Universitas Islam Indonesia (UII) terus berkomitmen mendukung program vaksinasi pemerintah. Melalui peran Jurusan Farmasi FMIPA UII, kembali diselenggarakan vaksinasi Covid-19 dosis ke-2 bagi 800 peserta yang berlangsung di Auditorium Prof. K.H. Abdulkahar Mudzakkir pada Rabu (27/10). Vaksinasi yang menggunakan jenis Sinovac ini berkolaborasi dengan Pengurus Cabang Ikatan Apoteker Indonesia (PC IAI) Kabupaten Sleman dan RS Bhayangkara Polda DIY.

Read more

Peran Pemuda

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (Setkab RI) bekerjasama dengan Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka meningkatkan partisipasi politik masyarakat Indonesia. FGD bertemakan “Peran Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan dalam Mendorong Partisipasi Politik di Indonesia” digelar di gedung Fakultas Hukum UII pada Selasa (26/10).

Read more

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Kantor Urusan Internasional Universitas Islam Indonesia (KUI UII) bekerjasama dengan lima perguruan tinggi di lima negara, yaitu Polandia, Perancis, Korea, Kazakhstan, dan China, menyelenggarakan International Cultural Festival. Acara ini diselenggarakan secara virtual pada 26 November hingga 6 Oktober mendatang, Kegiatan ini diikuti mahasiswa-mahasiswa di enam negara tersebut.

Read more

Tim mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) yang beranggotakan Adi Nugraha, Naila Salim Suparlan, dan Vatia Lucyana Hendyca berhasil menyabet juara 1 bidang lomba video edukasi pada gelaran Airlangga Medical Scientific Week, Minggu (24/10). Tim ini berhasil unggul dari peserta lainnya yang berasal dari berbagai universitas bergengsi di Indonesia

Read more

Mindset

Para alumni dari berbagai jurusan di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA UII) kembali “pulang ke kampus” untuk membagikan insight menarik mereka mengenai peluang kerja di tengah pandemi kepada adik-adik mahasiswa. Acara virtual bertajuk “Harmoni Bersama Alumni” itu diselenggarakan oleh FMIPA UII pada Sabtu (23/10) guna terus menguatkan tali silaturahmi antara kampus dengan para alumni yang sedang meniti karier seusai merengkuh gelar di UII.

Read more

Di zaman serba canggih dan mudah seperti saat ini mendorong masyarakat cenderung lebih konsumtif. Hal ini dapat menimbulkan masalah pada sisi keuangan secara personal. Islamic Economic Study Club (IESC) Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII mengulas tema ini melalui kuliah umum bertajuk Bijak Mengelola Uang dan Cerdas Berinvestasi Menuju Kebebasan Finansial yang digelar pada Sabtu (23/10).

Read more

Kasus korupsi di Indonesia seolah telah menjadi ‘pandemi’ yang tak kunjung usai. Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah sejak tahun 1999, mendapat serangan balik melalui upaya-upaya melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menanggapi hal ini Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) bersama Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum FH UII, Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII, Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII, Lembaga Eksekutif Mahasiswa UII, serta Himpunan Mahasiswa Islam FH UII menyelenggarakan diskusi aktual dengan tema “Membongkar Grand Design Pelemahan Pemberantasan Korupsi” pada Sabtu (23/10).

Read more

Saya yakin tema yang diangkat oleh diskusi aktual ini “Membongkar Grand Design Pelemahan Pemberantasan Korupsi” menggambarkan kegelisahan kolektif anak bangsa ini, ketika korupsi masih ada, atau bahkan semakin, merajalela di Indonesia. Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) yang setiap tahun dikeluarkan oleh Transparency International bisa menjadi salah satu indikator.

Sejak 2007, skor yang diperoleh Indonesia selalu menaik, meski sangat perlahan, sampai pada 2019. Semakin tinggi skor yang didapat, semakin bersih sebuah negara dari korupsi. Melihat skor akan memberi gambaran perkembangan runut waktu. Beda jika menggunakan peringkat, yang cocok untuk melihat Indonesia ketika dikomparasikan dengan negara lain. Peningkatan skor, misalnya, tidak selalu diikuti dengan peningkatan peringkat. Jika ini terjadi, berarti bahwa percepatan pemberantasan korupsi di negara lain lebih tinggi.

