaga persatuan dan menjauhi tindakan anti-perdamaian sudah seharusnya melekat di nurani setiap anak bangsa. Perkembangan mutakhir yang ditandai dengan maraknya ujaran kebencian dan informasi bohong (hoaks) tentu mengusik kita sebagai sebuah bangsa. Tenun kebangsaan terancam. Tidak jarang, fenomena ini telah melahirkan sekelompok warga negara yang tuna empati dan menikmati kehinaan kelompok lain.

Kalimat berikut nampaknya menggambarkan situasi saat ini: “Kritik ke kiri, ejek ke kanan, kecam ke depan, fitnah ke belakang, sanggah ke atas, cemooh ke bawah”. Ungkapan ini ditulis oleh Bung Karno pada tahun 1957 yang terekam dalam salah satu tulisan yang termuat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi. Ungkapan tersebut menggambarkan situasi Indonesia pada saat itu, ketika demokrasi dipahami sebagai tujuan, dan bukan alat. Sejarah nampaknya berulang. Pendulum kembali kepada titik yang sama.

Persatuan membutuhkan sikap saling memahami, menghormati, dan menguatkan. Di sana ada nilai-nilai abadi, seperti kejujuran dan keadilan, yang membingkainya. Perguruan tinggi dapat ikut berperan melantangkan pesan ini.

Ini juga sebagai ungkapan rasa syukur atas kemerdekaan yang merupakan nikmat besar Allah kepada bangsa Indonesia. Hanya dengan persatuan, kemerdekaan dapat menjadi milik bersama semua anak bangsa.

Tulisan ini dimuat dalam rubrik refleksi UIINews edisi Agustus 2021.