Gestur Tubuh Ungkap Kepribadian Ketika Wawancara Kerja
Dalam interaksi secara umum, pembicara menyampaikan pesan secara verbal. Namun siapa sangka ternyata ekspresi dan gestur tubuh seperti mata, tangan, dan kaki memberikan pesan tertentu pada lawan bicara. Ini yang menjadi pembahasan utama dalam Central Language Improvement (CLI) UII online talks: Understanding someone’s expression to communicate effectively pada Sabtu (18/08) yang diadakan secara daring.
“Ekspresi adalah bagaimana kita menyampaikan yang kita rasakan dan pikirkan menggunakan panca indra mulai dari wajah hingga kaki,” jelas Iswan Saputro, M.Psi., Psikolog. mengawali sesi. Setiap manusia memiliki ekspresi tertentu dalam bereaksi terhadap kejadian yang berbeda.
Ia menyebut ada enam emosi dasar manusia, yaitu bahagia, sedih, jijik, takut, terkejut, dan marah. Secara garis besar, organ tubuh seperti tangan, kaki, dan mata, ternyata memberikan banyak informasi selama komunikasi yang mengungkapkan kondisi atau kepribadian pembicara.
“Mata mencerminkan apakah seseorang percaya diri atau tidak,” jelas Iswan. Menurutnya lamanya seseorang dapat memandang lawan bicara sejalan dengan tingkat kepercayaan dirinya.
“Vanessa Van Edwards, dalam sesi tedtalk-nya, mengatakan kalau secara tidak sadar, otak primitif manusia akan memperhatikan tangan lawan bicara,” tutur Iswan. Tangan adalah tempat kepercayaan kepada orang lain. Tangan yang berada di belakang pinggang akan membawa kesan menyembunyikan yang membuat orang menduga-duga. Tangan menyilang terkesan defensif.
Dalam kesempatan mewawancarai calon pegawai, Iswan mengaku melakukan asesmen gestur tubuh dari atas hingga ke bawah. Ia membagikan tips bagaimana bahasa tubuh yang sesuai dengan kondisi tersebut. “Lihat posisi duduk, pastikan tidak bersandar. Karena duduk bersandar terkesan santai, pewawancara justru akan melihat ketidakseriusan kita selama wawancara,” jelas Iswan. Untuk kaki,
Iswan menganjurkan untuk tidak perlu banyak bergerak karena menimbulkan kesan cemas dan tidak tenang. “Tidak perlu juga pakai aksesoris berlebih,” tuturnya.
Pemilihan Kata dan Intonasi
Penggunaan kata juga berpengaruh. “Kata “Aku” terkesan mengutamakan kepentingan diri sendiri dan egosentris. Hindari itu terutama saat lawan bicara adalah orang baru” jelas Iswan. Dalam proses konselingnya, Iswan mengaku banyak menggunakan kata “kita”, seperti “coba kita cari solusinya”, “mari kita pahami bersama”. “Di sini lawan bicara merasa dilibatkan. Efek psikologisnya adalah mereka akan merasa tidak sendiri dalam menghadapi masalah,” tutur Iswan.
Tidak hanya di sesi konseling, efek psikologis dari pemilihan kata juga timbul seperti di dalam forum, organisasi, atau kelompok. Menggunakan kata “kalian”, terutama dalam kelompok, menurut Iswan, terkesan bahwa pembicara tidak ingin terlibat dalam tanggungjawab bersama. “Hindari kata “kalian”,” tuturnya.
Lantas bagaimana penggunaan daerah? Apakah ia juga memiliki efek psikologis? Diungkapkan Iswan bahwa bahasa daerah bisa menjadi dua mata pisau. “Untuk mengawali seminar misalnya, bahasa daerah bisa menjadi kekhasan pembicara. Namun untuk menjelaskan materi lebih baik dihindari karena akan terkesan tersegmentasi,” jelasnya.
Selain itu, penggunaan nada dan intonasi juga berpengaruh. Dibandingkan nada-nada yang ekspresif, Iswan mengaku sering menggunakan intonasi yang stabil dalam sesi konselingnya. “Kalau diperhatikan kenapa nada bicara psikolog itu terdengar formal?. Iya mereka sering menggunakan nada dan intonasi yang stabil dan huruf vokal terdengar jelas agar memberikan rasa tenang kepada klien,” ungkapnya.
Komunikasi Dua Arah
Seringkali, dalam pembicaraan bersama dengan orang baru atau orang yang sudah lama kenal, tidak jarang kita mengawali interaksi dengan menanyakan kabar. Ini, menurut Iswan dapat menjadi jebakan. “Hindari pertanyaan progres karena itu bisa menimbulkan tekanan tertentu pada seseorang,” terangnya.
Pertanyaan progres yang dimaksud Iswan ialah seperti “bagaimana kabar skripsimu?”, “kapan nikah?” dan lainnya. Ia mengusulkan untuk menggunakan basa-basi yang lebih personal untuk orang yang sudah lama kenal, seperti “bagaimana keluarga di rumah?” dan basa-basi yang lebih umum untuk orang yang baru ditemui, seperti “tadi lewat jalur mana untuk sampai kesini?” atau “apakah selama perjalanan macet?”.
Tidak hanya basa basi, mendengarkan lebih banyak kepada lawan bicara ternyata memberikan dampak yang signifikan. “Setiap orang suka diperhatikan dan diapresiasi. Kita bisa mulai dengan menanyakan hal-hal tentang dia, lalu berikan apresiasi atau pujian,” jelas Iswan. Dengan lebih banyak mendengarkan lawan bicara akan membangun kenyamanan.
“Mulailah lakukan pembicaraan dua arah. Saling memberikan kesempatan untuk berbicara dan mendengarkan. Dengan begitu akan terbangun keakraban antara pembicara dan lawan bicara dan memberikan rasa hormat kepada kedua pihak,” pungkas Iswan. (IG/ESP)