Hakekat Pernikahan dalam Pandangan Islam
Dalam hakekatnya Allah Swt menciptakan manusia sebagai makhluk ahsanu taqwim yaitu sebaik baiknya ciptaan, dengan tujuan agar manusia dapat mengelola dan memperankan dirinya dan perlakuannya selayaknya manusia yang menyebarkan manfaat kepada makhluk lain. Untuk mengatur tingkah laku manusia harus ada hukum dalam kehidupan, supaya tercipta keamanan dan ketertiban hidup.
Hal tersebut dikemukakan Direktur Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam Universitas Islam Indonesia (DPPAI UII), Dr. Aunur Rahim Faqih, S.H., M.Hum. dalam kegiatan SEKOLA (Sekolah Online Ketahanan Keluarga) sesi ketiga, pada Sabtu (12/11) secara daring. Kegiatan Webinar Islamic Worldview dan Maqasid Perkawinan dan Keluarga ini merupakan salah satu dari rangakaian acara yang digelar oleh Pusat Studi Gender UII bekerjasama dengan DPPAI UII, Program Doktoral Hukum Islam UII, Jurusan Hukum UII, dan Jurusan Psikologi UII.
Aunur Rahim Faqih menjelaskan, kehendak Allah menjadi hukum tengah yang penegakan hukumnya mencangkup nilai-nilai dan aturan. “Sebenarnya, hukum merupakan sapaan ilahi kepada subyek hukum yaitu makhluk-Nya. Hukum ini disebut dengan khitobullah (sapaan Allah), berisi perintah Allah dalam melakukan sesuatu, meninggalkan sesuatu, diizinkannya berbuat dan penetapan untuk melakukan suatu hal,” jelasnya.
Menurut Aunur Rahim Faqih, perkawinan diawali dengan akad, yang memiliki hakikat makna mitsaqan ghaliza (ikatan yang kuat) yaitu perjanjian agung, kuat dan berbeda dengan yang lain, sehingga perkawinan bukanlah yal yang dianggap biasa. Agama merupakan unsur terpenting dalam perkawinan, karena agama menggambarkan kepastian hukum yang menjadi pokok utama sebagaimana di dalam maqasid syari’ah yaitu hifdzudddin (menjaga agama).
“Keluarga harus menjadi kuat, jika keluarga kuat masyarakat pasti kuat, jika masyarakat kuat negaranya akan kuat. Dalam arti positif, masyarakat menjadi makmur, bahagia, sejahtera yang sakinah mawaddah warohmah,” tuturnya.
Dosen Fakultas Ilmu Agama Islam UII dan Ma’had Maqashid, Dr. Ali Abdul Mun’im, M.A. menyebutkan terdapat tiga power (kekuatan) dalam kehidupan keluarga yaitu tashawwur (kompetensi), tashdiq (verifikasi) dan tahsarruf (bertindak atau menyikapi). Kehidupan keluarga apabila dipandang secara sistematik akan ditemukan pada dua jalur berfikir, yaitu keluarga dalam dirinya dan keluarga dalam lingkungannya.
“Karena dalam ciptaan Allah tidak ada satu interaksipun yang didasari saling menyelisihi, semuanya saling terhubung. Darisinilah jalur fikirnya kita akan menemukan bahwa keluarga teridir dari apa, dan keluarga bergerak dimana?,” imbuhnya.
Ali Abdul Mun’im menjelaskan dalam membangun pengetahuan ada ibtila’ ilmu sehingga menjadi bervariasi, khususnya perbedaan cara pandang ulama dalam menyikapi suatu hukum. Dalam sebuah perbedaan ini selalu dibersamai dengan sudut pandang yang berbeda-beda juga. Akan tetapi perbedaan ini, pastinya dibarengi dengan kaidah-kaidah hukum dasar dan aturan-aturan yang bersifat muhkam. Dalam tata tashawwur, adanya world view dapat diketahui bagaimana Al-Qur’an membimbing kita dalam membangun itu dengan ilmu yang mutaakhir dan tingkat akurasi yang tinggi.
Menurut Ali Abdul Mun’im dalam meringkas sebuah hukum, beberapa ulama’ menggunakan metode yang berbeda-beda. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan satu pendapat yang akan dipilih, yaitu dengan meninjau metode yang digunakannya dalam menetapkan hukum.
”Untuk mengetahui sudut pandang dari perbedaan pendapat, hal yang perlu ditanyakan adalah menggunakan metode apa? Analisis konten, penafsiran ayat, dan mengikuti guru. kemudian dari situlah worldview islami yang merepresentasikan suatu pemikiran . metode narasi adalah metode yang memiliki kebasahan. Melakukan tashawwur terhadap ulamanya, dan mempercayai dengan melakukan tashdiq, tasharruf dengan mengikuti pendapat ulama itu,” terannya. (HA/RS)