Fotografi Arsitektur dengan Kamera Ponsel
Arsitektur menjadi salah satu objek yang menarik untuk diabadikan dalam sebuah gambar. Lekuk atau sudut-sudut dari suatu bangunan sangat menarik untuk menjadi objek foto atau background berfoto. Karenanya, saat ini tidak sedikit yang mulai menggeluti bidang seni fotografi arsitektur. Topik ini mengemuka dalam seminar berjudul Smartphone Artchitectural Photography yang digagas oleh Program Studi Arsitektur Universitas Islam Indonesia (UII) pada Jumat (5/6) secara daring,
Narasumber seminar, Assoc. Prof. Wiryono Raharjo, Ph.D., salah satu dosen Arsitektur UII, membuka paparannya dengan sebuah kutipan dari Ralph Waldo Emerson, bahwa setiap artis berawal dari seorang amatir. Ia mengatakan bahwa semua orang dapat mengklaim dirinya sebagai fotografer karena ponsel yang dimilikinya dapat digunakan untu memotret. Ia mengaku dirinya sebagai seorang amatir dan mungkin akan selalu menjadi amatir karena memotret arsitektur bukan untuk professional, melainkan hanya untuk mendukung pekerjaannya sehari-hari sebagai pengajar.
Wiryono Raharjo mengartikan memotret seperti menulis. Dimana di dalamnya terdapat tiga langkah: memotret, mengedit, dan publikasi. Ketika menulis maka perlu untuk diedit agar tidak terjadi typo atau kesalahan dalam menulis kata-kata tertentu. “Seperti menulis maka perlu dicek kembali karena kalau sampai ada yang typo maka mempersulit pembaca dalam memaknainya maksud dalam tulisan,” katanya.
Terdapat banyak faktor untuk menghasilkan gambar arsitektur yang indah dan akurat (ultimate shot). Wiryono Raharjo menjelaskan alasan mengapa dirinya memotret menggunakan ponsel. Menurutnya, terdapat pro dan kontra ketika memilih menggunakann ponsel untuk memotret. Kamera ponsel memiliki pro yang jelas berfungsi (multifungsi), cepat menangkap peristiwa yang tidak terduka, serta melakukan publikasi secara mudah karena di ponsel dilengkapi dengan software atau asesori. Sedangkan kontranya adalah layanan rekam menuai terbatas dan tidak cocok untuk foto yang dicetak dengan ukuran besar.
“Ketika dalam situasi tertentu kita hanya membawa ponsel, maka ini sangat efektif untuk merekamnya. Kalau foto mau dicetak ukuran besar saya sarankan menggunakan kamera SLR atau digital,” tambahnya.
Mengenai cakupan dalam objek fotografi arsitektur, menurutnya terdapat dua bagian, yakni built environment yang di dalamnya terdiri dari built forms dan setting. Meskipun begitu, terdapat foto yang hanya fokus kepada built forms atau setting saja. Karena terdapat pembatasan di dalamnya, banyak orang yang memilih satu bagian saja. Strategi yang dapat dilakukan menurut Wiryono Raharjo adalah dengan memberikan caption foto tersebut saat dipublikasi. Fungsi caption ini adalah untuk menceritakan atau menjelaskan kepada audiens mengenai maksud dalam foto tersebut.
Terdapat beberapa proses dan teknis ketika memotret arsitektur dengan kamera ponsel. Pertama, penguasaan alat (ponsel). Hal ini dapat dilakukan dengan menampilkan grid setiap kali memotret untuk mendapatkan rule of thirds. Menurut Wiryono Raharjo grid dalam kamera akan membantu komposisi objek fotografi agar sejajar. Kedua, menyesuaikan mode, baik portrait atau landscape. Misalnya jika memotret bangunan tinggi maka dapat menggunakan mode portrait, atau ingin memotret bangunan datar dan jauh dengan mode landscape.
Ketiga, pengaturan cahaya. Pemberian cahaya alami dari matahari akan memberikan efek yang berbeda, bahkan akan memberikan hasil sudut, bayangan, atau tampilan tiga dimensi yang menarik ketika memotret di waktu yang tepat. Jika di dalam ruangan yang gelap pencahayaan dapat dibantu dengan lampu atau flash di kamera ponsel.
Berikutnya yang keempat, menentukan sudut atau angle yang berbeda-beda. Sama hal nya dengan cahaya, memberian angle atau posisi yang tepat akan menghasilkan gambar yang terlihat tegas dan menarik. Untuk menghasilkannya dapat dilakukan berkali-kali di setiap angle yang terlihat. Kelima, memperhatikan komposisi Anda. Menempatkan beberapa pemikiran dalam komposisi fotografi merupakan hal yang penting dan berhubungan dalam fotografi arsitektur. Mencari sudut yang unik dengan perspektif yang berbeda. Misal daripada mengambil dari samping mengapa tidak mengambilnya dari atas.
Setelah memotret, langkah selanjutnya adalah editing foto. Proses editing ini berfungsi untuk meningkatkan kualitas foto agar terlihat bagus dan menarik. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan program perangkat lunak (software) fotografi yang tepat. Terdapat banyak aplikasi editing yang dapat diakses di ponsel, mulai dari yang gratis hingga berbayar. Misalnya: Perfect Photo Suite, Adope Photoshop, Procamera, Adobe Lightroom, dan sebagainya.
“Gunakan aplikasi yang mudah menurut kita ketika menggunakannya, namun menghasilkan karakter yang bagus. Jangan sampai mengedit sedemikian rupa sampai gambar yang asli tidak kelihatan lagi,” jelas Wiryono Raharjo.
Ketika memotret arsitektur, hal lain yang perlu diperhatikan adalah dalam mengambil gambar apakah ingin berwarna atau hitam putih. Keduanya harus dipertimbangkan oleh seorang fotografer arsitektur. Misalnya mengambil gambar bangunan maka warna bangunan itu merupakan fitur atau tampilan yang menarik untuk disorot. Namun, ketka ingin menyoroti jalur struktural bangunannya saja, forografer dapat memilih dengan mengambil gambar hitam putih.
Setelah proses editing selesai proses terakhir yang dapat dilakukan adalah dengan publikasi. Publikasi dapat dilakukan di Instagram, Facebook, atau media sosial lainnya sesuai dengan kebutuhan. “Yang perlu diingat juga adalah asesori ponsel. Saya biasanya menggunakan tripod atau minitripod agar ketika memotret tidak bergerak dan blur, karena foto blur indikator foto yang buruk,” tutup Wiryono Raharjo. (SF/RS)