Fungsi Empati Bagi Arsitek Ketika Mendesain Hunian
Program Studi (Prodi) Arsitektur Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan webinar bertema “Human Physiological Empathize” pada Rabu (30/03). Webinar yang dibawakan Dr. Ir. Sugini., M.T., I.A.I., G.R. itu banyak mengulas pentingnya empati guna menghasilkan desain yang bagus.
Menurutnya, bicara soal arsitektur paling tidak dari 1 definisi melibatkan 2 atau 3 kata penting, yaitu desain, lingkungan binaan, dan manusia. Dalam proses design thinking, paling tidak ada 5 tahapan; empati, definisi, ide, prototipe, dan uji. “Kita tidak dapat menghasilkan desain yang bagus tanpa kita mengembangkan empati terhadap subjek yang akan difasilitasi di lingkungan binaan yang akan didesain. Oleh sebab itu maka bicara manusia.” ujar Sugini.
Pada sesi awal pemaparannya, ia menekankan pentingnya kebutuhan fisiologis manusia. Sebagai seorang arsitek, pengetahuan terkait kebutuhan manusia perlu diperhatikan. Ia menggunakan teori Maslow untuk memperkuat penjelasan kebutuhan fisiologis manusia.
Jika dilihat dari kebutuhan fisiologisnya, manusia bisa tumbuh hidup membutuhkan udara, air, makanan, tidur, dan lain sebagainya. “Tetapi ada satu yang sangat berkaitan dengan lingkungan binaan, yaitu shelter.” imbuh Sugini.
Shelter (tempat tinggal) ini yang akan menjadikan hal penting sebagai cara untuk memenuhi fisiologis manusia. “Ketika bicara tempat tinggal sebagai kebutuhan fisiologis, maka sebenarnya merupakan sebuah lingkungan binaan untuk menghasilkan kualitas lingkungan dalam ruangan yang memenuhi kebutuhan dari manusianya.” Ungkap Sugini. Kebutuhan manusia di sini banyak levelnya, mulai dari kenyamanan, produktivitas dan lain sebagainya.
Sugini menambahkan hubungan indra manusia dan hal apa saja yang berkaitan dengan indra (human sensing). Ia menegaskan, dalam menentukan indeks kenyamanan termal, terlebih dahulu menata konsep standar yang mengkombinasikan antara aktivitas, pakaian, ta, tmrt, rh dan v. Hal ini akan membentuk arahan desain dan proses akhirnya bisa disebut skema desain. Untuk meningkatkan empati agar bisa merasakan konteks secara real di lapangan, maka kelembaban RH dan kecepatan angin harus diukur.
Ketika merumuskan tahap empati harus bisa bercerita penghuni aktivitasnya apa saja, pakaian seperti apa, sehingga akan menentukan iklim ruang dan harus melihat data-data iklim luar. “Karena shelternya adalah suatu lingkungan binaan yang berusaha untuk mendamaikan antara tuntunan pendaki dalam ruangan.” ungkap Sugini.
Ia menjelaskan bagian telinga dan fungsinya. “Kemampuan pertama bayi mendengar bahkan di dalam perut itu adalah pendengaran, kemampuan pertama indra bekerja. Bahkan ketika lahir, pendengaran merupakan indra paling sempurna daripada yang lain. Jadi pendengaran menjadi penyelesaian yang penting bagi shelter.” ujar Sugini.
Pada anatomi mata, ia menyebutkan jangkauan pandang terbatas yang dimiliki manusia. Ada sudut pandang yang tertutup oleh hidung, bulu mata, dan lain sebagainya. Di akhir sesinya, Sugini menyebutkan faktor-faktor yang menentukan kenyamanan penglihatan yakni task, kondisi pencahayaan dan kondisi kenyamanan. Di masing-masing aspek itu, ia menjelaskan faktor utama dan faktor sekundernya. (LMF/ESP)