Kita kembali ke skor Indeks Persepsi Korupsi. Skor Indonesia tidak pernah turun, meski beberapa kali stagnan dibandingkan periode sebelumnya, yaitu pada 2010, 2013, dan 2017. Tetapi, tidak pernah turun.

Baru pada 2020, skor Indonesia turun, dari 40 ke 37. Jika skor turun, hampir dapat dipastikan peringkatnya pun akan terjun bebas. Pada 2019, Indonesia menduduki peringkat 85, dan bergeser menjadi 102, alias ada 17 negara lain merangsek naik, yang mengindikasikan prestasi lebih baik dalam pemberantasan korupsi. Inilah wajah kusam pemberantasan korupsi di Indonesia.

 

Mencari penjelas

Bagaimana menjelaskan penurunan ini? Penurunan skor ini menampar upaya pemberantasan korupsi yang sudah diikhtiarkan sejak lama, terutama sejak berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2003. Kita semua tahu, pada saat pendiriannya, KPK yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, merupakan lembaga negara independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Baru pada 2019, setelah terbitnya UU No. 19 Tahun 2019, hasil revisi UU yang lama (perubahan kedua UU No. 30 Tahun 2002), posisi KPK berubah menjadi bagian rumpun kekuasaan eksekutif, meski frasa sebagai lembaga independen masih ada dalam UU tersebut. Kita tahu, eksekutif merupakan salah satu pihak yang seharusnya juga diawasinya.

Banyak ikhtiar yang telah dilakukan beragam anak bangsa untuk membatalkan proses revisi UU KPK, namun nampaknya ada suara dengan gaung berbeda yang muncul dan juga argumentasi lain.

Di antara ikhtiar pembatalan tersebut adalah melalui pernyataan sikap berdasar kajian akademis (bukan politis), pelantangan pesan melalui berbagai kanal, termasuk demonstrasi di banyak pojok Indonesia, dan terakhir melalui judicial review di Mahkaman Konstitusi (MK).

Semua ikhtiar tersebut gagal. Semuanya mentok. Gaung yang sangat keras terdengar di lapangan, menjadi hanya terdengar sayup-sayup atau bahkan tidak terdengar di telinga para pengambil keputusan final. Di sana ada pihak eksekutif dan juga legistatif. Suara anak bangsa yang riuh, seakan-akan tertutup suara bisikan lirih yang dalam senyap yang disampaikan ke telinga penguasa.

UU KPK hasil revisi tersebut ternyata punya ikut kegaduhan lain. Salah satunya adalah pemecatan pegawai KPK dengan dalih tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK), karena implikasi dari status lembaga yang menjadi rumpun kekuasaan eksekutif. Awan hitam misterius menggelantung di belakang kasus ini.

Banyak pihak berteriak, termasuk para guru besar lintaskampus. Tidak ada yang berubah. Meski Ombudsman Republik Indonesia menyatakan bahwa proses pemecatan ini bermasalah, Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di rumpun eksekutif pun tidak bertindak.

 

Wajah korupsi di Indonesia

Tentu, sebagai anak bangsa, kita berhak untuk terus mempertanyakan, mengapa ini bisa terjadi? Pertama, masih sangat sulit untuk mengatakan bahwa Indonesia baik-baik saja, karena media massa masih saja dihiasi dengan penangkapan para penguasa yang mengkhianati amanahnya dengan terlibat dalam tindak pidana korupsi. Banyak kasus yang terungkap, utamanya terkait dengan pengadaaan barang/jasa dan perizinan. KPK sendiri menyebut, sekitar 70% kasus korupsi terkait dengan pengadaan.

Pengadaan barang/jasa merupakan bagian besar dari alokasi anggaran negara. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga negara lain. Proporsinya dapat sampai 13-20% dari nilai produk domestik bruto, bukan hanya dari anggaran negara (Kühn and Sherman, 2014). Di banyak negara, kebocoran di sektor ini bisa sampai 20-25% (OECD, 2013). Bahkan di Indonesia, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKKP) menyebut bahwa tanpa penggunaan teknologi informasi yang andal yang mendukung tranparansi dan akuntabilitas, kebocoran anggaran pengadaan dapat mencapai 30%.

