Humanity Day: Memajukan Masa Depan HAM di Indonesia
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak dasar atau hak pokok yang melekat pada diri manusia sejak ia terlahir di dunia. Hak yang dimiliki setiap orang tentunya tidak dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya, karena ia berhadapan langsung dan harus menghormati hak yang dimiliki orang lain. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan 10 Desember sebagai Hari HAM Sedunia.
Untuk memperingatinya, Klinik Advokasi dan Hak Asasi Manusia UII (KAHAM UII) bekerja sama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (BEM UAD) menggelar Seminar Nasional bertajuk Humanity Day 2019: Masa Depan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Acara yang dilaksanakan pada Minggu (15/12) di Auditorium Kampus 2 UAD ini mengundang tiga orang pembicara, yakni Prof. Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D., selaku Guru Besar FH UII & Direktur Criminal Law Discussion, Ashfinawati selaku Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta Dandhy Dwi Laksono, aktivis HAM sekaligus Founder Watchdoc.
Dalam paparannya, Prof. Jawahir menyampaikan, “Saya melihat situasi HAM di kekuasaan sekarang seperti kembali ke masa Orde Baru. Untuk itu, yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana para generasi muda mengangkat kondisi HAM yang ada di Indonesia harus lebih baik lagi di negara kita yang merdeka”.
Ia mengambil referensi kondisi HAM yang terkait pada isu Papua dalam lingkup nasional. Menurutnya, perlu adanya pendekatan Human Security dan Affirmative Action. Aspek-aspek permasalahan yang ada di Papua yang masih belum terselesaikan seperti kemiskinan, kesehatan, keamanan, politik pengampunan dan lain sebagainya.
Bagaimana dengan masa depan HAM?
Sebelum membahas hal tersebut, Ashfinawati menjabarkan terlebih dahulu mengenai ada beberapa hak yang terlanggar di Indonesia saat ini. Hal itu di antaranya yakni hak atas peradilan yang adil, hak atas pekerjaan, hak atas keamanan pribadi, hak atas tanah, hak atas perumahan, hak atas informasi. Dan pelanggaran hak yang paling tinggi adalah hak atas peradilan yang adil.
“Pelanggaran hak atas peradilan yang adil adalah peradilan itu sendiri merupakan tempat untuk pemulihan hak yang terlanggar, namun celakanya tempat di mana ia seharusya mendapatkan pemulihan hak malah mendapat pelanggaran kembali. Teman-teman adalah pemilik sah masa depan HAM dan di sinilah kalian yang akan menentukan masa depan HAM”, pesannya lantang.
Adapun Dhandy Laksono menyebut masa pelanggaran HAM masih berlarut-larut karena banyak manusia yang belum memahami tentang HAM. Kebanyakan literatur sejarah banyak menjelaskan tentang “orang baik melawan orang jahat”. Namun kalimat tersebut hanya berisi dogma dan doktrin yang diolah negara. Ia menarik kesimpulan hal ini disebabkan oleh faktor rendahnya minat baca di Indonesia.
“Banyak kejadian masa lalu yang kadang melebih-lebihkan dan atau bahkan tidak terjadi dan tidak sesuai dengan kejadiannya. Pengetahuan kita sangat terbatas tentang sejarah karena terbiasa hanya dari pendidikan wajib 12 tahun. Sehingga manusia hanya berkacamata kuda. Padahal banyak hal yang dilakukan pemerintah yang tidak diketahui oleh masyarakat”, Ujar Dandhy.
Pengulangan pelanggaran HAM dan imunitas pelaku pelanggaran HAM menimbulkan korban-korban seperti Munir, Novel, dan masih banyak lagi. Inilah perlunya solusi dan penyelesaian dari kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang masih menggantung. (MRA/ESP)