Hidup Berbangsa dalam Bingkai Agama

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. Nizar Ali, M.Ag., menjadi keynote speaker di Seminar Nasional Agamawan Muda dan Masa Depan Kebangsaan. Agenda ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia (UII) bekerjasama dengan Program Studi Ilmu Agama Islam program magister dan doktor Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) UII. Seminar digelar dalam tiga sesi selama dua hari pada Kamis (25/2) dan Jumat (26/2). Sesi pertama seminar mengangkat tema Agamawan Muda, Politik identitas dan Masa Depan Kebangsaan.

Nizar Ali memberikan apresiasi kepada UII yang telah mengajak para tokoh-tokoh agama dan bangsa untuk memperbincangkan masalah agama dan masa depan bangsa. Ia menyatakan terdapat dua dinamika internal kebangsaan yang dihadapi Indonesian yakni munculnya kelompok yang mempertanyakan konsensus nasional yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945. Serta lahirnya kelompok yang sering melakukan klaim keagamaan dengan memperbandingkan mayoritas dan minoritas agama yang dianut di Indonesia.

“Hal ini tentu kita lihat dunia sedang berubah khususnya munculnya gerakan transnasional ini menjadi dua hal penting yang mempengaruhi masa depan bangsa kita mati,” ujarnya. Nizar Ali juga berpesan setiap warga negara harus memelihara dan membangun masa depan Indonesia salah satunya adalah meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sekjen Kementerian Agama ini menuturkan media menjadi instrumen penting dalam menempatkan agama sebagai sumber inspirasi serta aspirasi untuk membangun bangsa dan memperkuat kesatuan berbangsa dan bernegara.

Rektor UII Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. dalam sambutannya menyampaikan seseorang tanpa rasa kebangsaan yang tinggi maka sulit untuk berperan dalam pembentukan bangsa. Padahal bangsa masih memiliki pekerjaan rumah yang besar diantaranya kesejahteraan, keadilan, serta korupsi. “Mata dan telinga kita yang peduli dengan beragam perkembangan yang ada akan merasakan kegundahan masa depan bangsa kita. Dan seminar yang digagas hari ini salah satu ikhtiar dalam mendesain masa depan bangsa kita,” ungkapnya.

Fathul Wahid melihat dalam kacamata awan terdapat hal penting yang harus didiskusikan, yakni informasi yang tersebar luas. Selama ini infomasi yang diberikan tidak dibarengi dengan kedewasaan aktornya, sehingga kebebasan informasi itu tuna tanggung jawab. “Media sosial yang dipakai selama ini semakin memperparah keadaan tersebut seperti menyebar gosip dan saling mengadu domba. Meski demikian, masih ada sisi positif bangsa dalam upaya terus melahirkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan mengentaskan kemiskinan,” sebut Fathul Wahid.

Pembicara pertama, Kandidat Doktor Prodi Hukum Islam Program Doktor FIAI UII Gus Irwan Maduqi, Lc. M.Hum, mengungkapkan persoalan yang saat ini dihadapi bangsa Indonesia adalah perbedaaan yang dijadikan modal politik untuk saling bertentangan. Tetapi dalam sejarah Islam, politik identitas sudah terjadi sejak lama karena adanya politisasi teknik agama. Ia bercerita sahabat sesama Islam saling menyesatkan, mengkafirkan, hingga timbul pertumpahan darah karena persoalan politisasi agama. “Semoga ini tidak terjadi di Indonesia. Kyai Haji Hasyim Muzadi pernah mengingatkan kepada kita yang beda jangan di sama-sama kan, dan yang sama jangan di beda-bedakan. Jadi kita yang beragam seperti ini ya jangan dipaksa untuk disamakan atau dibedakan,” jelasnya.

