FPCI UII Hadirkan Dino Patti Djalal Bahas Isu Rasisme

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Insiden meninggalnya George Floyd, seorang pria berkebangsaan Afrika-Amerika telah memicu kemarahan penduduk di Negeri Paman Sam dan menjadi sorotan global. Kejadian ini bertolak belakang dengan image United State of Amerika (USA), yang sejauh ini dikenal sebagai salah satu negara paling menghargai dengan isu Hak Asasi Manusia (HAM).

Isu tersebut memantik Foreign Policy Community of Indonesia, Universitas Islam Indonesia (FPCI UII) menggelar webinar bertemakan “Rasisme Hitam-Putih di USA: Fenomena Primitif di Era Modern,” pada Jumat (19/6). Diskusi menghadirkan pendiri Foreig Policy Community of Indonesia (FPCI), Dr. Dino Patti Djalal. Sementara bertidak sebagai moderator, Karina Utami Dewi, S.I.P., M.A., Sekretaris Program Studi Hubungan Internasional Program Internasional UII.

Dino Patti Djalal yang juga merupakan mantan Duta Besar Indonesia untuk USA (2010-2013) mengemukakan bahwa Negara Barat yang paling sering bermasalah dengan rasisme adalah USA, yang mana dulu pernah terjadi perang yang cukup lama dan perbedaan ekonomi yang tinggi. Di sana kebanyakan orang tinggal sesuai etnisnya. Rasisme masih ada meskipun sekarang lebih baik,

Kebijakan Trump dalam 4 tahun terakhir nampak memperburuk hubungan antar ras sehingga banyak yang curiga bahwa ia adalah rasis meskipun sebenarnya tidak. Misalnya ia sangat sensitif dengan muslim. Pernah pada suatu ketika Trump menyebutkan muslim dari negara tertentu tidak boleh masuk USA. Selain itu ia juga dekat dengan Israel dan mendukung penuh. Menurut Dino Patti Djalal hal tersebut berbeda dengan Barack Obama, ketika menjadi presiden ia mengakui bahwa USA bersekutu dengan Israel, namun USA bukan milik Israel. Saat Barack Obama memimpin sangat terlihat seperti Bhineka Tunggal Ika atau menyatukan rakyat USA tanpa memandang RAS.

Adanya cara kampanye Trump memberi ruang bahwa setiap orang bisa melakukan rasis. Orang rasis di USA sendiri paling mengidolakan Trump. “Ketika saya bertemu Trump, hal menonjol yang saya lihat pertama adalah ia orang yang hidup mewah sehingga saya berpikir bahwa bagaimana ia bisa memahami rakyat yang miskin, bila tidak dapat hidup biasa saja. Kedua adalah beauty, dimana orang sekeliling Trump memiliki wajah yang cantik dan tampan,” terang Dino Patti Djalal.

Di sini hapir tiap Minggu ada kasus polisi menembak orang dan membunuh orang dengan atau tidak sengaja, namun tidak dihukum dengan baik dan kebetulan kebanyakan kasus ini yang menjadi korban adalah orang kulit hitam. Kasus terbaru sekarang, ada baiknya mungkin hal tersebut bisa menjadi cleansing untuk USA dari segi keadilan serta dapat mereformasi mindset yang selama ini ada. Adapun masalah kerusakan yang dilakukan pendemo seperti penjarahan dan melakukan aksi kekerasan juga tidak dapat dibenarkan. Meskipun ia benar dalam membela George Floyd. Jika dilihat sekarang, orang yang mendemo di USA bukan hanya orang kulit hitam, namun juga orang kulit putih yang artinya multicultural di USA sudah mulai baik.

Lebih lanjut dipaparkan Dino Patti Djalal, kondisi ekonomi dan sosial antara kulit hitam dan putih. Hanya 15% total penduduk orang kulit hitam di USA dan banyaknya orang kulit hitam di penjara. Di dunia Pendidikan orang kulit hitam juga jarang ada yang sampai ke perguruan tinggi, jika hal ini dicampur dengan formula lain akan menyebabkan hal yang rasial dan sangat disayangkan. “Menurut saya meskipun USA banyak yang memajukan seperti punya Hollywood dan lain lain, namun di balik itu banyak juga orang bodoh berada di USA, jadi kita juga harus memperhitungkan faktor kebodohan yang ada di USA, hal ini yang membuat orang masih berpikir primitif dan memperkuat rasisme,” paparnya.

Namun demikian Trump merupakan satu-satunya yang bisa mengurangi pengangguran di USA sebanyak 3,5%, pengusaha juga sangat menyenanginya karna ia bisa memotong task sampai 18% dan pertumbuhan ekonomi di USA meningkat sekitar 3%. “Awalnya dari prestasi tersebut Trump sangat kuat, namun dikonsdisi sekarang Trump menjadi lemah karena kebiasaan orang USA dalam memilih pemimpin ketika terdapat kekurangan maka mereka akan mencari alternatif lain,” terangnya. (FNJ/RS)