Garin Nugroho Ajak Masyarakat Tak Terjebak Melodrama
Dalam dunia hiburan dikenal istilah melodrama yakni upaya mengelola emosi pemirsa untuk membuatnya betah berlama-lama melihat produk hiburan. Ciri-ciri melodrama antara lain melihat tokoh serba hitam-putih sehingga memunculkan kultus mengidolakan seseorang dan begitu membenci orang yang memiliki karakter berkebalikan dengan idolanya. Rupanya melodrama juga turut dibawa dalam budaya dan kehidupan politik bangsa Indonesia.
Hal inilah yang turut menjadi keprihatinan salah satu sineas kenamaan, Garin Nugroho. Seperti diungkapkannya pada kuliah umum dan bedah buku “Negara Melodrama” yang diadakan oleh Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (Nadim), Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII), pada Kamis, (28/3). Kegiatan tersebut berlangsung di Auditorium lantai 3, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII.
Selain aktif sebagai sutradara, Garin yang juga aktif menulis kolom di surat kabar sejak tahun 1986 menerbitkan buku berisi kumpulan tulisannya berjudul “Negara Melodrama.” Buku itu membahas rangkaian peristiwa aktual sosial politik di Indonesia yang terjadi dalam rentan waktu antara tahun 2012 hingga sekarang.
Garin menyebut melodrama yang kental dalam film nampak dengan penggunaan formula hitam putih, selalu ada yang dianggap baik dan jahat, tokoh miskin dan kaya, bumbu adegan berkelahi seperti kung-fu, silat, serta tokoh yang harus berparas cantik atau tampan.
“Rumus-rumus inilah yang kemudian menjadi rumus melodrama. Dan setiap film yang menggunakan rumus ini, dijamin pasti laris.” Jelasnya.
Untuk itu ia mengajak pentingnya melakukan riset sebelum menghasilkan sebuah karya sehingga lebih memiliki akurasi yang baik. Selain itu, tidak kalah penting adalah membentuk selera penonton dengan tayangan bermutu, bukan malah terus mengikuti tren yang ada.
Menurutnya, menjelang pesta demokrasi fenomena melodrama yang terjadi pada masyarakat telah memunculkan pemilih yang melodramatik. “Pemilih yang hanya mengedepankan prinsip-prinsip melodrama menganggap pilihannya sebagai yang terbaik dan yang lain adalah yang paling buruk. Sebaliknya, pemilih tidak lagi mengunakan sisi rasional-kritis. Sehingga hanya mampu memilih politisi populer bukan pemimpin sebagai pemandu partisipasi masyarakat denga visi-misi yang panjang”, jelasnya.
Ia mengajak masyarakat menggunakan hak pilih dengan prinsip rasional-kritis serta tidak mengedepankan prinsip melodramatik. (DD/ESP)