Guru Besar UII Kembali Bertambah
Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menambah capaian di bidang akademik, yakni raihan jabatan profesor oleh salah satu dosennya sebagai jabatan akademik tertinggi. Kali ini, dosen Fakultas Hukum UII, Dr. Muhamad Syamsudin, S.H.,M.H. menerima Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI tentang Kenaikan Jabatan Akademik Profesor dalam Bidang Ilmu Hukum.
Surat keputusan kenaikan jabatan akademik profesor tersebut diserah terimakan pada Kamis (31/3) di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito Kampus Terpadu UII, oleh Kepala LLDikti Wilayah V DIY, Prof. drh. Aris Junaidi, Ph.D. kepada Rektor UII Prof. Fathul Wahid, ST., M.Sc., Ph.D., dan diteruskan kepada Dr. Muhamad Syamsudin, S.H., M.H. Kegiatan yang digelar dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan ini, juga disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Universitas Islam Indonesia.
Dalam sambutannya, Prof. Fathul Wahid mengungkapkan rasa syukur dan bahagiannya dengan raihan jabatan profesor yang diperoleh Muhamad Syamsudin. Dengan raihan ini, menjadikannya sebagai guru besar ke-25 di lingkungan UII sekaligus guru besar kedelapan dari Fakultas Hukum UII. Rasa syukur tersebut tidak hanya disampaikan Prof. Fathul Wahid secara personal, namun juga mewaliki seluruh keluarga besar UII.
Dalam kesempatannya, Prof. Fathul Wahid menyampaikan narasi tentang matinya kepakaran di dalam dunia akademik yang berdampak pada menurunnya kepercayaan khalayak kepada para pakar atau ahli.
Mengutip sebuah buku berjudul “The Death of Expertise” karya Tom Nichols yang dirilis pada tahun 2017, Prof. Fathul Wahid menganggap bahwa topik ini sangat relevan terhadap realita Pendidikan yang ada di Indonesia. Dengan melihat fakta-fakta bahwa semakin banyak berita palsu atau hoax yang bertebaran di dunia maya, serta para pengguna internet yang lebih memilih untuk percaya kepada berita-berita tersebut dibandingkan dengan pendapat para ahli. Rektor UII ini menggunakan istilah “erosi” untuk menggambarkan terkikisnya kepercayaan masyarakat kepada para pakar.
Kerendahan hati juga sangat ditekankan oleh Prof. Fathul Wahid dengan mengutip ayat al-qur’an yang dilantunkan qori pada awal acara. “Jangan berjalan di muka bumi dengan Jemawa” ucap beliau setelah melantunkan potongan ayat tersebut. Ia juga menambahkan tentang bagaimana seharusnya para ahli bertindak dalam era abu-abunya validitas informasi seperti sekarang. Pengayaan sumber informasi, cermat dalam melakukan validasi, serta gencar melantangkan pendapat intelektualnya dalam berbagai platform adalah contoh-contoh yang beliau tawarkan sebagai bentuk perlawanan terhadap statement “Matinya para pakar”.
Lebih lanjut Prof. Fathul Wahid mengemukakan nilai kejujuran sebagai pelengkap dari nilai rendah hati yang hendaknya dimiliki oleh para profesor sebagai bagian dari para ahli. “Saya tambahkan di sini hadirin yang mulia, semuanya itu perlu dilakukan dengan kejujuran. Pelajaran ini valid juga untuk konteks Indonesia dan banyak belahan bumi lain,” tandasnya.
Di tempat yang sama, Prof. Aris Junaidi berkesempatan memberikan beberapa pesan kepada Prof. Syamsudin yang baru saja dilantik. Menurutnya, proses dalam menyandang gelar guru besar merupakan proses yang sangat lama dan perlu ketekunan dalam menekuni suatu bidang ilmu.
“Ini menjadi satu tugas yang mulia, tentu sebagai pendidik untuk tidak hanya men-generate income bagi fakultas hukum maupun UII, tapi juga menghasilkan karya-karya, temuan-temuan baru, opini maupun menghasilkan lulusan-lulusan baik magister maupun doktor yang betul-betul berkualitas tinggi,” tutur Prof. Aris Junaidi.
Ungkapan rasa syukur juga disampaikan Ketua Umum Pengurus Yayasan Badan Wakaf UII, Suwarsono Muhammad. Untuk diketahui, Saat ini Prof. M. Syamsudin diamanahi sebagai Sekretaris Pengurus Yayasan Badan Wakaf (YBW) UII Periode 2018-2023. Karenanya, Suwarsono menganggap pembacaan surat keputusan kali ini menjadi sedikit berbeda. Ia menyampaikan beberapa hal yang dilabelinya sebagai “sambutan yang cukup personal”, yang berkenaan dengan perasaan pribadi beliau.
“Terus terang saja, saya takut kehilangan Pak Syam, Jangan-jangan pak Syamsudin yang kemarin itu berbeda dengan pak Syamsudin hari ini dan besok-besok. Setelah mendapatkan gelar guru besar,” tuturnya.
Hal ini didasari pada pengalaman pribadinya, yang kemudian menilai ketawadhuan Prof. Syamsudin yang berbeda dengan beberapa calon guru besar yang beliau kenal. Bahkan berita tentang kenaikan jabatan Syamsudin didapatkannya dari orang lain. Nilai-nilai rendah hati tersebut yang ia harapkan dapat terus dipelihara oleh Syamsudin saat menyandang gelar guru besar.