Hubungan Baik adalah Kunci Kebahagiaan

Pada wisuda kali ini, saya ingin berbagi dengan Saudara beberapa pelajaran dan refleksi berharga dari buku The Good Life: Lessons From the World’s Longest Scientific Study of Happiness karya Robert Waldinger dan Marc Schulz (2023). Buku ini termasuk salah satu yang direkomendasikan oleh McKinsey tahun lalu, 2023. Buku ini tidak hanya memberikan wawasan tentang kebahagiaan, tetapi juga memberikan panduan hidup yang relevan, terutama Saudara yang sedang bersiap memasuki fase baru kehidupan.

Buku ini didasarkan pada Harvard Study of Adult Development, penelitian luar biasa yang telah berlangsung selama lebih dari 85 tahun. Saat ini, cohort yang diteliti sudah sampai pada generasi kedua. Penelitian ini dimulai pada 1938 dan mengikuti kehidupan ratusan orang dari berbagai latar belakang, untuk menjawab satu pertanyaan sederhana namun mendalam: Apa yang membuat hidup kita benar-benar bahagia?

Kita mulai dengan ilustrasi pembuka.

 

Jebakan pembandingan

Banyak orang, terutama generasi milenial, menganggap kebahagiaan sebagai ukuran kehidupan yang baik dan percaya bahwa itu dapat dicapai melalui kekayaan dan ketenaran. Dalam survei terhadap kaum milenial, lebih dari 80% menyatakan keinginan untuk menjadi kaya, 50% ingin terkenal, dan 50% berharap memiliki karier yang cemerlang.

Namun, penelitian menunjukkan bahwa meskipun negara-negara Barat semakin makmur, tingkat kebahagiaan masyarakat justru menurun. Kebahagiaan individu tampaknya mencapai puncaknya pada pendapatan rumah tangga yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan anak. Di atas jumlah tersebut, peningkatan pendapatan hanya berdampak kecil pada kebahagiaan.

Salah satu alasan banyak orang salah mengira uang adalah kunci kebahagiaan adalah karena definisi “kehidupan yang baik” sering ditentukan oleh masyarakat, bukan oleh diri sendiri. Revolusi digital, media sosial, standar yang tidak realistis, dan iklan yang mendominasi ruang publik menciptakan ilusi bahwa konsumsi adalah sumber kebahagiaan.

Generasi muda, yang lebih terhubung dengan dunia digital dibanding generasi sebelumnya, menjadi semakin rentan terhadap siklus perbandingan ini. Kita cenderung membandingkan bagian dalam diri kita dengan bagian luar orang lain.

Penelitian yang dilakukan oleh tim Universitas Harvard tersebut menemukan satu kesimpulan sangat penting: hubungan yang kuat dan positif sangat penting untuk menghadirkan kebahagiaan dan menjaga kesehatan. Temuan ini sangat relevan bagi kita semua, terutama Saudara yang akan segera melangkah ke dunia baru yang penuh tantangan.

Beberapa pelajaran dan refleksi dapat kita bahas ringkas dalam kesempatan ini.

 

Membina hubungan

Pertama, kita perlu melakukan investasi untuk membangun hubungan. Hidup yang bahagia dan sehat berakar pada hubungan yang bermakna. Penelitian ini menemukan bahwa orang-orang yang memiliki hubungan yang dekat, saling mendukung, dan penuh kasih dengan keluarga, teman, atau komunitas, cenderung lebih bahagia dan hidup lebih lama. Sebaliknya, mereka yang merasa kesepian atau terisolasi lebih rentan terhadap penyakit fisik dan mental.

Ketika Saudara melangkah ke dunia kerja atau melanjutkan pendidikan, godaan untuk terjebak dalam kesibukan dan ambisi pribadi sangat besar. Saudara mungkin merasa bahwa waktu untuk keluarga atau teman adalah hal yang bisa ditunda. Tetapi ingatlah, kebahagiaan tidak hanya berasal dari pencapaian profesional, tetapi dari momen sederhana—berbagi tawa, dukungan, atau bahkan kehadiran bersama orang-orang tercinta.

Memiliki jaringan sosial yang lebih luas dan lebih aktif secara sosial berkontribusi pada perlambatan munculnya penyakit dan penurunan fungsi kognitif. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa individu yang menikah cenderung memiliki harapan hidup lebih panjang—sekitar 5-12 tahun lebih lama untuk perempuan dan 7-17 tahun lebih lama untuk laki-laki.