Gus Irwan menyebut dalam Islam terdapat tiga macam ukhuwah, yakni ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan bangsa), dan ukhuwah Basyariyah atau Insaniyah (persaudaraan umat manusia). Dalam ukhuwah Islamiyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena sama-sama memeluk agama Islam walaupun berada di belahan dunia manapun. Kedua, ukhuwah Wathaniyah yakni orang saling bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian dari bangsa yang satu, misalnya bangsa Indonesia. Biasanya dibatasin oleh sekat agama, suku, jenis kelamin, dan sebagainya. Adapun, dalam ukhuwah Basyariyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena bagian dari umat manusia yang satu yang menyebar di berbagai penjuru dunia.

Dalam identitas politik, yang berbahaya adalah munculnya perspektif dengan mendoktrin semua orang agar membedakan siapa yang layak dicintai dan siapa yang dibenci. “Contohnya menurut pandangan Wahabi tidak boleh mengucapkan Assalamualaikum kepada non muslim. tapi menghilangkan huruf l nya menjadi Assalamuaaikum. Assalamualaikum artinya keselamatan bagi kalian, tetapi kalau asslamuaaikum atau l nya dihilangkan artinya adalah racun bagi kalian. Ini mendoktrin sangat meracuni masyarakat non muslim,” contohnya.

Menurutnya ini menjadikan non muslim sebagai musuh orang muslim. Sehingga sangat membahayakan kelangsungan Bhinekan Tunggal Ika semakin parah. Ia menambahkan bahwa saat ini yang dianggap musuh tidak hanya sekedar non muslim, tetapi yang punya aspirasi politik yang berbeda turut dianggap musuh orang Islam. Misalnya adalah yang mendukung Ahok di pemilu gubernur yang akhirnya melahirkan gerakan 212 dianggap musuh bahkan kafir.

“Saya kira diskriminasi yang muncul dari politik membutuhkan waktu lama untuk mengobatinya. Untuk itu, saya sepakat dengan Pak Nizar untuk menjadikan agama sebagai inspirasi. Dari semua agama ditampung nilai universalnya untuk membangun bangsa. Jangan mentang-mentang Islam mayoritas lalu ingin berkuasa,” ungkap Gus Irwan dengan nada tegas.

Sementara itu, Dosen Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang Palangkaraya Puspo Renan Joyo, M.Pd.H. menuturkan bahwa identitas terbesar bangsa ini adalah Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang menjadi kerangka sejak lahirnya negara Indonesia. Di dalamnya terdapat identitas fundamental yang menyatakan Pancasila sebagai ideologi sekaligus sumber dari segala sumber hukum. Terdapat pula identitas instrumental yang menyatakan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, Garuda Pancasila sebagai lambang negara, Merah Putih sebagai bendera negara kita, Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.

“Identitas yang ketiga secara inheren melekat di dalam diri kita yaitu Indonesia sebagai negara kepulauan dengan pluralitas suku, budaya, bahasa, dan agama. Kemudian dari Inside tentang jati diri kita itu memberikan satu pemikiran yang di dalam hal ini adalah berkorelasi dengan isu yang sedang menguap yakni politik identitas,” tambahnya. Puspo Renan menyebut politik identitas merupakan mekanisme pengorganisasian identitas baik dalam politik maupun sosial yang menjadi sumber serta sarana politik. Guna mencapai identitas atau demokrasi yang baik seluruh warga harus belajar dan saling mendidik.

“Saya seorang rohaniwan agama Khonghucu dan termasuk golongan minoritas. Tapi saya bersyukur dilahirkan di Indonesia dan hidup di Indonesia. Saya bahagia karena saya yakin setiap agama mengajarkan hal yang baik seperti saling menghormati, bertoleransi, dan mencintai sesama manusia,” kata Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia Ws Adjie Chandra. Dalam ajaran Khonghucu diajarkan yang tua menghargai yang muda. Sebagai contoh perkembangan globalisasi saat ini merupakan ide dan penemuan anak muda, sehingga yang tua juga turut bisa merasakan penemuan tersebut. (SF/RS)