FH UII Launching Pusat Mediasi dan Penyelesaian Sengketa Alternatif
Departemen Perdata Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) meluncurkan Pusat Mediasi dan Penyelesaian Sengketa Alternatif (PMPSA) pada Kamis (18/7) di Ruang Mini Auditorium Gedung FH UII. Peluncuran PMPSA ini dihadiri oleh Dr. Bambang Sutiyoso, S.H., M.Hum selaku Direktur PMPSA FH UII dan Prof. Dr. Tata Wijayanta, S.H., M.Hum. yang merupakan Guru Besar FH UGM. Selain launching, PMPSA juga menyelenggarakan diskusi terkait irisan atau harmonisasi dari aturan-aturan mediasi di internasional dan nasional direduksi dengan penyelesaian sengketa alternatif.
Bambang Sutiyoso dalam sambutannya menjelaskan PMPSA ini adalah lembaga baru yang ada di FH UII yang sifat akademiknya mandiri. Tujuan didirikan PMPSA yang pertama yakni untuk merespon dan mengakomodir sengketa bisnis yang semakin meningkat, baik secara kualitas maupun kuantitas dalam skala nasional maupun internasional. Kedua, mempersiapkan dan mencetak tenaga-tenaga profesional terutama para legal mahasiswa dalam bidang non litigasi dan alumni mediator untuk bisa menjadi profesi hukum yang professional dalam menangani kasus-kasus non litigasi. Ketiga, melakukan kajian dan pengembangan tentang mediasi dan penyelesaian sengketa alternatif secara luas termasuk memberikan rekomendasi kepada pemangku kepentingan.
“Mengapa PMPSA tidak disebut pusat studi, alasannya PMPSA dalam tugasnya tidak sekedar kajian, seminar, dan diskusi tetapi kami juga memberikan layanan di dalam penanganan perkara secara real terutama kasus-kasus yang melibatkan pencari keadilan secara non litigasi. Selain itu, kami juga mengidentifikasi dan menghimpun tenaga-tenaga mediator yang alhamdulillah sudah terhimpun sebanyak enam dosen, mudah-mudahan akan bertambah lagi seiring waktu berjalan yang harapannya dari sisi advokasi dan penanganan penyelesaian sengketa, kampus kita bisa berkontribusi paling tidak dalam pengurangan penumpukan perkara di pengadilan,” ujar Bambang Sutiyoso.
Bambang Sutiyoso juga menyampaikan PMPSA akan didedikasikan sebagai laboratorium hukum baru di FH UII sehingga PMPSA bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi mahasiswa untuk ikut belajar dan mempraktikkan terutama penanganan perkara dalam mediasi. Selain mahasiswa, dosen pun juga bisa menangangi perkara dan mendapat sertifikat pengabdian masyarakat yang penting untuk menunjang karier. PMPSA hadir juga untuk mempercepat tenggat waktu bekerja untuk alumninya, untuk menjadi mediator.
Wakil Dekan Bidang Sumber Daya FH UII, Dr. Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H dalam sambutannya sangat mendukung dibentuk PMPSA ini baik dari aspek fasilitas maupun dari segi kebijakan yang nantinya diperlukan, pimpinan FH UII akan mengakomodirnya.
“Besar harapan kami PMPSA turut melebatkan manfaat bagi UII secara umum dan FH UII secara khusus. Oleh karena itu, harapannya kegiatan PMPSA akan semakin banyak. Mudah-mudahan PMPSA ini akan hidup dan Dr. Bambang akan melecut SDM didalamnya untuk melakukan kegiatan-kegiatan,” tuturnya.
Sesi selanjutnya dilaksanakan diskusi diawali pemaparan materi oleh Prof. Dr. Tata Wijayanta, S.H., M.Hum tentang perbedaan penyelesaian sengketa dengan mediasi yang sifatnya pengakhiran sengketa dan pengadilan yang sifatnya penyelesaian sengketa.
“Tradisi dalam penyelesaian sengketa adalah penyelesaian sengketa yang voluntary and consultative yang berorientasi pada keharmonisan, fleksibel, dan keuntungan bersama. Menyelesaikan sengketa berusaha tidak untuk merusak/mengakhiri hubungan. Privasi/harga diri lebih dihargai. Tidak untuk mencari penyelesaian tapi semata-mata untuk mendapatkan hak,” imbuhnya.
Tata Wijayanta menambahkan, bagaimana perkembangan mediasi di beberapa negara seperti Amerika Serikat yang mendukung penyelesaian sengketa secara formal oleh hukum positif berupa Dispute Resolution Act yang dikeluarkan pada saat pemerintahan Presiden Jimmy Carter. Jepang, pada Era Taisho ada undang-undang penyewaan tanah dan rumah sebagai model pada undang-undang mediasi selanjutnya dan pada Era Showa atau sebelum perang ada undang-undang arbitrase temporer hutang finansial sebagai mediasi pengganti pengadilan, undang-undang mediasi (chotei) masalah personal, dan undang-undang pengadilan keluarga. Sedangkan, di Singapura dikembangkan pula Night Court Mediation ditujukan bagi pihak-pihak yang hanya mempunyai waktu setelah mereka bekerja pada siang hari.
Diskusi berlanjut dengan penyampaian materi oleh Bambang Sutiyoso mengenai perkembangan mediasi di Indonesia yang dilakukan oleh masyarakat sendiri untuk menyelesaikan sengketa seperti Aceh, ada peran mediator yang dilaksanakan oleh Imeum Meunasah. Daerah Minangkabau dikenal lembaga Kerapatan Adat Nagari yang berfungsi menyelesaikan sengketa adat dan peran mediator dilaksanakan oleh Ninik Mamak semacam sesepuh atau ketua ada disana. Daerah Batak penyelesaian sengketa oleh Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu (Sangkep Sitelu). Wilayah Jawa dikenal dengan Rembuk Desa oleh kepala desa.
“Selain itu, untuk wilayah Bali dilakukan oleh Majelis Desa Pakraman bertempat di Banjar Desa. Lombok dilakukan oleh Guru bertempat di Berugak. Sulawesi Selatan dilakukan oleh ustadz atau kyai atau ketua adat. Sedangkan Papua dilakukan oleh Tiga Tungku yaitu pimpinan komunitas, pendeta atau pastor, dan pegawai pemerintah,” terang Bambang Sutiyoso
Bambang Sutiyoso dalam kesempatannya juga menjelaskan pengelolaan sengketa di masyarakat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan kekuasaan atau power based approach yang mana dengan kekuasaan tersebut mampu menekan atau memaksa orang lain untuk menuruti keinginannya. Kedua ada pendekatan hukum atau right based approach yang mana menang atau kalahnya sengketa yang menentukan adalah hukum. Terakhir ada interest based approach yang merupakan penyelesaian sengketa dengan cara kopromi atau konsensus yang hasilnya akan mengarah pada win-win solution. (AHR/RS)