Esensi Ramadan dan Idul Fitri di Kala Pandemi
Bulan Ramadan dan Idul Fitri tahun ini menjadi berbeda karena pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Berbagai aktivitas yang biasa dilakukan umat Islam di Indonesia pun tidak sepenuhnya dapat dilakukan. Salat tarawih dan Ied di masjid, takbiran keliling, dan segala hal yang berpotensi menimbulkan keramaian pun dianjurkan untuk dihindari. Perubahan yang terjadi ini menimbulkan kekhawatiran dan pertanyaan di benak umat, apakah esensi ibadah puasa dan lebaran akan luntur?
Membahas hal tersebut, Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (LEM UII) mengadakan kajian secara daring dengan tajuk “Pergeseran Budaya Keislaman, Menghilangkan Esensinya atau Tidak?” pada akhir Ramadan yang lalu. Kajian yang diikuti puluhan peserta ini dibersamai oleh Rusydi Kadir, S.H., Ketua Himpunan Mahasiswa Ahwal Syakhshiyah (Hukum Keluarga) UII 2017-2018.
Menanggapi kondisi saat ini, Rusydi Kadir melihat ketakutan umat Islam ada pada terjadinya pergeseran budaya. “Ketakutannya ini justru karena terjadi pergeseran budaya. Ritual ibadah saat ini harus dilakukan semuanya di dalam rumah, tidak bisa di luar rumah atau di masjid,” ucapnya.
Ia menjelaskan, pergeseran budaya dalam Islam dapat dilakukan oleh Islam itu sendiri, dan sebaliknya. Artinya Islam ke budaya, dan budaya ke Islam. Ia memberi contoh bagaimana Islam mengkonversi sebuah budaya yang ada di masyarakat Jawa seperti yang dilakukan Sunan Kalijaga. Dakwah Sunan Kalijaga menyentuh budaya yang telah ada sebelumnya, yakni wayang kulit.
Menurut Rusydi Kadir, eksistensi budaya tersebut tetap terjaga dengan kehadiran Islam. Namun, esensinya telah berubah dengan nilai-nilai dan ajaran Islam di dalamnya. Sehingga, pada hakikatnya perubahan budaya yang dialami umat Islam saat ini tidak akan mempengaruhi esensi dari puasa, salat Ied, silaturrahim di kala lebaran, dan berbagai aktivitas lainnya.
“Sebenarnya, Islam itu mampu bertahan dikarenakan dia cocok di semua waktu dan tempat. Para ulama mengatakan Islam shalihun li kulli zaman wal makan. Bahwa Islam itu sesuai pada setiap waktu dan tempatnya. Ketika kita ingin mengkaji seluruh Al-Qur’an dan As-Sunnah, itu semuanya sesuai pada tempat dan zaman,” paparnya.
Rusydi Kadir mengawali kajian dengan menjelaskan Islam yang diartikan secara sempit dan luas, serta sekilas sejarah hubungan antara ulama dan umaro (pemerintah) hingga kini. “Awalnya, Islam itu diartikan secara sempit. Islam itu dapat diartikan secara sempit ketika kita melihat Islam, Islam itu hanya tentang syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji,” ujarnya.
“Jadi pada masa itu dikatakan Islam hanya sekadar itu. Hanya sekadar ritual. Sedangkan persoalan-persoalan politik, ekonomi itu mengikuti kebijakan ekonomi makro dan mikro, dan sebagainya. Itu semuanya di luar daripada Islam. Bahwa Islam itu hanya sekadar ibadah, sekadar ritual,” imbuhnya.
Lebih lanjut dijelaskan Rusydi Kadir, kemudian kemunculan kaum Mu’tazilah dan kaum Islam rasional lainnya memicu terjadinya pertentangan. Mereka yang menempatkan akal sebagai sumber hukum Islam menyebut Al-Qur’an sebagai makhkuk. Sehingga manusia yang juga merupakan makhluk mampu untuk menyamainya. Hal ini menjadikan raja yang berbeda pandangan, memaknai Islam secara sempit, akan menyusun kebijakan-kebijakan yang mengatur tentang akidah.
“Tapi saat ini para ulama mencoba untuk memisahkan, membagi kebijakan-kebijakan atau teritorial mana yang harus dilakukan oleh pejabat negara, raja atau presiden seperti sekarang. Ia hanya sebagai kepala negara, tetapi bukan sebagai tokoh agama. Nah siapa yang menyelesaikan persoalan-persoalan agama yang dihadapi saat ini? Yakni tugasnya para ulama,” ucapnya.
“Nah inilah sebenarnya, bagaimana kita ingin menjawab persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini. Tentunya kebijakan yang dibuat oleh negara itu harus sesuai dengan kaidah-kaidah yang sudah dibuat oleh tokoh-tokoh agama, ulama, dan jangan sampai melampaui batasannya,” tandasnya. (HR/RS)