Saya yakin, kita sepakat bahwa kerugian korupsi di sektor pengadaan kebocoran tidak dapat diukur hanya dengan nominal uang publik yang hilang (Kühn and Sherman, 2014). Korupsi ini membawa dampak buruk yang akut, termasuk hilangnya kompetisi usaha yang sehat dan penurunan kualitas infrastruktur dan fasilitas publik.

Implikasinya bisa diperpanjang, termasuk dunia usaha yang lesu, pembengkakan biasa perawatan infastruktur dan fasilitas publik, dan potensi bahaya lain, termasuk yang terkait keselamatan publik. Ujungnya adalah harga yang mahal: penuruan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Karenanya, jangan salahkah publik yang menurun kepercayaannya kepada pemerintah, jika berita kasus korupsi masih menjadi bagian dari sarapan sehari-hari.

Kedua, banyak orang menyebut bahwa korupsi seperti puncak gunung es, yang bagian bawahnya yang justru lebih besar tidak terlihat. Kita tahu, yang menjadi ranah KPK, hanya korupsi besar. Korupsi dengan nominal “kecil” tidak masuk radar KPK. Tentu, kita tidak bisa menyepelekan, karena ini terkait ke akses layanan publik yang sama dan juga kejujuran bangsa. Yang lebih mengkhawatirkan adalah dampak ke pelanggenggan “budaya korupsi” di semua tingkat.

Memang sulit mengendus dan menguantifikasikannya, tetapi cerita dari lapangan seringkali membuat kita geleng-geleng kepala tanpa bisa berbuat banyak. Transparency International mendefinisikan korupsi dalam bingkai yang sangat luas, yaitu penyalahgunaan kuasa yang diamanahkan untuk keuntungan pribadi. Tentu, kata pribadi di sini perlu kita baca lebih luas, termasuk jaringan, kelompok, atau partainya.

Ketiga, karenanya pendidikan sejak dini terkait dengan antikorupsi perlu diikhtiarkan bersama. Meski di media massa kita baca, ada yang menyatakan bahwa sebagian besar koruptor adalah lulusan kampus. Anak muda sekarang mungkin akan berkomentar: ya iya lah, masak ya iya dong!

Ini adalah kesimpulan yang diambil dengan kecohan dalam pengambilan keputusan. Dalam literatur disebut dengan biased sample fallacy, kecohan inferensi karena sampel yang bias.

Wajar saja, karena pemegang kuasa negara di beragam level memang alumni kampus. Ini persis dengan mengatakan bahwa sebagian besar penghuni penjara di negara A atau B beragama tertentu yang mayoritas, sehingga akhirnya menarik kesimpulan yang salah.

Pesan yang ingin saya sampaikan adalah bukan pengelakan dari fakta, tetapi jangan sampai upaya pendidikan antikorupsi hanya ketika kuliah saja. Sejak dini pendidikan antikorupsi ini harus diberikan, bahkan di dalam keseharian di rumah. Tidak selalu harus dibingkai dengan kata korupsi. Mendidik kejujuran, keadilan, tidak mengambil yang bukan haknya, dan menghargai hak orang lain, merupakan bingkai abadi yang relevan untuk pendidikan antikorupsi semua konteks.

Namun, pendidikan antikorupsi itu seakan menjadi kehilangan makna, ketika tidak ada contoh konsisten yang diberikan oleh penyelenggara negara, termasuk dalam ikhtiar pemberantasan korupsi yang lebih serius. Jika tidak, para pendidik antikorupsi bisa mati gaya, ketika ada anak didik atau mahasiswa berkomentar: “Loh, kok ternyata banyak pemegang kuasa semena-mena menggunakan amanah yang diberikan kepadanya?”

Pertanyaan penutup yang lebih berorientasi ke depan, saya sampaikan di sini: jika korupsi masih merajalela di Indonesia, bagimana nasib bangsa dan negara ini ke depan?

Saya berharap jawaban pertanyaan ini akan menghiasi ruang diskusi aktual kali ini. Nampaknya kita sepakat, selain ketimpangan, korupsi masih menjadi musuh besar bangsa ini.

Semoga ikhtiar kecil ini berandil dalam melantangkan pesan antikorupsi di Indonesia. Semoga Allah memudahkan semua ikhtiar yang dilandasi dengan niat baik.

Referensi

Kühn, S. & Sherman, L. B. (2014). Curbing Corruption in Public Procurement A Practical Guide. Transparency International.

