FH UII dan MK RI Resmikan Smartboard Mini Mootcourt
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan Kuliah Umum “Masa Depan Demokrasi Presidensial Indonesia” pada Sabtu (2/10). Acara ini diselenggarakan dalam rangka penyerahan hibah Smartboard Mini Mootcourt dari MK untuk FH UII, sebagai bentuk kerjasama antar lembaga.
Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik & Riset UII, Dr. Imam Djati Widodo, M.Eng., Sc. mengucapkan rasa terimakasih atas hibah ini dan atas kesediaan para Hakim MK untuk membagikan ilmunya kepada para mahasiswa FH UII. Ia mengatakan bahwa demokratisasi adalah suatu keniscayaan dalam proses politik. Dengan demikian perlu adanya kontribusi mahasiswa dan akademisi untuk turut memperbaikinya. Ia berharap ke depannya, mahasiswa UII dapat turut berkontribusi dengan menjadi praktisi yang baik dalam proses hukum di Indonesia.
Selanjutnya, Hakim MK, Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. menyebut komponen untuk mendapat keadilan itu tidak hanya berada di hukum acara. Tetapi lebih dari itu, salah satu contohnya adalah hibah ini yang bisa menjadi subyek hukum dan dapat membantu seseorang untuk memperoleh keadilan.
Smartboard Mini Mootcourt tidak hanya sebagai alat komunikasi tetapi lebih esensial dari itu yakni dapat menjangkau para pencari keadilan, mendorong kemudahan bagi para pencari keadilan, dan juga menjangkau hak asasi manusia (HAM) warga negara, melalui akses justice.
“Itulah niat baik dari MK, dengan hal yang tidak diragukan oleh UII untuk memberikan akses kepada para pencari keadilan. Dengan alat ini, siapapun bisa memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya di MK, bisa pemohon, para terkait, dll. Semoga alat ini bisa mencapai tujuan yang maksimal untuk memperoleh manfaat yang sebaik-baiknya,” ungkapnya.
Masa Depan Demokrasi Presidensial Indonesia
Pada sesi kuliah umum, pembicara Hakim MK, Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A. menjelaskan demokrasi Indonesia saat ini sebenarnya lebih dekat pada sistem demokrasi parlementer dibanding dengan sistem demokrasi presidensial. Sejak tahun 1945, para pendiri negara sudah memperdebatkan tentang sistem presidensial dan parlementer. Namun, karena trauma dijajah oleh Belanda yang menggunakan sistem parlementer dan Jepang yang juga menggunakan sistem parlementer, para pendiri sepakat untuk menggunakan sistem presidensial. Hal ini juga berdasarkan pandangan pada sistem presidensial di Amerika yang dianggap lebih demokratis.
Namun, jika melihat pada prakteknya di Indonesia, menurutnya hanya ada dua hal yang menggambarkan Indonesia menggunakan sistem presidensial, yaitu: pengangkatan menteri yang dilakukan oleh Presiden, dan jabatan kepala negara serta kepala pemerintahan berada di satu orang/figure. Sedangkan, selain dua hal itu, menurut Saldi cenderung menerapkan sistem parlementer.
Saldi menjelaskan bahwa, yang membedakan antara sistem parlementer dan presidensial adalah bagaimana pola relasi antara lembaga legislatif dan eksekutif. Dalam sistem parlementer, pemilihan umum (pemilu) hanya dilakukan sekali untuk memilih anggota parlemen. Hal ini menunjukkan bahwa mandat rakyat diletakkan di parlemen. Sedangkan dalam sistem presidensial pemilu dilakukan lebih dari satu kali, yakni ada pemilu untuk memilih lembaga legislatif dan ada pemilu untuk memilih lembaga eksekutif. Dalam sistem ini, mandat rakyat diberikan kepada kedua lembaga ini.
“Akan selalu ada perbedaan terus menerus antara anggota legislatif dan eksekutif. Dalam sistem presidensial, cara mengelola hubungan antara legislatif dan eksekutif adalah sebuah seni. Hal ini dikarenakan dalam sistem presidensial, secara natural eksekutif dan legislatif itu terpisah. Sedangkan, dalam sistem parlementer, secara natural eksekutif dan legislatif itu berkolaborasi,” imbuhnya.
“Oleh karena itu, orang yang menjabat sebagai anggota legislatif tidak boleh merangkap sebagai anggota eksekutif. Namun, jika melihat pada awal pembentukan UUD 1945 sama sekali tidak mengatur tentang pemilu,” ujarnya. Itulah mengapa menurutnya, konstitusi cenderung lebih dekat dengan sistem parlementer dibanding presidensial.
Saldi mengatakan, saat amandemen UUD 1945 ada kesepakatan dasar antara para pembentuk undang-undang, yaitu kesepakatan untuk tetap mempertahankan sistem presidensial. Inilah yang kemudian menyebabkan munculnya pengaturan tentang periodisasi masa jabatan presiden yang harus ditentukan secara jelas dalam konstitusi dan pengaturan tentang impeachment Presiden. Ia juga menjelaskan tentang praktek sistem presidensial di beberapa negara lainnya, seperti Amerika, Nigeria, Filipina, dan Prancis.
Kecondongan sistem parlementer digambarkan pada konstitusi yang mengatur tentang mekanisme join antara lembaga legislatif dan eksekutif dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Menurut Saldi, ini merupakan sebuah penyimpangan dalam sistem presidensial yang menempatkan posisi presiden jauh lebih kuat di parlemen. (EDN/ESP)