Geliat Ramadan dan Dakwah di Korea Selatan
Meski minoritas, komunitas Muslim di Korea Selatan terus berupaya menjalankan tradisi dan ritual keislaman. Terlebih di bulan Ramadan, kerinduan akan suasana khas bulan suci di kampung halaman mendorong mereka untuk semakin kompak menghidupkan syiar Islam.
Seperti disampaikan Thomhert Sidari, Ph.D, Ketua Umum Asosiasi Peneliti Indonesia di Korea (APIK) dan Aji Teguh, mahasiswa kandidat doktoral Pusan National University. Mereka menjadi pembicara diskusi public special Ramadan yang diadakan Institute for Global and Strategic Studies, Sabtu (16/4).
Keluarga Aji Teguh memiliki rutinitas menghias rumah dengan dekorasi ala-ala Ramadan. Mereka juga menyemarakkan Ramadan dengan melaksanakan ngaji bersama di internal keluarga. “Untuk di komunitas, sekarang cukup menggeliat dengan melaksanakan buka dan pengajian bersama.” imbuhnya.
Sementara keluarga Thomhert menyambut Ramadan dengan memutar murottal dan al ma’tsurat di rumah. Keluarganya juga cukup sering menyediakan kurma dan membuat gorengan untuk berbuka layaknya ketika di tanah air.
“Tarawih di sini cukup malam karena isya jam 8.30 sehingga cukup tidak memungkinkan untuk sholat di masjid karena jaraknya 1 jam perjalanan.” Ujar Thomhert. Ia membandingkan tradisi tarawih dengan sebelum pandemi, yakni ia dan rombongan seringkali berangkat ke masjid untuk melaksanakan sholat berjamaah.
Toleransi dan Dakwah Islam di Korea Selatan
Selama menjadi mahasiswa, Aji Teguh kagum dengan toleransi Profesor di kampusnya terkait dengan pemberian waktu dan tempat sholat Jumat bersama dengan peneliti lain dari Bangladesh. Menurutnya problem utama yang harus dihadapi adalah di Indonesia setiap muslim memiliki kesempatan yang bebas untuk melaksanakan sholat sedangkan kesempatan serupa tidak didapatkan di Korea Selatan.
“Untuk sholat aja harus mencari spot yang lumayan bersih dan nyaman untuk sholat.” Tukasnya. Ia juga menjelaskan kerinduan akan suara adzan yang cukup sulit didengar selama berada di Korea Selatan.
Ia menambahkan bahwa penyiaran agama Islam di Korea Selatan cukup sulit karena budaya setempat yang mayoritas tidak percaya dengan agama. Menurut Aji, warga di Kota Seoul cukup asing dengan wanita-wanita muslim yang berjilbab dan sering terkejut melihat penampilan istri dan anak perempuannya yang memakai jilbab ketika keluar rumah.
Terkait dengan peluang dakwah, ia meyakini bahwa dakwah bisa dilakukan dengan lebih massif jika melalui sosial media seperti YouTube atau Instagram. “Saya dan istri juga sudah mulai melihat-lihat konten yang edukatif terkait Islam di Korea Selatan. Akhirnya, orang-orang lokal mulai tertarik dengan ini.” pungkasnya. (AP/ESP)