Penelitian juga menunjukkan bahwa kesepian memiliki dampak negatif terhadap kesehatan yang setara dengan merokok setengah bungkus sehari, tekanan darah tinggi, atau obesitas. Kesepian dapat mempercepat penurunan fungsi kognitif dan fisik, menyebabkan hipertensi akibat stres, gangguan tidur, peningkatan respons kardiovaskular, penurunan imunitas, serta memicu peradangan kronis.

Pak Kahar, salah satu pendiri dan rektor pertama UII, merupakan salah satu teladan. Beliau sangat suka menjalin silaturahmi. Semasa hidupnya, ketika melakukan perjalanan ke luar kota, Pak Kahar tak jarang  berusaha bertemu dengan para sahabat dan keluarganya yang tinggal di kota yang dilewati, meski hanya sejenak.

Dalam ajaran agama Islam, menjalin silaturahmi memberikan banyak manfaat, termasuk membuka pintu rezeki dan memperpanjang umur. Studi Universitas Harvard memberikan basis saintifik untuk ajaran ini.

Apa refleksi lanjutan yang dapat kita lakukan?

 

Hidup seimbang dan sukses

Kedua, kita perlu mengupayakan keseimbangan dalam hidup. Hidup yang penuh kebahagiaan adalah hidup yang seimbang (cf. Peronne, 2000). Studi terdahulu juga menunjukkan bahwa mereka yang mampu menjaga keseimbangan antara pekerjaan, kehidupan pribadi, dan kesehatan mental lebih cenderung bahagia dalam jangka panjang.

Di dunia yang semakin kompetitif ini, Saudara akan menghadapi tekanan untuk terus bergerak maju—mencapai lebih banyak, bekerja lebih keras, dan membuktikan diri. Namun, penting untuk diingat bahwa keseimbangan adalah kunci.

Jangan pernah mengabaikan kesehatan Saudara, baik fisik maupun emosional. Kadang, kita perlu meluangkan waktu untuk diri sendiri, lakukan hal-hal yang dapat kita nikmati, dan jangan ragu untuk berhenti sejenak untuk merenung dan mengisi ulang energi. Tentu, semuanya perlu dilakukan dalam kadar terukur.

Ketiga, kita perlu memikirkan ulang makna kesuksesan yang sejati. Dalam perjalanan hidup, kita sering diajarkan untuk mengejar kesuksesan material dan prestasi akademik. Namun, beragam penelitian mengingatkan kita bahwa kesuksesan sejati adalah tentang memberi makna pada hidup kita—bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain (e.g. Morelli, Lieberman & Zaki, 2015; Aknin et al., 2013).

Pendidikan dan keterampilan yang kita miliki, memberikan kekuatan untuk menciptakan perubahan positif di sekitar kita. Jadilah individu yang tidak hanya memikirkan “apa yang bisa saya capai,” tetapi juga bertanya, “apa yang bisa saya berikan kepada orang lain?” Ini adalah esensi dari hidup yang bermakna.

Ajaran Islam memberikan arahan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain.

Tentu, tak seorang pun bahagia sepanjang waktu. Kehidupan tidak pernah kalis dari masalah dan tantangan. Pelajaran yang kita dapat dalam menyelesaikan masalah dan melewati tantangan akan memperkaya referensi kita untuk menatap masa depan dengan lebih baik. Kebahagian mempunyai orientasi waktu ke depan.

 

Referensi

Aknin, L. B., Dunn, E. W., Sandstrom, G. M., & Norton, M. I. (2013). Does social connection turn good deeds into good feelings?: On the value of putting the ‘social’in prosocial spending. International Journal of Happiness and Development1(2), 155-171.

Morelli, S. A., Lieberman, M. D., & Zaki, J. (2015). The emerging study of positive empathy. Social and Personality Psychology Compass9(2), 57-68.

Peronne, K. M. (2000). Balancing life roles to achieve career happiness and life satisfaction. Career Planning and Adult Development Journal15(4), 49-58.

Waldinger, R., & Schulz, M. (2023). The good life: Lessons from the world’s longest scientific study of happiness. Simon and Schuster.

 

Sambutan pada wisuda Universitas Islam Indonesia, 30 November dan 1 Desember 2024

 

Fathul Wahid

Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026