OECD (2013). Implementing the OECD Principles for Integrity in Public Procurement: Progress Since 2008. Paris: OECD.

Sambutan pembuka diskusi aktual “Membongkar Grand Design Pelemahan Pemberantasan Korupsi” dan peluncuran Posko UII Lawan Korupsi, Universitas Islam Indonesia, 23 Oktober 2021

Bidang Humas Universitas Islam Indonesia menggelar ajang apresiasi kepada para pengelola website di lingkungan UII. Ajang yang dikemas dalam event UII Website Appreciation itu digelar untuk melihat perkembangan pengelolaan situs web di lingkungan UII. Selama pandemi, informasi sangat tergantung pada kanal-kanal daring. Situs web merupakan salah satu rujukan yang digunakan oleh publik termasuk juga keluarga besar UII untuk melihat perkembangan dari sebuah unit, mulai dari Fakultas, Jurusan/Prodi, Unit layanan, dan Pusat Studi di lingkungan UII.

Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, Ph.D dalam acara Virtual Awarding UII Website Appreciation 2021 pada Kamis (21/10) mengatakan, “Kita berharap bahwa ikhtiar untuk memutakhirkan informasi, membuatnya lebih menarik, menjadikan orang berkunjung lebih lama, dan lainnya tidak hanya dicatat sebagai ikhtiar menjalankan tugas bersifat teknikal, tetapi juga ada unsur-unsur yang non teknikal”. 

Read more

I should begin my opening remarks with a confession. My educational background has nothing to do with medicine.

As a person detached from medicine discipline, when preparing this remarks, I come across with a set of eye-opening facts from World Health Organization (WHO, 2021) regarding the cardiovascular diseases (CVDs), the area of concern of the conference. WHO reported that each year 17.9 million die from CVDs. This figure is estimated 32% of all deaths worldwide. What makes this case miserable is the fact that more than 75% (13.4 million) of CVD deaths occur in low- and middle-income countries.

I do believe that Indonesia still belongs to this unfortunate group. The existing data substantiates this claim.

For example, I also come across with a study by Hussain et al. (2016). They found that CVDs are responsible for roughly one third of all deaths in Indonesia. Another study by Maharani et al. (2019) also supports this finding. Based on a survey from more than 22,000 respondents, the study found that 29.2% of them have cardiovascular risks.

These findings are confirming the similar figures worldwide, except for one aspect. The aspect is a somehow paradoxical, that as acommon person, I am very eager to know the answer. The answers may be already available but scattered here and there.

After reading the report from WHO, I was assuming that poverty and low educational level, which both are commonplace in low-income countries, have positive connection with the high prevalence of CVDs. But, the findings from Indonesian context, challenge my assumption.

A study by Adisasmito et al. (2020) revealed that the CVDs risk factors is high and increasing in urban areas (not in rural ones) and associated with those with higher income and educational levels (not lower income and educational levels).

We then may pose an intriguing question: how to explain these “paradoxical” findings? One of the possible answers may relate to lifestyle, such as smoking, physical inactivity, and obesity. But, I will not pretend to be a knowledgeable expert, here. Please read the data I presented cautiously.

I should leave this question open to be answered by the legitimate experts in a series of  discussions in this conference.

References

Adisasmito, W., Amir, V., Atin, A., Megraini, A., & Kusuma, D. (2020). Geographic and socioeconomic disparity in cardiovascular risk factors in Indonesia: analysis of the Basic Health Research 2018. BMC Public Health20(1), 1-13.

Hussain, M. A., Al Mamun, A., Peters, S. A., Woodward, M., & Huxley, R. R. (2016). The burden of cardiovascular disease attributable to major modifiable risk factors in Indonesia. Journal of Epidemiology, JE20150178.

Maharani, A., Praveen, D., Oceandy, D., Tampubolon, G., & Patel, A. (2019). Cardiovascular disease risk factor prevalence and estimated 10-year cardiovascular risk scores in Indonesia: The SMARThealth Extend study. PloS One14(4), e0215219.

WHO (2021). Cardiovascular Diseases. Available online at https://www.who.int/health topics/cardiovascular-diseases

Opening remarks at the 3rd International Conference on Cardiovascular Diseases (ICCVD 2021), held by the Faculty of Medicine, Universitas Islam Indonesia., 21 October 2021.